Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah : SISTEM PERADILAN PIDANA

Dosen : DR. H. RUBEN ACHMAD,S.H.,M.H

Hari : SABTU, 17 OKTOBER 2020

Kelas : REGULER (C)

1. Jelaskan mengapa model penyelesaian perkara pidana itu dengan

pendekatan sistem?

2. Jelaskan kelemahan sistem peradilan pidana dengan pendekatan normatif

dan model sistem peradilan pidana apa yang cocok untuk indonesia?

3. Terangkanlah konsep penegakan Hukum Pidana yang senyatanya,

mengapa demikian?

4. Buatlah deskripsi tentang sistem peradilan pidana Indonesia !

5. Jelaskan analisis saudara terhadap pelaksanaan sistem peradilan pidana

terhadap :

a) Tindak Pidana Korupsi

b) Tindak Pidana narkotik

c) Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Saudara pilih salah satu


JAWABAN :

1. Model penyelesaian perkara pidana itu dengan pendekatan sistem Karena


penyelesaian perkara pidana merupakan sebuah mekanisme kerja dalam
penanggulangan Kejahatan yang bertitik tolak pada tujuan sistem
peradilan pidana yaitu mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,
menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah di tegakkan dan yang bersalah dipidana
mengusahakan agar yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya. Untuk itu , diperlukan sebuah sistem terpadu untuk
mencapai tujuan akhirnya yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, Sistem
itu sendiri terdiri dari beberapa subsistem yang menggambarkan proses
penyelesaian perkara pidana itu mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, eksekusi dampai dengan pengawasan. Subsistem tersebut
bekerja dari beberapa lembaga penegak hukum yang berbeda, namun
saling berhubungan dan bekerjasama yang erat dan tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya, seperti penyidikan oleh lembaga kepolisian, yang
mana proses penyidikan dinyatakan selesai ketika hasil penyidikan
tersebut dinyatakan lengkap oleh lembaga kejaksaan, selanjutnya perkara
akan dibawa oleh Jaksa ke Pengadilan untuk dilakukan proses pembuktian
dihadapan majelis hakim dan advokat membela hak-hak terdakwa,
selanjutnya jaksa menuntut terdakwa dan diputus oleh hakim, setelah itu
dialkukan proses ekesekusi di lembaga pemasyarakatan, itulah mekanisme
bekerjanya sebuah sistem peradilan pidana yang terdiri dari beberapa
subsistem yang bekerja saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya, ia bekerja secara terpadu dan saling ketergantungan
satu dengan lainnya hingga selesainya perkara pidana tersebut. Makna dari
sebuah sistem itu adalah adanya sinkronisasi yang menjadi menjadi sebuah
keharusan karena untuk mewujudkan keserempakan dan keselarasan, yang
terdiri dari sinkronisasi struktural, sinkronisasi substansial dan
sinkronisasi kultural.
Menurut Muladi bahwa sistem peradilan pidana itu merupakan suatu
jaringan (network), yang menggunakan hukum pidana materiil , hukum
pidna formal maupun hukum pelaksanaan pidana . Namun kelembagaan
ini harus dilihat dalam konteks sosial, hal ini dimaksudkan untuk
mencapai keadilan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya adalah bentuk perwujudan
penegakan hukum “ in concreto “, sedangkan perundang-undangan
merupakan perwujudan penegakan hukum “in abstracto”

2. Sebelum dijawab kelemahannya, terlebih dahulu akan dijelaskan apa itu


pendekatan normatif dalam SPP yaitu pendekatan yang memandang
kelima aparatur penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga kelima aparatur tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum
semata-mata.
Kelemahan utama pendekatan sistem ini adalah tidak masuknya nilai-nilai
subyektivitas berbasis keadilan substantif, di ibaratkan bekerjanya sebuah
mesin yang monoton / statis, sehingga tingkat prediktibility hasil yang
dicapai sangatlah rendah. Disamping itu banyak ditemuinya pelaksanaan
aturan dilapangan yang tidak efektif dan multi interpretatif serta banyak
pertentangan antara aturan yang satu dengan aturan yang lainnya, tidak
terjadi keserempakan dan keselarasan struktur, substansi dan kultur.
Adapun Model Sistem Peradilan yang cocok untuk indonesia adalah
Sistem peradilan Pidana Terpadu (Integrated criminal justice system)
karena sistem peradilan pidana terpadu mampu menjaga keseimbangan
dan keselarasan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,
masyarakat maupun individu disamping itu didukung oleh faktor
sinkronisasi Struktural, sinkronisasi Substantif dan sinkronisasi kultural.
Kelemahan sistem peradilan pidana dengan pendekatan normatif  :
Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai penelitian

hukum doktriner, Pendekatan normatif memandang unsur aparatur

penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan

yang berlaku sehingga para aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.

3. Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum

sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat.

Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya

dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil

amandemen.  Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya

memiliki penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan

bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan

pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik PIDANA

maupun PERDATA. Seperti istilah di atas, 'Runcing Kebawah Tumpul

Keatas' itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi

penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua merasakannya?

Apakah kita bisa melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh

masyarakat Indonesia juga melihat kenyataanya.

Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik

daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan

penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan


berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan

juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering

dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan

masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli,

yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak

pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada

pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat

penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan

hukum secara menyeluruh dan adil. 

Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka

tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang

seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi

semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat

hukumyangmorat-marit. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan

hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif

atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui

dalam penegakan hukum di negeri ini. Orang biasa yang ketahuan

melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur saudara

Hamdani yang 'mencuri' sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia

bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di

Purbalingga, serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji

semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat beratnya. Sedangkan

seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah


milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya

dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-

orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang

dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nunda. Seakan-akan

masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut.

Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus

Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan

yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun

penjara, kasus Bank Century dan yang masih hangat saat ini Ketua

Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi

Tangkap Tangan. Dalam operasi itu, KPK telah menyita uang dollar

Singapura senilai Rp 3 miliar yang menunjukkan penegakan hukum di

bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus diatas

prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal

semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita.

Kapankan ini semua akan berakhir?

Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh

besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak

para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan

mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja

merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. 


4. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

a. Asas dan Model Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Landasan atau dasar daripada sistem peradilan pidana di Indonesia

secara umumnya saat ini yaitu pada Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya disebut KUHAP).

Dalam KUHAP terdapat beberapa asas yang menjadi dasar sebagai

berikut :

1) Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Asas

praduga tak bersalah (presumption of innocence) menurut

penjelasan umum KUHAP butir ke 3 huruf c adalah asas yang

menyatakan bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan,

wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan

yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

tetap (inkracht van gewisjde). Asas praduga tak bersalah juga

diatur dalam pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Lebih jauh, M. Yahya Harahap menyatakan bahwa dengan

asas ini, tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia

yang memiliki hakikat martabat. Tersangka atau terdakwa harus


dinilai sebagai subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang

dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah

kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan.

Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas

praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang

telah berkekuatan tetap. 1Asas praduga tak bersalah merupakan

bentuk penghormatan hak asasi manusia terhadap tersangka atau

terdakwa dan sekaligus salah satu ciri dan prinsip utama dari due

process model.

2) Asas Opportunitas

Asas opportunitas secara global diartikan “the public

prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make

prosecution to court or not” yang artinya penuntut umum boleh

menentukan untuk menuntut atau tidak menuntut ke pengadlan

dengan syarat atau tanpa syarat. Asas ini tidak terlepas dari sistem

peradilan pidana Indonesia yang menempatkan jaksa sebagai

dominus litis suatu penuntutan perkara pidana, karena asas ini juga

dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara diluar pengadilan.

Asas ini termaktub dalam pasal 14 huruf h KUHAP. Pada KUHAP

Pasal 14 ayat (h), asas oportunitas sangat diartikan sangat sempit

karena di dalam pasal ini penuntut umum diberikan wewenang

untuk menutup perkara demi kepentingan umum tanpa

1
M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan. Sinar Grafika. Hlm.34
menjelaskan bagaimana dan apa saja yang bisa dikategorikan

kedalam kepentingan umum tersebut, ditambah lagi di bagian

penjelasan umum Pasal 14 tidak ada pengertian yang lebih detil

lagi mengenai kepentingan umum.2

Lebih khusus lagi asas opportunitas diatur pada pasal 31

ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan yang memuat salah satu tugas dan wewenang yaitu

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dan lebih

dijelaskan lagi pada bagian penjelasan Pasal 35 huruf c. Dari

penjelasan pasal 35 huruf c undang-undang tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa asas oportunitas hanya dapat dilakukan oleh

jaksa agung saja dengan meminta saran dan pendapat badanbadan

kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah

tersebut. Sesuai dengan sifat dan bobot perkara yang

menyampingkan tersebut, jaksa agung dapat melaporkan terlebih

dahulu rencana penyampingan perkara kepada presiden untuk

petunjuk.

3) Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan

Ketentuan asas cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat

pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

2
Mazmur Septian Rumapea, dkk, Eksistensi Asas Oportunitas Dalam Penuntutan Pada Masa Yang
Akan Datang
Adapun penjelasan dari ayat tersebut yang dimaksud dengan

sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan

dengan cara efisien dan efektif, lebih lanjut dalam proses peradilan

yaitu konteks acara haruslah jelas dan mudah dipahami dan tidak

berbelit-belit. Asas cepat yaitu bahwa proses keseluruhan

peradilan dari tahap awal sampai akhir haruslah cepat dimana

dapat dimaknai sebagai efisiensi dan efektivitas dalam hal waktu

dan tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Peradilan

cepat juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 14 paragraf 3 (c) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU

No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik). Dalam konvensi tersebut diatur

tentang persyaratan jaminan minimal dalam pelaksanaan pidana.

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “untuk diadili tanpa

penundaan” selanjutnya pada Pasal 9 paragraf 3 Kovenan tersebut

juga mengatur bahwa salah satu tujuan dari prinsip peradilan yang

cepat adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa (untuk tidak

ditahan terlalu lama serta memastikan adanya kepastian hukum

baginya). Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah

biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, dalam hal ini

penulis berpendapat bahwa masyarakat yang dimaksud adalah


masyarakat dari segala lapisan sehingga hukum dan keadilan dapat

dicapai oleh semua orang. Biaya hendaknya tidak dimaknai secara

sempit mengenai biaya yang ada dalam proses persidangan yang

ditentukan oleh Kepaniteraan Pengadilan saja, biaya tersebut dapat

juga diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan oleh terdakwa dan

keluarganya selama menjalani persidangan, biaya bolak-balik

menjalani persidangan dll 3

Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam

pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak

mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari

kebenaran dan keadilan. Selain itu juga terdapat beberapa

ketentuan dalam KUHAP yang merupakan perwujudan asas

tersebut diantaranya yaitu pada pasal 50, pasal 56, dll.

4) Asas unus testis nullus testis

Asas ini menyatakan bahwa dengan hanya ada satu saksi

dalam suatu perkara pidana, maka saksi tersebut bukanlah saksi

dalam artian tidak dapat dianggap sebagai alat bukti saksi,

minimal harus terdapat dua saksi yang keterangannya saling

mendukung dan tidak saling bertolak belakang.

3
Marfuatul Latifah. 2014. Pengaturan Jalur Khusus Dalam Rancangan UndangUndang Tentang
Hukum Acara Pidana. Jurnal:Tanpa penerbit. Hlm. 35.
5) Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum,

dalam hal ini bertujuan agar adanya transparasi atau keterbukaan

dalam proses peradilan sehingga masyarakat dapat mengetahui

dan dapat memantau jalannya suatu perkara. Namun ada jenis

perkara pidana yang dikecualikan dari asas ini, yaitu dalam jenis

perkara pidana perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya

anak-anak, maka pemeriksaan sidang dilakukan secara tertututup (

Pasal 153 ayat (3) KUHAP)

6) Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equality

before the law);

Asas ini menyatakan bahwa semua orang dianggap sama

dan akan mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum tanpa

ada keistimewaan berdasarkan apa yang dibawanya misalnya ras,

suku, agama dll. Berikut merupakan pengaturan mengenai asas

tersebut:

a) Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi " Segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

b) Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dimana Indonesia

sebagai negara hukum akan menempatkan warga negara-

nya setara atau sama kedudukannya di depan hukum


c) Pasal 26 "International Convenants Rights" yang berbunyi:

all person are equal before the law and are entitled without

any discrimination to the equal protection of the law. In

this respect, the law shall prohibit any discrimination and

guarantee to all persons equal and effective protection

againts discrimination on any ground such as race, colour,

sex, language, religion, political, or other opinion, national

or social origin, property, birth or other status'. Subyek

hukum dalam prinsip EBTL Bebas diskriminasi (hukum)

baik aspek substansi hukumnya atau penegakan hukum

oleh aparatnya4

7) Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap

Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa,

dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk

jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara

(Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).

8) Tersangka/terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Hal ini telah menjadi ketentuan universal di negara-negara

demokrasi dan beradab, sebagaimana dalam The International

Covenant on Civil and Political Rights article 14 sub 3d telah

memberikan jaminan kepada tersangka/terdakwa. Pasal 69 sampai

dengan 74 KUHAP juga telah mengatur tentang bantuan hukum

4
http://sosbudpolhuk.blogspot.co.id/2015/11/kesamaan-di-mata-hukum-asasequality.html, diakses
pada 1 Juli 2017
terhadap tersangka/terdakwa, pembatasan-pembatasan hanya

dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya

sehingga kebebasan dan kelonggaran diberikan dari segi yuridis

semata-mata dan bukan dari segi politis, sosial maupun ekonomi.

9) Asas akuisator dan inkuisitor

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum yang diatur

menunjukkan dianutnya asas akusator, yang berarti perbedaan

antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang

pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Asas inkuisitor berarti

tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan, bahwa

pengakuan tersangka merupakan bukti terpenting. Sesuai hak-hak

asasi manusia yang menjadi ketentuan universal, asas inkisitor

telah ditinggalkan banyak negeri beradab, sehingga berubah pula

sistem pembuktian yang alat-alat bukti berupa pengakuan diganti

dengan „keterangan terdakwa‟, demikian pula penambahan alat

bukti berupa keterangan ahli

10) Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.

Berdasarkan sepuluh asas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

sistem peradilan pidana di Indonesia dalam KUHAP menganut

“due process of law” (proses hukum yang layak) 5 yang

mengedepankan hak asasi manusia dalam sistem peradilan

5
Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme. Jakarta. Putra A. Bardin. Hlm. 43.
pidananya melalui hak-hak tersangka atau terdakwa sebagai

berikut:

1) Berhak segera diproses perkaranya, yakni tingkat

penyidikan, tingkat penuntutan maupun tingkat

persidangan (Pasal 50 KUHAP)

2) Berhak mengetahui dengan jelas yang disangkakan /

didakwakan padanya (Pasal 51 KUHAP)

3) Berhak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat

pemeriksaan (Pasal 54, 55, 56, dan 114 KUHAP);

4) Berhak memberi keterangan secara bebas (Pasal 52

KUHAP)

5) Tersangka/terdakwa yang ditahan berhak: a. Menerima

kunjungan dokter; b. Menerima kunjungan rohaniawan; c.

Menerima kunjungan sanak keluarga; 6) Berhak

mengajukan saksi-saksi yang menguntungkan dirinya; 7)

Berhak ganti rugi dan rehabilitasi (melalui lembaga

praperadilan) jika ternyata tidak bersalah.

5. Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi

kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan

penanganan yang luar biasa. Selain itu, upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus

dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya,

baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti


peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum

guna menumbuh kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan

ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19

Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan

khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum

yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan hal tersebut

perlu pengaturan mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam

suatu undang-undangtersendiri.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan pengadilan

khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan

satusatunya yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana

korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu kota kabupaten/kota

yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana

dan prasarana. Namun untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang

ini, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada

setiap ibukota provinsi. Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai


Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karier

dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya

berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc

diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak

pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian,

maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang

keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan

jasa pemerintah.  

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai dengan

hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-

Undang ini. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur:

a) Penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan 

wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

b) Mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang

pengadilan baik pada tingkat pertama, banding maupun kasasi

c) Jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak pidana

korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan

d) Alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat

bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara

sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e) Adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.  
 

 Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat Undang-Undang

berlaku, diatur mengenai masa transisi atau peralihan terhadap

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan

UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  dan Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini,

antara lain mengenai keberadaan Hakim ad hoc. Hakim ad hoc

yang telah diangkat berdasarkan undangundang sebelum Undang-

Undang ini berlaku, tidak perlu diangkat kembali, tetapi langsung

bertugas untuk masa jabatan 5 (lima) tahun bersamaan dengan

masa jabatan Hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan Undang-

Undang ini.Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan

dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara

sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu,

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu

dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu

didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia

maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas

kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna

menumbuh kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti

korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk

berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-

019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa

pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu

lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-

undang tersendiri. Berdasarkan hal tersebut perlu pengaturan

mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam suatu undang-

undang tersendiri.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan

pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum

dan pengadilan satusatunya yang memiliki kewenangan mengadili

perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh

penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk

di setiap ibu kota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara

bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana. Namun

untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada setiap ibukota


provinsi. Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai Hakim

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karier

dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan

pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya.

Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan

dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang

menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya

cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan

perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa

pemerintah.  

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai

dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain

dalam Undang-Undang ini. Kekhususan hukum acara tersebut

antara lain mengatur:

a) penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua

dan  wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

b) mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di

sidang pengadilan baik pada tingkat pertama, banding

maupun kasasi;

c) jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak

pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan;


d) alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk

alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus

diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

e) adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.  

Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat Undang-

Undang berlaku, diatur mengenai masa transisi atau peralihan terhadap

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan

UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi  dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang

dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini, antara lain mengenai

keberadaan Hakim ad hoc. Hakim ad hoc yang telah diangkat

berdasarkan undangundang sebelum Undang-Undang ini berlaku, tidak

perlu diangkat kembali, tetapi langsung bertugas untuk masa jabatan 5

(lima) tahun bersamaan dengan masa jabatan Hakim ad hoc yang

diangkat berdasarkan Undang-Undang ini.

Anda mungkin juga menyukai