Disusun Oleh:
145010101111097
2017
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, disatu sisi semangat melakukan law
reform (reformasi hukum) melalui proses law enforcement secara due process of law
seakan-akan tidak pernah padam, baik Akademisi dan Praktisi Hukum selalu dengan
lantang menyuarakan asas-asas dan norma-norma hukum yang selayaknya diterapkan
dalam praktek. Namun di sisi lain, hilangnya semangat dan kepercayaan kepada hukum
sebagai ujung tombak dalam memperoleh keadilan dan kepastian hukum oleh sebahagian
besar masyarakat.
Peradilan pidana sebagai tempat pengujian dan penegakkan hak-hak asasi manusia
memiliki ciri khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan kelembagaan yang
berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu agar dapat menegakkan hukum
sesuai harapan masyarakat pencari keadilan.
Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga
pemidanaan, merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak mudah
difahami serta kadang kala menakutkan bagi masyarakat awam. Persepsi yang demikian
tidak dapat dihindari sebagai akibat banyaknya pemberitaan di media massa yang
menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari keadilan seringkali dihadapkan pada
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka
akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik dari aparat penegak hukum.
Indonesia sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun dan harus mengatur
serta mengartikulasikan pelbagai kepentingan masyarakat yang sangat plural ini, tentunya
tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh regional dan internasional, sebagai akibat
kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih. Masyarakat pelbagai negara, termasuk
Indonesia dihadapkan pada persoalan baru, yang menjadi issue internasional, berupa
demokratisasi hukum. Pemujaan hukum sebagai alat rekayasa sosial berpasangan dengan
sarana ketertiban mulai banyak dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep baru,
hukum sebagai sarana modifikasi sosial, yaitu suatu pemikiran yang berusaha memasukan
pemahaman hukum sebagai sarana perlindungan hak-hak warganegara yang berintikan
pengaturan dengan mengedepankan kepentingan umum.
Di dalam lingkup pemikiran itu, muncul pula adanya kebutuhan akan keterpaduan
sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang
menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat
dan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu
istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan pendekatan sistem. Sebagaimana diungkapkan oleh Tolib Effendi, bahwa
berbicara mengenai hukum, maka tidak terlepas pula berbicara mengenai sistem.
Sehingga wacana perbincangan mengenai suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat
kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam elemen dari sebuah negara.
Keterpaduan subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana bukan hanya diarahkan kepada
tujuan penanggulangan kejahatan, namun juga diarahkan kepada pengendalian terjadinya
kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Keberhasilan suatu sistem,
dapat diketahui dengan jika berbanding lurus dengan diterimanya keluhan-keluhan
masyarakat yang menjadi korban kejahatan, mampu menghadirkan si petindak ke depan
persidangan dan terlaksananya putusan pengadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai makna sistem dalam SPP tersebut.
Makna sistem, menurut Satjipto Rahardjo, adalah sebagai jenis satuan, yang mempunyai
tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukan kepada suatu struktur yang tersusun dari
bagian-bagian. Beliau juga memaknai sistem sebagai suatu rencana, metode atau prosedur
untuk mengerjakan sesuatu.
Pengertian sistem menurut Anatol Rapport adalah whole which function as a whole
by virtue of the interdependence of its parts. Menurut R.L Ackoff, sistem sebagai entity
conceptual or physical, which consists of interdependent parts. Terkadang suatu sistem
diartikan sebagai stelsel (Belanda), yaitu suatu keseluruhan yang terangkai. Disamping
itu, Thomas Ford Hault menjelaskan bahwa sistem diartikan sebagai:
Any set of interrelated elements which, as they work and change together, may be
regarded as a single entity
Suatu sistem dapat pula disebut sebagai a structured whole, yang biasanya
mempermasalahkan:
Jadi, Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system pada dasarnya merupakan
kajian akademis di luar bidang Hukum Pidana itu sendiri. Artinya, Hukum Pidana dalam
membentuk Sistem Peradilan Pidana tidak dapat melepaskan diri dari masukan ilmu
hukum bidang lain, yaitu Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan Ilmu
Sosial lainnya. Walaupun demikian, para ahli hukum pidana, pada kenyataannya
membatasi diri untuk tidak terlalu jauh mendalami bidang hukum lain selain hukum
pidana. Nampaknya bidang Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Ilmu
Sosial digunakan sebagai ilmu jembatan untuk menjelaskan dan memecahkan
permasalahan yang muncul dalam proses peradilan pidana saat ini.
Ada beberapa model yang melandasi Sistem Peradilan Pidana, Lilik Mulyadi
mengutip pendapat dari Michael King, dimana Beliau mengajukan 7 jenis model Sistem
Peradilan Pidana. Sedangkan Herbert L. Packer mengidentifikasi dua model (crime
control model dan due process model) yang paling abadi yang menawarkan penjelasan
tentang bagaimana lembaga dan kebijakan dapat dibentuk dan mereka dapat berguna
dapat dilihat sebagai ujung-ujung kontinum karena mereka menyajikan kontras pemikiran
dan karakteristik. Dalam pokok pembahasan ini, Penulis mencoba untuk menampilkan
kesemua model tersebut, yaitu antara lain:
Efektif, dalam crime control model akan diasumsi oleh hukum adalah
bersalah, yang berarti memungkinkan pra-penghakiman bersalah (dan akhirnya
preventif dalam bentuk penahanan atau pemenjaraan) untuk divonis pada
tersangka tertentu. Bahkan, mengatakan bahwa jika pemerintah yang
diinvestasikan dengan kekuasaan publik memulai penyelidikan menjadi individu
tertentu dan sebagai akibatnya mereka memutuskan bahwa bukti yang cukup telah
dikumpulkan untuk membawanya ke pengadilan, maka harus dianggap bahwa
individu dalam hal ini bersalah, dan itu adalah tugas dari tersangka/terdakwa
untuk menyangkal ini dan menyajikan bukti sebaliknya.
Menurut Due Process Model, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk
menangani terdakwa pidana secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi. Due
Process Model jauh lebih skeptis terhadap proses investigasi administrasi dan
kapasitas untuk membuat penilaian yang akurat bersalah tanpa pengawasan
yudisial. Due Process Model menghargai hak-hak individu dan martabat dalam
menghadapi kekuasaan negara, bukan hanya penindasan terhadap kejahatan.
Menurut John Griffith, due process model tampak sangat berbeda dengan
crime control model, sistem due process model berkisar sekitar konsep
penghormatan terhadap individual dan konsep pembatasan kekuasaan resmi. Oleh
karena itu, due proses model menolak informal administrasi pencarian fakta, dan
preferensi ajudikasi yang mengambil posisi berseberangan dengan proses formal.
Di dalam due process model, tidak ada temuan fakta yang sah sampai kasus
tersebut disidangkan secara terbuka dan dievaluasi oleh pengadilan yang adil, dan
terdakwa telah memiliki kesempatan penuh untuk mendiskreditkan kasus terhadap
dirinya. Sehingga, karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak
tersangka untuk menentukan terbuktinya kejahatan dan kesalahan seorang yang
harus melalui suatu persidangan.
Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due Proses Model
adalah: