Anda di halaman 1dari 3

1.

Sumber hukum materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya
hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi atau
pandangan keagaamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan
geografis.

Menurut Saut P. Panjaitan, sumber hukum materil yaitu faktor-faktor


atau kenyataan-kenyataan yang turut menentukan isi dari hukum. Isi hokum ditentukan
oleh dua faktor, yaitu faktor idiil dan faktor sosial masyarakat. Faktor idiil adalah faktor
yang berdasarkan kepada cita masyarakat akan keadilan. Sedangkan faktor sosial
masyarakat tercemin dalam bentuk struktur ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, tata hukum
negara lain, agama dan kesusilaan dan kesadaran hukum.

Jenis-jenis perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, terdapat


dalam substansi hukum materil. Secara teoritis terdapat beberapa jenis
perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan
pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-
undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang,
perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan. Pelanggaran (wetdelichten) adalah perbuatan-perbuatan yang oleh
masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang
merumuskannya sebagai delik.

Perkembangan dan perubahan sosial suatu masyarakat merupakan suatu


hal yang normal, justru dikatakan tidak normal jika tidak terjadi perubahan.
Demikian juga dengan hukum yang digunakan oleh suatu bangsa merupakan
cerminan dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Hukum
sebagai tatanan kehidupan yang mengatur pergaulan masyarakat dengan
segala peran dan fungsinya akan ikut berubah mengikuti perubahan sosial
yang melingkupinya.

Perubahan dan perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan


merubah konsepsi mengenai kejahatan dalam hukum pidana. Hukum pidana
sendiri merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan,
sementara kejahatan itu sendiri merupakan akibat dari perubahan dan
perkembangan sosial. Hukum pidana akan dirasa tidak memiliki manfaat yang
berarti jika ia hanya berkutat dengan konsep, asas, dan teori yang dibuat untuk
menanggulangi berbagai fenomena sosial destruktif masa lalu. Dalam
perkembangannya, perkembangan sosial mempengaruhi pola-pola tindakan
manusia salah satunya adalah perbuatan yang dianggap merendahkan dan
merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan terhadap peradilan dunia.
Perbuatan tersebut disebut sebagai tindak pidana Contempt of Court.

Contohnya, sumber hukum materiil seperti agama, kesusilaan, kehendak Tuhan, akal budi,
hubungan sosial, dan sebagainya.
Sumber hukum materiil ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya, misalnya :
KUHP segi materilnya adalah pidana umum, kejahatan dan pelanggaran. KUHPerdata
mengatur masalah orang sebagai subjek hukum, benda sebagai objek, perikatan,
perjanjian, pembuktian dan daluarsa sebagaimana fungsi hukum menurut para ahli.

2. Konsepsi Hukum Murni Hans Kelsen tidak memberi tempat berlakunya hukum alam,
menghindari dari soal penilaian dan juga tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, hanya memandang hukum sebagai Sollen
Yuridis yang terlepas dari Das Sein kenyataan sosial. Orang mentaati hukum karena ia
merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu kehendak negara. Hukum itu tidak lain
merupakan suatu kaedah ketertiban yang menghendaki orang mentaatinya sebagaimana
seharusnya. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia dan
masyarakat. Maka menjalankan hukum tidak dapat dilakukan secara matematis atau
dengan cara mengeja pasal-pasal undang undang. Karena dalam hukum tidak hanya ada
logika hukum, namun juga logika filosofis dan logika sosial, maka dalam berhukum ketiga
hal tersebut harus dapat dipahami dalam penrapannya.
Hukum progresif sangat merekomendasikan penegak hukum membaca hukum tidak
semata sebagai teks, namun lebih pada konteks dengan membebaskan penafsirannya, tidak
dalam status quo.
Hal membaca hukum secara membebaskan itulah yang kemudian mempertautkan
relevansi pemikran Hans Kelsen tentang hukum bagi pembangunan hukum progresif
dalam penerapan hukum oleh penegak hukum pada kasus kasus.

Menjadi kunci penting dalam penerapan hukum melalui pendekatan hukum progresif dan
teori hukum Hans Kelsen adalah prilaku penegak hukum dalam menerapkan hukum.
Penegakkan hukum progresif menghendaki penegakan hukum tidak sekedar menjalankan
peraturan perundang undangan, tetapi menangkap kehendak hukum masyarakat.19 Teori
Hukum Murni pun menghendaki tidak memaknai hukum secara prosedural dan formal
belaka, namun lebih menginterpretasikannya secara substansial dengan melihat dampak
dan bekerjanya hukum di masyarakat. Penegak hokum dituntut menginterpretasikan
hukum secara progresif dengan meninggalkan penafsiran berdasarkan teks harfiah semata.
Hal ini
karena hukum harus memuliakan dan menyejahterakan manusia seperti tujuan dari hukum
progresif yang dikemukakan, diatas.

3. Pengadilan hukum progresif berarti bahwa penegakkan hukum yang dilakukan tidak
semata-mata hanya berdasarkan aturan tertulis seperti teks undang-undang saja, melainkan
juga berdasarkan trobosan cara berfikir. Hal ini karena apabila hanya berdasarkan teks
undang-undang saja, terkadang para pencari keadilan terutama rakyat kecil tersebut
mendapatkan ketidakadilan. Padahal apabila dilihat dari sudut pandang lain, hal yang
dilakukan mungkin sesuatu yang tidak semestinya berada di meja hijau.

Sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum yang berpaham legal positivistik.
Sistem hukum ini berarti bahwa hakim dalam penegakkan hukum hanya mengacu kepada
konteks aturan tertulis seperti undang-undang tanpa adanya pertimbangkan apakah
peraturan tersebut jika diterapkan akan adil atau tidak.

Namun, seiring berjalannya waktu banyak masyarakat yang mulai sadar hukum dan
memahami paham hukum Indonesia tidak sesuai sehingga muncullah paradigma. Dalam
sebagian masyarakat yang melek pah hukum mulai mengusulkan suatu perubahan pola
pikir para pakar hukum terutama pola pikir penegak hukum agar tidak hanya berpegang
pada teks tertulis undang-undang saja, melainkan harus memperhatikan apakah putusan
tersebut adil atau tidak dan pantas atau tidak sesuai dengan apa yang dilakukan, dan dilihat
dari beberapa sudut pandang saja tidak hanya sudut pandang hukum. Paradigma ini
merupakan suatu paradigma hukum progresif. Penggagas utama tentang paradigma ini
adalah Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Kelebihan dari paradigma hukum progresif ini adalah
lebih membantu para pencari keadilan terutama untuk kaum yang dari segi ekonomi
menengah kebawah untuk mendapatkan bantuan hukum.

Anda mungkin juga menyukai