Anda di halaman 1dari 33

Landasan Penguatan Basis Restoratif Justice Dalam Peradilan

Anak
A. Pengaturan Restorative Justice terkait Peradilan Anak

Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru


untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan
restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan
solusi yang komprehensif dan efektif41 Restorative Justice (Keadilan
Restoratif) bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga
dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum,
dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Adapun konsep restorative justice
dapat dilihat dalam draft Declaraction of Basic Principles on The Use of
Restorative Justice Programmer in Criminal Matters, sebagai berikut:
a) Program restorative justice berarti program yang menggunakan proses
restorative atau mempunya maksud mencapai hasil restorative
(restorative outcome).
b) Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai
hasil dari proses restorative justice. Contoh: restitution, community
service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan
masyarakat dan mengembalikan korban dan/atau pelaku.
c) Restorative justice dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban,
pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi
aktif bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan
dan dicampuri oleh pihak ketiga. Contoh proses restorative mediation,
conferencing dan circles.

1
d) Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota
masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam
program restorative justice.
e) Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi
memfasilitasi partisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan.

M. Wright menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif)


pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan
setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman)
namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab,
dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Menurut Van Ness
untuk mengembangkan konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa
hal yaitu:
1) Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu yang
menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri,
hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran hukum.
2) Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan
rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan
yang ada pada korban akibat dari criminal yang terjadi.
3) Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari
korban, pelaku dan masyarakat dan bukan didominasi oleh Negara dengan
mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan pelanggaran dari proses
penyelesaian.

Konsep restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan


berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai Negara dan
akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan
criminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem peradilan tradisional.

2
Konsep restorative justice berkembang bersamaan dengan perkembangan
zaman dari waktu ke waktu.Dalam perkembangan konsep restorative justice ini,
pada dasarnya terdapat 5 (lima) prinsip kunci dari restorative justice sebagaimana
dikemukakan oleh Susan Sharpe yaknI :
1) Restorative justice invites full participation and consensus (restorative justice
mengandung partisipasi penuh dan consensus), artinya korban dan pelaku
dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang
dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentigan mereka telah
terganggu atau terkena imbas.
2) Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice berusaha
menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan
kejahatan). Sebuah pertanyaan penting tentang restorative justice adalah
apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan menguatkan
kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-
jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan
dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah
merugikannya atau pelaku criminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk
menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh
penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan
ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah mengenai konflik apakah yang
sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi pemulaan sehingga dia
terlibat atau bahkan melakukan kejahatan dan mereka butuh kesempatan untuk
memperbaiki semuanya.
3) Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative justice
memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh).
Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku
harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka
melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah
dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang
banyak.
Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan
masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil
langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.

3
4) Restorative justice seeks to recinite what has been devided (restorative justice
mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah
atau terpecah karena tindakan criminal). Tindakan criminal telah memisahkan
atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu
bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan
kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat
ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan
melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan
keduanya kembali ke dalam masyarakat. Prespektif restorative justice adalah
julukan “korban” dan “pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus
punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak
dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga
disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita
5) Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent
further harms (restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat
agar dapat mencegah terjadinya tindakan criminal berikutnya). Kejahatan
memang menimbukan kerusakan dalam masyarakat, tapi selain daripada itu
kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk
menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat.
Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh
pengaruh keadaan di luar kehendak dari seseorang, sehingga terciptalah
“korban”, “pelaku” dan perilaku criminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan
karena sistem yang ada dalam masyarakat yang mendukung terjadinya criminal
seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada
dasarnya sama sekali. Oleh sebab itu korban dan pelaku harus kembali
ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang
adil dan aman untuk hidup.

4
Selanjutnya perubahan paradigma tentang keadilan dalam
hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini.
Masyarakat Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa
perlu ada perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani
permasalahan anak yang bermasaah dengan huku Sistem peradilan anak
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menekankan pada keadilan retributive
(menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan
keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) hanya memberikan wewenang
kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum
(Polisi, Jaksa, dan Hakim).
Setelah lahirnya undang-undang tentang sistem peradilan
pidana anak maka konsepsi restorative justice telah diformulasikan
perumusan normanya di dalam undang-undang. Hal ini dilihat dari
perumusan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa
“keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan
pembalasan. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak reehadap anak sebagai pelaku
maupun korban tindak pidana sedikit sekali diberikan kesempatan untuk
menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan.
Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan
memberikan hukuman penjara pada pelaku sehingga berimplikasi tindak
kriminal yang dilakukan oleh anak semakin meningkat karena di penjara
mereka justru mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan
kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. Menurut Jim
Consedine, salah seorang pelopor Restorative Justice dari New Zealand,
berpendapat konsep keadilan retributif dan restitutif yang berlandaskan
hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan

5
harus digantikan oleh Restorative Justice (keadilan restorative) yang
berdasarkan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat,
pemaafan dan pengampunan.
Adapun tujuan hakiki yang ingin diwujudkan dalam pengaturan
restorative justice di dalam undang-undang adalah agar terciptanya
moral justice dan social justice dalam penegakan hukum selain
mempertimbangkan legal justice. Dapat pula diartikan terwujudnya
keseimbangan di masyarakat pasca putusan hakim. Sistem peradilan
pidana anak Indonesia sebagaimana di atur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
merupakan salah satu konkretisasi ide keadilan restroratif, karena dalam
beberapa perkara dan untuk kategori pelaku tentu penegak hukum
diwajibkan melakukan kebijakan diversi. Undang-undang tersebut sudah
berlaku sejak 1 Agustus 2014. Dalam Undang-Undang ini di atur
tentang penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum baik
melalui peradilan pidana maupun diversi. Penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum harus didasarkan pada kepentingan terbaik
bagi anak. Pengertian frasa “terbaik bagi anak” terkait dengan sifat anak
baik fisik, psikis maupun sosial sehingga kepentingan anak satu dengan
lainnya tidak harus sama. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam
praktik di banyak Negara, peradilan anak seringkali menggunakan
diversi untuk mendahului sistem peradilan pidana anak.
“The major goal of the first juvenile court’s, established at the turn of
the century, was to provide an alternative to and thereby divert youth
from, the criminal court”.
Keadilan restorative merupakan suatu ide dan gerakan yang
mengedepankan keadilan dalam prespektif pelaku dan keluarganya,
korban dan keluarganya, masyarakat dan pemangku kepentingan dalam
rangka pemulihan keadaan masing-masing. Karena itu, konsepsi
pemikiran keadilan restorative (restorative justice) menjadi salah satu
upaya menjauhkan anak dalam sistem peradilan pidana yang tidak perlu.
Pendekatan ini mengutamakan penyelesaian tindak pidana di luar

6
peradilan pidana. Pendekatan tersebut bukan hanya pada anak,
melainkan juga pada orang dewasa (misalnya pencurian ringan,
penggelapan ringan, perbuatan curang dan/atau penipuan ringan)
maupun anak-anak. Bahkan di beberapa Negara maju, korporasi yang
melakukan tindak pidana dapat juga diselesaikan dengan pendekatan
keadilan restorative.
Pengertian keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum
adalah di pastikan nya semua anak untuk memperoleh layanan dan
perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum.
Anak berhadapan dengan hukum diartikan ketika anak dalam posisi
sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum ketika anak
diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana. Dalam
penanganan anak bermasalah dengan hukum, konsep pendekatan
Restorative Justice System menjadi sangat penting karena menghormati
dan tidak melanggar hak anak.
Restorative Justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk
memperbaiki /memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang
dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan
lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari
proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan
psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di
depan hukum. Pada dasarnya di dalam prinsip restorative justice terdapat
upaya untuk mengajurkan rekonsiliasi, restitusi dan pertanggungjawaban
dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku atau keluarga korban dan
juga masyarakat. Tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaannya adalah
:
a) Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermartabat
dan bernilai. Mengubah pandangan dan perhatian anak terhadap hak
asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan menjaga rasa
tanggungjawab anak terhadap perbuatannya dan melindungi
kepentingan korban dan masyarakat.
b) Mendukung rencana rekonsiliasi dan proses restorative justice.

7
c) Keterlibatan orang tua, keluarga, korban dan masyarakat dalam proses
peradilan anak untuk mendukung reintegrasi anak dalam syarat yang
ditentukan.

Di Indonesia, yang dimaksud Restorative Justice (Keadilan


Restoratif) adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku,
korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak
pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana
tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula sebagaimana diatur dalam beberapa kebijakan penegak
hukum, diantaranya:
1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959,
menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.
2) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal
16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
3) Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan
terhadap Anak.
4) Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9
Nov 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5) MOU 20/PRS-2/KEP/2005 antara DitBinRehSos Depsos RI dengan
DitPas DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak
yang berhadapan dengan hukum
6) Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005
tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan
ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan
7) Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan
mengutamakan putusan tindakan daripada penjara
8) Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK
dan tata cara pemeriksaan saksi dan korban TP
9) TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan
TR/395/VI/2008, tanggal 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan
restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan

8
pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai
pelaku, korban atau saksi
10) Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor :
12/PRS-2/KPTS/2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009,
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI Nomor
11/XII/KB/2009, DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06/XII/2009,
DAN KEPOLISIAN NEGARA RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan
Hukum.
11) Surat Keputusan Bersama Ketua MAHKAMAH AGUNG RI,
JAKSA AGUNG RI,KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI,
MENTERI HUKUM DAN HAM RI, MENTERI SOSIAL RI,
MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148
A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02
TAHUN 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan
PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang PENANGANAN
ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM.

Selanjutnya keberadaan penggunanaan restorative justice


melalui diversi di Indonesia telah diakui melalui Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif 2 (dua)
tahun kemudian. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa: “Pada
tingkatan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”. Syarat atau kriteria tindak
pidana yang dapat dilakukan diversi adalah sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang selengkapnya berbunyi: “Diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

9
a) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.

Perlu diperhatikan terkait diversi ini adalah faktor –faktor


penggunaan diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak, dalam
Undang –Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak diatur dan dirumuskan dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1)
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
berbunyi: “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan
Diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak,
hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan dukungan lingkungan
keluarga dan masyarakat.

B. Pengaturan Restorative Justice di dalam Hukum Pidana


Restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara
yang dilakukan di luar peradilan formal. Restorative justice mempunyai
cara berfikr dan paradigma baru dalam memandang sebuah tindak
kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia tanpa semata-mata
memberikan hukuman pidana. Penanganan terhadap tindak pidana dapat
dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap
korban, pelaku dan masyarakat. Konsep restorative justice dimulai dan
berawal dari pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan
melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan
pelanggaran/pengrusakan terhadap suatu norma hukum yang berlaku.
Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merupakan perbuatan
merusak tatanan hukum (law breaking) yang telah dibuat negara, tapi
juga merusak tatanan masyarakat (socienty value), karena tindak
kejahatan yang terjadi menyangkut kepentingan korban, lingkungan,
masyarakat luas dan negara. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Howard
Zehr pada Tahun 1990 yang menerangkan bahwa kepentingan semua
pihak yang bersentuhan dengan pelanggaran tersebut harus dilibatkan
secara aktif dalam proses penyelesaian. Meskipun tindak pidana yang
dilakukan telah merusak terhadap tatanan nilai masyarakat, akan tetapi

10
tetap yang menjadi sentral atau pokok permasalahan terhadap tindak
pidana yang dilakukan adalah bahwa masalah pelanggaran yang terjadi
tersebut harus telah tercantum dalam hukum negara (legal state) dan
tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan kejahatan/bersalah (guilty)
dan dikenakan pertanggungjawaban pidana (criminal liability).
Berdasarkan pandangan restorative justice bahwa penanganan
kejahatan yang terjadi bukan hanya menjadi tanggungjawab negara akan
tetapi juga merupakan tanggungjawab masyarakat. Konsep restorative
justice dibangun berdasarkan pengertian bahwa kejahatan yang telah
menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik kerugian yang
diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung oleh masyarakat.
Terhadap pandangan konsep restorative justice dalam pelaksanaannya
memberikan banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif
dalam penyelesaian masalah kriminal.
Konsep restorative justice menjadi suatu kerangka berfikir dalam
upaya untuk mencari tentang adanya suatu alternatif penyelesaian
terhadap kasus tindak pidana yang terjadi. Alternatif penyelesaian yang
dilakukan sebagai sebuah upaya penyelesaian yang menciptakan keadilan
yang berperikemanusiaan. Proses restorative justice pada dasarnya
dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi yang dilakukan
oleh aparat penegaran hukum pada sistem peradilan pidana (criminal
justice system) dalam kerangka memfungsionalisasikan hukum pidana,
hal ini mengandung arti sebagai upaya untuk pengalihan dari proses
peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal
baru bagi bangsa Indonesia.
Sebelum pendudukan Belanda, bangsa Indonesia sudah memiliki
hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan
penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat
diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan.

11
Penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam kerangka menegakkan hukum pidana dengan pendekatan
keadilan restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda
dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana sebagai syarat
adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative
sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana.
Restorative mensyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara
kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak
penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat.
Sasaran akhir dari konsep restorative justice yakni berkontribusi
terhadap berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan
stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia
normal; pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak
mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja aparat penegak
hukum dalam bingkai integrated criminal justice system dan menghemat
keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah
dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian;
memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan;
pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal
sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang
memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:
sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik,
pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan
diskresi dan pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak
tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku atau pelanggar
agar mengakomodasi kerugian korban.
Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian”
dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keuntungan dari penggunaan
“penyelesaian di luar pengadilan”dalam menyelesaikan kasus-kasus
pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan
kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat

12
menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti
sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan
atau disepakati dengan pihak korban. Keadilan dengan pendekatan
restorative menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak
sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa
dan putusan hakim. Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi
dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana di
dalam konsep hukum pidana sebagai berikut:
1) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan,
baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2) Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai
ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal
80 KUHP)
3) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”,
bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
4) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang
hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai
ultimum remedium.
5) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba
ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk
melakukan diskresi.
6) Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses
ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang
hukum yang dimilikinya.
7) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran
hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat
(Mudzakkir,2007).
Pengaturan hukum pidana di dalam KUHP dan KUHAP sendiri
dalam kerangka pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan
sistem pemidanannya cenderung menjadikan sanksi penjara sebagai
primadona hukuman atas terpidana. Sanksi hukuman lain hanya dianggap
sebagai sanksi alternatif. Berdasarkan konsepsi pengaturan hukum pidana

13
di dalam KUHP dan KUHAP maka hakim-hakim yang mengadili kasus-
kasus pidana menjadikan penjara sebagai sanksi utamanya. Konsepsi
keadilan yang diharapkan dan diperlukan masyarakat, khususnya korban
tindak pidana tersebut, adalah keadaan yang semaksimal mungkin seperti
sebelum terjadinya tindak pidana. Penegakan hukum yang sebaiknya di
dalam sistem peradilan pidana terhadap tindak pidana yang dikategorikan
sebagai delik aduan, pelanggaran yang hanya diancam pidana denda dan
menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium dapat diterapkan
konsep restorative justice (Mudzakkir, 2010).
Berdasarkan sudut pandang otologisme di dalam hukum
sebagaimana dikemukakn oleh Subekti yang dikutip oleh Waluyadi,
menyatakan bahwa yang menjadi sasaran atau tujuan dari hukum adalah
hendaknya hukum tersebut mengabdi kepada tujuan negara yang pada
pokoknya mendatangkan kemakmuran dan kebangkitan pada rakyatnya.
Selanjutnya Aristoteles, menyatakan bahwa yang menjadi tujuan hukum
adalah dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat manusia
(Waluyadi,2010). Berdasarkan tujuan hukum yang dimukakan oleh
Subekti, tersirat ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalamnya.
Kalimat ”. . . mengabdi pada tujuan negara demi kemakmuran
rakyat. . . . ” terdapat benang merah yang menghubungkan antara negara
sebagai badan hukum yang berwenang menyelenggarakan keadilan dan
ketertiban dengan rakyat sebagai pemberi kedaulatan kepada para wakil-
wakil yang bertugas dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai
konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana
(formal dan materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi
kriminologi dan sistem pemasyarakatan. Berdasarkan kenyataan yang
ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin
keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan
bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Konsepsi berfikr inilah yang
mendorong kedepan konsep ”restorative justice”. Kemudian Bagir
Manan dalam (Retorative Justice (Suatu Perkenalan), dalam Refleksi

14
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, 2008)
menguraikan tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-
prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku,
korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau
tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai
”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan
penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.
Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana
dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, dari pada
penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan
impersonal dengan menggunakan pola sebelum dan sesudah proses
peradilan berjalan. Sebelum proses peradilan, dimaksudkan ketika
”perkara” tersebut masih ditangan kepolisian atau kejaksaan. Baik atas
inisiatif kepolisian, kejaksaan, seseorang atau kelompok masyarakat,
dilakukan upaya menyelesaikan perbuatan pidana tersebut, dengan cara-
cara atau prinsip pendekatan Restorative justice (keadilan restoratif).
Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan juga pada saat perkara
dilimpahkan ke Pengadilan.
Hakim misalnya, dapat menganjurkan penyelesaian menurut cara-
cara dan prinsip Restorative Justice. Dimungkinkan juga ditengah proses
peradilan dapat ditempuh cara-cara penyelesaian menurut prinsip
Restorative Justice. Apabila dilihat dari posisi terdakwa dan korban,
maka Restorative justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi yang
bertujuan mencapai ”win-win solution” seperti dalam perkara
keperdataan ( Manan, 2008).

C. Pengaturan Restorative Justice di dalam Undang-Undang Nomor 2


Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang
merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan
pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada

15
pada saat ini. Restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir
yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi
penegak dan pekerja hukum. Polri didalam menjalankan tugas kepolisian
yang meliputi kegiatan kepolisian dan operasional kepolisian diberikan
kewenangan diskresi (discretionary power). Kewenangan diskresi adalah
kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak
meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian
dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara sehingga pelaku
tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara
formal (Adrianto, 2012).
Diskresi bukan merupakan suatu kewenangan tetapi merupakan
tindakan lain kepolisian dan harus dipertanggungjawabkan secara hukum
dan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, Diskresi
sangat rentan akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sehingga perlu
diberikan pengawasan yang jelas dan ketat terhadap penerapannya.
Diskresi yang ada pada tugas polisi dikarenakan pada saat polisi
menindak, lalu dihadapkan pada 2 (dua) macam pilihan apakah
memprosesnya sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai penegak
hukum pidana ataukah mengenyampingkan perkara itu dalam arti
mengambil tindakan diskresi kepolisian.
Tindakan diskresi ini mempunyai arti tidak melaksanakan tugas
kewajibannya selaku penegak hukum pidana berdasarkan alasan-alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum. Alasan-alasan itu bisa
berupa membina pelaku, demi ketertiban atau karena alasan-alasan hukum
yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-alasan inipun erat kaitannya atau
masuk dalam kerangka tugas preventif polisi. Tindakan kepolisian yang
berupa menindak (represif) yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan
diskresi ini, disebut dengan tindakan diskresi kepolisian aktif. Sedangkan
keputusan kepolisian yang berupa sikap kepolisian yang umumnya
mentolelir (mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum
disebut diskresi kepolisian pasif. Penerapan Diskresi merupakan amanat
yang dasarkan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

16
(KUHAP) maupun Undang-Undang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penerapan diskresi ini bertujuan untuk memelihara keamanan
dan ketertiban untuk tegaknya supremasi hukum guna melindungi hak
asasi manusia (Adrianto, 2012).
Dalam melakukan tindakan diskresi agar tidak terjadi tindakan
yang melampaui wewenang (abuse of power) perlu dilakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan diskresi tersebut dengan tetap mempedomani
batasan-batasan yang telah digariskan oleh Undang-Undang. Konsep
restorative justice ini menekankan bahwa penyelesaian perkara maupun
konflik yang timbul dari perkara hukum didasarkan atas partisipasi
masyarakat. Kasus yang melibatkan pelaku tidak selalu perlu diproses
secara hukum, cukup diselesaikan melalui komunitas dengan jalan
kekeluargaan. Proses ini diharapkan akan mengurangi dampak dari kasus
tersebut, sehingga berimplikasi pada Harkamtibmas dan kepentingan
umum, karena tentunya berdampak pada adanya rasa dendam, tidak jarang
terjadi ”tawuran” antar kelompok, antar kampung, antar suku karena tidak
ada penyelesaian yang tuntas antara pelaku dengan pihak korban dan
keluarganya serta lingkunganya, meski terdakwa sudah dijatuhi hukuman
(Adrianto, 2012).
Payung hukum kehadiran Polri dalam konteks penyidikan untuk
memberikan rasa keadilan sering dikonstruksikan terkait tindakan
kepolisian sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni dalam redaksional
“tindakan lain” yang ditendensikan kepada makna ”diskresi kepolisian”.
Penyidik kepolisian diberi kewenangan yang bersifat personal
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) butir j Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) butir
1 serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada
penyidik Polri untuk “dapat mengambil tindakan lain” dengan syarat-
syarat tertentu dan hal ini adalah identik dengan pemaknaan dari diskresi
kepolisian (KabagreskrimPolri, 2013).

17
Diskresi kepolisian dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan:
(1) Untuk kepentingan umum, pejabat kepolisian Negara republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilainnya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: yang
dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah
suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat
resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”.
Diskresi Kepolisian apabila dicermati dalam pasal
selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa tugas pokok Polri
dalam penyidikan merupakan bagian dari tugas Polri untuk melayani
masyarakat. Secara eksplisit dalam pasal 14 ayat 1 huruf k dijelaskan
bahwa dalam melaksankan tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 (termasuk menegakkan hukum), Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas : memberikan pelayanan kepada
masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian. Beradasarkan bunyi pasal tersebut diatas sebenarnya
undang- undang sudah memberikan kewenangan kepada Polri untuk
memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya. Hal ini senada dengan konsep implementasi
restoratif justice.

D. Pengaturan Restorative Justice di dalam Kebijakan Internal Polri


Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini

18
merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum
Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang
memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak
atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka
kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum. Pelaksanaan tugas-tugas kepolisian banyak sekali
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan petunjuk pelaksanaan tugas
baik berupa Perkap, SOP (Standing operation prosedur), Juklak,
Juknis sehingga dalam pengambilan keputusan untuk penerapan
Diskresi ini agar benar-benar diberikan pembatasan-pembatasan yang
betul-betul mengikat sehingga penyimpangan hukum dalam penerapan
Diskresi ini bisa diminimalisir terjadinya suatu penyimpangan hukum.
Kewenangan dalam penerapan Diskresi ini didasarkan pada
pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (Flichtmassiges
Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian
Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang
baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu
digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian”
dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi
pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 31, 32, dan 33 Undang-
undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mampu
mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan
penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Pasal 2 UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi
Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal
4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan

19
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Pasal 18
ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
Pasal 16 Ayat (1) huruf l merumuskan bahwa “dalam rangka
menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab”. Selanjunya ayat (2)
merumuskan bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum. Kedua, selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.
Ketiga, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya. Keempat, pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
yang memaksa. Kelima, menghormati HAM.
Polri sudah mengagendakan implementasi restorative justice
dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Impelementasi restorative justice dapat dilihat dari beberapa
kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh Polri antara lain
Peraturan maupun Surat Telegram Kabagreskrim Polri terkait
penerapan restorative justice untuk penanganan perkara anak,
sebagaimana tertuang di dalam TR KabareskrimPolri Nomor:
TR/1124/XI/2006.
Kebijakan internal Polri menyangkut restorative justice juga
mengatur dalam kerangka penghentian perkara demi kepentingan
umum di dalam Surat Telegram Rahasia No.STR/583/VIII/2012
tentang penerapan Restorative Justice dari Kabareskrim kepada para
Dir Reskrimum, Dir Reskrimsus, dan Dir Resnarkoba di seluruh Polda
dengan mendasari Pasal 18 Undang- Undang Kepolisian yaitu
“melakukan tindakan atas penilaian sendiri didasarkan kepada

20
pertimbangan manfaat serta resiko dari tindakan tersebut dan betul-
betul untuk kepentingan umum”. Upaya mencari dasar hukum yang
tepat ini kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing
penyidik. Ada yang menganggap bahwa dasar hukum penghentian
penyidikan demi kepentingan umum adalah tidak adanya cukup bukti
karena korban, pelapor dan saksi-saksi mencabut laporan dan seluruh
keterangan yang telah diberikan kepada penyidik, ada juga yang
mendasari kepada konsep keadilan restoratif (RestorativeJustice) dan
alternatif penyelesaian perselisihan diluar peradilan (Alternative
Dispute Resolution).

E. Pengaturan Restorative Justice di dalam Peraturan Mahkamah


Agung Nomor 2
a) Tahun 2012
Peraturan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindak
pidana dengan nominal kerugian 2,5 Juta rupiah ( dua juta
limaratus rupiah) tidak perlu dilakukan penahanan dan korbannya
tidak boleh kasasi. Ketentuan norma ini merupakan terobosan
hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ( bagian dari kuasa
pemerintahan secara yudikatif) sebagai wakil dari negara untuk
memberikan rasa keadilan kepada masyarakatnya. semangat
lahirnya Peraturan MA tersebut adalah agar tidak lagi terjadi
kriminalisasi terhadap kasus kasus ”kecil” yang kemudian
memunculkan opini masyarakat bahwa hukum tidak berpihak pada
masyarakat kecil. Dengan adagium hukum hanya tajam ke bawah
namun tidak tajam ke atas. Bertitik tolak dari keadaan bahwa
peraturan hukum pidana (KUHP) yang berlaku saat ini sudah tidak
mampu lagi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan aparat
penegak hukum juga tidak memiliki kemauan untuk menemukan
hukum sehingga dalam prakteknya masyarakat banyak mengkritik
ketidak adilan dalam penanganan suatu perkara pidana yang

21
diajukan ke Pengadilan seperti kasus pencurian sandal, pencurian
semangka dan sebagainya.
Pada dasarnya yang menjadi penyebab timbulnya
permasalahan kenapa suatu perkara yang dipandang kerugiannya
sangat ringan akan tetapi oleh penyidik maupun penuntut umum
tetap diajukan untuk diproses secara biasa dan kepada tersangkan
dikenakan penahanan adalah karena jumlah kerugian yang
ditimbulkan sebagai mana yang diatur dalam pasal-pasal dari
perkara tindak pidana ringan tersebut belum ada penyesuaian sejak
pertama sekali jumlah tersebut ditetapkan di dalam KUHP yang
diberlakukan di Indonesia sehingga praktis pada saat ini sudah
tidak mungkin lagi ada kerugian yang timbul sebagai akibat dari
tindak pidana ringan senilai Rp 250,-(dua ratus lima puluh rupiah).
Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung baik penyidik maupun
penuntut umum sudah jarang mendakwa seseorang dengan pasal-
pasal Tipiring yang diatur dalam KUHP.
Kasus–kasus pidana yang pada dasarnya tergolong kepada
tindak pidana ringan tetapi diajukan ke persidangan dengan proses
perkara secara biasa yang berakibat publik memandang bahwa
aparat penegak hukum khususnya para hakim di pengadilan tidak
mampu memberikan keadilan kepada masyarakat kelas bawah,
maka Mahkamah Agung RI selaku pemangku tertinggi di bidang
kekuasaan kehakiman di Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung RI No.02 tahun 2012 untuk diterapkan oleh
semua aparat penegak hukum di Indonesia sebelum
diselesaikannya rancangan KUHP yang baru, agar perkara-perkara
yang nilai kerugiannya di bawah Rp.2.500.000,-(dua juta lima
ratus ribu rupiah) tidak lagi diajukan melalui proses hukum secara
biasa dan tidak perlu lagi untuk di tahan selama proses hukum
secara biasa dan tidak perlu lagi untuk ditahan selama proses
berjalan, sehingga tidak lagi menyinggung rasa keadilan
masyarakat dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan di

22
tengah-tengah masyarakat. Pengadilan di dalam menjalankan
tugasnya sebagai suatu lembaga peradilan Negara tertinggi,
Mahkamah Agung sering menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung (Perma), antara lain Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP. Terdapat beberapa dasar pertimbangan
diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2012 ini, antara lain bahwa
sejak tahun 1960 seluruh nilai uang yang terdapat dalam KUHP
belum pernah disesuaikan kembali. Implikasi yang timbul yakni
digunakannya pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362
KUHP atas tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364 KUHP.
Konsideran dari Perma Nomor 2 Tahun 2012 juga
menyatakan bahwa Perma ini tidak bermaksud mengubah KUHP,
Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian nilai uang yang
sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Penyesuaian
ini dimaksudkan untuk memudahkan aparat penegak hukum
khususnya hakim dalam kerangka memberikan keadilan terhadap
perkara yang diadilinya. Berbagai pandangan terhadap terbitnya
Perma No. 2 Tahun 2012 bermunculan, bahkan Ketua Mahkamah
Agung yang baru sempat menyatakan kebingunannya atas respos
publik. Sebelum berlakunya Perma menyebutkan tindak pencurian
ringan yang nilainya kurang dari Rp. 250,-, dengan Perma Nomor
2 Tahun 2012 diubah menjadi Rp. 2.500.000,-. Menurut tokoh
hukum Adnan Buyung Nasution1, hal ini merupakan terobosan
yang cukup bagus dari Mahkamah Agung. Langkah tersebut harus
didorong langkah kongkrit. Adnan Buyung Nasution, selaku
konsultan hukum menyatakan sikap Mahkamah Agung
menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah respons yang
terburu-buru atas bermunculannya kasus-kasus seperti nenek
Minah, pencurian segenggam merica oleh seorang kakek,
pencurian kartu perdana 10.000 oleh siswa SMP dan sebagainya.

23
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah
merubah batasan dalam perkara-perkara Tindak Pidana Ringan
yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh
rupiah) menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan
juga mengatur tentang nominal uang terhadap pemberlakuan
Pidana Denda, yang mana nominal tersebut dilipat gandakan
menjadi 1000 (seribu) kali, kecuali terhadap Pasal 303 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 303 bis ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Sistem hukum
pidana diharapkan dapat beradaptasi dengan nilai-nilai keadilan di
dalam masyarakat dengan adanya peraturan Mahkamah Agung ini.
Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan langkah awal dan
usaha yang hebat untuk memperbaharui Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang sudah tidak relevan lagi dimasa sekarang, dan
diharapkan peraturan Mahakamah Agung ini dapat juga nantinya
menjadi pedoman Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal menangani
kasus Tindak Pidana Ringan yang berkaitan dengan Kejahatan
terhadap harta benda. Terlepas dari ragam pandangan, sisi yang
menjadi pro kontra dari Perma No. 2 Tahun 2012 itu setidaknya
termuat dalam ketentuan Pasal 2 Perma No. 2 Tahun 2012 yang
menyebutkan:
1) Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan,
penggelapan, penadahan dari Penuntut Umum, Ketua
Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang
menjadi objek perkara.
2) Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari
Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua
Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk
memeriksa mengadili dan memutus perkara tersebut dengan
Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-201
KUHAP.

24
3) Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan,
Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun
perpanjangan penahanan.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012


menuai pro-kontra. Tentu saja pro-kontra itu tidak terlepas dari sisi
pandang yang dijadikan pijakan. Perdebatan atas Perma No. 2
Tahun 2012 itu belakangan tampak mengarah pada latar belakang
kelahiran Perma No. 2 Tahun 2012 itu sebagaimana dilansir
sejumlah media, yakni upaya pemberian rasa keadilan bagi
masyarakat terutama dalam penyelesaian perkara-perkara tindak
pidana ringan (Tipiring). Secara teknis hukum yang dinamakan
dengan Tipiring adalah suatu tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyak tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan
ringan. Oleh sebab itu subtansi Perma No. 2 Tahun 2012 itu
sebenarnya bukan pada nilai rupiahnya, tetapi pada tindak pidana
yang ancaman hukumnya paling lama 3 bulan dan itu yang tidak
perlu ditahan. Pro-kontra yang terjadi terhadap Perma No. 2 Tahun
2012 tentu akan bertemu simpulnya apabila telah membaca secara
lengkap Perma dimaksud. Namun selain itu menarik untuk disimak
bahwa penerbitan Perma No. 2 Tahun 2012 itu juga ditujukan untuk
menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi
mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan
secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana,
sebagaimana disampaikan Ketua Mahkamah Agung Harifin A.
Tumpa yang antara lain menyatakan bahwa (Harifin, 2012) :
“Intinya, Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran
tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Tipiring yang perlu

25
mendapat perhatian meliputi Pasal 364, 373, 384, 407 dan 482
KUHP. Nilai denda yang tertera dalam pasal-pasal ini tidak pernah
diubah negara dengan menaikkan nilai uang.
Harifin Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Penerapan Perma No. 2 Tahun 2012 di dalam sistem peradilan
pidana berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para hakim
sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan
bobot pidananya. Perma ini juga ditujukan untuk menghindari
masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa
keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak
lansung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja lebih
efektif dan efisien. Upaya Mahkamah Agung melalui Perma No. 2
Tahun 2012 merupakan bagian dari reformasi peradilan pidana yang
selama ini pengaturannya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini
dan merupakan upaya percepatan terhadap proses peradilan pidana.
Namun, upaya tersebut seharusnya diimbangi dengan pengaturan
perlindungan terhadap korban. Hal ini mengingat keberadaan
korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses
penanganan tindak pidana”.
Belakunya Perma No. 2 Tahun 2012 dengan tidak
dimasukkannya tindak pidana ringan ke pengadilan dan
dibebaskannya pelaku (tidak ditahan), seharusnya perlu dipikirkan
nasib korbannya, bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan
bila pelaku tidak di proses hukum?". Mahkamah Agung seharusnya
mengeluarkan peraturan lainnya yang berpihak pada keadilan
korban tindak pidana. Pendekatan perspektif restorative justice
seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan
tindak pidana di Indonesia.

F. Contoh kasus

26
Tagar #JusticeForAudrey menghiasi berbagai linimasa media sosial.
Para selebgram dan selebritas ramai-ramai angkat bicara menentang
perisakan yang dialami AY. Bahkan muncul petisi yang telah
ditandatangani oleh lebih dari 2,4 juta orang pada Rabu (10/04/2019),
meminta pelaku diadili dan dikirim ke penjara, jika terbukti bersalah.
Kisah anak berumur 14 tahun itu dimulai pada Jumat terakhir di
bulan Maret 2019, (29/03). Dua belas remaja putri menghampiri AY
di rumah, mereka berkata ingin mengajaknya ngobrol di luar.
Sebelumnya, AY tak pernah mengenal mereka, sampai akhirnya ia
tahu bahwa pacar pelaku adalah mantan pacar kakak sepupunya yang
berinisial P. “Kakak sepupu AY ini perempuan, mereka sindir-
sindiran di medsos,” jelas Lilik Meilani, ibunda korban, saat
dihubungi Tirto, Rabu (10/04/2019). Perang komentar di media sosial
itu berbuah dendam. Semula pelaku menargetkan si kakak sepupu,
tapi akhirnya, AY yang harus menerima getah dari masalah yang
bahkan ia tak terlibat di dalamnya. Ia diduga mendapat pukulan,
tendangan, dan benturan di perut, muka, kepala, serta pembengkakan
di area genital. Kejadian itu baru dilaporkan ke Polsek Pontianak
Selatan pada Jumat (5/4/2019). AY sempat merahasiakan
perundungan yang ia dapat karena takut dengan ancaman para
pelaku. Akhirnya, Lilik bertanya penyebab sakit kepala yang
dirasakan anaknya pada Rabu, (03/04/2019). Anak SMP kelas 2 itu
akhirnya buka suara bahwa telah terjadi pengeroyokan pada dirinya
di dua tempat berbeda.

G. Analisis Kasus Berdasarkan Restoratif Justice Dalam Peradilan


Anak
Untuk penanganannya, pertama-tama kita perlu memahami
bahwa penggunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak) adalah tepat.
Hal ini karena korban dan pelaku sama-sama masih anak-anak
karena belum berusia 18 tahun. Selain itu, UU Peradilan Anak

27
mengadopsi perspektif keadilan restoratif. Pendekatan keadilan
restoratif tidak dimaksudkan untuk membuka peluang impunitas bagi
anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Sebaliknya, pendekatan ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan anak, terutama anak
yang menjadi korban kekerasan dan anak yang berhadapan dengan
hukum. Dalam pendekatan keadilan restoratif, penghukuman bagi
pelaku bukanlah untuk pembalasan, melainkan bagian dari
pengajaran, karena itu perlu bersifat proporsional dan menciptakan
solusi. Tujuannya adalah agar anak memahami apa yang
dilakukannya adalah salah, menyesali apa yang ia lakukan, dan
menginternalisasi agar kejadian serupa tidak boleh ia ulangi. Dalam
pendekatan keadilan restoratif memang dikenal diversi atau
penyelesaian dengan proses luar peradilan pidana yang kerap
dikaburkan dengan “damai” dan “kekeluargaan”. Dalam konteks
keadilan restoratif, langkah diversi bukan untuk menghindarkan anak
dari pertanggungjawaban hukum, melainkan menemukan model
penyelesaian yang lebih fundamental sebagaimana dijelaskan di atas.
Penyelesaian dengan model diversi juga dibatasi dengan berbagai
persyaratan, termasuk wajib mengedepankan kepentingan
korban dan harus memperoleh persetujuan dan kesepakatan
dari korban dan keluarganya. Dengan demikian, tidak boleh ada
pemaksaan, intimidasi maupun tekanan bagi keluarga dan korban
untuk menyetujui dan menyepakati langkah diversi. Penyelesaian
secara diversi juga dibatasi untuk tindak pidana tertentu. Diversi
hanya dapat dilakukan untuk yang diancam dengan pidana penjara
kurang dari tujuh tahun dan bukan merupakan tindakan pidana yang
diulang. Dalam kasus AY, jika tindakan pelaku dapat dikategorikan
tindakan penganiayaan berat yang direncanakan, maka berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan ini
diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara. Dengan
pemahaman ini, kasus ini bisa jadi bukan termasuk kasus yang dapat
diselesaikan dengan cara diversi. Hal lain yang penting diperhatikan

28
adalah berkaitan dengan informasi tentang serangan terhadap
genitalia korban. Informasi ini mengungkap jurang hukum yang ada
di Indonesia saat ini. Merujuk pada perkembangan wacana tentang
kekerasan terhadap perempuan, penetrasi ke genitalia dengan cara
apa pun adalah pemerkosaan. Namun, definisi pemerkosaan dalam
KUHP tidak memasukkan unsur tindakan itu. Biasanya, kasus serupa
ini diperlakukan sebagai tindak pencabulan dengan ancaman
hukuman bisa sampai 15 tahun, merujuk pada UU Perlindungan
Anak. Apakah itu penetrasi atau bentuk penganiayaan lainnya,
serangan pada genitalia, jika ditujukan sebagai penghukuman atau
membuat rasa takut, merupakan penyiksaan seksual. Sayangnya,
hukum di Indonesia belum mengenal tindak kejahatan penyiksaan
seksual. Kedua jurang hukum  tersebut, yakni keterbatasan definisi
perkosaan dan kevakuman penyiksaan seksual, yang antara lain
hendak diatasi lewat Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Dari perkembangan kasus AY, kita mengetahui bahwa proses
hukum akan berjalan terhadap para pelaku. Sebagai masyarakat, kita
perlu memastikan proses peradilan yang berkeadilan restoratif
berlangsung. UU Peradilan Anak mensyaratkan prosedur khusus bagi
anak berhadapan dengan hukum sehingga tujuan dari proses
penghukuman ini dapat tercapai. Rasa geram kita jangan sampai
membuat mereka kehilangan hak-haknya sebagai terdakwa maupun
terpidana. Apalagi menghilangkan potensi mereka tumbuh menjadi
warga yang bertanggung jawab.
Sikap pelaku pada kasus AY adalah buah dari sistem
pendidikan di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan
yang belum mampu menginternalisasikan nilai-nilai kemanusiaan
pada generasi muda.
Tentunya, pertanyaan besar tetap tersisa, bentuk
penghukuman seperti apa yang dapat membuat para pelaku
memahami dan menyesali perbuatan mereka? Penjara hanyalah salah

29
satu bentuk pidana pokok dan kalaupun itu yang dijatuhkan,
bagaimana proses pembelajaran di dalam penjara dapat membuat
pelaku jera?  Sudah siapkah infrastruktur untuk proses pembelajaran
itu?
Menempatkan penghukuman anak secara proporsional tidak
berarti mengabaikan kepentingan korban. Dikotomi yang
menyesatkan ini jangan kita replikasi. Kita juga perlu memahami
bahwa pemulihan korban tidak serta merta hadir bersamaan dengan
pemidanaan pelaku. Artinya, berapa tahun pun pelaku dipenjara,
tidak berarti korban menjadi enteng untuk melanjutkan hidup.
Inilah alasan lain tentang pentingnya penanganan kasus
berpedoman pada UU Peradilan Anak. UU ini memandatkan
dukungan penuh bagi korban untuk mencapai keadilan dan dukungan
untuk memperoleh pemulihan. Pendampingan psikologis, medis dan
hukum adalah bagiannya. Dalam dukungan itu, peran serta
masyarakat adalah krusial. Dalam peran serta masyarakat, kita perlu
mengadopsi prinsip “do no harm” atau dengan sungguh-sungguh
mencegah ada dampak negatif dari cara kita menyikapi pemulihan
korban. Dalam konteks ini kita perlu cermati publikasi yang tidak
diikuti dengan proteksi pada privasi korban,  penulisan kronologi
kasus yang dibumbui sendiri oleh penulis agar terkesan dramatis,
ataupun menekankan pada urusan “keperawanan” sebagai akibat dari
tindak kekerasan. Kita perlu hati-hati pada stigma yang dihasilkan
akibat publikasi serupa itu, maupun implikasinya pada proses hukum
yang akan berlangsung baik pada korban juga pelaku.  
Perhatian kita pada pemulihan korban dan pemidanaan pelaku
perlu sebanding dengan perhatian kita untuk mencegah peristiwa
berulang. Inilah mengapa konsep restorative justice juga
mengandung pesan yang kuat tentang tanggung jawab semua pihak
atas tindak pidana yang terjadi. Sikap pelaku pada kasus AY adalah
buah dari sistem pendidikan di dalam keluarga, masyarakat, dan
lembaga pendidikan yang belum mampu menginternalisasikan nilai-

30
nilai kemanusiaan kepada generasi muda. Tidak ada dari kita yang
ingin anak-anak kita, saudara-saudara kita, menjadi pelaku tindak
penganiayaan sebagaimana dialami korban dalam kasus ini. 
Karenanya, kita perlu bersama-sama memikirkan langkah yang lebih
komprehensif tentang aspek pendidikan ini. Tidak terkecuali adalah
industri hiburan yang memiliki pengaruh pada cara pikir dan perilaku
anak.
Terkait dengan ini adalah sikap kita secara umum terhadap
tindakan bullying di ruang online maupun offline dalam konteks apa
pun. Di satu sisi, kita perlu belajar untuk mengajak semua pihak
dengan bijaksana menggunakan media sosial dalam menyuarakan
pikirannya. Di sisi lain, jangan beri pembenaran atas
tindakan bullying, apakah atas nama agama, afiliasi politik,
kebiasaan remaja maupun lainnya. Komentar-komentar penuh
kebencian, doxing, ancaman dan ajakan melakukan tindak kekerasan
sebagai pembalasan terhadap pelaku harus dihentikan. Kekerasan
berbalas kekerasan, mau seberapa panjang spiral kekerasan ini kita
hidupkan?Terakhir, mari kita rangkul keluarga pelaku. Mereka juga
butuh dukungan agar mampu menyertai anak-anaknya dalam proses
hukum, menanggung rasa bersalah kepada korban dan keluarganya,
dan menanggung beban malu sebagai orang tua.  Empati kita pada
korban dan pelaku serta keluarga mereka mungkin memberikan
ruang baru bagi generasi muda untuk belajar mengenai makna
kemanusiaan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Bazemore, Schiff. Juvenile Justice Reform and Restorative Justice: Building


Theory and Policy from Practice. Oregon: Willan Publishing. 2005. Hal 5

Consedine, Restorative justice: Healing the effects of crime. Lyttelton:


Ploughshares Publications. 1995, hal 11

Harifin A. Tumpa, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penerapan


Perma No. 2 Tahun 2012 di dalam sistem peradilan pidana.
http/www.google.com, diakses tanggal 15 Oktober 2020

Kabagreskrim Polri, Peranan Penyidik dalam Penanganan Perkara Pidana


Melalui Mediasi dan Diversi. disampaikan pada Diklat terpadu
Hakim, Jaksa dan Polisi dan Diklat Asset Recovery Tahun 2013 di
Badan Diklat Kejaksaan Agung RI tanggal 14 Maret 2013, hal. 2

Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem


Peradilan Anak di Indonesia. Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara. Medan. 006. hal. 179-180

Mudzakkir. Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara


Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Makalah
Workshop. Jakarta, 18 Januari 2007, hal. 14

32
Mudzakkir. “Sistem Peradilan Pidana Sebaiknya Terapkan Restorative
Justice,” pendapat pada acara Diskusi Publik "Akses Publik ke Sistem
Peradilan Pidana", kerjasama Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan Komisi Hukum Nasional (KHN). Jakarta, 31 Juli 2010

Manan, Bagir. Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi


Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir.
Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2008, hal 4.

Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha


Ilmu, Jogjakarta, 2010, hal. 2
Pavlich. Towards An Ethics of Restorative Justice. In L. Walgrave (Ed.).
Restorative Justice and The Law. Oregon: Willan Publishing. 2002. hal 1

Soedarmadji. Langkah-Langkah Penguatan Pelaksanaan Pendekatan Keadilan


Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. 2009, hal. 5

Wright, Victim-Offender Mediation as A Step Towards A Restorative Sistem of


Justice. In H. Messmer & H.-U. Otto (Eds.). Restorative Justice on Trial:
Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International
Research Perspectives. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 1992,
hal. 525.

Waluyadi. Pengantar Ilmu Hukum dalam Perspektif Hukum Positif Hukum


Positif, Djambatan, 2001, hal 44

33

Anda mungkin juga menyukai