Anda di halaman 1dari 9

SOAL ESSAY

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

Nama : Winda Agnisa Mata Kuliah : Filsafat Hukum


NPM : 01 01 16 281 Dosen : Dr. H. Dodo, S.D.W, S.H., M.H.
Semester : 8 (Delapan) Ekstensi Nilai :

1. Aliran Hukum Positif:

Banyak ahli pikir penganut ajaran positivisme hukum, salah satunya adalah H.L.A

Hart, yang mengatakan bahwa hukum itu harus kongkrit, maka harus ada pihak yang

menuliskan. Pengertian ”yang menuliskannya” itu menunjuk pengertian bahwa hukum

harus dikeluarkan oleh suatu pribadi (subjek) yang memang mempunyai otoritas untuk

menerbitkan dan menuliskannya. Otoritas tersebut adalah negara. Otoritas negara

ditunjukan dengan adanya atribut negara, berupa kedaulatan negara. Berdasarkan

kedaulatannya, secara internal negara berwenang untuk mengeluarkan dan

memberlakukan apa yang disebut sebagai hukum positif. Selanjutnya H.L.A. Hart,

mengatakan:

a. Hukum (yang sudah dikonkritisasi dalam bentuk hukum positif) harus


mengandung perintah;
b. Tidak selalu harus ada kaitanya antara hukum dengan moral dan
dibedakan dengan hukum yang seharusnya diciptakan (there is no
necessary connection between law and morals or law as it ougt so be).

Pendapat Hart yang dipaparkan pada butir (2) mengindikasikan tolakkan dari Hart

bahwa hukum harus bersumber dari sesuatu yang abstrak. Ini adalah konsekuensi logis

cara berpikir dalam ajaran positivisme, yang bersumber dari hubungan sebab akibat suatu

gejala dengan gejala lain secara kongkrit (kasat mata). Oleh karenanya pertimbangan-

pertimbangan moral tidak harus terkait dengan terbitnya hukum positif, karena

1
pertimbangan moral bukanlah hal yang konkrit. Begitu kuatnya logika positivisme

menjadi pedoman berpikir Hart, tercermin dari ajarannya bahwa ”the analysis or study of

legal consepts in an important study to be distinguished from historical inquiries,

sociological inquiries and the critical appraisal of law is terms or moral, socials aims”

Ciri dari positivisme berikutnya adalah objektif atau bebas nilai. Oleh karena itulah

dalam paradigma positivisme ada dikotomi yang tegas antara fakta dengan nilai, dan

mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak terhadap realitas dengan sikap netral.

Akan tetapi perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya.

Fenomena sosial secara alamiah adalah subjektif dan tidak akan dapat dipahami sebagai

sesuatu yang objektif. Sebenarnya sulit untuk mendeskripsikan mengenai prilaku manusia,

terlebih digambarkan berdasarkan karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal manusia

bisa saja menimbulkan interpretasi yang beragam. Ilmu-ilmu sosial, dengan demikian akan

selalu menjadi pengetahuan yang subjektif . Oleh karena itu yang sangat diperlukan adalah

ada pemahaman sikap dan arti tindakan.

Dengan demikian, Ciri dan karakter utama dari ajaran positivisme hukum

mempunyai sifat yang rasional. Rasional tentunya ditandai dengan sifat peraturan yang

prosedural. Prosedural hukum menjadi dasar yang penting untuk menegakkan keadilan,

menjaga HAM. Oleh karenanya, sifar prosedural itu menjadi lebih penting daripada

keadilan yang substansiil dari hukum itu. Yang sering sekali muncul yaitu keadilan

formal, bukanya keadilan substansial yang mewakili dan memenuhi hati nurani. Dengan

demikian, kritik terhadap dominasi paradigma positivisme hukum bukan bermaksud untuk

dipersalahkan, akan tetapi bermaksud untuk membuat agar berjalannya sistem hukum

modern dapat semakin memberikan manfaat dan ketentraman yang tidak selalu

terefleksikan dalam realitas yang tampak.

2
2. Aliran Sociological Yuriprudence:

Menurut Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga

kemasyarakatan yang befungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan adalah

tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-

kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound juga menganjurkan untuk

mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum

tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan diseluruh bidang hukum, baik

hukum substantive maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah

hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Beberapa pemikiran

Roscoe Pound diuraikan dibawah ini:

Pertama, tugas sociological jurisprudence menentukan bahwa sumber hukum

mencakup: usage (adat istiadat); religion (agama); moral; Philosophical ideas (ide-ide

filosofis); adjucation (ajudikasi); scientific discussion (diskusi ilmiah); legislation

(legislasi). Arti penting mengenali sumber-sumber hukum itu untuk membantu yuris

dalam mencatat dan menganalisis fakta-fakta sosial berkenaan dengan penguasaan

merumuskan atau memformulasi, menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum.

Salah satu makna hukum menurut Pound adalah hukum dibuat sebagai jawaban

atas tuntutan hukum ekonomi dan hukum sosial yang menghargai seseorang dalam

masyarakatnya. Makna hukum ini menjadi acuan Pound dalam menyikapi bagaimana

fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat. Pound telah dipengaruhi aliran

instrumentalisme hukum, hal ini tampak ketika ia mempertahankan pendapatnya bahwa

ilmu-ilmu sosial merupakan ilmu yang membantu perkembangan hukum. Melalui

pernyataan ini, Pound menegaskan bahwa tugas hukum (law’s task) adalah social

engineering.
3
Ajaran social engineering (rekayasa sosial) dikonsepsinkan bahwa hukum sebagai

alat untuk mengubah atau melakukan pembaharuan masyarakat. Hukum ditempatkan di

depan perilaku manusia, yakni mengarahkan perilaku masyarakat kea rah kemajuan.

Dalam ajaran social engineering, hukum berorientasi pada pembangunan yang digunakan

oleh agent of development. Agent of development yang dapat membentuk hukum sebagai

sarana pembangunan dalam rangka law is a tool of social engineering.

Titik berat aliran sociological jurisprudence terletak pada kenyataan sosial yang

dapat menjadi kenyataan hukum (fakta hukum). Fakta-fakta hukum yang mendasari semua

hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikan dan pernyataan kemauan. Aliran hukum ini

melihat masyarakat dari pendekatan hukumnya yang salah satu rinciannya meliputi fungsi

dari hukum terhadap masyarakat. Fungsi hukum adalah sebagai kerangka ideologis

perubahan struktur dan kultur masyarakat.

Aliran hukum ini menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat. Aliran ini

berbeda dari sosiologi hukum yang merupakan cabang sosiologi yang melakukan

pendekatan masyarakat ke hukum. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah sesuai

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi ada dua hukum yaitu hukum positif

yang kemudian menjadi hukum yang baik atau tidak baik dan hukum yang hidup dalam

masyarakat (the living law/Das lebendiges Recht) yang bukan merupakan hukum positif.

Ada perbedaan antara hukum positif dan hukum yang hidup (the living law) dalam

masyarakat itu. Hukum positif adalah peraturan perundang-undangan sebagai

entsheidungsnormen atau norma-norma keputusan, sementara itu, hukum yang hidup

adalah kenyataan sosial sebagai Rechtsnormen (norma hukum).

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa inti pemikiran aliran

sociological jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat (the living law), sehingga aliran ini perlu untuk dikembangkan di
4
Indonesia meskipun Indonesia menganut positivisme hukum. Melihat dari masyarakat

Indonesia yang multikultural, sehingga dalam merumuskan suatu aturan hukum positif

(undang-undang) harus didasarkan pada hukum yang hidup dalam masyarakat bukan

disesuaikan dengan keberadaan global.

Dalam merumuskan suatu aturan tertulis unsur normatif (ratio) dan empiric

(pengalaman) harus ada. Kedua-duanya sama perlunya. Artinya hukum yang pada

dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu

pengalaman, kemudian dikonkritisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan

ahli hukum sebagai hasil kerja ratio dan diberlakukan sebagai hukum oleh Negara.

Sehingga cita-cita keadilan yang dituju baik oleh masyarakat maupun oleh penguasa harus

selaras

3. Aliran Pragmatic Legal Realism:

Hakim sebagai orang yang mengadili perkara di Pengadilan memiliki peran

penting dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat dan kepada hakimlah para pencari

keadilan berharap mendapatkan keadilan. Untuk merealisasikan nilai-nilai keadilan kepada

masyarakat, tentunya hakim tidak hanya berpedoman pada hukum-hukum tertulis semata

karena tidak akan mencapai nilai-nilai keadilan kecuali secara prosedural. Realism hukum

berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benarbenar nyata dilaksanakan,

ketimbang sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-

undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian pakar memandang

bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan sosiologi terhadap

hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme adalah

hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada peraturan

perundangundangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti ketentuan-ketentuan

5
yang terdapat dalam bentuk tertulis.Akan tetapi menurut teori ini, hukum itu apa yang

sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.

Legal realism adalah suatu pandangan yang berdasarkan realitas. Hukum menurut

para realis adalah terbentuk dari realitas dan menolak memberhalakan perundang

undangan dan bertumpu pada fakta fakta, tindakan atau perilaku sosial. Mereka memnuka

mata untuk mengakui bahwa kebenaran dari hukum bukan terletak pada aturan dan norma

norma, tapi terletak pada tindakan, fakta dan bahkan kekuasaan dalam masyarakat. Juris

juris realis membayangkan suatu ilmu hukum yang terbangun diatas suatu “Law In

Action; Hukumadalah sebagaimana dilakukan para pejabat hukum (yaitu para hakim)”.

Hukum tidak dapat diketemukan didalam dan tidak dapat disimpulkan dari aturan aturan

yang olehnya para hakim dipandu

Dengan demikian, konsep realisme hukum atau legal realism merupakan konsep

yang memberikan kepada hakim kebebasan yang luar biasa untuk mengambil keputusan

dengan aksiologisnya adalah keadilan sebagai anti tesis positivisme. Seorang hakim tidak

lah boleh hanya berpegang kepada peraturan peraturan saja tetapi hakim wajib menggali,

memahami dan melihat dengan jernih fakta fakta sosial yang terjadi sehingga mampu

membuat hukum dalam keputusannya.

4. Aliran Utilititarianism:

Salah satu kekuatan Utilitarianisme adalah kenyataan bahwa mereka menggunakan

sebuah prinsip yang jelas dan rasional. Dengan mengikuti prinsip ini, pemegang

kekuasaan mempunyai pegangan jelas unuk membentuk kebijaksanaannya dalam

mengatur masyarakat. Kekuatan lainnya adalah orientasi utama teori ini pada hasil

perbuatan. Suatu perbuatan yang mempunyai akibat buruk - karena umpamanya

mencelakakan orang lain - mempunyai peluang lebih besar untuk dianggap secara etis

6
bernilai buruk daripada perbuatan yang mempunyai akibat baik (karena umpamanya

membantu orang lain).

Utilitarianisme klasik yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart

Mill dapat diringkaskan dalam 3 (tiga) pernyataan :

Pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibatakibatnya

(consequences). Hal lain tidak menjadi pertimbangan. Motif manusia tidak penting, karena

tidak bisa diukur atau diukur, berbeda dengan tindakan yang bisa diukur.

Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah

jumlah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan yang dihasilkan. Hal lain tidak relevan.

Ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Tindakan yang

benar adalah yang menghasilkan pemerataan maksimal dari kesenangan di atas

ketidaksenangan, di mana kebahagiaan setiap orang dipertimbangkan secara sama

pentingnya.

5. Aliran Freirechtlehre:

Freirechtslehre atau aliran hukum bebas adalah penentang keras Positivisme

Hukum. Dalam penentangan terhadap positivisme hukum, freirechtslehre sejalan dengan

kaum Realis Amerika Serikat. Hanya saja jika aliran Realisme menitikberatkan pada

penganalisaan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, maka freirechtslehre tidak

berhenti sampai di situ.

Jadi seperti yang dikemukkan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam

penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang.

Hanya saja, undang-undang bukan merupakan pernanan utama, tetapi sebagai alat bantu

untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus

sama dengan penyelesaian undang-undang. Aliran hukum bebas berpendapat bahwa

hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya
7
bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan penyelesaian yang tepat

untuk peristiwa yang konkret, sehingga persitiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan

menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.

6. Aliran Filsafat Timur:

Perkembangan pemikiran filsafat Timur dan Barat hampir sarna seperti dalam

bidang-bidang yang lain, dengan penekanan berbentukkonflik, disharmoni, persaingan,

maupun perbedaan persepsi daripada sikap saling mengerti dan m~maklumi. Para ahli

tentang Timur, para Orientalis, telah bekerja keras mengkaji dunia Timur, namun ternyata

sampai saat ini belum berhasil untuk hubungan yang harmonis antara Timur dan Barat.

Dalam perspektif Timur, Barat sering digambarkan sebagai materialisme, kapitalisme,

rasionalisme, dinamisme, saintisme, positivisme, dan sekularisme.

Pemikirnan fllsafat Cina telah mengalami perkembangan pasang surut sejak awal

sampai saat ini. Secara garis besar pemikiranfilsafat eina. memiliki berbagai macam eiri

khusus antara lain: bersifat antroposentris, jauh dari hal-hal yang adikodrati,kekinian,

demokratis, pragmatis, ingin tabu segala sesuatu, hormat kepada orang tua, dan

keseimbangan.

Pernikiran filsafat Cina bersifat antroposentris dengan menekankan manusia

seperti yang diungkapkan oleh Moore bahwa: "There is .the great emphasis upon man as a

social being, UJith all the problems attendant to that int.erpretatwn" but without many of

its alleged anti individual connotations. " Manusia merupakan orientasi dan titik sentral

pembahasan pemikiran filsafat, sehingga kemampuan manusia hendaknya dapat

dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.. Jauh dari hal-hal yang

adikodrati dalam arti bahwa manusia lebih menekankan pada kehidupan saat ini (this

worldly) dengan mengutamakan usaha agar berbahagia dan diterima di daJam masyarakat

serta selalu selaras dengan situasi, kondisi, dan alam semeeta. Pemikiran filsafat tidak
8
difokuskan pada kehidupan di dunia lain (other worldly), sehingga karya-karya yang

muneul selaiu diarahkan untuk memenuhi kebutuban saat ini terotama kebahagiaan dan

kesejahteraan. penekanan pada this worldly yang herlebihan akan dapat mengarah· pada

sifst materialistis dan kurang memperhatikan nilai spiritual, oleh brena itu maka periu

diupayakan perimbangannya.

Filsafat India memiki karakteristik (Radhakrishnan dan Moore, 1957: XXll-

xxxx),Wagiyo, 1996: 1). motif spiritual, 2). hubungan antara filsafat ddan hidup., 3). Sikap

dan pendekatan introspektif terhadap realitas., 4). Kenderungan kea arab Idealisme

monistis khususnya Hindusime., 5). Intuisi diterima sebagai satu-satunya metode untuk

mencapai kebenaran., 6). Penerimaan otoritas Veda., dan 7). Pendekatan sintesis terhadap

pengalaman dan realitas dengan mempertimbangkanaspek tradisi.

Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarik dari inti konsep filsafat timur

antara lain:

Pertama, pemikiran filsafat Timur menekankan peranan intuisi dan pengalaman

individu. Kedua, tujuan utama dalam pemikiran filsafat Timur untuk men· jadi orang yang

bijaksana dan bahagia. dalam arti hidup ini penuh dengan ketenteraman dan keselamatan.

Ketiga, pemikiran filsafat Timur sering lebih bersifat pesimis, p8sif, dan menekankan

harmoni.

Anda mungkin juga menyukai