BP : 1710003600288
UAS : PENOLOGY
LOKAL : KH
DOSEN : JULAIDIN SH.MH
1. Jelaskan.
Sumber: http://pustaka.unpad.ac.id
c. Jelaskan kinerja Jaksa Penuntut Umum
Tugas Jaksa sebagai penuntut umum diatur dalam Pasal 13 KUHAP dan dipertegas dalam
Pasal 137 KUHAP. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya. Dalam tugasnya sebagai penuntut
umum, Jaksa mempunyai tugas :
1. Melakukan penuntutan.
2. Melaksanakan penetapan hakim.
Dua tugas tersebut dilakukan oleh penuntut umum dalam proses persidangan pidana yang
sedang berjalan.
Sumber: https://media.neliti.com
Sumber: https://leip.or.id/penilaian-kinerja-hakim-dalam-ruu-jabatan-hakim/
Sumber: https://media.neliti.com
2. Jelaskan.
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum
pidana di Indonesia. Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang
menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum
terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum.
Sedangkan teori pemidanaan berada dalam proses keilmuan yang mengorganisasi,
menjelaskan dan memprediksi tujuan pemidanaan bagi negara, masyarakat dan subjek hukum
terpidana.
Pidana penjara sebagai salah satu bentuk pidana, adalah suatu pidana berupa pembatasan
kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di
dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan
sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Sumber: https://perpustakaan.komnasham.go.id/
b. Tujuan Pemidanaan
tujuan pemidanaan adalah sebagai salah satu kunci penting dalam penjatuhan pidana itu
sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa penjatuhan pidana haruslah memperhartikan tujuan
pemidanaan. Pentingnya perhatian tujuan pemidanaan ini tampaknya juga ediperhatikan oleh
perancang KUHP baru dengan dirumuskannya secara tegas, tentang tujuan pemidanaan dalam
buku-1 RUU KUHP. Pasal 51 51 buku-1 RUU KUHP tahun 2005 menyatakan bahwa
Pemidanaan bertujuan:
Sumber: https://www.kompasiana.com/
c. Pedoman Pemidanaan
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terjadi
tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (negatief wettelijk). Ketentuan
tersebut harus dimaknai bahwa “keyakinan hakim” tidak bersifat ekstase, melainkan harus lahir
dari kesadaran dan logika pikir yang benar. “Keyakinan hakim” merupakan resultan dari fakta
dan bukti yang diuji dan dinilai berdasarkan prosedur yang diatur dalam undang-undang.
“Keyakinan hakim” tersebut harus dapat dijelaskan dalam putusan sehingga masyarakat dapat
memahami rasionalitas keadilan yang diyakini oleh hakim. Dengan demikian, kendatipun terjadi
disparitas dalam pemidanaan tidak akan menjadikannya persoalan, karena tersedia argumentasi
logis yang menjadi justifikasi pemidanaan.
Sumber: https://www.hukumonline.com/
d. Filsafat Pemidanaan
Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan ukuran atau dasar keadilan
apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini, pemidanaan erat hubungannya
dengan proses penegakan hukum pidana. Sebagai sebuah sistem, telaahan mengenai pemidanaan
dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu sudut fungsional dan sudut norma substantif.
Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem
(aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-sasi/operasionalisasi/ konkretisasi pidana
dan keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum
pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana. Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem
penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiil/Substantif,
sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Sedangkan
dari sudut
norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem
pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana
materiil untuk pe-midanaan; atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana
materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian
demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada
di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general
rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I
KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam
undang-undang khusus di luar KUHP,1 baik yang mengatur hukum pidana khusus
maupun yang mengatur hukum pidana umum.
Sumber: https://www.bphn.go.id
1. Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai
suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah
terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.Para ahli hukum di Indonesia membedakan
istilah hukuman dengan pidana.Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan
untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana,
sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan
hukum pidana
2. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian
sanksi dalam hukum pidana.Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum,
sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.Doktrin membedakan hukum
pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal
tersebut sebagai Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-
turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu., dan pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara
pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada
kesempatan itu.
Sumber:
https://repository.uksw.edu, Leden Marpaung, Asas teori praktik hukum pidana, Jakarta: sinar
grafika, 2005, hal 2.
3. Jelaskan.
a. Perkembangan pengaturan jenis sanksi (pidana dalam hukum pidana)
Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Narkotika, yang berkaitan mengenai
pengaturan perbuatan tindak pidana dan sanksi pidananya sangat urgen apabila menempatkan
jumlah (berat-ringannya) barang bukti sebagai unsur pemberat dalam penerapan sanksi pidana
yang dicantumkan dalam lampiran Undang-Undang yang bersangkutan sebagai yang tidak
terpisahkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari yang terjadi dalam praktek seperti misalnya
: barang bukti jenis amfetamina (sabu-sabu) seberat 1 kg di bandingkan dengan barang bukti
senis amfetamina (sabu-sabu) seberat 1 ton sama-sama mempunyai ancaman pidananya
maksimal 15 tahun dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal 60 ayat (1) b Undang-
Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yaitu :
Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi
standart dan/atau persyaratan.
Juga perbuatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 69 undang-Undang No. 5 tahun 1997
tentang psikotropika, yaitu :
Percobaan untuk melakukan tindak pidana psikotropika.
Dan Ancaman Pidananya ditambah sepertiga apabila ada perbuatan bersekongkol atau
kesepakatan atau terorganisir (vide pasal 71).
Sumber: https://www.bphn.go.id
Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa dari tahun ke tahun jumlah
narapidana selalu mengalami kenaikan antara 3000 narapidana hingga 9000 narapidana. Data
tahun 1997 menunjukkan bahwa jumlah narapidana dewasa mencapai 69.937 jiwa. Oleh karena
itu perlu sebuah sistem yang baik guna membina narapidana tersebut.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk
mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena
melakukan tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga
yang berfaedah di dalam masyarakat.
Sumber: https://fh.uajy.ac.id
5. Jelaskan.
a. Pengertian remisi
Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999, remisi
adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang
telah berkelakuan baik selama menjalani pidana terkecuali yang dipidana mati atau seumur
hidup.
Menurut Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan
masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 sebagai berikut:
Sumber: https://id.wikipedia.org/
https://media.neliti.com
1. Remisi kemanusiaan
Remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan diberikan kepada Narapidana
a. yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun;
b. berusia di atas 70 tahun; atau
c. menderita sakit berkepanjangan.
2. Remisi tambahan
Remisi tambahan kepada Narapidana dan Anak apabila yang bersangkutan:
Remisi susulan diberikan jika Narapidana dan Anak berkelakuan baik dan lamanya masa
penahanan yang dijalani tidak terputus terhitung sejak tanggal penghitungan masa penahanan
memperoleh Remisi sampai dengan tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Remisi susulan dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak yang:
Tata Cara Pemberian Remisi
Guna menyederhanakan jawaban, kami akan jelaskan prosedur atau tata cara pemberian
remisi bagi Narapidana dan Anak secara umum, sebagai berikut:
Sumber: https://m.hukumonline.com/