Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENEGAKAN HUKUM PIDANA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

- AISYAH PUTRI A 2012011169


- YOLANDA SEPTIANI 2012011016
- M.Fadel Izha Leondra 2052011037
- MUHAMMAD SADEWA FERDIYANSAH TAMIN
2052011109

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023

1
DAFTAR ISI

A. Selayang Pandang tentang Penegakan Hukum...........................................................3


B. WILAYAH PENEGAKAN HUKUM........................................................................4
C. Pengertian Penegakan hukum pidana.........................................................................7
D. Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana................................................................8
E. Tindak Pidana Perikanan..........................................................................................10

2
A. Selayang Pandang tentang Penegakan

Page | 3Perjalanan bangsa indonesi dalam mengisi kemerdekaan mengalami


pasang surut dan berbagai hambatan. Pancasila dan UUD 1945 beberapa kali
mengalami ujian bahkan akhir-akhir ini dengan lahirnya orde
reformasi,pancasila,dan UUD 1945 kembali mendapat ujian. UUD 1945 setelah
mengalami 4 kali amandemen, melalui pasal 1 ayat (3) telah menentukan bahwa “
Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ini berarti sudah saatnya kita
memikirkan bersama bagaimana menciptakan negara hukum yang demokratis
dimana rakyat yang seharusnya menentukan kearah mana masyarakat bangsa dan
negara ini dibangun1.

Pada era reformasi ini, peranan hukum dikedepankan, artinya apabila pada orde
lama masalah politik yang dikedepankan, sedangkan pada masa orde baru masalah
ekonomi yang dikedepankan, maka pada era reformasi ini semestinya masalah
yang dikedepankan adalah bidang hukum. Dibidang politik menciptakan atau
mengubah peraturan-peraturan di bidang politik yang memungkinkan semua
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat tertampung.

Masyarakat menganggap sistemnya sendiri sudah baik, namun pelaksanaannya


tidak sesuai yang diharapkan. Peraturannya sebenarnya sudah ada, namun tidak
ditegakkan. Untuk membenahi sistem hukum Indonesia, diperlukan perubahan
sikap dari semua orang yang terlibat dalam hukum. Penegaknya harus lebih tegas.
Masyarakatnya juga harus merubah pandangan mereka terhadap hukum. Hukum
itu sebenarnya bermanfaat. Demi berlangsungnya keteraturan di Negeri ini, maka
hukum harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan menumbuhkan
kesadaran dimulai dari diri sendiri. Kalau semua lapisan masyarakat sudah sadar
maka pasti akan tercipta Sistem hukum yang baik di Indonesia.2

Istilah penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah enforcement dalam
Black law dictionary diartikan the act of putting something such as a law into
effect, the execution of a law. Sedangkan penegak hukum (law enforcement
officer) artinya adalah those whose duty it is to preserve the peace. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, penegak adalah yang mendirikan, menegakkan. Penegak
hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempithanya berarti polisi dan
jaksa yang kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan
lembaga pemasyarakatan.33

1
Eman Rajaguguk dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.cit. hlm 8
2
https://www.unja.ac.id/tanggapan-terhadap-sistem-hukum-di-indonesia/
3
Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar..., Op Cit, h. 912.

3
Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh- sungguh terjadi
(onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi
(onrecht in potentie.4 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara
konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.5

B. WILAYAH PENEGAKAN HUKUM

Menurut Richard quiney penegakan hukum pidana secara full and for command
adalah tindak tidak mungkin dilaksanakan sebab ada pembatasan pembatasan
serta keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan penegakan hukum secara
maksimal tidak terlaksana.6 Dalam mengoperationalisasikan hukum pidana ada
berapa asas utama yang harus dihayati karena individu harus benar-benar merasa
terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka
tanpa landasan hukum tertulis yang terlebih dahulu hukum acara pidana mengenal
apa yang dinamakan asas kegunaan atau asas kelayakan yang berpangkal tolak
pada kepentingan masyarakat dapat diartikan sebagai kepentingan tertib hukum
dengan asas ini peraturan suatu perkara mendapat legitimasinya asas kelayakan ini
bersifat negatif apabila penekanan diletakkan pada bentuk peringanan atau
penyimpanan terhadap asas legalitas yang dapat bersifat positif apabila tekanan
diarahkan pada kewajiban untuk menuntut kecuali berdasarkan beberapa
pengecualian proses selanjutnya adalah asas prioritas yang didasarkan pada
semakin beratnya beban sistem peredaran pidana di sini berkaitan dengan sebagai
kategori tindak pidana dan bisa juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis
pidana dan tindak pidana yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana.

Peran perundang-undangan sangat strategis dalam bekerjanya sistem peradilan


pidana. Perundang-undangan pidana memberikan dasar hukum dan memberikan
kekuasaan pada pengambil kebijakan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam
menyiapkan kebijakan dan memberikan kerangka hokum untuk memformulasikan
kebijakan dan menetapkan program kebijakan yang telah di tetapkan.Hukum
dalam hakikatnya berfungsi dalam tiga benPeran perundang-undangan sangat

4
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1986), h. 32
5
. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada (Jakarta, 2005), h. 5.
6
Nyoman Serikat PJ.Ibid

4
strategis dalam bekerjanya sistem peredaran pidana perundang-undangan pidana
memberikan dasar hukum dan memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan
lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan tersebut secara
operasional perundang-undangan pidana sebagian dari substansi hukum
mempunyai kedudukan strategis terhadap sistem peradilan pidana sebab
perundang-undangan pidana memberikan definisi tentang perbuatan-perbuatan
apa yang dirumuskan sebagai tindak pidana mengendalikan usaha-usaha
pemerintah untuk memberantas kejahatan dan membidana si pelaku memberikan
batasan tentang pidana yang dapat diterapkan untuk setiap kejahatantuk yaitu:

1. Politik tentang pembentukan hukum


2. Politik tentang penegakan hokum
3. Politik tentang pelaksanaan kewenangan dan kopetensi

Politik mengandung penentuan pilihan atau pengambilan sikap terhadap tujuan


tujuan yang di anggap paling baik termasuk di dalamnya usaha-usaha untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Perundang-Undangan pidana sebagai bagian dari
subtansi hukum mempunyai kedudukan strategis terhadap system peradilan
pidana. Menurut Geoffrey c hazard jr dapat di pandang tiga presfektif yaitu :

1. Sistem normatif iayah penerapan keseluruhan aturan hukum yang


menggambarkan nilai nilai social yang didukung oleh sanksi pidana.
2. System administrative ialah system peradilan pidana mencangkup intraksi
antar berbagai aparat penegak hukumyang mendukung system perdilan
pidana dan merupakan subsistem-subsistem dari system peradilan pidana
3. System social yang mempunyai makna bahwa system peradilan pidana
dalam mendefinisikan dan mereaksi tindak pidana memperhitungkan
berbagai presfektif pemikiran yang ada dalam masysrakat

Perundang-undangan pidana menciptakan legislate envorment yang mengatur


segala prosedur dan tata cara yang harus dipatuhi di dalam berbagai prangkat
sistem peradilan pidana. Pelaku kejahatan merupakan produk manusia yang
mengalami degenerasi biologis atau phisikitis. Perkembangan selanjutnya,
para ahli mulai mengkaji social invirorment sebagai factor krimiogen ( factor
penyebab kejahatan ). Pada mulanya di tujukan pada individu sebagai bahan
kajian, kemudian secara bertahap analisis beralih pada kondisi-kondisi social
yang pada akhirnya sebab-sebab orang melakukan kejahatan selalu di kaitkan
dengan struktur sosial dalam suatu masyarakat. Dalam dalam
mengoperasionalisasikan hukum pidana ada beberapa asas utama yang harus
dihayati karena individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme
sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum
tertulis yang ada terlebih dahulu di sini yang memegang peranan penting

5
adalah asas legalitas. hukum secara pidana mengenal apa yang dinamakan asas
kegunaan atau asas kelayakan yang berpangkal tolak pada kepentingan
masyarakat dapat diartikan sebagai kepentingan tertib hukum dengan asas ini
penuntutan suatu perkara mendapat legitimasinya asas kelayakan ini bersifat
negatif apabila penekanan diletakkan pada bentuk peringanan atau
penyimpanan terhadap hasil legalitas dan dapat bersifat positif apabila tekanan
diarahkan pada kewajiban untuk menuntut kecuali berdasarkan beberapa
pengecualian. Asas selanjutnya adalah asas prioritas yang didasarkan pada
semakin beratnya beban sistem peradilan pidana di sini berkaitan dengan
berbagai kategori tindak pidana yang bisa juga berkaitan dengan pemilihan
jenis-jenis pidana dan tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak
pidana. Di sini peranan perundang-undangan sangat sangat strategis dalam
bekerjanya sistem peredaran pidana perundang-undangan pidana memberikan
dasar hukum dan memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan lembaga
legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan
kerangka hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menetapkan program
kebijakan yang telah ditetapkan keseluruhan itu merupakan bagian dari
kebijakan hukum atau politik hukum pidana pada hakikatnya berfungsi dalam
tiga bentuk ialah :

1. Politik tentang pembentukan hukum

2. Politik tentang penegakan hukum

3. Politik tentang pelaksanaan kewenangan dan kompetensi7

C.Pengertian Penegakan hukum pidana

Penegakan hukum pidana adalah :

Keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan


hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta
pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan
merata dengan aturan hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan yang
merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

1. Keseluruhan kegiatan dari para aparat/pelaksana penegak hukum ke


arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia, ketertiban, ketenteraman dan kepastian hukum sesuai
7
Nyoman Serikat PJ.Ibid

6
dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.8

Di bidang hukum pidana penegakan hukum pidana terdiri dari dua tahap inti.

1. Tahap pertama, penegakan hukum pidana in abstracto merupakan tahap


pembuatan/perumusan undang-undang oleh badan legislatif. Tahap ini
dapat disebut tahap formulasi/legislasi/legislatif. Penegakan hukum pidana
in abstracto adalah pembuatan undang-undang (law making) atau
perubahan undang-undang
2. Tahap kedua, penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement).
Kedua penegakan hukum pidana dalam kerangka menunjang tercapainya
tujuan, visi dan misi pembangunan nasional 9serta menunjang
terwujudnya sistem penegakan hukum pidana secara nasional.

Penegakan hukum pidana in abstracto (proses pembuatan produk perundang- undangan)


melalui proses legislasi/formulasi/pembuatan peraturan perundang- undangan, pada
hakikatnya merupakan proses penegakan hukum pidana in abstracto.

Proses legislasi/formulasi ini merupakan tahap awal yang sangat strategis dari proses
penegakan hukum in concreto. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan pada tahap
kebijakan legislasi/formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menghambat
upaya penegakan hukum in concreto. Penegakan hukum pidana yang dilakukan pada
tahap kebijakan aplikasi dan kebijakan eksekusi.

C. Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana

Diskresi dalam hukum pidana dianggap sebagai sebuah power seduction dari
penguasa dalam menjalankan kekuasaaannya, yakni suatu jenis kekuasaan
dimana pejabat atau penyelenggara negara dapat menggunakan kewenangannya

8
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 25.
9
Dalam GBHN 1999 antara lain dikemukakan, Visi Bangnas Arief, Penegakan hukum pidana
dalam Konteks Sistem Hukum Nasional (Siskumnas) dan Pembangunan Nasional (Bangnas),
makalah disajikan dalam Sespim Polri, di Lembang, 26 Agustus 2008, hlm. 1.

7
berdasarkan kreatifitasnya dengan maksud menyelesaikan sebuah kasus
konkrit yang aturannya tidak jelas atau tidak ada. Undang-undang
memberikan kekuasaan tersebut dengan maksud agar jabatan tersebut dapat
dijalankansesuai dengan seharusnya. Keadaantersebutlahyang dianggap menjadi
celahpenyelewengan wewenang jabatan, karena dengan mudahnya, ketika
melaksanakan kebijakan tersebut, dapat diselipkan niat untuk menarik
keuntungan pribadi atau kelompok.10 Pada prinsipnya, kewenangan diskresi
dimiliki oleh semua unsur yang terlibat dalam penegakan hukum, seperti
kepolisian, kejaksanaan, kehakiman, dan lembaga penegak hukum lain.

Di Indonesia sudah banyak contoh kasus tindak pidana korupsi yang sangat
erat kaitannya dengan diskresi. UU Tipikor mengklasifikasi perbuatan tindak
pidana korupsi menjadi tujuh jenis, yakni merugikan keuangan negara, suap,
gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan perbuatan curang, dan
konflik kepentingan.11 Klaisifkasi tersebut tentu saja erat kaitannya dengan
penyelenggara negara.Kegagalanpelaksanaan kebijakan yangmengarah kepada
pelanggaran pidana, padahalpelaku bahkan tidak menikmati hasil kebijakan
yang dianggapsebagai sebuahkejahatan tersebut. Misalnya kasus Mantan Ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam kasus program tahun investasi
Indonesia2002-2003, yang pada saat itu mengadakan program tersebut
karena Indonesia mengalami krisis ekonomi akibat bom bali. 12 Bahkan
sebelum keluarnya putusan MK No. 25/PUU/XIV/2016,sering kita temukan
kasus-kasus korupsi yang terjadi karena pengambilan kebijakan oleh
penyelenggara negara, contoh kasus kebijakan penyelamatan bank century
atau bailout bank century yang dianggap merugikan negara sebesar Rp689,39
Miliar.

Masih menjadi perdebatan ini merupakan penyalahgunaan wewenang


ataukah kegagalan pemberlakuan diskresi untuk menghindari krisis perbankan.
Akan tetapi, kegagalan tersebut dari sudut pandang hukum pidana dianggap
sebagai suatu tindak pidana korupsi. Hal tersebut terjadi karena sebelumnya
dalam Undang-undang tipikor itu sendiri, terdapat frasa “dapat” merugikan
keuangan negara,sehingga meskipun baru terdapat
10
Nitibaskara, Tb. R,“Perangkap Penyimpangan Dan Kejahatan, Teori Baru Dalam Kriminologi”,
(Jakarta: YPKIK,2009)Hal. 46
11
Orin Gusta Andini, Nilasari. Menakar Relevansi Pedoman Pemidanaanterhadap Koruptor
terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Tanjung pura Law journal. Volume 5
Nomor 2 tahun 2021. http://dx.doi.org/10.26418/tlj.v5i2.46109

12
Benny Irawan, Diskresi Sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi Dan Hukum
Terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011), hal.
144

8
indikasi kerugian negara (artinya belum tentu terdapat kerugian), maka sudah
menjadi suatu tindak pidana korupsi. Meskipun kemudian pada tahun 2016 oleh
Mahkamah Konstitusi dinyatakan, frasa “dapat”dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Dalam amar putusannya dijelaskan bahwa
pencantuman kata“dapat”membuat delik dalam kedua pasal itu menjadi delik
formil, sehingga seringkali dalam praktiknya disalah gunakan untuk
menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan
negara, termasuk terhadap pengambilan keputusan diskresi ataupun
kebijakan yang bersifat mendesak, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi
terhadap kebijakan tersebut dengan dalil penyalahgunaan wewenang.13

Penyebab kriminalisasi terhadap diskresi, yaitu adanya ketidak pahaman


mengenai unsur delik melawan hukum sebagai genuus delict dan
menyalahgunakan kewenangan sebagai species delict. Kemudian kurang
cermatnya perhitungan penegak hukum mengenai unsur niat. Dimana
seharusnya dalam proses pembuktian, niat seseorang dapat tercermin
darikesalahan,apakah ada unsur kesengajaan merugikan keuangan negara atau
tidak. Hal ini dapat membantu megurangi ketidak jelasan mengenai apakah
pejabat tersebut melakukan diskresi dengan niat baik atau kah ada indikasi
penyalahgunaan wewenang.

D. Tindak Pidana Perikanan

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis

atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis

normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam

peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah

perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat

secara konkrit. Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam

pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada

13
Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 25/PUU-XIV/2016

9
umumnya dilarang dengan ancaman pidana.14 Perikanan adalah kegiatan

yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

ikan.15 Banyak masyarakat menyalahgunakan kegiatan perikanan menjadi

suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan ekosistem

laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang

yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kini tindak pidana

perikanan menjadi sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana

mengenai perikanan. Contoh tindak pidana perikanan adalah penangkapan

ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal

serta masih bnyak lagi kasus yang lainnya. Di Indonesia, menurut Undang-

Undang RI Nomor 9 Tahun 1985 dan Undang-Undang RI Nomor 31

Tahun 2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari

praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang

dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.16

Bisnis perikanan tersebut sering terjadi suatu tindak pidana perikanan,

tindak pidana perikanan mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah dicantumkan

beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang

14
Tri Andrisman, Op.Cit, hlm 70

15
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm. 22

16
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Sinar Grafika Offset, 2011, hlm.68

10
perikanan. Ada 2 (dua) kategori mengenai tindak pidana perikanan yaitu

kategori pelanggaran dan kategori kejahatan.17 Hakim yang akan mengadili

pelanggaran dibidang perikanan juga khusus, yaitu hakim ad hoc yang

terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier. Pemeriksaan

pengadilan dapat dilakukan secara in absentia. Begitu pula penahanan

diatur secara khusus. Ada 17 buah pasal yang mengatur rumusan delik

perikanan dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 100. Pasal 84 Ayat (1)

mengenai penangkapan dan budi daya ikan tanpa izin dengan ancaman

pidana penjara maksimum 6 tahun dan denda maksimum 1,2 miliar rupiah.

Ayat (2) pasal itu menentukan subjek nakhoda atau pemimpin perikanan

Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan

bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan

dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau


lingkungannya,dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu maksimum
10 tahun penjara dan denda 1,2 miliar rupiah.

Di dalam Pasal 84 Ayat (1) itu menyebut subjek pemilik kapal perikanan,

pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan,

dan/atau operator kapal perikanan melakukan hal yang sama pada Ayat (2)

dengan ancaman pidana penjara 10 tahun sama dengan Ayat (2) tetapi

dengan denda yang lebih tinggi, yaitu dua miliar rupiah. Ayat (4) pasal itu

menyebut subjek pemilik perusahaan pembudidayaan ikan , kuasa pemilik

perusahaan pembudidayaan ikan, dan /atau penanggungjawab perusahaan


17
http://id.m.wikipedia.org/wiki/perikanan (diakses tanggal 11Maret2014, pukul 12.00 WIB)

11
pembudidayaan ikan, dan/atau penanggug jawab perusahaan

pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan pembudidayaan ikan

di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan

menggunakan bahan kimia dan seterusnya sama dengan Ayat (3) dengan

ancaman pidana sama, yaitu 10 tahun dan denda juga sama Ayat (3).

Pasal 85 mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah

pengelolaan ikan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa,

dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu

penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai

dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai

dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu

dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang. Ancaman pidananya

maksimum dua miliar rupiah.

Pasal 86 Ayat (1) mengenai pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya

ikan dan/atau lingkungannya dengan ancaman pidana maksimum 10 tahun

penjara dan denda maksimum dua miliar rupiah. Pasal 86 Ayat (2)

mengenai pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya

ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia,

dengan ancaman pidana maksimum enam tahun penjara dan denda

maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86 Ayat (3) mengenai

pembudidayaan hasil ikan rekayasa gentika yang dapat membahayakan

sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau

kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam tahun

12
penjara dan denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86

Ayat (4) mengenai penggunaan obatan-obatan dalam pembudidayaan ikan

yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber

daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dengan ancaman pidana yang sama

dengan Ayat (3).

Pasal 87 Ayat (1) mengenai perbuatan merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan
sumber daya ikan dengan ancaman pidana maksimum dua tahun penjara denda
maksimum satu miliar rupiah. Pasal 88 mengenai setiap orang yang dengan sengaja
memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang
merugikan masyarakat, pembudidayaan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber
daya ikan ke dalam dan/atau keluar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).

Pasal 89 mengenai setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan

ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan

pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah).

Pasal 90 mengenai setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau

pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik

Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia

sebgaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana paing lama 1

(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta

rupiah).

13
Pasal 91 mengenai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,

bahan tambahan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan

manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan

ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1), dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp

1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 92 mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang

penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemerasan ikan,

yang tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (1) (satu), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 93 Ayat (1) mengenai setiap orang yng memiliki dan /atau mengoperasikan

kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di

wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, dan

tidak memiliki SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal

93 Ayat (2) mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan

kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara

14
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00

Pasal 94 mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoprasikan kapal

pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang

melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memliliki

SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal

28 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 96 mengenai setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan diwilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan tidak mendaftarkan kapal

perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)

tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 97 Ayat (1) mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan

ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan yang selama

berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak

menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38 Ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 97 Ayat (2) mengenai nahkoda

yang mengoperasikan kapal penngkap ikan berbendera asing yang telah memiliki

izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada

bagian tertentu di ZEE yang membawa alat penangkapan ikan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 97 Ayat (3)

15
mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan yang

berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak

menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah

penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikana Republik

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (3), dipidana dengan

pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 98 mengenai nahkoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar

kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 42 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 99

mengenai setiap orang yang melakukan penenlitian perikanan di wilayah

pengelolaanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling

lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).Pasal 100 mengenai setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling

banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 101 mengenai

dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat (1), Pasal 85,

Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,

Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96 dilakukan oleh koorporasi, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

16
Daftar Pustaka

man Rajaguguk dalam Nyoman Serikat Putra


Jaya, Op.cit. hlm 8

17
https://www.unja.ac.id/tanggapan-terhadap-
sistem-hukum-di-indonesia/
Departemen Pendidkan dan Kebudayaan,
Kamus Besar..., Op Cit, h. 912.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni
(Bandung, 1986), h. 32
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada (Jakarta, 2005), h. 5.
Nyoman Serikat PJ.Ibid
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan
Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 25.
Dalam GBHN 1999 antara lain dikemukakan,
Visi Bangnas Arief, Penegakan hukum pidana
dalam Konteks Sistem Hukum Nasional
(Siskumnas) dan Pembangunan Nasional
(Bangnas), makalah disajikan dalam Sespim
Polri, di Lembang, 26 Agustus 2008, hlm. 1.

18
Nitibaskara, Tb. R,“Perangkap Penyimpangan
Dan Kejahatan, Teori Baru Dalam Kriminologi”,
(Jakarta: YPKIK,2009)Hal. 46
Orin Gusta Andini, Nilasari. Menakar Relevansi
Pedoman Pemidanaanterhadap Koruptor
terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi di
Indonesia. Tanjung pura Law journal. Volume 5
Nomor 2 tahun 2021.
http://dx.doi.org/10.26418/tlj.v5i2.46109
Benny Irawan, Diskresi Sebagai Tindak Pidana
Korupsi: Kajian Kriminologi Dan Hukum
Terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Serang:
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2011), hal.
144
Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 25/PUU-
XIV/2016
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan
Indonesia, Sinar Grafika Offset, 2011, hlm.68
http://id.m.wikipedia.org/wiki/perikanan
(diakses tanggal 11Maret2014, pukul 12.00 WIB)

19
20

Anda mungkin juga menyukai