Anda di halaman 1dari 19

ALASAN PENGHAPUS PIDANA DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA


(Tugas Mata Kuliah Pembaruan Hukum Pidana)
Dosen : Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H.

Oleh :

JAMIL HANDY
147005085
(Pararel B)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Peraturan yang mengatur tentang Pidana yang tersirat dalam KUHP Indonesia
merupakan warisan dari jaman penjajahan Belanda. Dalam perkembangannnya,
pengaturan mengenai hukum pidana sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kemajuan teknologi yang ada dan hidup di masyarakat Indonesia, sehingga perlu
dilakukan upaya untuk memperbaharui hukum pidana tersebut. Pembaharuan hukum
pidana pada pokoknya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan
pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan nilai-nilai umum
sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia (Arief, 1996 :
30-31). Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam
usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan hal ini agar meliputi aspek
sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Pembaharuan hukum pidana Indonesia merupakan salah satu tema menarik dan
menjadi diskusi bagi para pakar hukum di Indonesia. Draft RUU KUHP merupakan fokus
pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang telah mengalami perubahan serta
perbaikan sesuai dengan kepentingan yang berlaku. Pembaharuan suatu hukum pidana
tidak hanya diidentikan pada perubahan KUHP. Pembaharuan hukum pidana diharapkan
dapat bersifat komprehensif dan menyeluruh, tidak hanya ditinjau dari suatu
pembaharuan KUHP. Seperti yang tercantum pada alinea sebelumnya pembaharuan
hukum pidana meliputi berbagai aspek yang terkandung dalam nilai-nilai bangsa
Indonesia Sedangkan pembaharuan KUHP mengartikan suatu pembaharuan materi
hukum pidana.

Pada proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia, di dalam mempelajari


masalah bagaimana sebaiknya hukum pidana itu dibuat, disusun dan digunakan untuk
mengatur/mengendalikan tingkah laku manusia, khususnya untuk menanggulangi
kejahatan dalam rangka melindungi dan mensejahterakan masyarakat, maka apabila
dipandang dari sudut operasionalisasi/fungsionalisasi, dalam arti bagaimana perwujudan
dan bekerjanya, hukum pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap/fase, yaitu :
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penetapan hukum pidana (kekuasaan
formulatif/legislatif) mengenai macam perbuatan dapat dipidana dan jenis
sanksi yang dapat dikenakan;
2. Tahap aplikasi, tahap menerapkan hukum pidana atau penjatuhan pidana kepada
seseorang atau korporasi oleh hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh
orang/korporasi tersebut (kekuasaan aplikatif/yudikatif)
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana
atas orang atau korporasi yang telah dijatuhi pidana (kekuasaan
eksekutif/administratif)

Usaha pembaharuan hukum pidana dalam bentuk penciptaan suatu kodifikasi


hukum pidana nasional yang mencerminkan sikap tindak dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat Indonesia untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang
merupakan warisan kolonial belanda diwujudkan dalam konsep KUHP nasional pada
pokoknya haruslah mencakup tiga permasalahan pokok didalam hukum pidana, yakni
tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang serta
tentang pidana itu sendiri yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Perbuatan apa yang seharusnya dipidana, atau biasa disingat dengan masalah
tindak pidana;
2. Syarat apa yang seharusnya harus dipenuhi untuk mempermasalahkan/
mempertanggungjwabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa
disingkat dengan masalah “kesalahan”;
3. Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka
melakukan perbuatan pidana, atau biasa yang disebut dengan masalah “pidana”.

Oleh karena itu, apabila melihat kaitan antara tindak pidana, kesalahan, dan
sanksi (pidana) dengan pelaku tindak pidana, maka sudah sepatutnya pada tahap
formulasi pembentuk undang-undang dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk dapat memberikan perlindungan bagi orang yang dituduh melakukan tindak
pidana dan pertanggungjwaban pidana juga dapat merumuskan tentang alasan pembelaan
atau alasan penghapus pidana. Dasar alasan penghapus pidana lazim dibagi dua, yaitu
alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf
(schulduitslutingsgronden) Menurut Moeljatno mengatakan bahwa alasan pembenar dan
alasan pemaaf merupakan istilah yang dikenal dalam teori hukum pidana, sedangkan
dalam KUHP sendiri tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf, dalam
titel ke-3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.

Dengan demikian, masalah alasan penghapus pidana ini memerlukan kesamaan


pandangan baik dalam tahap formulasi, aplikasi maupun eksekusi, supaya dalam KUHP
yang akan datang pengaturan tentang alasan penghapus pidana ini dapat dituangkan
secara lebih jelas dan terperinci agar tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam rangka
pembaharuan hukum pidana nasional.

2. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan


makalah ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan alasan penghapus pidana saat ini?
2. Bagaimana pengaturan alasan penghapus pidana dalam pembaharuan hukum
pidana di Indonesia?

BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Alasan Penghapusan Pidana

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa
yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan

tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah


peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam
keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya
dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-
undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan
dalam alasan penghapus pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan


orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi
tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan,
alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat
melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya
ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang
memaafkan pembuat. Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada,
tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain
undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka
pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana.

Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus
pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang
alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah
pembentukan KUHPidana (WvS Belanda). Menurut sejarahnya yaitu melalui M.v.T.
(Memori van Toelichting) dalam penjelasannya mengenai alasan penghapus pidana ini,
mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”. Hal ini berdasarkan
pada dua alasan, yaitu:
1. alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri
orang tersebut, dan
2. alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar dari
diri orang tersebut.

Dari kedua alasan yang ada dalam MvT tersebut, menimbulkan kesan bahwa
pembuat undang-undang dengan tegas merujuk pada tidak dapat dipidananya
pelaku/pembuat, dan bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan. Hal ini
dipertegas lagi dalam Pasal 58 KUHPidana. Pasal 58 KUHPidana berbunyi:

“Keadaan diri yang menyebabkan penghapusan, pengurangan atau penambahan


hukumannya hanya boleh dipertimbangkan terhadap yang mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan itu atau diri si pembantu saja”.

KUHPidana yang berlaku sekarang ini memang tidak membedakan dengan jelas
antara alasan pembenar maupun alasan pemaaf. KUHPidana hanya merumuskan tentang
orang-orang yang yang tidak boleh dihukum, di dalam Bab III Buku Kesatu di bawah
judul “Pengecualian, Pengurangan dan Pemberatan Hukuman”. Tidak jelasnya
pembedaan antara alasan penghapus pidana sebagai alasan pembenar dengan alasan
penghapus pidana sebagai alasan pemaaf dalam KUHPidana ini tentu akan membawa
pengaruh kepada putusan hakim. Perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf
ini hanya dijumpai dalam doktrin atau pendapat ahli hukum. Perbedaan ini sebenarnya
sangat bermanfaat dan diperlukan atau penting dalam hal terjadinya penyertaan atau
keikutsertaan dalam suatu tindak pidana.

Dalam hal suatu perbuatan “dihalalkan”, maka perbuatan itu sendiri tidak dapat
dipidana. Mereka yang dengan salah satu cara ikut serta melakukan perbuatan itu, dengan
beberapa kekecualian juga dihalalkan, tidak dipidana. Kalau bagi pelaku hanya ada alasan
pemaaf, maka masih ada kemungkinan bahwa orang yang membujuk, ikut serta
melakukan, atau menyuruh lakukan atau membantu melakukan dapat dipidana,
sedangkan pelaku utamanya tidak dipidana berdasarkan alasan pemaaf. Sehubungan
dengan hal itu tampak juga perbedaan dalam bekerjanya preseden. Hakim yang
memutuskan dihapusnya pidana karena adanya alasan pembenar, ingin menyatakan
bahwa dia akan memperlakukan sama semua orang yang dalam keadaan sama juga
berbuat demikian. Sebaliknya, hakim yang memutuskan adanya alasan pemaaf tidak ingin
mengatakan lebih daripada bahwa pembuat individual ini karena keadaan khusus yang
mengenai dirinya (tidak mampu bertanggungjawab, sesat yang dapat dimaafkan),
deliknya tidak cukup dapat dicelakan kepadanya untuk dapat memidana dia (pelaku).

2. Lahirnya Alasan Penghapus Pidana

Lahirnya alasan penghapusan pidana di dalam sistem pemidanaan modern saat


ini tidak terlepas dari munculnya atau lahirnya aliran-aliran didalam hukum pidana yang
selama ini dikenal, yaitu aliran klasik, aliran neo-klasik maupun aliran positif. Khusus
tentang alasan penghapus pidana ini, kelahirannya banyak dipengaruhi oleh aliran neo-
klasik. Hal ini disebabkan, karena didalam aliran neo-klasik dalam rangka melakukan
pencegahan kejahatan atau dalam hal menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan
sudah mulai mempertimbangkan beberapa keadaan, baik keadaan dari dalam diri pribadi
pelaku kejahatan seperti keadaan mental, maupun keadaan-keadaan lainnya seperti
keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi orang untuk melakukan kejahatan.

Aliran-aliran ini tidaklah mencari dasar hukum atau dasar pembenaran dari
pidana/hukuman sebagaimana yang terdapat dalam teori-teori pemidanaan, akan tetapi
berusaha untuk mencari dan memperoleh suatu sistem hukum yang praktis dan
bermanfaat untuk diterapkan seiring dengan perkembangan masyarakat.Aliran klasik
lahir sebagai reaksi terhadap kekejaman sistem peradilan dan sistem pemidanaan pada
pemerintahan kuno (ancient regime) yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penyiksaan merupakan alat untuk mendapat pengakuan dari terdakwa. Otoritas kekuasaan
memegang kekuasaan penuh untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan, tanpa
legitimasi perundang-undangan. Pada akhirnya hal ini menimbulkan kesewenang-
wenangan.

Tujuan dijatuhkan pemidanaan pada masa ancient regime berlandaskan pada


tujuan retributif, yaitu menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan
yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun,
sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. Pembalasan ini
dirasakan adil sebagai tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai perbuatan
yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku kejahatan sangat pantas
mendapat pembalasan yang setimpal.

Cessare Beccaria (1738-1794) melakukan kritikan keras terhadap tujuan


pemidanaan dalam teori retributive di atas. Beccaria mempertanyakan, apakah
pemidanaan merupakan sarana yang cocok untuk suatu kejahatan?, apakah pidana mati
benar-benar berguna dan penting untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat
dari ancaman kejahatan?, apakah penyiksaan terhadap pelaku akan mencapai keadilan
sebagaimana yang dikedepankan oleh hukum?, apakah hukuman yang sama terhadap
pelaku selalu mendatangkan manfaat?. Pertanyaan yang penting dimunculkan oleh
Beccaria adalah, apa cara yang terbaik dalam menanggulangi kejahatan?.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Beccaria berpendapat bahwa hukum


harus mampu menjamin kebahagian yang sejati dari sebagian besar masyarakat (the
greatest happiness of the great number). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka
pidana harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang-undang yang dibuat melalui
kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial. Hakim tidak
mempunyai kekuasaan untuk menginterpretasikan undang-undang karena mereka bukan
pembuat undang-undang, sehingga hakim hanya boleh menjalankan ketentuan
sebagaimana yang tercantum di dalam undang-undang. Tujuan pemidanaan menurut
Beccaria adalah mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, dan bukan menjadi
sarana balas dendam masyarakat (the purpose of punishment is to deter persons from the
commission of crime and not to provide social revenge). Oleh karena itu pidana yang
kejam tidak membawa manfaat bagi keamanan dan ketertiban masyarakat. Upaya
penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik dengan melakukan upaya
preventif daripada melakukan pemidanaan.

Pemikiran Beccaria masih tetap aktual hingga sekarang ini, meskipun beberapa
pemikirannya itu ada yang tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, seperti larangan
interpretasi oleh hakim. Sementara dalam sistem hukum modern, interpretasi pengadilan
(hakim) merupakan bagian penting dari suatu aktivitas dalam proses pengambilan

keputusan dalam kasus yang konkrit. Namun perlu diingat bahwa pemikiran Beccaria ini
dilatarbelakangi oleh karena pada waktu itu Beccaria menentang kelaliman dari sistem
pemerintahan kuno yang bercirikan tindakan sewenang-wenang dari orang yang
berkuasa. Pemikiran Beccaria satu sisi telah membentangkan akhir dari zaman
pemerintahan kuno, sisi lainnya sekaligus telah menyusun rencana untuk zaman yang
akan datang, termasuk salah satu pendiriannya yang modern adalah lebih baik kejahatan
dicegah daripada dipidana.

Dalam perkembangan selanjutnya lahir aliran Neo-klasik. Aliran neo-klasik ini


mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik, yaitu meyakini adanya kebebasan
kehendak manusia (free will) dalam melakukan kejahatan, namun aliran neo-klasik
melakukan beberapa perubahan dengan mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan
pembinaan terhadap pelaku kejahatan, di samping masih perlunya pemidanaan. Aliran
neo-klasik mulai mempertimbangkan individualisasi pelaku kejahatan karena pendekatan
yang dilakukan oleh aliran klasik terlalu keras dan pada realitasnya tidak mendatangkan
keadilan. Diantaranya pada aliran klasik tidak menyediakan “treatment” bagi anak-anak
yang melakukan kejahatan. Akhirnya, beberapa ciri aliran neo klasik ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak (free will), yaitu kebebasan
berkehendak untuk memilih sesuatu itu dipengaruhi oleh pathology,
ketidakmampuan, gangguan kejiwaan dan kondisi lain yang memungkinkan
seseorang melakukan kehendak secara bebas;
2. Menerima diberlakukannya keadaan-keadaan yang meringankan, baik dari
kondisi fisik, lingkungan, maupun mental seseorang;
3. Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana untuk menetapkan
peringanan pidana dengan pertanggungjawaban sebagian yang didasarkan pada
alasan bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa, di bawah umur dan keadaan-
keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada
waktu melakukan kejahatan;
4. Diperkenankannya kesaksian ahli dalam proses peradilan, untuk menentukan
tingkat pertanggungjawabannya.

Dengan melihat ciri-ciri dari aliran neo-klasik ini maka dapat disimpulkan,
meskipun aliran ini tidak mengakui ketidak-bebasan seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan, akan tetapi aliran ini mengakui bahwa ada beberapa keadaan yang sebenarnya
mempengaruhi kebebasan seseorang itu dalam melakukan perbuatannya. Keadaan-
keadaan tersebut harus pula diperhatikan dalam menentukan tingkat pertanggungjawaban
seseorang (misalnya dengan bantuan dari saksi ahli). Jika diperhatikan apa yang diatur
dalam KUHPidana yang berlaku sekarang ini, khususnya pengaturan tentang alasan yang
dapat menghapuskan pidana, nampak disini adanya pengaruh dari aliran neo-klasik.
Pengaruh seperti ini terutama terlihat dalam hal mempertimbangkan keadaan diri pribadi
pelaku dan mengenai kondisi-kondisi lain yang menyebabkan seseorang itu melakukan
suatu perbuatan yang melawan hukum (perbuatan yang dapat dipidana). Hal ini dapat
dilihat dengan adanya pengaturan tentang penghapusan, pengurangan dan pemberatan
hukuman sebagaimana yang dirumuskan dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana.

Dengan demikian aliran neo-klasik sudah mulai menampakkan pengaruhnya di


beberapa ketentuan dalam hukum pidana, terutama dalam memperhatikan keadaan diri
pribadi dari pelaku kejahatan. Perhatian terhadap diri pribadi pelaku, terutama terhadap
faktor-faktor yang berada pada segi kejiwaan dan watak pribadi pelaku, ini dapat dilihat
dalam teori-teori yang mencari hubungan antara faktor-faktor kepribadian dengan tingkah
laku manusia dalam melakukan kejahatan (criminal personality), terutama dari sudut
kejiwaan pelaku (psychology criminal). Faktor-faktor kejiwaan inilah yang menentukan
tingkah laku manusia, sebagai unsur penting dalam hubungannya dengan tingkah laku
manusia. Oleh karena itu merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dengan masalah
kejahatan. Ada keadaan jiwa tertentu yang tidak dapat dihindari pelaku, sehingga ia terdorong
untuk melakukan perbuatan tersebut. Apakah itu dalam keadaan jiwa yang tidak sehat, kurang
sempurna akal, atau gila sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 KUHPidana. Apakah itu
merupakan keadaan kejiwaan yang tergoncang yang tidak dapat dihindarinya sehingga ia
dalam keadaan yang sedemikian rupa terpaksa berbuat, meskipun perbuatannya itu
merupakan perbuatan pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 dan 49 KUHPidana.

Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang mempengaruhi sikap kepribadian


atau sikap mental seseorang dalam bertindak. Oleh karena itu untuk menjatuhkan pidana
terhadap seseorang (pelaku tindak pidana) hakim harus memperhatikan dan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi orang tersebut dalam melakukan
suatu perbuatan, apakah ada faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang dapat
memberatkan, atau meringankan/mengurangi hukuman atau pidananya, bahkan mungkin
ada hal-hal yang dapat menghapuskan hukuman atau pidananya, berdasarkan hal-hal yang
dapat dibenarkan atau dimaafkan sebagai alasan pembenar ataupun alasan pemaaf.

Berkaitan dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf ini, maka meskipun
perbuatan seseorang itu telah memenuhi isi rumusan undang-undang mengenai suatu
perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana), akan tetapi yang bersangkutan tidak dihukum
(dipidana). Alasan pembenar dan alasan pemaaf ini adalah merupakan pembelaan dari pelaku
terhadap tuntutan dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Sehingga dapat berfungsi

sebagai pelindung bagi terdakwa dari ancaman hukuman. Akan tetapi dalam hal ini tidak
dapat diberikan batasan (definisi) dengan jelas tentang perbuatan mana yang dapat
digolongkan kedalam perbuatan yang dapat dibenarkan, dan perbuatan mana yang dapat
dimaafkan. Di dalam prakteknya kedua hal inipun jarang dipermasalahkan.

Dengan demikian nampak disini bahwa lahirnya alasan penghapus pidana ini
disebabkan beberapa faktor yang merupakan tujuan dari adanya alasan penghapus pidana
itu sendiri, yaitu:
a. faktor yang mempertimbangkan beberapa pengaruh yang menyebab-kan orang
melakukan kejahatan/tindak pidana, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran
neo-klasik. Dalam kriminologi pun, juga dijelaskan bahwa banyak faktor yang
menyebabkan orang melakukan kejahatan, baik itu dari faktor individu orang
yang melakukan kejahatan seperti faktor fisik dan mental, maupun dari faktor
yang berada di luar individu yang bersangkutan seperti faktor lingkungan,
ekonomi, politik dan lain sebagainya.
b. faktor dari pembuat undang-undang itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh
kesadaran dari pembuat undang-undang akan ketidakmampuan dalam membuat
peraturan perundang-undangan pidana untuk memperhatikan setiap hal yang
konkrit yang akan terjadi pada suatu waktu, pada ketika terjadinya suatu tindak
pidana, mungkin ada hal-hal yang memberatkan, meringankan atau
menghapuskan hukuman.
c. faktor untuk mencapai tujuan dari peraturan perundang-undangan. Pembuat
undang-undang membuat suatu peraturan perundang-undangan ini bertujuan
untuk mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Oleh karena banyak
hal, baik yang bersifat objektif maupun subjektif yang mendorong dan
mempengaruhi seseorang pada suatu waktu untuk melakukan tindak pidana
tersebut.

3. Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP

Alasan penghapus pidana merupakan petunjuk primer yang tertuju kepada


hakim. Alasan-alasan tersebut menunjukkan keadaan dalam mana seorang pelaku tindak
pidana yang telah memenuhi rumusan delik tidak dipidana. Pembuat undang-undang
memberikan kewenangan kepada hakim untuk menetapkan apakah memang terjadi
keadaan khusus yang digambarkan undang-undang dalam penghapusan pidana tersebut.

Mengenai ruang lingkup alasan penghapus pidana terbagi atas pembagian


menurut M.v.T dan pembagian menurut ilmu hukum, hal ini dapat terjadi dikarenakan di
dalam KUHP sendiri tidak disebutkan tentang pembagian dari alasan penghapus pidana,
dalam titel ke-3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana. Menurut M.v.T (Sastrawidjaya) tentang alasan penghapus pidana
ini mengemukakan apa yang disebut dengan alasan-alasan yang tak dapat
dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang atau alasan-alasan tak dapat dipidana
seseorang. Dalam hal ini M.v.T. membaginya dalam dua bagian :

1. Alasan tak dapat dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang yang terletak di


dalam diri orang itu, pengaturannya terdapat dalam Pasal 44, umur yang masih
muda;
2. Alasan tak dapat dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang yang terletak
diluar diri orang itu, pengaturannya terdapat dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal
51 KUHP.

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana mengadakan pembagian lain yang


sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya si
pembuat. Alasan penghapus pidana yang menyangkut perbuatan atau pembuatnya dibagi
atas dua jenis alasan penghapus pidana:
1. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun
perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, kalau
perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada pemidanaan atau dengan
kata lain tidak dipidananya si pembuat dengan alasan pembenar, karena
perbuatan yang dilakukannya kehilangan sifat melawan hukum perbuatan.
Walaupun pada kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak
pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu maka
sipembuat tidak dapat dipidana. Contohnya seorang petinju yang bertanding
diatas ring memukul lawannya hingga terluka bahkan sampai meninggal.
2. Alasan pemaaf menyangkut pribadi sipembuat, dalam arti bahwa pelaku tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum
dengan kata lain bahwa perbuatannya walau terbukti melanggar undang-undang,
yang berarti pada perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, namun berhubung
hilang atau hapusnya kesalahan pada diri sipembuat, maka perbuatannya itu tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, si pelaku dimaafkan atas perbuatannya
itu. Contohnya orang gila yang memukul orang sampai luka berat.

Mengenai pengaturan alasan pembenar dalam KUHP terdapat dalam Pasal 49


ayat (1), Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1), sedangkan mengenai alasan pemaaf terdapat
dalam Pasal 44, Pasal 49 ayat (2), Pasal 51 ayat (2). Adapun mengenai Pasal 48 masih
terdapat perbedaan pendapat para ahli apakah merupakan alasan pembenar ataupun alasan
pemaaf.

Dalam KUHP alasan penghapus pidana dapat dibagi kedalam beberapa jenis
antara lain :
1. Kemampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
Menurut Pasal ini orang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dalam
dua hal : (1) Jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau (2) terganggu karena
penyakit. Yang dimaksudkan terganggu karena penyakit adalah gangguan sejak
lahir atau timbul semasa remaja dan gangguan yang datang kemudian pada
seseorang yang normal. Penyakit ini bisa berupa gangguan psikis atau gangguan
kesadaran karena sebab fisik.
Menurut Pompe pertanggungjawaban pidana seseorang mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Kemampuan berfikir pembuat yang memungkinkan ia menguasai pikirannya
yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya;
b. dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dan akibat perbuatannya;
c. dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.
2. Daya Paksa (Pasal 48 KUHP)
Alasan penghapus pidana karena adanya daya paksa (overmacht) dirumuskan
dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan barangsiapa yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Undang-Undang tidak memberikan
keterangan lebih jauh tentang daya paksa, menurut Adami Chazawi dalam M.v.T.
sedikit keterangan mengenai daya paksa yang mengatakan sebagai setiap
kekuatan, setiap dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan. Dari
keterangan tentang daya paksa dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi
karena tekanan psikis dan tekanan fisik sehingga dapat dirumuskan sebagai
“suatu kedaan memaksa baik sifatnya fisik maupun psikis yang sedemikian
kuatnya menekan seseorang yang tidak dapat dihindarinya sehingga orang
tersebut terpaksa melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang
oleh Undang-Undang.
3. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang
main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti yang tercantum dalam
Pasal 49, maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum. Disini orang
seolah-oleh mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari
seorang warga negara menerima saja suatu perlakuan yang mealawan hukum
yang ditujukan kepada dirinya. Padahal negara dengan alat perlengkapannya
tidak dapat pada tepat waktu melindungi kepentingan hukum dari orang yang
diserang itu, oleh karenanya pembelaan terpaksa merupakan alasan pembenar
karena pembelaan diri yang dilakukan bersifat menghilangkan sifat melawan
hukum.
Dalam pembelaan terpaksa ada dua hal yang pokok, yaitu :
a. Adanya serangan yang memenuhi syarat-syarat: seketika, yang langsung
mengancam, melawan hukum dan sengaja ditujukan pada badan,
perikesopanan dan harta benda;
b. Adanya pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu, yang
memenuhi syarat-syarat: pembelaan itu harus dan perlu diadakan, pembelaan
harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut dalam undang-
undang yakni serangan pada badan, perikesopanan dan harta benda
kepunyaan sendiri atau orang lain.
4. Menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
Untuk dapat diberlakukannya ketentuan dalam Pasal 50 KUHP ini maka
kewajiban/tugas yang diperintahkan undang-undang harus diberlakukan secara
patut, wajar dan masuk akal sehingga ada keseimbangan antara tujuan yang
hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya. Pasal 50 KUHP merupakan alasan
pembenar.
5. Menjalankan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP)
Mengenai menjalankan perintah jabatan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :
perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP, dan perintah
jabatan tidak sah yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Ketentuan dalam
Pasal 51 ayat (1) sama dengan alasan penghapus pidana karena menjalankan
ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) diatas, dalam arti bahwa pada kedua
alasan penghapus pidana ini sama-sama menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan dan pada keduanya merupakan perbuatan yang boleh dilakukan
sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan perintah undang-undang
maupun perintah jabatan. Suatu perintah jabatan dikatakan sah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberikan
perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub ordinasi.
Hubungan ini harus bersifat hukum publik. Hubungan yang bersifat hukum
keperdataan tidak termasuk ketentuan dalam Pasal 51 KUHP;
b. Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan
jabatannya yang bersifat hukum publik itu;
c. Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan
kewenangan jabatannya.
Mengenai ketentuan mengenai perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2)
juga bersifat menghapuskan pidana seseorang. Meskipun perbuatan pelaku tetap
bersifat melawan hukum, tetapi ia tidak dapat dipidana jika memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Jika orang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah
(diberikan dengan wewenang)
b. Pelaksanaan perintah itu ternasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Perbuatan seseorang yang melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah
merupakan alasan pemaaf, karena perbuatannya itu tetap bersifat melawan
hukum, tetapi berhubung dengan keadaan pribadinya, maka ia tidak dapat
dipidana.

4. Alasan Penghapus Pidana dalam RUU KUHP

Menurut Barda Nawawi Arief (Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana 268-
271), penyusunan Konsep KUHP berasal dari konsep BAS (Tim Basaroedin) yang
tersusun pada Tahun 1977 yang masih membedakan penggolongan jenis tindak pidana
yang berupa “kejahatan” dan “pelanggaran” tetapi kemudian dalam konsep KUHP
berikutnya penggolongan kedua jenis tindak pidana itu ditiadakan. Sejalan dengan konsep
KUHP tersebut, didalam konsep KUHP secara tegas memisahkan alasan penghapus
pidana yang berupa alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dalam kelompok alasan
pembenar terdapat dalam paragraf 6 mulai dari Pasal 40 sampai dengan Pasal 43 Konsep
KUHP yaitu :
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan;
(Pasal 40: tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena
melaksanakan peraturan perundang-undangan)
2. Melaksanakan perintah jabatan oleh penguasa berwenang;
(Pasal 41: tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena
malaksanakan perintah jabatan yang diberikan pejabat yang berwenang)
3. Keadaan darurat;
(Pasal 42: tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena keadaan
darurat)
4. Pembelaan terpaksa;
(Pasal 43: tidak dipidana seseorang yang karena terpaksa melakukan tindak pidana
karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang
melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta
benda sendiri atau orang lain)
Selain keempat alasan pembenar itu, menurut Barda Nawawi Arief, konsep
KUHP juga mengakui alasan kelima yaitu “tidak adanya sifat melawan hukum secara
material” yang tersirat dalam Pasal 15 Jo. Pasal 16.
Dalam kelompok alasan pemaaf terdapat pada paragraf 5 mulai Pasal 36 sampai
dengan Pasal 39 konsep KUHP, dimasukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak mengetahui keadaan yang merupakan unsur tindak pidana (secara doktriner
dikenal dengan istilah “error facti”)
2. Pembuat berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan tindak pidana
(secara doktriner dikenal dengan istilah “error iuris”)
Mengenai Poin 1 dan 2 terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) Konsep KUHP yang
menyatakan: “tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat
mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan
bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan,
kesesatan atau keyakinannya itu patut dipersalahkan padanya”.
3. Daya Paksa;
(Pasal 37: tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena
daya paksa)
4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas;
(Pasal 38: tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan seketika atau ancaman)
5. Melaksanakan perintah jabatan tanpa wewenang dengan itikad baik;
(Pasal 39: perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tisak mengakibatkan
hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik
mengira bahwa perintah tersebut diberikan wewenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya)
Selain kelima alasan yang disebutkan secara tegas dalam kategori alasan pemaaf diatas,
terdapat dua alasan pemaaf lainnya yang tersebar diluar paragraf 5 buku 1 Konsep KUHP
yaitu:
1. Dalam paragraf 2 Pasal 32 ayat (1), tidak adanya kesalahan (berdasarkan asas
“tiada pidana tanpa kesalahan”)
2. Dalam buku 1 bagian keempat mengenai pidana dan tindakan bagi anak dalam
Pasal 106 ayat (1) konsep KUHP dinyatakan anak yang belum mencapai umur 12
tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan;
Dari uraian diatas terlihat beberapa hal baru yang selama ini tidak dirumuskan secara
tegas dalam KUHP sebagai alasan penghapus pidana :
1. Keadaan darurat; dalam penjelasan dari Pasal 42 dapat penulis simpulkan bahwa
keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum dalam
keadaan bahaya dan untuk menghindarkan bahaya tersebut terpaksa dilanggar
kepentingan hukum yang lain, dalam keadaan darurat ini unsur psikis bukan
merupakan pertimbangan yang utama (berbeda dalam daya paksa yang
menjadikan unsur psikis/ keadaan jiwa sebagai syarat utama). Dalam keadaan
darurat ini yang menjadi pertimbangan utama adalah pembuat tindak pidana lebih
mengambil sikap lebih mengutamakan kepentingan hukum, dengan kata lain
lebih mengutamakan kewajiban sosial yang diharapkan daripadanya untuk
dilakukan. Pertanggungjawaban perbuatan dari pelaku dapat dinilai secara etis
dan sosial oleh hakim untuk menyetujui atau menolak adanya alasan suatu
keadaan darurat.
2. Tidak adanya sifat melawan hukum secara material yang diatur dalam Pasal 15
jo. Pasal 16. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa walaupun dalam perumusan
delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum namun suatu
perbuatan yang telah dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undang-
undang harus dilihat sebagai faktor atau ukuran objektif untuk menyatakan suatu
perbuatan bersifat melawan hukum. Selanjutnya bahwa ukuran formal atau
objektif itupun masih harus diuji secara material pada diri si pelaku, apakah ada
alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu bertentangan dengan
kesadaran hukum nasyarakat sehingga adanya asas keseimbangan antara patokan
formal (kepastian hukum) dengan patokan material (nilai keadlian). Yang lebih
ditegaskan dalam Pasal 16 agar hakim lebih mengutamakan nilai keadilan
daripada nilai kepastian hukum. Penegasan seperti dirumuskan dalam Pasal 15
dan Pasal 16 ini tidak ditemukan dalam KUHP ynag berlaku sekarang.
3. Kesesatan, baik berupa error facti maupun error iuris.
4. Tidak adanya kesalahan sama sekali.
5. Anak dibawah umur.
BAB III PENUTUP

Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan yaitu : 1) bagaimana


pengaturan alasan penghapus pidana dalam KUHP yang berlaku, dan 2) bagaimanakah
kebijakan formulasi alasan penghapus pidana dalam Rancangan KUHP, maka dapat
disimpulkan :
1. Alasan penghapus pidana dalam KUHP yang berlaku pada saat ini belum
sepenuhnya menunjang pembaharuan hukum pidana di Indonesia karena belum
secara tegas diatur mengenai ruang lingkup pembagian alasan penghapus pidana
dalam alasan pembenar atau alasan pemaaf sehingga timbul beragam penafsiran
alasan penghapus pidana itu sendiri. Oleh karenanya dalam praktek kadangkala sulit
membedakan antara alasan penghapus pidana dan alasan penghapus penuntutan.
2. Kebijakan formulasi alasan penghapus pidana Indonesia di masa datang yang
tertuang dalam konsep KUHP telah mencerminkan suatu konsep pembentukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang sesuai dengan ide dasar dari tujuan
pemidanaan yang integratif yang tidak saja mencakup perlindungan terhadap
masyrakat, tetapi juga terhadap pelaku dan korban itu sendiri. Hal ini tampak dari
adanya pengaturan secara tegasmengenai alasan pemaaf dan alasan pembenar serta
dengan dirumuskannya secara tegas hal baru sebagai alasan penghapus pidana.
Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana, USU Press,


Medan, 2008.

Nugraha, Budi, Kebijakan Formulasi Alasan Penghapus Pidana Dalam Pembaharuan


Hukum Pidana di Indonesia, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang,
2004.

-------------------, Laporan Akhir Tim Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang


tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai