Oleh :
JAMIL HANDY
147005085
(Pararel B)
1. Latar Belakang
Peraturan yang mengatur tentang Pidana yang tersirat dalam KUHP Indonesia
merupakan warisan dari jaman penjajahan Belanda. Dalam perkembangannnya,
pengaturan mengenai hukum pidana sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kemajuan teknologi yang ada dan hidup di masyarakat Indonesia, sehingga perlu
dilakukan upaya untuk memperbaharui hukum pidana tersebut. Pembaharuan hukum
pidana pada pokoknya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan
pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan nilai-nilai umum
sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia (Arief, 1996 :
30-31). Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam
usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan hal ini agar meliputi aspek
sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia merupakan salah satu tema menarik dan
menjadi diskusi bagi para pakar hukum di Indonesia. Draft RUU KUHP merupakan fokus
pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang telah mengalami perubahan serta
perbaikan sesuai dengan kepentingan yang berlaku. Pembaharuan suatu hukum pidana
tidak hanya diidentikan pada perubahan KUHP. Pembaharuan hukum pidana diharapkan
dapat bersifat komprehensif dan menyeluruh, tidak hanya ditinjau dari suatu
pembaharuan KUHP. Seperti yang tercantum pada alinea sebelumnya pembaharuan
hukum pidana meliputi berbagai aspek yang terkandung dalam nilai-nilai bangsa
Indonesia Sedangkan pembaharuan KUHP mengartikan suatu pembaharuan materi
hukum pidana.
Oleh karena itu, apabila melihat kaitan antara tindak pidana, kesalahan, dan
sanksi (pidana) dengan pelaku tindak pidana, maka sudah sepatutnya pada tahap
formulasi pembentuk undang-undang dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk dapat memberikan perlindungan bagi orang yang dituduh melakukan tindak
pidana dan pertanggungjwaban pidana juga dapat merumuskan tentang alasan pembelaan
atau alasan penghapus pidana. Dasar alasan penghapus pidana lazim dibagi dua, yaitu
alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf
(schulduitslutingsgronden) Menurut Moeljatno mengatakan bahwa alasan pembenar dan
alasan pemaaf merupakan istilah yang dikenal dalam teori hukum pidana, sedangkan
dalam KUHP sendiri tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf, dalam
titel ke-3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.
2. Permasalahan
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Alasan Penghapusan Pidana
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa
yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan
Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus
pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang
alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah
pembentukan KUHPidana (WvS Belanda). Menurut sejarahnya yaitu melalui M.v.T.
(Memori van Toelichting) dalam penjelasannya mengenai alasan penghapus pidana ini,
mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”. Hal ini berdasarkan
pada dua alasan, yaitu:
1. alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri
orang tersebut, dan
2. alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar dari
diri orang tersebut.
Dari kedua alasan yang ada dalam MvT tersebut, menimbulkan kesan bahwa
pembuat undang-undang dengan tegas merujuk pada tidak dapat dipidananya
pelaku/pembuat, dan bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan. Hal ini
dipertegas lagi dalam Pasal 58 KUHPidana. Pasal 58 KUHPidana berbunyi:
KUHPidana yang berlaku sekarang ini memang tidak membedakan dengan jelas
antara alasan pembenar maupun alasan pemaaf. KUHPidana hanya merumuskan tentang
orang-orang yang yang tidak boleh dihukum, di dalam Bab III Buku Kesatu di bawah
judul “Pengecualian, Pengurangan dan Pemberatan Hukuman”. Tidak jelasnya
pembedaan antara alasan penghapus pidana sebagai alasan pembenar dengan alasan
penghapus pidana sebagai alasan pemaaf dalam KUHPidana ini tentu akan membawa
pengaruh kepada putusan hakim. Perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf
ini hanya dijumpai dalam doktrin atau pendapat ahli hukum. Perbedaan ini sebenarnya
sangat bermanfaat dan diperlukan atau penting dalam hal terjadinya penyertaan atau
keikutsertaan dalam suatu tindak pidana.
Dalam hal suatu perbuatan “dihalalkan”, maka perbuatan itu sendiri tidak dapat
dipidana. Mereka yang dengan salah satu cara ikut serta melakukan perbuatan itu, dengan
beberapa kekecualian juga dihalalkan, tidak dipidana. Kalau bagi pelaku hanya ada alasan
pemaaf, maka masih ada kemungkinan bahwa orang yang membujuk, ikut serta
melakukan, atau menyuruh lakukan atau membantu melakukan dapat dipidana,
sedangkan pelaku utamanya tidak dipidana berdasarkan alasan pemaaf. Sehubungan
dengan hal itu tampak juga perbedaan dalam bekerjanya preseden. Hakim yang
memutuskan dihapusnya pidana karena adanya alasan pembenar, ingin menyatakan
bahwa dia akan memperlakukan sama semua orang yang dalam keadaan sama juga
berbuat demikian. Sebaliknya, hakim yang memutuskan adanya alasan pemaaf tidak ingin
mengatakan lebih daripada bahwa pembuat individual ini karena keadaan khusus yang
mengenai dirinya (tidak mampu bertanggungjawab, sesat yang dapat dimaafkan),
deliknya tidak cukup dapat dicelakan kepadanya untuk dapat memidana dia (pelaku).
Aliran-aliran ini tidaklah mencari dasar hukum atau dasar pembenaran dari
pidana/hukuman sebagaimana yang terdapat dalam teori-teori pemidanaan, akan tetapi
berusaha untuk mencari dan memperoleh suatu sistem hukum yang praktis dan
bermanfaat untuk diterapkan seiring dengan perkembangan masyarakat.Aliran klasik
lahir sebagai reaksi terhadap kekejaman sistem peradilan dan sistem pemidanaan pada
pemerintahan kuno (ancient regime) yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penyiksaan merupakan alat untuk mendapat pengakuan dari terdakwa. Otoritas kekuasaan
memegang kekuasaan penuh untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan, tanpa
legitimasi perundang-undangan. Pada akhirnya hal ini menimbulkan kesewenang-
wenangan.
Pemikiran Beccaria masih tetap aktual hingga sekarang ini, meskipun beberapa
pemikirannya itu ada yang tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, seperti larangan
interpretasi oleh hakim. Sementara dalam sistem hukum modern, interpretasi pengadilan
(hakim) merupakan bagian penting dari suatu aktivitas dalam proses pengambilan
keputusan dalam kasus yang konkrit. Namun perlu diingat bahwa pemikiran Beccaria ini
dilatarbelakangi oleh karena pada waktu itu Beccaria menentang kelaliman dari sistem
pemerintahan kuno yang bercirikan tindakan sewenang-wenang dari orang yang
berkuasa. Pemikiran Beccaria satu sisi telah membentangkan akhir dari zaman
pemerintahan kuno, sisi lainnya sekaligus telah menyusun rencana untuk zaman yang
akan datang, termasuk salah satu pendiriannya yang modern adalah lebih baik kejahatan
dicegah daripada dipidana.
Dengan melihat ciri-ciri dari aliran neo-klasik ini maka dapat disimpulkan,
meskipun aliran ini tidak mengakui ketidak-bebasan seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan, akan tetapi aliran ini mengakui bahwa ada beberapa keadaan yang sebenarnya
mempengaruhi kebebasan seseorang itu dalam melakukan perbuatannya. Keadaan-
keadaan tersebut harus pula diperhatikan dalam menentukan tingkat pertanggungjawaban
seseorang (misalnya dengan bantuan dari saksi ahli). Jika diperhatikan apa yang diatur
dalam KUHPidana yang berlaku sekarang ini, khususnya pengaturan tentang alasan yang
dapat menghapuskan pidana, nampak disini adanya pengaruh dari aliran neo-klasik.
Pengaruh seperti ini terutama terlihat dalam hal mempertimbangkan keadaan diri pribadi
pelaku dan mengenai kondisi-kondisi lain yang menyebabkan seseorang itu melakukan
suatu perbuatan yang melawan hukum (perbuatan yang dapat dipidana). Hal ini dapat
dilihat dengan adanya pengaturan tentang penghapusan, pengurangan dan pemberatan
hukuman sebagaimana yang dirumuskan dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana.
Berkaitan dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf ini, maka meskipun
perbuatan seseorang itu telah memenuhi isi rumusan undang-undang mengenai suatu
perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana), akan tetapi yang bersangkutan tidak dihukum
(dipidana). Alasan pembenar dan alasan pemaaf ini adalah merupakan pembelaan dari pelaku
terhadap tuntutan dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Sehingga dapat berfungsi
sebagai pelindung bagi terdakwa dari ancaman hukuman. Akan tetapi dalam hal ini tidak
dapat diberikan batasan (definisi) dengan jelas tentang perbuatan mana yang dapat
digolongkan kedalam perbuatan yang dapat dibenarkan, dan perbuatan mana yang dapat
dimaafkan. Di dalam prakteknya kedua hal inipun jarang dipermasalahkan.
Dengan demikian nampak disini bahwa lahirnya alasan penghapus pidana ini
disebabkan beberapa faktor yang merupakan tujuan dari adanya alasan penghapus pidana
itu sendiri, yaitu:
a. faktor yang mempertimbangkan beberapa pengaruh yang menyebab-kan orang
melakukan kejahatan/tindak pidana, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran
neo-klasik. Dalam kriminologi pun, juga dijelaskan bahwa banyak faktor yang
menyebabkan orang melakukan kejahatan, baik itu dari faktor individu orang
yang melakukan kejahatan seperti faktor fisik dan mental, maupun dari faktor
yang berada di luar individu yang bersangkutan seperti faktor lingkungan,
ekonomi, politik dan lain sebagainya.
b. faktor dari pembuat undang-undang itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh
kesadaran dari pembuat undang-undang akan ketidakmampuan dalam membuat
peraturan perundang-undangan pidana untuk memperhatikan setiap hal yang
konkrit yang akan terjadi pada suatu waktu, pada ketika terjadinya suatu tindak
pidana, mungkin ada hal-hal yang memberatkan, meringankan atau
menghapuskan hukuman.
c. faktor untuk mencapai tujuan dari peraturan perundang-undangan. Pembuat
undang-undang membuat suatu peraturan perundang-undangan ini bertujuan
untuk mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Oleh karena banyak
hal, baik yang bersifat objektif maupun subjektif yang mendorong dan
mempengaruhi seseorang pada suatu waktu untuk melakukan tindak pidana
tersebut.
Dalam KUHP alasan penghapus pidana dapat dibagi kedalam beberapa jenis
antara lain :
1. Kemampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
Menurut Pasal ini orang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dalam
dua hal : (1) Jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau (2) terganggu karena
penyakit. Yang dimaksudkan terganggu karena penyakit adalah gangguan sejak
lahir atau timbul semasa remaja dan gangguan yang datang kemudian pada
seseorang yang normal. Penyakit ini bisa berupa gangguan psikis atau gangguan
kesadaran karena sebab fisik.
Menurut Pompe pertanggungjawaban pidana seseorang mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Kemampuan berfikir pembuat yang memungkinkan ia menguasai pikirannya
yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya;
b. dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dan akibat perbuatannya;
c. dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.
2. Daya Paksa (Pasal 48 KUHP)
Alasan penghapus pidana karena adanya daya paksa (overmacht) dirumuskan
dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan barangsiapa yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Undang-Undang tidak memberikan
keterangan lebih jauh tentang daya paksa, menurut Adami Chazawi dalam M.v.T.
sedikit keterangan mengenai daya paksa yang mengatakan sebagai setiap
kekuatan, setiap dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan. Dari
keterangan tentang daya paksa dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi
karena tekanan psikis dan tekanan fisik sehingga dapat dirumuskan sebagai
“suatu kedaan memaksa baik sifatnya fisik maupun psikis yang sedemikian
kuatnya menekan seseorang yang tidak dapat dihindarinya sehingga orang
tersebut terpaksa melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang
oleh Undang-Undang.
3. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang
main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti yang tercantum dalam
Pasal 49, maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum. Disini orang
seolah-oleh mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari
seorang warga negara menerima saja suatu perlakuan yang mealawan hukum
yang ditujukan kepada dirinya. Padahal negara dengan alat perlengkapannya
tidak dapat pada tepat waktu melindungi kepentingan hukum dari orang yang
diserang itu, oleh karenanya pembelaan terpaksa merupakan alasan pembenar
karena pembelaan diri yang dilakukan bersifat menghilangkan sifat melawan
hukum.
Dalam pembelaan terpaksa ada dua hal yang pokok, yaitu :
a. Adanya serangan yang memenuhi syarat-syarat: seketika, yang langsung
mengancam, melawan hukum dan sengaja ditujukan pada badan,
perikesopanan dan harta benda;
b. Adanya pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu, yang
memenuhi syarat-syarat: pembelaan itu harus dan perlu diadakan, pembelaan
harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut dalam undang-
undang yakni serangan pada badan, perikesopanan dan harta benda
kepunyaan sendiri atau orang lain.
4. Menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
Untuk dapat diberlakukannya ketentuan dalam Pasal 50 KUHP ini maka
kewajiban/tugas yang diperintahkan undang-undang harus diberlakukan secara
patut, wajar dan masuk akal sehingga ada keseimbangan antara tujuan yang
hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya. Pasal 50 KUHP merupakan alasan
pembenar.
5. Menjalankan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP)
Mengenai menjalankan perintah jabatan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :
perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP, dan perintah
jabatan tidak sah yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Ketentuan dalam
Pasal 51 ayat (1) sama dengan alasan penghapus pidana karena menjalankan
ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) diatas, dalam arti bahwa pada kedua
alasan penghapus pidana ini sama-sama menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan dan pada keduanya merupakan perbuatan yang boleh dilakukan
sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan perintah undang-undang
maupun perintah jabatan. Suatu perintah jabatan dikatakan sah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberikan
perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub ordinasi.
Hubungan ini harus bersifat hukum publik. Hubungan yang bersifat hukum
keperdataan tidak termasuk ketentuan dalam Pasal 51 KUHP;
b. Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan
jabatannya yang bersifat hukum publik itu;
c. Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan
kewenangan jabatannya.
Mengenai ketentuan mengenai perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2)
juga bersifat menghapuskan pidana seseorang. Meskipun perbuatan pelaku tetap
bersifat melawan hukum, tetapi ia tidak dapat dipidana jika memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Jika orang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah
(diberikan dengan wewenang)
b. Pelaksanaan perintah itu ternasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Perbuatan seseorang yang melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah
merupakan alasan pemaaf, karena perbuatannya itu tetap bersifat melawan
hukum, tetapi berhubung dengan keadaan pribadinya, maka ia tidak dapat
dipidana.
Menurut Barda Nawawi Arief (Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana 268-
271), penyusunan Konsep KUHP berasal dari konsep BAS (Tim Basaroedin) yang
tersusun pada Tahun 1977 yang masih membedakan penggolongan jenis tindak pidana
yang berupa “kejahatan” dan “pelanggaran” tetapi kemudian dalam konsep KUHP
berikutnya penggolongan kedua jenis tindak pidana itu ditiadakan. Sejalan dengan konsep
KUHP tersebut, didalam konsep KUHP secara tegas memisahkan alasan penghapus
pidana yang berupa alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dalam kelompok alasan
pembenar terdapat dalam paragraf 6 mulai dari Pasal 40 sampai dengan Pasal 43 Konsep
KUHP yaitu :
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan;
(Pasal 40: tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena
melaksanakan peraturan perundang-undangan)
2. Melaksanakan perintah jabatan oleh penguasa berwenang;
(Pasal 41: tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena
malaksanakan perintah jabatan yang diberikan pejabat yang berwenang)
3. Keadaan darurat;
(Pasal 42: tidak dipidana, seseorang yang melakukan tindak pidana karena keadaan
darurat)
4. Pembelaan terpaksa;
(Pasal 43: tidak dipidana seseorang yang karena terpaksa melakukan tindak pidana
karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang
melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta
benda sendiri atau orang lain)
Selain keempat alasan pembenar itu, menurut Barda Nawawi Arief, konsep
KUHP juga mengakui alasan kelima yaitu “tidak adanya sifat melawan hukum secara
material” yang tersirat dalam Pasal 15 Jo. Pasal 16.
Dalam kelompok alasan pemaaf terdapat pada paragraf 5 mulai Pasal 36 sampai
dengan Pasal 39 konsep KUHP, dimasukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak mengetahui keadaan yang merupakan unsur tindak pidana (secara doktriner
dikenal dengan istilah “error facti”)
2. Pembuat berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan tindak pidana
(secara doktriner dikenal dengan istilah “error iuris”)
Mengenai Poin 1 dan 2 terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) Konsep KUHP yang
menyatakan: “tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat
mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan
bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan,
kesesatan atau keyakinannya itu patut dipersalahkan padanya”.
3. Daya Paksa;
(Pasal 37: tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena
daya paksa)
4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas;
(Pasal 38: tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan seketika atau ancaman)
5. Melaksanakan perintah jabatan tanpa wewenang dengan itikad baik;
(Pasal 39: perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tisak mengakibatkan
hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik
mengira bahwa perintah tersebut diberikan wewenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya)
Selain kelima alasan yang disebutkan secara tegas dalam kategori alasan pemaaf diatas,
terdapat dua alasan pemaaf lainnya yang tersebar diluar paragraf 5 buku 1 Konsep KUHP
yaitu:
1. Dalam paragraf 2 Pasal 32 ayat (1), tidak adanya kesalahan (berdasarkan asas
“tiada pidana tanpa kesalahan”)
2. Dalam buku 1 bagian keempat mengenai pidana dan tindakan bagi anak dalam
Pasal 106 ayat (1) konsep KUHP dinyatakan anak yang belum mencapai umur 12
tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan;
Dari uraian diatas terlihat beberapa hal baru yang selama ini tidak dirumuskan secara
tegas dalam KUHP sebagai alasan penghapus pidana :
1. Keadaan darurat; dalam penjelasan dari Pasal 42 dapat penulis simpulkan bahwa
keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum dalam
keadaan bahaya dan untuk menghindarkan bahaya tersebut terpaksa dilanggar
kepentingan hukum yang lain, dalam keadaan darurat ini unsur psikis bukan
merupakan pertimbangan yang utama (berbeda dalam daya paksa yang
menjadikan unsur psikis/ keadaan jiwa sebagai syarat utama). Dalam keadaan
darurat ini yang menjadi pertimbangan utama adalah pembuat tindak pidana lebih
mengambil sikap lebih mengutamakan kepentingan hukum, dengan kata lain
lebih mengutamakan kewajiban sosial yang diharapkan daripadanya untuk
dilakukan. Pertanggungjawaban perbuatan dari pelaku dapat dinilai secara etis
dan sosial oleh hakim untuk menyetujui atau menolak adanya alasan suatu
keadaan darurat.
2. Tidak adanya sifat melawan hukum secara material yang diatur dalam Pasal 15
jo. Pasal 16. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa walaupun dalam perumusan
delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum namun suatu
perbuatan yang telah dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undang-
undang harus dilihat sebagai faktor atau ukuran objektif untuk menyatakan suatu
perbuatan bersifat melawan hukum. Selanjutnya bahwa ukuran formal atau
objektif itupun masih harus diuji secara material pada diri si pelaku, apakah ada
alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu bertentangan dengan
kesadaran hukum nasyarakat sehingga adanya asas keseimbangan antara patokan
formal (kepastian hukum) dengan patokan material (nilai keadlian). Yang lebih
ditegaskan dalam Pasal 16 agar hakim lebih mengutamakan nilai keadilan
daripada nilai kepastian hukum. Penegasan seperti dirumuskan dalam Pasal 15
dan Pasal 16 ini tidak ditemukan dalam KUHP ynag berlaku sekarang.
3. Kesesatan, baik berupa error facti maupun error iuris.
4. Tidak adanya kesalahan sama sekali.
5. Anak dibawah umur.
BAB III PENUTUP
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.