PIDANA INDONESIA
Disusun Oleh :
N a m a : YUDI WALFAZRI
NIM 2020174201086
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 45 MATARAM
2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam konstruksi hukum pidana yang demikian, segala keinginan korban yang
berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan
tidak diakomodasi. Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum
diberikan kepada orang atau pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk
peradilan pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang
1
ditujukan kepada orang atau pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai
korban. Pada kenyataannya, putusan lembaga peradilan tersebut seringkali mengecewakan
perasaan korban mengenai keadilan yang didambakan
Berdasarkan dari latar belakang yang dijelaskan diatas dan kebutuhan untuk
melakukan pembaruan hukum pidana dengan hasil dengan hasil dari Kongres PBB tahun
1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres
tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering
berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil
(obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan
(outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa
kini. Dengan demikian pada makalah kali ini akan dibahas dengan prospek pendekatan
keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia.
2
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar bekalang masalah dari makalah yang berjudul Gagasan Keadilan
Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ini, akan membahas beberapa masalah
yaitu:
3
BAB II
PEMBAHASAN
Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur
mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan
penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing
memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu
akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan
normatif, administratif dan sosial.
3. Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur
penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah
sistem sosial.
4
Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan
pidana, ialah :
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
Pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita
peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses
hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan
hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi
pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk
mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar
pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap
tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan
yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak. Konsekuensi logis dari dianutnya proses
hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan
penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap
batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat
5
B. PEMAHAMAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF
1. Tony F. Marshall
Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan
masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam suatu
relasi yang aktif dengan aparat penegak hokum. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk
6
memecahkan masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi
sebagai berikut:
a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat
d. Kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya
keterlibatan secara personal. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon
fakta-fakta penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus
e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat
dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian
kasusnya.
2. Mark Umbreit
3. Cornier
7
kesempatan kepada para pihak yaitu korban, pelaku dan masyarakat untuk
mengidentifikasi dan menentukan kepentingan mereka yang terkait dengan akibat
kejahatan, mengupayakan penyelesaian yang bertujuan menyembuhkan, perbaikan dan re-
integrasi, serta pencegahan penderitaan di masa datang.
Tindak pidana menurut kaca mata keadilan restoratif, adalah suatu pelanggaran
terhadap manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan melalui:
3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.
Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa model keadlilan restoratif mempunyai
beberapa karakteristik yaitu :
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui
sebagai konflik
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa
depan
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan
utama
8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian
hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis
Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki
kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai
sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan
mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar
sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses
peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari
komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku
dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.
9
C. IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PIDANA
Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti
rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa
didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk
menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-
kesepakatan lainnya. Misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban,
dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa
mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke
ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal
pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun
korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan
pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan
korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam
tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan
tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk
selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti
kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap
untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Sedangkan proses restorative
justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan
upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan
secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi
bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri,
yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan
perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk
mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan atau kita kenal dengan istilah
“penyelesaian di luar pengadilan”.
10
pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi atau
pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan
permintaan kepada pelaku agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer
adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keuntungan
dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana
adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan
korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah.
Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi
yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi
buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku,
bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sebelumnya perlu dikemukakan
beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana
sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang
bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan
pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi
yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan atau serba ringan dan aparat
penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan
(deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat
yang diselesaikan melalui lembaga adat.
11
diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi
sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai prospek keadilan restorative baiknya kita
melihat terlebih dahulu penerapan keadilan restoratif di beberapa negara. Hal bertujuan untuk
mengetahui gambaran sedikit contoh dari banyak negara lain yang mencoba menerapkan
pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana. Trend yang berkembang
menunjukan bahwa keadilan restoratif ini hanya terbatas pada tindak pidana tertentu saja dan
yang paling banyak diterapkan adalah pada kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak dan remaja seperti di New Zealand, Inggris dan Wales, Philipina dan Canada.
Pandangan ini dapat menjadi berbeda jika melihat kepada kasus di Afrika Selatan pasca
aparheid. Pemerintah Afrika Selatan justru mempergunakan pendekatan restorative justice
dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim Aparheid.
1. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau
Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep mediasi dimana dibuka peluang
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan sementara
2. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, yang
memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem pemidanaan.
Dari kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa keadilan restoratif, dalam
pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah diterjemahkan sebagai mekanisme
penanganan perkara pidana diluar sistem peradilan pidana maupun sebagai filosofis
pemidanaan baru yang melahirkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya berbeda dari
jenis pidana konvensional yang dikenal selama ini.
12
Di Indonesia pendekatan keadilan restoratif meyangkut 2 pelaku utama penegak
hukum yang ada, yaitu :
Dalam berbagai asas dan model pendekatan keadilan restorative, proses dialog antara
pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan
ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan
apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan
keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga
pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan
menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan
penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi
dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Dari nilai dasar
inilah keadilan restorative sebagai implementasi dari niali dasar yang ada dalam
masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Sayangnya penyelesaian model
ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang jelas.
Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim
melalui kebebasannya. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan
kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak
mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak
melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau
dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.
13
Terkait dengan Kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court
Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam
salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi sebagai salah
satu bentuk, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana.
Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan
dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang
ringan. Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian
perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum formal yang berlaku,
restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya
dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem
formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda.
Melihat permasalahan yang dihadapi oleh kedua lembaga penegak hukum baik formal
dan non formal pendekatan keadilan restorative menghadapi hambatan. Menurut mantan
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL bahwa hambatan dalam
melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap
penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap
berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena
perdamaian.
1) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh
seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu kemudian
perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni keluarga korban
dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi melakukan ini
semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang ancaman pidananya
di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku maupun korban yang tidak
menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana
akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa keluarga
korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut ditempuh.
14
2) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan
dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya. Dari
1076 perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2004 dan
3.904 Di tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung
di mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya diputus dengan pidana
denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat memperhitungkan pengeluaran atau biaya
yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan
menghadapi birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian
langsung melalui polisi menjadi pilihan utama.
15
BAB III
PENUTU
A. KESIMPULAN
1. Berikut ini adalah proses dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti :
a) Mediasi antara pelaku dan korban yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator
dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban,
pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa
berkepentingan dengan perkara tersebut.
Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada
dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat.
2. Pendekatan restorative sebenarnya penjabaran dari ide kesimbangan yang ada di RUU
KHUP yang masih memiliki kekurangan, khususnya dalam perkara besar apakah
dimungkin keadilan restorative tersebut Maka perlu penyembpuraan agar pendakatan ini
dapat diterima oleh seluruh pemaku kepentingan hukum yang ada di Indonesia
16
3. Penegak hukum khususnya polisa harus bekerja sama dengan lembaga adat atau polisi
adat yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman pidana beruapa ganti rugi atau aturan
hukum yang ada, Jika pendekatan keadilan restorative ini jadi diterapkan.
4. Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat
diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di
Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian
perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa
menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui pendekatan
ini.
17
Daftar Pustaka
Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group.
Bambang Kesowo. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia.
Yogyakarta : Fakultas Hukum Gadjah Mada
Barda Nawawi Arief III, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
PT.Citra Aditya Bakti,Bandung.
Barda Nawawi Arief, 2008. Restoratif Justice: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Pustaka
Magister Semarang
Dewi dkk., 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia. Depok: Indie
Publishing.
Eko Soponyono. 2012. Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban. Semarang.:
Publikasi MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012
Eva Achjani Zulfa. 2010 Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia. Publikasi : Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010
G. Widiartana. 2011. Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dengan Hukum Pidana. Publikasi : Ringakasan Disertasi Universitas Diponegoro. Semarang
I made,dkk,.. 2011. Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Publikasi :
Bali, Universitas Udayana
Muladi. 2012. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana. Publikasi : Jurnal : Seminar Nasional Hari
Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Ke-59. Jakarta
Nugraheni. 2009. Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana. Semarang:
Undip.
Sri Rahmi, 2013.Makalah. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Kota
Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Makassar: Universitas Hassanudin
Sukanegara. 2007. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem emidanaan di Indonesia.
Semarang: Universitas diponegoro.
18
www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/muladi.pdf
http://www.anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justicem,
http://faturohmana/baintani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebagai.html,
anak-di-Indonesia
19