Anda di halaman 1dari 16

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

URGENSI REKONSEPTUALISASI DAN LEGISLASI

HN
KEADILAN RESTORATIF DI INDONESIA
(Reconceptualization and Legislation Urgency of Restorative Justice in Indonesia)

Sefriani
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

BP
Jalan Tamansiswa 158 Yogyakarta
Email: sefri_ani@yahoo.com

Naskah diterima: 01 Juli 2013; revisi: 16 Juli 2013; disetujui: 30 Juli 2013

Abstrak

ing
Keadilan restoratif merupakan konsep yang populer di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Selama ini konsep keadilan
restoratif dikenal sebagai penyelesaian di luar pengadilan, dan hanya diterapkan terhadap peradilan anak (juvenile) dan
tindak pidana ringan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan dan pengaturan
keadilan restoratif dalam hukum HAM internasional dan bagaimana urgensi rekonseptualisasi dan legislasi keadilan
restoratif dalam sistem peradilan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan, history, perbandingan, dan filosofis. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa hukum
ind
HAM internasional telah memberikan prinsip standar minimum bahwa penerapan keadilan restoratif tidak hanya untuk
kasus juvenile, tetapi juga untuk pelanggaran HAM berat, serta tindak pidana biasa yang tidak terbatas tindak pidana ringan.
Perkembangan lain adalah dikenalnya hybrid keadilan restoratif. Sangat urgen bagi Indonesia untuk merekonseptualisasi
dan melegislasikan keadilan restoratif secara komprehensif dalam sistem perundang-undangan Indonesia karena keadilan
restoratif banyak memberikan manfaat; legislasi akan menghapuskan atau mengurangi hambatan sistematis penerapan
keadilan restoratif; memberikan legal inducement, menyediakan panduan pelaksanaan, struktur dan pengawasan program
V
restoratif, serta menjamin perlindungan hak pelaku dan korban yang berpartisipasi dalam restorative programs. Saran
penelitian ini adalah segera dilakukan rekonseptualisasi dan penglegislasian keadilan restoratif supaya tidak hanya menjadi
wacana tetapi dapat diterapkan dalam kasus konkret.
hts

Kata kunci: keadilan restoratif, rekonseptualisasi, legislasi, tindak pidana

Abstract
Restorative justice has been popular in the world including Indonesia. Generally, restorative justice known as criminal
justice outside the court; applied for juvenile and misdemeanor. Issues raised were how development and arrangement
of restorative justice in international human right and how the urgency legislation reconceptualization and restorative
ec

justice legislation in the judicial system of Indonesia. Research methods are juridical normative with statute, historical,
comparison and philosophy approach. The conclusion is that International human right law has given minimum standard
principles, that the application of restorative justice is not only for juvenile cases, but also for gross human rights violations,
as well as ordinary criminal offenses are not limited misdemeanor. Another development is the known of hybrid restorative
lR

justice. Urgently for reconceptualizing and legislating of comprehensive restorative justice in the Indonesian law system as
restorative justice provides many benefits; legislation would eliminate or reduce barriers to systematic implementation of
restorative justice; provide legal inducement, providing practical guidance and oversight structures restorative programs,
and ensure the protection of rights of perpetrators and victims participating in restorative program. Suggestion of this
research is to be done reconceptualization and legislating that restorative justice is not just a discourse, but can be applied
na

in concrete cases.
Keywords: restorative justice, reconceptualization, legislation, crime
Jur

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 279


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

A. Pendahuluan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan.


Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan,

HN
Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru
menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
penganiayaan atau tekanan.4 Dikatakan sebagai
Peradilan Pidana Anak adalah penyelesaian
Just Peace Principle atau Just Peace Ethics
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
karena pendekatan dalam Restorative Justice
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak

BP
menerapkan prinsip dasar pemulihan kerusakan
lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
kepada mereka yang menderita kerugian akibat
penyelesaian yang adil dengan menekankan
kejahatan; diberikannya kesempatan pada
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan
pelaku untuk terlibat dalam pemulihan keadaan
bukan pembalasan.1 Konsep ini merupakan
tersebut, diberikannya peran pada pengadilan

ing
perkembangan dari keadilan retributive yang
dan masyarakat untuk menjaga ketertiban
berkembang sebelumnya, yang hanya fokus
umum dan melestarikan perdamaian yang adil.5
pada bagaimana menghukum pelaku untuk
Tujuan yang ingin dicapai peradilan Restoratif
menimbulkan efek jera. Memberikan hukuman
dapat dicapai melalui proses kooperatif yang
pada pelaku dianggap obat yang paling manjur
untuk menyembuhkan luka atau derita korban
ind melibatkan semua pihak (stakeholders).6
Restorative justice bukanlah teori baru bagi
maupun kelainan perilaku yang terdapat dalam
masyarakat internasional termasuk Indonesia.
diri pelaku.2 Hukuman pemenjaraan atau
Konsep ini bahkan diyakini sudah menjadi
bahkan hukuman mati dianggap memberikan
dominant theory dalam sistem peradilan
V
keadilan kepada kedua belah pihak. Mengapa
pidana seluruh dunia. Para pakar hukum pidana
pelaku melakukan tindak pidana, Kerugian dan
meyakini bahwa konsep restorative justice sudah
hts

trauma yang dirasakan korban tidak tersentuh.


ada sejak manusia pertama kali membentuk
Hal ini yang kemudian menimbulkan kritik dan
komunitas. Konsep ini dimanfaatkan sebagai
tuntutan pembaharuan dalam sistem peradilan
salah satu bentuk utama dari keadilan di
pidana sehingga muncullah konsep restorative
mayoritas sistem kebudayaan di dunia.7
justice.
ec

Fakta menunjukkan bahwa pada umumnya


Karakteristik dari peradilan restorative
restorative justice dipahami dan diidentikkan
adalah justpeace principle atau keadilan yang
dengan penyelesaian di luar pengadilan yang
dilandasi perdamaian antara pelaku, korban
lR

hanya dapat diterapkan pada kasus tertentu


dan masyarakat.3 Prinsip ini berlandaskan
seperti tindak pidana ringan dan peradilan anak
pemikiran bahwa keadilan dan perdamaian
(juvenile). Fakta lain adalah bahwa meskipun
na

1
Pasal 1 butir 6 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2
Kuat Puji Prayitno, ”Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam
Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 Tahun (2012): 407.
3
Ibid., hlm. 419.
Jur

4
Ibid., hlm. 408.
5
Ibid., hlm. 411.
6
Ibid., hlm. 409.
7
Christopher D. Lee, ”They All Laughed at Christopher Columbus When He said The World was Round: The Not-
So radical and Reasonable Need for a Restorative Justice Model Statute”, 30 St. Louis U. Pub. L. Rev. 523, (2011):
529.

280 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

populer hampir di semua negara termasuk anak. Dasar pemikiran rekomendasi ini antara
Indonesia, namun ternyata hanya sedikit negara lain adalah keyakinan bahwa anak-anak masih

HN
yang merumuskannya secara komprehensif dapat direhabilitasi dan bahwa mereka akan
dalam sistem peradilan nasional mereka. Di menjadi rentan (vulnerable) ketika dicabut dari
Amerika Serikat, sebagai contoh, tidak ada keluarganya untuk dipenjarakan, juga bahwa
satupun negara bagian yang memiliki undang- mereka secara fisik maupun psikhis berbeda

BP
undang yang khusus mengatur restorative dengan orang dewasa.11 Namun demikian,
justice.8 Legislasi yang mereka miliki hanyalah belum begitu banyak penelitian yang fokus
peradilan anak (juvenile) yang menerapkan pada restorative justice di luar peradilan
restorative justice. anak. Beberapa penelitian yang sudah ada
Khusus peradilan anak memang cukup sebelumnya yang meneliti kemungkinan

ing
banyak negara yang telah merumuskan penerapan restorative justice di luar peradilan
restorative justice secara khusus dan eksplisit anak dan tindak pidana ringan menyimpulkan
dalam legislasi nasional mereka. Indonesia bahwa meskipun tidak sepopuler restorative
termasuk salah satu yang telah mengundangkan ind justice bagi juvenile, tidak berarti bahwa
restorative justice bagi peradilan anak melalui restorative justice tidak dapat diterapkan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan di luar juvenile.12 Penelitian-
Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang penelitian ini selaras dengan perkembangan
yang baru ini cukup memberikan harapan bagi yang ada dalam Hukum HAM internasional yang
perbaikan penerapan restorative justice dalam telah merekonseptualisasikan restorative justice
V
sistem peradilan anak di Indonesia. Konsep tidak hanya untuk juvenile dan tindak pidana
restorative justice bagi peradilan anak memang ringan dan tidak hanya penyelesaian di luar
hts

sudah dikenal sejak lebih dari seabad yang pengadilan. Hukum HAM internaisonal telah
lalu.9 merekonseptualisasikannya melalui standar-
Sudah sangat banyak penelitian baik standar minimum penerapan restorative
tingkat nasional10 maupun internasional yang justice di dalam beberapa instrument hukum
ec

merekomendasikan pentingnya penerapan internasional meskipun bentuknya soft law.


restorative justice dalam sistem peradilan
lR

8
Sandra Pavelka, ”Restorative Juvenile Justice Legislation and Policy: A National Assessment”, 4 Int’l J. Res- torative
Just. 100, (2008): 100-101.
9
Safran, Brian J, ”Juvenile Justice Policy From The Perspective of International Human Right”, Cardozo L. Rev. de
novo 304, (2012): 305.
na

10
Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh para pakar hukum di Indonesia antara lain Angkasa dkk,
”Model Peradilan Restorative dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian Tentang Praktek Mediasi Pelaku dan Korban
Dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan Purwokerto)”, 2 Dinamika Hukum 19,
(2009); Noeke Sri Wardani dkk, ”Penerapan Pidana Alternatif Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana di Pengadilan
Negeri Bengkulu”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol V No 2 (2009); Riza Alifianto Kurniawan, ”Asas Ultimatum
Jur

Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal; Reinald Pinangkaan, ”Pertanggungjawaban Pidana dan Penerapan
Sanksi Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indoensia”, Lex Crimen Vol. II/No.1/Jan-Mrt/2013; juga
Paulus Hadisuprapto, ”Peradilan Restoratif; Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang”, (Pidato Pengukuhan
Guru Besar Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2006).
11
Brian J. Safran, Loc.Cit.
12
Christopher D. Lee, 2011, Op.Cit, hlm. 537.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 281


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Adapun terkait kondisi di Indonesia, perundang-undangan, historis dan filosofis.


selain untuk peradilan anak, Indonesia belum Jenis data yang digunakan adalah data sekunder

HN
mengatur restorative justice dalam rumusan yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder
khusus dan komprehensif sebagai alternatif dan tersier. Bahan hukum primer antara lain
sistem pemidanaan.13 Tidak terlalu mengejutkan beberapa instrumen hukum HAM internasional
oleh karenanya apabila sampai saat ini hampir terkait administrative justice serta undang-

BP
seluruh tindak pidana yang ditangani sistem undang di beberapa negara termasuk Indonesia
peradilan pidana di Indonesia selalu berakhir yang ada relevansinya dengan restorative justice.
di penjara.14 Mayoritas penegak hukum di Bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian,
Indonesia masih berparadigma retributive tulisan dan pendapat para pakar hukum baik
justice yang menekankan pada punishment nasional mapun internasional terkait pokok

ing
berupa pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana. masalah. Adapun bahan tersier berupa kamus
Padahal penjara bukanlah solusi terbaik dalam dan ensiklopedi. Bahan-bahan hukum tersebut
menyelesaikan masalah-masalah tindak pidana, diperoleh dengan library research. Analisis
khususnya tindak pidana di mana kerusakan yang dilakukan adalah analisis kualitatif. Hasil
yang ditimbulkan kepada korban dan masyara­
ind penelitian disajikan secara deskriptif analitis.
kat masih bisa diperbaiki sehingga kondisi yang
telah rusak dapat dikembalikan ke keadaan D. Pembahasan
semula.15 1. Perkembangan Pengaturan Restor­
Berdasarkan paparan di atas penelitian ini ative Justice dalam Hukum HAM inter­
V
akan mengkaji bagaimana perkembangan dan nasional
pengaturan restorative justice dalam hukum
hts

Membahas restorative justice tidak bisa


HAM internasional dan urgensi rekonseptualisasi lepas dari konteks hukum HAM karena tujuan
dan legislasi restorative justice di Indonesia. restorative justice sendiri adalah untuk
melindungi mereka yang rentan (vulnarable)
B. Permasalahan seperti anak-anak yang bermasalah atau
ec

1. Bagaimana perkembangan pengaturan berkonflik dengan hukum (juvenile); korban


restorative justice dalam hukum HAM suatu tindak pidana; pelaku yang mendapat
internasional? stigma buruk di masyarakat yang kemudian
lR

2. Bagaimana urgensi rekonseptualisasi dan justru menjadi korban (victimisasi pelaku);


legislasi restorative justice dalam sistem serta komunitas sekelilingnya yang berhak
peradilan di Indonesia? untuk mendapatkan keamanan dan ketertiban
sosial yang terganggu oleh tindak pidana yang
na

C. Metode Penelitian dilakukan.


Penelitian ini merupakan penelitian yuridis Di tingkat internasional konsep restorative
normatif dengan pendekatan perbandingan, justice memang paling populer diterapkan untuk
Jur

13
Kuat Puji Prayitno, Op.Cit., hlm. 419.
14
Ibid., hlm. 408.
15
Ibid.

282 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

sistem peradilan anak. Hal ini dapat dibuktikan berhadapan dengan negara sebagai sponsor
dengan berhasil diadopsinya beberapa pelanggaran HAM yang berat.18

HN
instrument hukum HAM internasional yang Beberapa instrumen yang mengatur hal
mengakui bahwa perlindungan bagi juvenile ini antara lain adalah Declaration of Basic
merupakan hak yang fundamental bagi harkat Principles of Justice for Victims of Crime and
dan martabat anak dan memberikan kewajiban Abuse of Power1985 dan The Basic Principles

BP
bagi negara untuk melindungi mereka.16 and Guidelines on the Right to a Remedy and
Instrumen hukum HAM Internasional yang Reparation for Victims of Gross Violations of
terkait juvenile yang dimaksud antara lain adalah International Human Rights Law and Serious
United Nations Standard Minimum Rules for the Violations of International Humanitarian Law
Administration of Juvenile Justice (”The Beijing yang baru disetujui Majelis Umum PBB pada

ing
Rules”) 1985, Convention on the Rights of the tahun 2005. Basic Principles ini menegaskan
Child, United Nations Rules for the Protection of bahwa korban:
Juveniles Deprived of their Liberty 1990, United ..should, as appropriate and proportional
Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile to the gravity of the violation and the
circumstances of each case, be provided
Delinquency (The Riyadh Guidelines) 1990, juga
Guidelines for Action on Children in the Criminal
ind with full and effective reparation . . . which
include[s] the following forms: restitution,
Justice Sistem. compensation, rehabilitation, satisfaction
and guarantees of non-repetition.
Meskipun restorative justice sangat populer
untuk juvenile, namun perkembangan yang Selanjutnya adalah the International
V
terjadi dalam hukum HAM internasional Convention for the Protection of All Persons
menunjukkan bahwa restorative justice tidak from Enforced Disappearance yang memberikan
hts

hanya domain peradilan anak. Beberapa korban compensation, restitution, rehabilitation,


penelitian sebelumnya, diantaranya yang ditulis satisfaction and guarantees of non-repetition;
oleh Juliet S., Sorensen, berjudul ”Restorative The Convention on the Rights of Persons with
Justice for Victims of War Crime” juga Thomas M. Disabilities yang mewajibkan negara melakukan
ec

Antkowiak yang berjudul An Emerging Mandate …all appropriate measures to promote the
for International Courts: Victim-Centered physical, cognitive and psychological recovery,
Remedies and Restorative Justice menunjukkan rehabilitation and social reintegration of persons
with disabilities ketika terjadi exploitation,
lR

bahwa konsep restorative justice juga dapat


diterapkan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM violence or abuse. Instrumen berikutnya adalah
yang berat termasuk di dalamnya kejahatan Draft Articles on the Responsibility of States
perang.17 Meskipun demikian, dalam kasus ini for Internationally Wrongful Acts 2001, yang
na

restorative justice lebih fokus pada pemulihan menegaskan hak korban atas ”full reparation
bagi korban, dikarenakan memang korban for the injury caused by the internationally
Jur

16
Safran, Brian J, ”Juvenile Justice Policy From The Perspective of International Human Right”, Cardozo L. Rev. de
novo 304, (2012): 306.
17
Juliet S. Sorensen, ”Restorative Justice for Victims of War Crime”, 100 J. Crim. L. & Criminology 1689, (2010): 1689-
1698.
18
Ibid., hlm. 1696.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 283


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

wrongful act shall take the form of restitution, sini pelaku didorong untuk bertanggung jawab
compensation and satisfaction, either singly dengan mengakui kesalahannya, menyatakan

HN
or in combination. Tidak mau kalah, the penyesalan dan permohonan maaf pada
International Covenant on Civil and Political korban serta menunjukkan empati dengan cara
Rights yang memberikan hak pada korban menolong memperbaiki kerugian korban. Stigma
atas compensation; public investigation and pada pelaku dapat hilang melalui tindakan

BP
prosecution; legal reform; restitution of liberty, yang tepat. Kesuksesan program restorative
employment or property; and medical care. justice dalam kasus ini akan sangat bergantung
Statuta Roma 1998 tentang Peradilan Pidana pada keterlibatan langsung orang-orang yang
Internasional adalah contoh yang paling bagus terpengaruh oleh kejadian.21
dimana International Criminal Court (ICC) Instrumen hukum HAM internasional yang

ing
dirancang sebagai forum yang paling tepat untuk mengatur secara detail dan merekomendasikan
penerapan restorative justice, memberikan penerapan restorative justice terhadap tindak
remediasi pada jutaan korban kejahatan pidana biasa yang dilakukan orang dewasa
yang ada di bawah yurisdiksinya. ICC tidak adalah United Nations Standard Minimum Rules
hanya mengupayakan pertanggungjawaban
ind for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules).
juga efek jera pada pelaku, tetapi juga social Tujuan utama instrumen ini adalah:22
welfare and restorative justice. ICC mewajibkan 1. to promote the use of non- custodial
negara menyediakan dana bagi korban untuk measures, as well as minimum safeguards
melindungi the safety, physical and psychological for persons subject to alternatives to
V
well-being, dignity and privacy of victims.19 Hak imprisonment.
korban tidak hanya ganti rugi bentuk uang atau 2. to promote greater community involvement
hts

rehabilitasi saja tapi juga tuntutan permintaan in the management of criminal justice,
maaf. Permintaan maaf dirasa lebih memulihkan specifically in the treatment of offenders, as
harkat martabat korban sebagai manusia.20 well as to promote among offenders a sense
Selain restorative justice dalam kasus juvenile of responsibility towards society.
ec

serta pelanggaran HAM yang berat, masyarakat 3. to ensure a proper balance between the
internasional juga berhasil mengadopsi rights of individual offenders, the rights of
instrumen hukum yang merekomendasikan victims, and the concern of society for public
lR

diterapkannya program restorative justice safety and crime prevention.


terhadap tindak pidana biasa yang dilakukan 4. to provide other options, thus reducing the
oleh individu dewasa. Restorative justice dalam use of imprisonment, and to rationalize
kasus ini tidak hanya fokus pada korban saja criminal justice policies, taking into
na

tetapi juga pelaku, keluarga kedua belah pihak account the observance of human rights,
dan masyarakat atau komunitas di sekitarnya. Di
Jur

19
Thomas M. Antkowiak, ”An Emerging Mandate for International Courts: Victim-Centered Remedies and
Restorative Justice”, 47 Stan. J. Int’l L. 279, (2011): 286-288.
20
Ibid., hlm. 284.
21
Angkasa dkk, Op.Cit, hlm. 209.
22
Lihat Tokyo Rules Angka I point 1.

284 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

the requirements of social justice and the memiliki kemampuan untuk mengkondisikan
rehabilitation needs of the offender. sikap saling menghormati antara pelaku dan

HN
Berdasarkan tujuan utama yang ingin dicapai, korban, mencegah revictimisasi korban, juga
dapat disimpulkan bahwa Tokyo Rules berupaya membantu memformulasikan atau memperbaiki
memberikan standar minimum penerapan kesepakatan antara pelaku dan korban atau
restorative justice sebagai alternatif untuk beserta keluarga masing-masing. Di samping itu,

BP
mengurangi tindakan pemenjaraan. Restorative fasilitator haruslah memiliki empati, kemampu­
justice dapat diterapkan pada semua orang yang an organisasi, komunikasi verbal secara efektif,
berstatus tersangka, terdakwa atau terpidana dan management konflik.25 Pelatihan minimum
dan dalam semua proses tahapan administrasi yang diperlukan bagi fasilitator adalah sebagai
criminal justice.23 Penerapan restorative justice berikut:26

ing
berdasarkan prinsip non diskriminasi baik a. pengenalan konsep dan tujuan program
berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, usia, restorative justice dan perbandingannya
bahasa, politik atau opini politik, kekayaan, asal- dengan traditional criminal process
usul nasionalitas, status kelahiran atau status ind b. pengenalan tentang tata cara atau prosedur
yang lain.24 pelaksanaan program
Tokyo Rules membagi penerapan restorative c. keahlian komunikasi
justice dalam beberapa tahapan yaitu Pre-trial d. pemahaman mengenai pengalaman
stage; Trial and sentencing stage dan Post- revictimisasi
sentencing stage. Instrumen ini juga memberi­ Masih terkait komponen pertama, hal yang
V
kan panduan penerapan restorative justice tak kalah penting diatur dalam pelegislasian
yang mencakup pengawasan, Durasi, kondisi, restorative justice adalah proses rekruitmen
hts

proses perlakuan, disiplin dan pelanggaran fasilitator/staf pelaksana program restorative


kesepakatan. Tak kalah pentingnya, Tokyo justice untuk memperoleh fasilitator yang
Rules juga menekankan pentingnya rekruitmen profesional atau siap latih. Warga lokal sangat
staf untuk mengimplementasikan restorative direkomendasikan untuk menjadi fasilitator
ec

justice. karena dipandang lebih memahami budaya


Dari keseluruhan petunjuk yang diberikan lokal dan karakter masyarakat setempat, dimana
oleh Tokyo Rules nampak bahwa ada beberapa tindak pidana terjadi.27
lR

komponen kunci yang harus diperhatikan dalam Komponen kunci kedua menurut Tokyo Rules
penglegislasian restorative justice. Komponen adalah Screening process pelaku dan korban
kunci yang pertama menurut Tokyo Rules adalah untuk menentukan apakah mereka memenuhi
seleksi, pelatihan, dan sertifikasi fasilitator. syarat (eligible) untuk berpartisipasi dalam
na

Peran Fasilitator adalah untuk memfasilitasi agar program restorative justice. Tidak semua korban
program restorative justice bisa dilaksanakan atau pelaku siap menjalani program restorative
secara fair dan tidak memihak. Fasilitator harus justice. Untuk itulah proses screening secara
Jur

23
Lihat Tokyo Rules Angka I, point 2.1.
24
Lihat Tokyo Rules Bagian I, point 2.2.
25
Christopher D. Lee, Op.Cit., hlm. 540.
26
Ibid., hlm. 539.
27
Ibid.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 285


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

hati-hati dengan pendekatan kasuistis sangatlah terhadap pelaku. Hal ini mengijinkan jaksa
diperlukan untuk suksesnya program tersebut. menghentikan kasus apabila pelaku sudah

HN
Dalam proses screening sangat penting untuk melaksanakan semua kewajiban yang disepakai
mengetahui latar belakang kehidupan pelaku dalam program restorative justice.31
dan korban, sikap pelaku, sikap korban, dan Komponen kunci ketiga yang penting
lain-lain.28 The Australian Restorative Justice Act untuk pelegislasian restorative justice adalah

BP
sangat berhati-hati menetapkan kesiapan mental tentang kapan program restorative justice
korban dan pelaku. Eligible victims menurut dapat dilakukan. Pada umumnya ada empat
undang-undang Australia ini harus memenuhi waktu yang tepat untuk pelaksanaan program
standar usia tertentu dan memiliki kesiapan yaitu pada tahapan di kepolisian (pre-charge);
dan kecakapan mental (the mental cognizance) tahapan penuntutan (post-charge but usually

ing
untuk memutuskan terlibat dalam program before trial); tahapan persidangan di pengadilan
restorative justice. Jika korban masih terlalu (pre-trial or sentencing stages); dan tahapan
muda anggota keluarganya dapat menggantikan corrections.32
sepanjang anggota keluarga tersebut cukup Komponen kunci keempat adalah tipe atau
usia dan memiliki mental cognizance yang
ind bentuk program. Meskipun ada banyak program
cukup. Pelaku akan dianggap memenuhi syarat yang direkomendasikan tetapi yang paling
apabila ia mengakui kesalahannya dan bersedia banyak digunakan antara lain adalah victim-
menerima tanggung jawab, usianya minimal 10 offender mediation (VOM); community and
tahun, serta memiliki mental cognizance yang family group conferencing; Circle Sentencing;
V
cukup untuk terlibat dalam program restorative Victim Impact Panels and Surrogate Groups;
justice.29 Online Dispute Resolution; serta The Victim
hts

Screening bagi korban dilakukan oleh Offender Reconciliation Program (VORP).33


fasilitator. Korban harus tetap diberikan Komponen kunci kelima adalah ruang
kesempatan untuk mengikuti program lingkup penerapan restorative justice kasus-
restorative justice dengan atau tanpa kehadiran kasus khusus dan sensitif yang direkomedasikan
ec

pelaku. Namun demikian tidak semua program untuk diterapkan restorative justice. Meskipun
restorative Justice sesuai bagi korban, sehingga Tokyo Rules tidak membatasi jenis tindak pidana
kemampuan fasilitator untuk menemukan yang dapat diterapkan restorative justice namun
lR

program yang tepat sangatlah diperlukan.30 praktek banyak negara hanya menerapkannya
Screening bagi pelaku, pada umumnya, dalam dalam kasus-kasus yang ringan. Sejauh ini
sebagian besar kasus, jaksa adalah pihak yang banyak negara hanya menerapkan restorative
paling berperan dalam melakukan screening justice untuk tindak pidana yang dianggap ringan
na

28
Uganda Community Service Regulation 2001, http://www.restorativejustice.org/10fulltext/
Jur

ministerofinternalaffairs/at_download/file. (diakses 7 April 2012).


29
Christopher D. Lee, Op.Cit., hlm. 542.
30
Ibid., hlm. 543.
31
Ibid., hlm. 542.
32
Ibid., hlm. 543.
33
Ibid., hlm. 544-554.

286 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

seperti pengrusakan (vandalism), penyerangan Konsep ini berupaya mengatasi kelemahan


ringan (minor assault) serta pencurian (theft).34 yang ada pada konsep restorative justice yang

HN
Setelah Tokyo Rules 1990 yang merupakan lama (classical restorative justice) seperti resiko
instrumen utama restorative justice, PBB kesewenang-wenangan dalam proses mediasi
beberapa kali menyelenggarakan konferensi karena adanya posisi tawar yang tidak seimbang
internasional untuk semakin memasyarakatkan antara pelaku dan korban, resiko tuduhan

BP
dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang yang lebih buruk pada pelaku (exacerbating
ada dalam Tokyo rules. Laporan Kongres PBB ke-11 prejudice), serta resiko sakit hati yang lebih
di Thailand tentang Crime Prevention and Criminal buruk (aggravated) dengan adanya keterlibatan
Justice 2005, merumuskan perlunya perjanjian banyak pihak.37 Penelitian yang mengklaim
internasional yang mengatur kebutuhan inovasi hybrid restorative sebagai cara yang terbaik

ing
administration justice termasuk penggunaan menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
restorative justice, terutama untuk pelaku alternatif yang ditawarkan classical restorative
pemula, pelaku anak-anak, dan penyahgunaan justice melalui mediasi para stakeholders
narkotika. Selanjutnya Kongres PBB ke-12 di ind potensial menempatkan pihak korban yang
Brasil 2010, juga merekomendasikan negara miskin dan tidak memiliki kekuasaan pada posisi
anggota untuk mengevaluasi dan mengadakan yang lemah sehingga cenderung dirugikan.38
pembaharuan kebijakan peradilan pidananya Konsep hybrid restorative justice (HRJ)
dengan pengembangan strategi komprehensif, hakekatnya menggabungkan antara traditional
mengurangi penggunaan sanksi penjara, dan criminal justice yang fokus pada pemenjaraan
V
meningkatkan penggunaan alternatif lain selain pelaku dengan konsep classical restorative
penjara termasuk program restorative justice.35 justice (CRJ) yang menghindari pemenjaraan dan
hts

Demikianlah hukum HAM internasional telah fokus pada perdamaian antara pelaku, korban,
memberi panduan untuk criminal Justice tentang dan komunitas di sekelilingnya. Konsep HRJ
strategi pendekatan inovasi, komprehensif dan masih mempertahankan pemenjaraan seperti
integral dengan meningkatkan penggunaan pada konsep konvensional tetapi pemenjaraan
ec

program restorative justice.36 pada tempat yang khusus dan fokus pada
Perkembangan selanjutnya di masyarakat edukasi dan rehabilitasi pelaku. Pada classical
internasional, meskipun banyak rekomendasi restorative justicere, rehabilitasi diperlukan bagi
lR

terhadap penerapan restorative justice yang korban saja. Pelaku tidak perlu dipenjara apabila
berlandaskan justpeace principle sebagaimana ia kooperatif, mau mengakui kesalahannya,
telah dipaparkan sebelumnya, namun ternyata minta maaf, berkomitmen tidak mengulangi
kritik terhadap konsep ini juga mulai muncul perbuatannya lagi dan mau berempati serta
na

yang kemudian menawarkan konsep hybrid bertanggungjawab pada kerugian korban.


restorative justice sebagai alternatif baru. Dengan demikian konsep HRJ pada tahap awal
Jur

34
Kate E. Bloch, ”Reconceptualizing Restorative Justice”, 7 Hastings Race & Poverty L. J. 201, (2010): 207.
35
Kuat Puji Prayitno, Op.Cit., hlm. 413.
36
Ibid.
37
Kate E. Bloch, Op.Cit., hlm. 209.
38
Ibid., hlm. 201.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 287


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

menuntut personal accountability. Pelaku dapat identik dengan penyelesaian di luar pengadilan.
menolong dirinya sendiri dengan menunjukkan Dengan konsep hybrid restorative justice,

HN
empati dan rasa tanggung jawabnya pada penyelesaian tidak hanya dilakukan di luar
korban. Berikutnya korban dan keluarganya pengadilan. Konsep ini menggabungkan antara
dapat menghitung kerugian yang diderita. konsep criminal justice klasik yang menekankan
Hal yang membedakan dengan konsep CRJ pada pemenjaraan dengan restorative justice

BP
adalah bahwa korban dapat diwakili oleh klasik yang menekankan pada penyelesaian di
korban pengganti (surrogate victim) apabila luar pengadilan.
karena trauma yang dialaminya korban tidak Meskipun sebagian besar bentuk instrumen
mampu hadir duduk bersama dengan pelaku hukum yang secara eksplisit mengatur
dan mengungkapkan semua penderitaan serta restorative justice itu adalah soft law, namun

ing
keinginan atau harapannya. Meskipun masih sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa yang
memerlukan berbagai penyempurnaan namun baik, yang menjunjung tinggi HAM maka sudah
HRJ dianggap lebih maju karena dapat diterapkan saatnya Indonesia tidak sekedar mewacanakan
untuk berbagai jenis tindak pidana, tidak sebatas restorative justice tersebut tetapi benar-benar
pada tindak pidana ringan saja. Konsep ini juga
ind melegislasikan dan menerapkannya dalam
dipandang memberikan keseimbangan karena kasus-kasus yang konkret. Hal ini memang
pelaku tidak bebas begitu saja tetapi tetap bukan pekerjaan yang mudah mengingat konsep
mengalami pemenjaraan meskipun dengan sebelumnya yaitu retributive justice merupakan
konsep edukasi dan rehabilitasi pada kelainan theory yang sangat populer sejak lebih dari
V
perilaku yang diidap oleh pelaku.39 seabad yang lalu, diakui keunggulannya,
diterima dan dipraktekkan di banyak negara
hts

2. Urgensi Rekonseptualisasi dan Legisla­ sampai saat ini.


si Restorative Justice di Indonesia Kuat Puji Prayitno mengemukakan bahwa
Dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya meskipun rumusan restorative justice itu
nampak bahwa sejatinya menurut hukum HAM belum ada dalam perundang-undangan
ec

internasional, restorative justice dapat diterapkan Indonesia namun tidak berarti tidak ada dasar
baik dalam peradilan anak, pelanggaran HAM hukumnya.40 Dasar hukum yang dirujuk oleh
yang berat yang disponsori negara, tindak pidana Kuat Puji Prayitno adalah Undang-Undang
lR

ringan maupun tindak pidana yang serius yang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian R.I,
dilakukan oleh orang dewasa. Oleh karenanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
rekonseptualisasi restorative justice untuk Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun
meluaskan pemahaman yang sempit selama ini 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
na

dimana restorative justice dipahami hanya dapat Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK,
diterapkan pada peradilan anak dan tindak Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
pidana ringan perlu dilakukan. Demikian halnya tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Jur

dengan pemahaman bahwa restorative justice

39
Ibid., hlm. 213.
40
Kuat Puji Prayitno, Op.Cit., hlm. 419.

288 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Bantuan Kepada Saksi dan Korban41 dan juga kejahatan terhadap properti yang ancamannya
sila ke-4 pancasila yaitu prinsip musyawarah tidak lebih dari lima tahun penjara. Syarat

HN
mufakat untuk menyelesaikan masalah.42 lainnya adalah ada permintaan dari para pihak;
Namun demikian, semua dasar hukum itu tindak pidana itu ada korbannya; pelaku telah
sangat umum, tidak ada yang secara langsung, mengaku bersalah; pelaku bukan pelaku yang
eksplisit dan komprehensif mengatur tentang biasa melakukan kejahatan yang sama untuk

BP
restorative justice, sehingga belum memberi kedua kalinya atau residivis; tidak ada acara
kejelasan tentang banyak hal terkait restorative pidana yang tertunda terhadap pelaku pada
justice. Semisal dalam kasus apa saja restorative saat kejahatan tersebut dilakukan dan bukan
justice bisa diterapkan; siapa yang berwenang tindak pidana yang menimbulkan kematian.44
menerapkannya, bagaimana mekanismenya; Di Indonesia konsep atau teori restorative

ing
bagaimana strukturnya; program apa saja justice meskipun populer tetapi belum efektif
yang dapat dilakukan; apa hak-hak serta dilaksanakan karena masih banyak menghadapi
kewajiban korban, pelaku dan masyarakat kendala baik dari sisi teoritis maupun teknis
terdampak; bagamana pembiayaannya; ind yuridis. Oleh karenanya penglegislasian konsep
bagaimana pengawasannya; dan lain-lain. Tidak ini dalam sistem peradilan Indonesia sangat
tersedianya aturan yang memadai menjadikan urgent untuk dilakukan. Ada beberapa argumen
kegamangan bagi aparat penegak hukum untuk untuk mendorong penglegislasian restorative
menerapkannya. Tidak heran oleh karenanya justice dalam sistem peradilan Indonesia.
apabila selama ini di Indonesia, restorative Argumen-argumen yang dimaksud adalah
V
justice hanya dipandang sebagai diskresi yang sebagai berikut:
boleh dilakukan atau tidak oleh pejabat yang
hts

berwenang, dan akhirnya hampir semua a. Restorative Justice Memberikan Banyak


tindak pidana di Indonesia berakhir dengan Manfaat
pemenjaraan termasuk kasus pencurian dengan Ada beberapa manfaat diterapkannya
nilai ekonomi yang sangat rendah.43 retributive justice dalam sistem peradilan
ec

Sebagai perbandingan, Hungaria sejak suatu negara. Manfaat pertama adalah bagi
awal tahun 2007 sudah melegislasikan materi korban dan pelaku. Konsep retributive justice
peradilan restorative justice dengan pendekatan berpandangan bahwa pelaku tindak pidana
lR

dengan eksplisit dan komprehensif, dan sudah (offender) harus membayar kesalahannya
berlaku efektif. Restorative justice dengan melalui pemenjaraan. Adapun korban sering
mediasi tersedia untuk pelaku baik dewasa hanya ”dimanfaatkan” sebagai saksi. Setelah
dan remaja jika kejahatannya adalah kejahatan proses persidangan selesai korban akan
na

terhadap orang, pelanggaran lalu lintas atau ditinggalkan sendiri dengan segala penderitaan

41
Akan tetapi proses restitusi atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13 Tahun 2006 maupun
Jur

PP No. 44 Tahun 2008 menurut Kuat Puji Prayitno masih dalam konteks pengadilan retributive bukan dalam
filosofi restorative justice, ibid., hlm. 416.
42
Ibid., hlm. 419.
43
Lihat kasus pemenjaraan terhadap pelaku pencurian sepasang sandal jepit, kasus pencurian beberapa buah
piring makan, pencurian dua tandan pisang, dan beberapa buah cokelat yang terjatuh dari pohonnya.
44
Kuat Puji Prayitno, Op.Cit, hlm. 417.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 289


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

dan kerugiannya. Sebaliknya restorative justice justice tersebut. Program perdamaian yang
akan lebih memperhatikan nasib korban. Hasil menjadi icon restorative justice diharapkan

HN
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa akan menjamin keselamatan, keamanan, dan
80% korban merasakan proses yang lebih fair keharmonisan masyarakat terdampak.49
dalam restorative justice. Mereka lebih merasa Manfaat ketiga adalah mengurangi jumlah
less upset about the crime, less apprehensive narapidana dan residivis. Meskipun bukan

BP
and less afraid of revictimization.45 Penelitian menjadi tujuan utama restorative justice,
yang lain menunjukkan lebih dari 90% korban namun penelitian sebelumnya menunjukkan
yang menerima restorative justice akan bahwa salah satu efek dari rasa bahagia yang
merekomendasikan proses ini terhadap yang didapat dari pelaksanaan program restorative
lain.46 Adanya proses pemaafan yang membuar justive ternyata mengurangi jumlah residivis

ing
relasi antara pelaku dan korban menjadi lebih secara signifikan.50
baik akan membuat korban lebih merasa nyaman Manfaat keempat adalah menghemat
dan mengurangi atau bahkan menghilangkan biaya dan waktu. Penerapan restorative justice
ketakutannya pada pelaku.47 Hasil penelitian membutuhkan biaya dan waktu yang lebih
sebelumnya juga menunjukkan bahwa pelaku
ind sedikit dibandingkan proses criminal justice
yang sudah melalui proses restorative justice yang konvensional, misalnya berkurangnya
akan lebih suka membayar restitusi secara jumlah penghuni penjara akibat penerapan
penuh daripada harus dipenjarakan.48 restorative justice akan mengurangi anggaran
Manfaat kedua adalah bagi komunitas negara untuk membiayai kebutuhan minimum
V
sekitarnya. Restorative justice tidak hanya mereka dipenjara. Departemen Hukum dan
merestorasi pelaku dan korban, tetapi juga HAM Indonesia pernah dilaporkan perusahaan
hts

menyembuhkan pengaruh buruk yang dirasakan catering karena menunggak pembayaran dalam
komunitas. Tindak pidana sering hanya jumlah yang cukup banyak pada perusahaan
dihubungkan dengan dengan masalah individu penyedia makanan untuk para penghuni
pelaku yang berhadap-hadapan dengan korban penjara tersebut. Keterbatasan jumlah dan
ec

dan negara Faktanya, masyarakat sekelilingnya fasilitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia


sering merasakan akibat buruk tindak pidana yang jauh di bawah standar intrenasional yang
yang dilakukan pelaku. Sebagaimana nasib banyak menjadi sorotan juga sedikit bisa teratasi
lR

korban yang sering terabaikan dalam konsep dengan adanya alternatif lain yang lebih baik
retributive justice, suara komunitas bahkan dari pemenjaraan.
tidak terwakili dalam konsep retributive
na

45
Lucy Clark Sanders, ”Restorative Justice: The Attempt To Rehabilitate Criminal Offenders and Victims”, 2
Charleston L. Rev. 923, (2008): 929.
46
Mark S. Umbreit & William Bradshaw, ”Victim Experience of Meeting Adult vs. Juvenile Offenders: A Cross-
Jur

National Comparison”, 61 Fed. Probation 33, (1997): 34


47
Lawerence W Sherman, dkk, ”Effects of Face-to-Face Restorative Justice on Victims of Crime in Four Ran- domized
Controlled Trials”, 1 J. Experimental Criminology 367, (2005): 370.
48
Christopher D. Lee, Op.Cit., hlm. 531.
49
Ibid.
50
T. Bennett Burkemper dkk, ” Restorative Justice in Missouri’s Juvenile Sistem”, 63 J. Mo. B. 128, (2007): 129.

290 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

b. Legislasi akan menghapuskan atau proceedings adalah upaya terakhir apabila tidak
mengurangi hambatan sistematis penerapan ada alternatif lain yang tersedia. Disamping itu

HN
restorative justice perlu dicantumkam pula prinsip yang mengakui
Legislasi atau otorisasi perundang-undangan kepentingan pelaku dan korban. Sebagai contoh
akan mendorong aparat penegak hukum untuk misalnya dalam restorative justice peradilan
menerapkan restorative justice tanpa takut anak ditekankan pentingnya membiarkan anak

BP
bahwa mereka tidak memiliki otoritas atau tetap dalam komunitasnya yang diikuti larangan
didakwa telah melakukan sesuatu yang tidak (dengan perkecualian) prosecution anak sampai
sah. Di samping itu, dengan diundangkan keluarga mereka melakukan pertemuan.53
secara resmi dan diketahui publik maka tidak
hanya aparat penegak hukum tetapi keluarga, d. Legislasi diperlukan untuk menciptakan

ing
atau komunitas sekeliling dapat berinisiatif mekanisme yang menyediakan panduan dan
mengusulkan penggunaan program restorative struktur program restoratif
justice.51 Legislasi dapat menciptakan mekanisme
Dalam berbagai kasus, legislasi juga digunakan ind yang menyediakan panduan beserta struktur
untuk mengatasi hambatan sistematik, dalam penerapan program restorative justice,
khususnya terkait kurang tersedianya variasi meyakinkan pentingnya program dan menjamin
program restorative justice. The Minnesota proses pelaksanaan program berjalan sesuai
Community Correctional Services Act misalnya tujuannya. Di samping itu legislasi juga dapat
menetapkan bahwa ”every county attorney menjamin kredibilitas, dukungan dan konsistensi
V
[prosecutor] shall establish a pre-trial diversion pelaksanaan program restorative justice.54
program for offenders.52
hts

e. Legislasi diperlukan untuk menjamin


c. Legislasi diperlukan untuk menciptakan perlindungan hak pelaku dan korban yang
dorongan hukum (legal inducement) berpartisipasi dalam restorative programs
penggunaan restorative justice Masalah procedural peradilan pidana
ec

Dorongan hukum yang dimaksud di sini ditanggalkan ketika para peserta menyetujui
bukan sekedar menghapuskan hambatan berpartisipasi dalam program restorative justice.
hukum atau sistem terhadap program Namun demikian, HAM fundamental dari
lR

restorative, tetapi mendorong (encourages) para peserta justru sering terabaikan. Legislasi
atau memaksa pengambil keputusan yang restorative justice dapat melindungi hak-hak
terbiasa mengabaikan restorative justice untuk fundamental tersebut dengan cara menetapkan
menggunakannya. Hal ini dapat dilakukan dengan panduan yang mengatur seleksi kasus untuk
na

mencantumkan prinsip bahwa sepanjang tidak diversi, menetapkan kewajiban pengawasan


bertentangan dengan public interest, criminal proses dan hasil program restorative justice;
Jur

51
Daniel W. Van Ness, dan Pat Nolan, , ”Legislating for Restorative Justice”, 10 Regent U. L. Rev. 53, (1998): 58.
52
Ibid., hlm. 59.
53
Ibid., hlm. 60.
54
Ibid., hlm. 62.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 291


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

serta menyediakan mekanisme judicial review E. Penutup


ketika salah satu pihak keberatan dengan hasil

HN
1. Kesimpulan
yang dicapai55.
Hukum HAM internasional telah memberikan
prinsip-prinsip panduan bagi penerapan
f. Legislasi diperlukan untuk memberikan
restorative justice. Panduan ini tidak hanya
rangkaian prinsip panduan dan mekanisme
untuk peradilan juvenile dan tindak pidana

BP
kewajiban pengawasan program
ringan, tetapi juga tindak pidana yang dilakukan
Program restorative diterapkan untuk
orang dewasa serta pelanggaran HAM berat
merefleksikan prinsip dan nilai-nilai restorative
yang disponsori Negara. Hal ini merupakan
justice. Legislasi akan memberikan prinsip-
rekonseptualisasi konsep restorative justice
prinsip panduan dan mekanisme pengawasan

ing
yang sebelumnya identik dengan penyelesaian
sehingga program benar-benar terwujud
di luar pengadilan untuk kasus juvenile dan
dengan baik tidak sekedar angan-angan. Draft
tindak pidana ringan. Terkait tindak pidana
Community Justice Services Act (CJSA) negara
yang dilakukan orang dewasa, Tokyo Rules
bagian Minnesota misalnya menegaskan
memberikan prinsip-prinsip panduan yang
bahwa:
ind
…..the state official responsible for
menjadi komponen kunci peradillan restoratif.
implementation of the CJSA to develop Beberapa komponen kunci yang dimaksud
outcome measurements that would enable antara lain adalah seleksi, pelatihan, dan
assessment of whether the goals of the act sertifikasi fasilitator; Screening process pelaku
(public protection, enforcing juvenile justice
V
orders, assisting the offender to change, dan korban untuk menentukan apakah mereka
aiding victim restoration, and involving memenuhi syarat (eligible) untuk berpartisipasi
hts

the community) were actually being dalam program restorative justice; kapan
accomplished.
program restorative justice dapat dilakukan;
tipe atau bentuk program; dan ruang lingkup
Contoh legislasi lain adalah ditemukan dalam penerapan restorative justice. Perkembangan
The New Zealand Children, Young Persons, and dalam bentuk rekonseptualisasi konsep
ec

Their Families Act of 1989 yang mewajibkan restorative justice di masyarakat internasional
koordinator Youth Justice membuat laporan juga memunculkan konsep hybrid restorative
tertulis tentang keputusan, rekomendasi dan justice yang menggabungkan traditional
lR

rencana konferensi kelompok keluarga. Catatan criminal justice dan classical restorative justice
ini dikumpulkan di pengadilan negeri terdekat dan dianggap bisa mengatasi kelemahan yang
(district court) dengan tempat konferensi ada pada classical restorative justice.
dilangsungkan dan kemudian didiseminasikan.
na

Indonesia belum memiliki legislasi


Regular Monitoring harus senantiasa dilakukan restorative justice kecuali untuk sistem
untuk dapat memberikan evaluasi program.56 peradilan anak, oleh karenanya hampir semua
tindak pidana di Indonesia berakhir dengan
Jur

55
Kate E. Bloch, Op.Cit., hlm. 209.
56
Daniel W. Van Ness, dan Pat Nolan, Loc.Cit.

292 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

pemenjaraan. Beberapa argumen pentingnya LPSK & FISIP UI, Reparasi dan Kompensasi Korban
legislasi restorative justice di Indonesia adalah dalam Restorative Justice System, (Jakarta:

HN
2013).
pertama, restorative justice banyak memberikan Marlina, Pengantar Konsep Diversi & Restorative
manfaat; kedua, legislasi akan menghapuskan Justice dalam Hukum Pidana, (Medan: USU
atau mengurangi hambatan sistematis Press, 2010).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
penerapan restorative justice; ketiga, legislasi
Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992).

BP
akan memberikan legal inducement penerapan Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang:
restorative justice; keempat, legislasi akan Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995).
menyediakan panduan pelaksanaan, struktur Rampen, Tilly A.A., Hermien Hadiati Koeswadji,
Sarwirini, Buku Ajar Hukum Pidana Anak,
dan pengawasan program restoratif; dan kelima, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
legislasi akan lebih menjamin perlindungan hak 2007).

ing
pelaku dan korban yang berpartisipasi dalam
restorative programs. Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian
Angkasa dkk, ”Model Peradilan Restorative
2. Saran dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian Tentang
Praktek Mediasi Pelaku dan Korban Dalam
Sangat urgent bagi pemerintah untuk mere­
ind Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai
Pemasyarakatan Purwokerto)”, 9 Jurnal Dinamika
konseptualisasi dan melegislasikan restorative
Hukum 3, (2009).
justice agar supaya teori atau konsep ini tidak Antkowiak, Thomas M., ”An Emerging Mandate for
senantiasa hanya menjadi wacana tetapi International Courts: Victim-Centered Remedies
and Restorative Justice, 47 Stan. J. Int’l L. 279,
V
memiliki dasar hukum dan dapat diterapkan
(2011).
dalam kasus-kasus konkrit di Indonesia.
Bloch, Kate E., ”Reconceptualizing Restorative
hts

Justice”, 7 Hastings Race & Poverty L. J. 201, ,


Daftar Pustaka (2010).
Burkemper, T. Bennett, dkk, ”Restorative Justice in
Buku Missouri’s Juvenile Sistem”, 63 J. Mo. B. 128,
Achmad, Ruben, Upaya Penyelesaian Masalah (2007).
Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Lee, Christopher D., ”They All Laughed at Christopher
ec

Palembang, Universitas Sriwijaya, Penelitian, Columbus When He said The World was Round:
2005. The Not-So radical and Reasonable Need for a
Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan: Dalam Suatu Restorative Justice Model Statute”, , 30 St. Louis
Bunga Rampai, (Bandung: Armico, 1983). U. Pub. L. Rev. 523, (2011).
lR

Bartollas, Clemens, Juvenile Delinquency, Second Paulus Hadisuprapto, ”Peradilan Restoratif; Model
Edition, (New York: MacMillan Publishing Peradilan Anak Indonesia Masa Datang”, Pidato
Company, 1990). Pengukuhan Guru Besar Kriminologi, (2006),
George Clifford Pavlich, Governing Paradoxes of Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Pavelka, Sandra, ”Restorative Juvenile Justice
na

Restorative Justice, (Glasshouse Press, 2005).


Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency: Legislation and Policy: A National Assessment” ,
Pemahaman Dan Penanggulangannya, 4 Int’l J. Restorative Just. 100, (2008).
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997). Prayitno, Kuat Puji, ”Restorative Justice Untuk
Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkembangan Macam- Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis
Jur

Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”,
Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 12 Jurnal Dinamika Hukum 3, (2012).
1995). Rancangan KUHP Indonesia Pembahasan Tahun
2005.

Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia (Sefriani) 293


Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Reinald Pinangkaan, ”Pertanggungjawaban Pidana Van Ness, Daniel W, dan Nolan, Pat, ”Legislating
dan Penerapan Sanksi Dalam Pembaharuan for Restorative Justice”, 10 Regent U. L. Rev. 53,

HN
Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia”, 2 Lex (1998).
Crimen 1, (2013).
Riza Alifianto Kurniawan, ”Asas Ultimatum Remedium Internet
Dalam Pemidanaan Anak Nakal;
Safran, Brian J, ”Juvenile Justice Policy From The Uganda Community Service Regulation 2001,
Perspective of International Human Right”, http://www.restorativejustice.org/10fulltext/

BP
Cardozo L. Rev. de novo 304, (2012). ministerofinternalaffairs/at_download/file.
Sanders, Lucy Clark, ”Restorative Justice: The (diakses 7 April 2012).
Attempt To Rehabilitate Criminal Offenders and
Victims”, 2 Charleston L. Rev. 923, (2008). Peraturan
Sherman, Lawerence W, dkk, ” Effects of Face-to- Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Face Restorative Justice on Victims of Crime

ing
Peradilan Anak.
in Four Ran- domized Controlled Trials”, 1 J. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Experimental Criminology 367, (2005). Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sorensen, Juliet S., ”Restorative Justice for Victims of Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
War Crime”, 100 J. Crim. L. & Criminology 1689, Kepolisian R.I.
(2010). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Sri Sutatiek, Putusan Pengadilan Anak Sebagai
Manifestasi Perlindungan Dan Kesejahteraan
ind Kejaksaan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Anak Di Indonesia, Disertasi, Universitas Kekuasaan Kehakiman.
Brawijaya, Malang, 2007. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Sri Wardani, Noeke, dkk, ”Penerapan Pidana Alternatif Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana di Pengadilan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
V
Negeri Bengkulu”, 5 Jurnal Kriminologi Indonesia Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
2, (2009). Kepada Saksi dan Korban.
Umbreit, Mark S. , & Bradshaw, William, ” Victim
hts

Experience of Meeting Adult vs. Juvenile


Offenders: A Cross-National Comparison”, 61
Fed. Probation 33, (1997).
ec
lR
na
Jur

294 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 279-294

Anda mungkin juga menyukai