Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM

PENANGANAN LAKA LANTAS

2.1. Pengertian-Pengertian

2.1.1 Pengertian Restorative Justice

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris, Tony F.

Marshall dalam tulisannya ”Restorative Justice an Overview”

mengatakan restorative justice adalah sebuah proses dimana para

pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu

bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama – sama

bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi

kepentingan masa depan1. Metode restorative menekankan

keterlibatan aktif pihak-pihak yang terdampak (langsung maupun

tidak) tindak kejahatan untuk menemukan jalan penelesaian

sengketa, bukan bergantung pada petugas-petugas negara dan

mekanisme hukum formal yang berlaku.2

Menurut Marlina, restorative justice merupakan “konsep

penyelesaian konflik yang terjadi dengan melibatkan para pihak

yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi (korban,

pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, masyarakat dan

1
dikutip dari http://www.damang.web.id/2012/01/restorative-justice.html, <diunduh tanggal 31
Mei 2015>
2
Afthonul Alif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice : Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya – Upaya Melampauinya, Pustaka Pelajar, 2015, hlm.329.

11
12

penengah/moderator)”3. Musyawarah yang dilakukan ini penting

untuk menentukan tindakan atau hukuman yang tepat terhadap

pelaku. Tindakan atau hukuman yang diberikan bermanfaat bagi

pelaku, masyarakat dan korban merasa kerugian dan

ketidakseimbangan serta ketidaktertiban dalam lingkungannya

sudah pulih kembali dengan hukuman yang telah dijatuhkan.

Pada acara expert consultation meeting yang diselenggarakan

tanggal 26 – 28 Juli 2013 di Kuta, Bali, Hj. Dewi, S.H., M.H.

(Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong) menyebutkan bahwa :4

restorative justice merupakan penyelesaian perkara tindak


pidana dengan melibatkan pelaku, korban dan keluarga
pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Ciri restorative justice yaitu :5

a. Menekankan keadilan pada perbaikan/pemulihan keadaan;


b. Berorientasi pada korban;
c. Memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan
rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab;
d. Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk
mengurangi permusuhan dan kebencian;
e. Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat;
f. Melibatkan anggota masyarakat dalam upaya pemulihan.

Pada tanggal 17 Oktober 2012 Ketua Mahkamah Agung RI,

Menkumham RI, Jaksa Agung RI dan Kapolri mengadakan rapat

3
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU
Press, 2010. Hlm.2.
4
DS Dewi. “Proses Diversi dalam Sistem Peradilan Anak Indonesia”, Makalah pada seminar
Expert Consultant Meeting, diselenggarakan di Hotel Mercure Kuta, Bali 26 – 28 Juli 2013, hlm.9.
5
Ibid,.hlm.7.
13

bersama yang menghasilkan nota kesepakatan bersama tentang

pelaksanaan penerapan penyesuaian tindak pidana ringan dan

jumlah denda, acara pemeriksaan cepat serta penerapan keadilan

restoratif (restorative justice), dalam klausul nota kesepakatan

bersama Pasal 1 ayat 2 berbunyi :6

Keadilan restoratif (restorative justice) adalah penyelesaian


perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh penyidik pada
tahap penyidikan atau hakim sejak awal persidangan dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan tokoh
masyarakat terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula.

Dalam Konsep Grand strategy Polri 2005 – 2025 dijelaskan

tentang penegakkan keadilan masyarakat oleh Polri, salah satunya

dengan model restorative justice, disebutkan bahwa :7

Penegakan keadilan masyarakat atau lebih dikenal dengan


sebutan restorative community justice adalah suatu upaya
pencegahan kejahatan (bukan mengutamakan penanggulangan
untuk menegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat).
Pencapaian tujuan utama lembaga polisi tersebut terbukti tidak
cukup dengan mengandalkan sistem peradilan criminal (criminal
justice system) yang mudah memancing polisi memakai sistem
pendekatan represif.

Sedangkan dalam Standar Operasional Prosedur (selanjutnya

disebut dengan SOP) Polres Pariaman Polda Sumbar tentang

6
Nota Kesepakatan Bersama antara Ketua MA, Menkumham, Jaksa Agung dan kapolri Nomor
: 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor : M. HH-07. HM. 03.02 Tahun 2012, Nomor : KEP-
06/E/EJP/10/2012, Nomor : B/39/X/2012 Tentang Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice).
7
Mabes Polri, Grand Strategy Polri 2005-2025, Jakarta, 2004, hlm. 5.
14

Penerapan restorative justice dalam penyidikan tindak pidana di

wilayah hukum Polres Pariaman menyebutkan bahwa :8

Restorative justice adalah suatu pendekatan yang lebih


menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri,
mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada
pemidanaan dirubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang
lebih adil dan seimbang bagi korban dan pelaku.

Definisi restorative justice pun dikemukakan oleh seorang psikolog,

Afthonul Alif di dalam bukunya, disebutkan bahwa :9

Restorative justice sebagai cara penyelesaian perkara kriminal


yang berbasis pada upaya-upaya reparatif yang dicapai melalui
keterlibatan aktif pihak-pihak yang berperkara dalam rangka
memulihkan atau mempertahankan hubungan-hubungan dan
harmonisasi sosial yang rusak akibat tindakan kiriminal.

Dari uraian-uraian definisi restorative justice yang telah disebutkan

di atas, dapat disimpulkan bahwa restorative justice merupakan

suatu bentuk alternatif proses penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan yang lebih menekankan pada upaya dialog dan

musyawarah antara pihak korban beserta keluarga korban dan pihak

tersangka berserta keluarga tersangka dengan melibatkan penegak

hukum beserta tokoh masyarakat, tokoh adat atau tokoh agama

sebagai mediator untuk mencari solusi terbaik guna mendapatkan

keadilan dan keseimbangan dengan memperhatikan hak-hak

8
Polres Pariaman, Op.Cit.hlm.3.
9
Afthonul Alif, Op.Cit. hlm.346.
15

pemulihan korban yang terenggut oleh peristiwa pidana yang

dilakukan oleh tersangka.

Komponen-kompenen yang harus diperhatikan untuk mengukur

keberhasilan penerapan restorative justice menurut Afthonul Alif

yang mengutip dari Daniel van Ness yaitu :10

a. Perjumpaan (encounter);

b. Pemberian ganti rugi (amends);

c. Penyatuan pihak – pihak yang berselisih (reintegration)

d. Penerimaan kembali pelanggar sebagai bagian dari komunitas

(inclusion)

2.1.2 Pengertian Lalu Lintas

Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas disebutkan

bahwa “lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu

lintas jalan”. Secara sederhana dan ditinjau dari segi bahasa

Indonesia, kata “Lalu Lintas” merupakan kata penggabungan atau

padan kata dari “Lalu” dan “Lintas”. Kedua kata tersebut memiliki

arti yang sama yaitu gerakan suatu benda-benda pada suatu arah

tertentu. Sedangkan perbedaan kedua kata tersebut terletak pada

pola pergerakannya, adapun pengertian keduanya sebagai berikut :11

a. Lalu atau melalui artinya pola pergerakan benda dengan arah


searah/berlawanan arah (depan/belakang) dalam suatu ruang
pergerakan atau jalur pergerakan.

10
Ibid, hlm.347.
11
Dikutip dari https://lazuardiranger.wordpress.com/2012/02/09/lalu-lintas/ <diunduh tanggal
20 Agustus 2015>
16

b. Lintas atau melintasi artinya pola pergerakan benda dengan


arah memotong arah pergerakan (pergerakan samping) dalam
suatu ruang pergerakan atau jalur pergerakan.

sehingga terminologi lalu lintas adalah pergerakan benda yang

searah/berlawanan arah dan pergerakan benda memotong arah

dalam suatu ruang pergerakan atau jalur pergerakan.

Ilustrasinya dapat dilihat dari suatu pergerakan kendaraan

pada suatu persimpangan jalan, dimana jalan tersebut adalah

sebagai ruang pergerakan karena karakteristik pergerakan “melalui”

(through) dan “melintasi” (across) inilah maka pergerakan

kendaraan di jalan kemudian dibakukan dalam bahasa indonesia

sebagai “lalu lintas” yang dalam bahasa inggris disebut “traffic” dan

pola pergerakannya disebut “arus lalu lintas” (traffic flow)12. Dalam

realitanya arus lalu lintas tidak hanya arus searah dan arus

berpotongan saja, tetapi ada pula arus menggabung (merging) dan

arus memisah (deverging) serta arus berputar dan berbalik arah.

Mengingat karakteristik dari lalu lintas itu cenderung

beresiko benturan ataupun hambatan, maka diperlukan

perencanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas

yang disebut manajemen lalu lintas. untuk melaksanakan kegiatan

manajemen lalu lintas itu, maka diperlukan perangkat institusi yang

secara khusus berwenang menangani manajemen dan segala

permasalahan, dan bidang yang ditanganinya adalah Kepolisian

12
Ibid
17

dalam hal ini fungsi teknis Korps Lalu Lintas pada Mabes Polri,

Direktorat Lalu Lintas pada kesatuan kewilayahan Polda dan Satuan

Lalu Lintas pada Kesatuan kewilayahan Polres.

2.1.3 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Definisi kecelakaan lalu lintas dalam Pasal 1 ayat (24)

Undang-Undang Lalu Lintas adalah “suatu peristiwa di Jalan yang

tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan

atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban

manusia dan/atau kerugian harta benda”. Berdasarkan Pasal 229

ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas, kecelakaan lalu lintas

digolongkan menjadi :

a. Kecelakaan lalu lintas ringan yaitu kecelakaan yang


mengakibatkan kendaraan dan/atau barang;
b. Kecelakaan lalu lintas sedang yaitu kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau
barang;
c. Kecelakaan lalu lintas sedang yaitu kecelakaan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

Faktor penyebab ketiga kecelakaan di atas, dapat disebabkan oleh

ketidaklayakan pengguna jalan, ketidaklayakan kendaraan dan

ketidaklayakan jalan dan/atau lingkungan.

2.1.4 Pengertian Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 15 tahun 2013 disebutkan bahwa :

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas adalah serangkaian kegiatan


yang dilaksanakan oleh petugas Polri di bidang lalu lintas setelah
terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan yang meliputi kegiatan
18

mendatangi TKP dengan segera, menolong korban, melakukan


tindakan pertama di TKP, mengolah TKP, mengatur kelancaran
arus lalu lintas, mengamankan barang bukti, dan melakukan
penyidikan kecelakaan lalu lintas.

Penanganan kecelakaan lalu lintas berupa menolong korban

kecelakaan merupakan kewajiban setiap orang yang melihat

dan/atau mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas, kemudian

wajib melaporkan kecelakaan tersebut ke Polisi atau ke kantor

Polisi terdekat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 232

Undang-Undang Lalu Lintas yaitu Setiap orang yang mendengar,

melihat, dan/atau mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas

wajib :

a. Memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan lalu


lintas;
b. Melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
c. Memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

2.2. Landasan Yuridis Penerapan Restorative Justice oleh Kepolisian

2.2.1. Hukum Tidak Tertulis atau Hukum Adat Merupakan Bentuk Dari

Restorative Justice

Seperti yang diungkapkan pada Pendahuluan Bab I, bahwa

sampai saat ini belum ada payung hukum yang diberikan oleh

Negara untuk menerapkan proses restorative justice dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia. Akan tetapi sebelum pendudukan

kolonial Belanda, masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu telah


19

mempraktekkan konsep restorative justice dalam menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah

kehidupan bermasyarakat, contohnya : Proses abbajik (berbaikan)

dalam adat Bugis Makassar, proses baku bae pela gandong

(berbaikan dalam persaudaraan) dalam adat Maluku dan lain-lain.

Praktek penyelesaian masalah-masalah di tengah kehidupan

masyarakat ini dibingkai dengan istilah hukum adat. Hukum-hukum

adat yang digunakan oleh masyarakat tradisional Indonesia ini

merupakan salah satu bentuk dari restorative justice yang bertujuan

untuk menyelesaikan konflik secara musyawarah mufakat sehingga

tercapai kepuasan antara pihak yang berkonflik.

Keberadaan hukum adat atau hukum tidak tertulis juga diakui

oleh konstistusi walaupun tidak dapat dikodifikasi dalam hukum

nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Pasal 18 B

ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan


masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang.

Pada Pasal tersebut diungkapkan bahwa Negara mengakui

keberadaan hukum adat yang masih diakui sebagai hukum tidak

tertulis di suatu daerah, dengan catatan hukum atau kebiasaan

tersebut masih hidup sesuai dengan perkembangan di masyarakat


20

serta tidak bertolak belakang dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Berdasarkan landasan konstitusi tersebut, peran Polri sangat

sentral dalam mengimplementasi hukum adat atau hukum tidak

tertulis dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai pemelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta

pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polri merupakan

ujung tombak sistem peradilan pidana di Indonesia, di tangan Polisi

diharapkan setiap permasalahan yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat dapat diselesaikan dengan mempertimbangkan hukum

adat atau kebiasaan masyarakat setempat. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Yogie Rahardjo dalam tesisnya yang mengutip

dari Satjipto Rahardjo bahwa “pekerjaan Polisi sesungguhnya tidak

jauh dari pekerjaan mengadili, sebab memberikan penafsiran

terhadap hukum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang

tertentu yang melakukan perlawanan terhadap hukum bukankah

pekerjaan mengadili juga”.13

Untuk mengakomodir pola-pola penyelesaian masalah

masyarakat melalui hukum adat (adat istiadat atau kebiasaan)

masyarakat tradisional suatu daerah, Polri menerapkan konsep

community policing atau polmas 14. Polmas merupakan strategi Polri

13
Yogie Rahardjo, Tesis Penerapan Diskresi Polisi Dalam Pelaksanaan Pasal 291 Ayat (1)
Undang – Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Studi
Kasus Yogyakarta), Universitas Indonesia, 2012, hlm.38-39.
14
Lihat Pasal 4 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008
21

dalam pemecahan masalah dan pencegahan serta pembinaan

ketentraman dan kerukunan masyarakat yang mendasarkan pada

asas kemitraan, kebersamaan dan keharmonisan di dalam

masyarakat15. Penerapan strategi Polmas bagi Indonesia sangat

tepat/cocok dengan budaya masyarakat Indonesia yang

mengedepankan kehidupan berkomunitas, gotong royong,

keseimbangan (harmonis), dan kepedulian serta mendahulukan

kepentingan umum.16

Menurut Yogie Rahardjo dalam tesisnya yang diambil dari M.

Faal, bahwa :17

Langkah kebijaksanaan yang diambil oleh Polisi itu biasanya


dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif
dibanding hukum positif yang berlaku;
b. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara
pelaku, korban dan masyarakat;
c. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat daripada
semata-mata menggunakan hukum positif yang ada;
d. Atas kehendak mereka sendiri;
e. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Untuk menjamin terpeliharanya rasa aman, tertib dan tentram dalam

masyarakat, polisi dan warga masyarakat menggalang kemitraan

untuk memelihara dan menumbuhkembangkan pengelolaan

keamanan dan ketertiban lingkungan. Kemitraan ini dilandasi

norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan

15
Ibid
16
Ibid, Pasal 5.
17
Yogie Rahardjo, Op.Cit,hlm.27.
22

tetap mengindahkan peraturan-peraturan hukum nasional yang

berlaku dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia

dan kebebasan individu yang bertanggungjawab dalam kehidupan

masyarakat yang demokratis.

2.2.2. Diskresi Kepolisian dalam Penerapan Restorative Justice

Restorative justice erat kaitannya dengan diskresi karena

proses restorative justice pada dasarnya dilakukan atas dasar

diskresi (kebijaksanaan) oleh Pejabat Kepolisian. Dalam website

Kamus Besar Bahasa Indonesia online Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, kata diskresi diartikan sebagai

kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang

dihadapi18. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan dalam Pasal 1 ayat

(9) bahwa :

Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan


dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatur
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pmerintahan dalam hal peraturan Perundang-Undangan
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Diskresi kepolisian dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau

kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang atau atas kuasa

Undang-Undang untuk bertindak berdasarkan pertimbangan atau

18
dikutip dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, <diunduh tanggal 31 Mei
2015>
23

keyakinan sendiri, yang mana tindakan tersebut lebih bersifat moral

daripada bersifat umum19.

Sejak ditetapkannya Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang

pemisahan TNI dan Polri serta dikuatkan dengan Tap MPR Nomor

VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, maka Polri

mendapat justifikasi untuk memperlihatkan jati dirinya sebagai

institusi yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan masyarakat seperti ciri khas tugas-tugas

Kepolisian secara universal sebagaimana tuntutan reformasi.

Dengan didasari pertimbangan Tap MPR tersebut, tugas dan

wewenang Kepolisian khususnya kewenangan diskresi diharapkan

dapat berkembang dalam sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Untuk menindaklanjuti Ketetapan

MPR tersebut di atas, maka disahkan dan diberlakukan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri (selanjutnya disebut

Undang-Undang Polri). Dalam Undang-Undang Polri disebutkan

bahwa fungsi kepolisian merupakan fungsi pemerintahan Negara di

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan

masyarakat.

19
Ansori, Konsep Diskresi dalam Proses Pidana, Perspektif, Vol X No.3, Surabaya, Juli
2005.hlm.4.
24

Disebutkan pula dalam Pasal 13 Undang-Undang Polri, tugas

pokok Polri adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan Hukum, dan;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

masyarakat.

Tugas Pokok Polri ini tidak bisa hanya dilihat dari perspektif

penyelenggaraan hukum saja melainkan harus dilihat dari perspektif

yang lebih luas, artinya pekerjaan yang dilakukan oleh Polri ini

tidak melulu yang berklasifikasi penegakkan hukum semata

melainkan pekerjaan yang dilakukan oleh Polri ini meliputi semua

urusan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini merupakan

konsekuensi dari tugas pokok Polri yang antara tugas satu dengan

yang lainnya saling bertolak belakang seperti 2 (dua) sisi mata uang,

dimana selain sebagai aparat penegak hukum, Polri juga bertugas

sebagai aparat yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani

masyarakat.

Menurut Ahmad Yakub Sukro dalam skripsinya yang dikutip

dari Satjipto Rahardjo, bahwa “Kepolisian adalah profesi yang

unik, sehingga untuk merumuskan secara tuntas adalah pekerjaan


25

yang tidak mudah”20. Lebih lanjut dalam tesis Yogie Rahardjo yang

dikutip dari Satjipto Rahardjo berbunyi :21

Memelihara dan mencegah tersebut membutuhkan kreativitas.


Pada gilirannya kreativitas itu membutuhkan kelonggaran dan
kebebasan dalam bertindak dan itu berarti tugas Polisi tidak bisa
diatur dan dibatasi atau dalam istilah ilmunya dibutuhkan suatu
diskresi untuk melaksanakan tugas tersebut.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat dipahami bahwa

segala kegiatan dan tindakan yang dilakukan oleh Polri untuk

melaksanakan tugas pokoknya, baik kegiatan preemtif, preventif

dan represif atau penegakkan hukum diperlukan suatu kebebasan

atau keleluasaan untuk bertindak namun harus dapat

dipertanggungjawabkan, dengan kata lain diperlukan suatu

kewenangan khusus yaitu kewenangan diskresi.

Dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (l) Undang-Undang

Polri bahwa untuk melaksanakan tugas pokoknya, Polri berwenang

untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab. Pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Polri diuraikan

tentang tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab yaitu

tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika

memenuhi syarat berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;


b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;

20
Ahmad Yakub Sukro, Skripsi Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
Terhadap Tindak Pidana yang Diselesaikan di Luar Pengadilan, Universitas Negeri Semarang,
2013, hlm.2.
21
Yogie Rahardjo, Op.Cit, hlm.26.
26

c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan


jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,
dan;
e. Menghormati hak asasi manusia.

Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Polri disebutkan bahwa “Untuk kepentingan umum Pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainannya sendiri”.

Bila dilihat dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Polri disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bertindak menurut

penilaianya sendiri” adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh

anggota Polri yang dalam bertindak harus mempertimbangkan

manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk

kepentingan umum.

Kewenangan diskresi Kepolisian juga dijelaskan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan

KUHAP) yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (a) angka (4) KUHAP

berbunyi “Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang

untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab”. Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 7 ayat (1) huruf (j)

KUHAP bahwa “Kewenangan penyidik untuk mengadakan

tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Adapun

yang dimaksud dengan “tindakan lain menurut hukum yang


27

bertanggung jawab” sebagaimana dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1)

huruf (a) angka (4) dan Pasal 7 ayat (1) huruf (j) KUHAP yaitu22 :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;


b. Selaras dengan kewajban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia.

Kewenangan diskresi yang dimiliki Polisi ini harus selaras

dengan kewajiban umum Kepolisian yaitu memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat dalam rangka mewujudkan keamanan

dalam negeri. Karena cakupan kewenangan diskresi dalam tugas

pokok dan fungsi Kepolisian sangat luas, maka anggota atau pejabat

Kepolisian yang menggunakan kewenangan diskresi harus memiliki

cakrawala intelektual yang luas tentang hukum dan juga mempunyai

keahlian fungsi teknis Kepolisian, selain itu dalam penggunaan

kewenangan diskresi setiap insan Kepolisian harus dilandasi dengan

kode etik profesi Kepolisian.

Kode etik profesi Kepolisian mencakup norma perilaku dan

moral yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas-tugas

fungsi Kepolisian sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan

rambu nurani bagi setiap anggota Polri. Etika Profesi kepolisian

juga merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai

22
Yogie Rahardjo, Op.Cit,hlm.39-40.
28

oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap insan

Bhayangkara yang berlandaskan pada tribrata dan catur prasetya

dan diwujudkan dalam suatu komitmen moral untuk dapat

memenuhi harapan masyarakat sebagai pelindung, pengayom dan

pelayan masyarakat.

2.3. Peran Polri dalam Menangani Laka Lantas Menggunakan Konsep

Restorative Justice

Semangat restorative justice di dalam tubuh Polri telah ada sejak awal

reformasi, ditandai dengan dipisahkannya badan Polri dari tubuh Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), hal ini dikuatkan dengan perubahan

paradigma baru tribrata yang merupakan pedoman hidup anggota Polri dan

catur prasetya yang merupakan pedoman kerja anggota Polri. Dalam butir

kedua tribrata, setiap anggota Polri bersumpah dan berjanji menjunjung

tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Artinya, setiap anggota Polri dalam

pelaksanaan tugasnya wajib menjunjung tinggi kebenaran dan hak asasi

manusia untuk mencapai keadilan dalam menegakkan hukum yang

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal ini

merupakan suatu penegasan bahwa penegakkan hukum yang dilakukan oleh

Polri harus selaras dengan cita-cita pendiri bangsa yang tertulis dalam

pancasila, sila kelima yaitu untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh
29

rakyat Indonesia. Menurut Yogie Rahardjo dalam tesisnya yang dikutip dari

Barda Nawawi Arif bahwa : 23

Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana atau sistem


peradilan pidana itu pada umumnya terwujud dalam kepentingan-
kepentingan sosial tersebut adalah :
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau
bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang
lain;
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan
keadilan individu.

Berdasarkan pemikiran di atas, tujuan hukum pidana ialah memelihara

ketertiban masyarakat, melindungi warga masyarakat dan menciptakan

keadilan sosial serta keadilan individu, sama halnya dengan konsep

restorative justice yang menawarkan penegakkan hukum dengan memediasi

antara korban beserta keluarga korban dan tersangka beserta keluarga

tersangka untuk mencari solusi terbaik demi mendapatkan keadilan.

Pemikiran tersebut juga selaras dengan konsep restorative justice dalam

grand strategy Polri 2005 – 2025, disebutkan bahwa :24

Strategi restorative Justice (pemulihan keadilan) dapat meningkatkan


trust karena menunjukan bahwa Polri bertindak sebagai fasilitator, bukan
hanya “penghukum” (penegak hukum) yang menjuru represif, melainkan
dan terutama Polri mengutamakan “pendamai” (dalam penegakan
hukum) bagi penanggulangan kejahatan ketidaktertiban yang sebagian
besar timbul dari konflik kepentingan, berperan sebagai pihak ketiga
yang menghasilkan win win solusition.

23
Ibid, Hlm.43.
24
Mabes Polri, Op.Cit,hlm.15.
30

Polri merupakan ujung tombak sistem peradilan pidana di Indonesia,

karena dari tangan Polri suatu kasus kejahatan atau kasus pidana menjadi

terang benderang untuk diungkap di sidang pengadilan, tetapi yang perlu

diingat walaupun tugas Polri lebih diprioritaskan ke arah penyidikan atau

penegakkan hukum namun ciri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan

masyarakat serta pemelihara kamtibmas tidak bisa dipisahkan dari identitas

seorang anggota Polri. Masyarakat berharap Polri tidak hanya sebagai

penegak hukum yang melihat suatu kasus kejahatan atau tindak pidana dari

sudut pandang peraturan Perundang-Undangan, namun lebih dari itu

masyarakat menginginkan Polri melihat dari sudut pandang sosiologi dan

budaya masyarakat setempat. Polri diharapkan menjadi “malaikat” yang bisa

memberikan rasa keadilan dalam penegakkan hukum.

Berdasarkan pemikiran inilah konsep restorative justice dirasa sangat

cocok bila diterapkan dalam penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh

Polri, karena restorative justice merupakan sebuah konsep pemikiran yang

merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan

pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang merasa tersisihkan

dengan mekanisme yang bekerja pada peradilan pidana saat ini 25. Walaupun

tidak semua kasus bisa diterapkan dengan restorative justice, namun

penerapan sistem ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan proses

peradilan pidana konvensional yang hanya menitikberatkan kepada

25
Yunan Hilmy, Op.Cit.hlm.250.
31

kepastian hukum tanpa melihat keadilan dan keseimbangan hak-hak korban

yang terenggut.

Dengan menerapkan restorative justice, Polri tidak harus selalu

memainkan peran represifnya kepada para pelanggar hukum, Polri dapat

mengambil peran sebagai mediator atau fasilitator dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang timbul di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat,

sebagaimana yang dituangkan dalam konsep community policing atau

Polmas. Keuntungan menjadikan restorative justice menjadi alternatif

penyelesaian perkara antara lain :26

a. Masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan


hukumnya yang dirasa lebih adil;
b. Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang, misalnya untuk
mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat diselesaikan
secara mandiri oleh masyarakat.

Pada intinya restorative justice menekankan adanya kemauan dari pelaku

untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkannya sebagai bentuk rasa

tanggung jawab, adanya kemauan dari korban untuk memberikan maaf,

kemauan masyarakat terlibat dalam penyelesaian perkara dan kemauan

penegak hukum dalam menegakkan hukum secara adil serta melihat asas

manfaat dari penyelesaian kasus tersebut.

Dengan adanya pengaturan tentang diskresi Kepolisian dalam Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang Polri yang berbunyi “Untuk kepentingan umum

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainannya sendiri”,

26
Ibid,.hlm.251
32

sebenarnya merupakan pijakan yuridis kepada Polri untuk menerapkan

konsep restorative justice dalam penegakkan hukum. Salah satu kasus yang

dirasa sangat efektif bila diselesaikan dengan konsep restorative justice

yaitu kasus laka lantas. Penggunaan restorative justice dalam penanganan

kasus laka lantas menjadi hal yang menarik, karena pada dasarnya laka

lantas itu merupakan sebuah musibah. Tidak ada satu orang waras pun yang

berniat menabrakkan kendaraannya ke kendaraan lain atau ke pengguna

jalan lain, bila ada unsur kesengajaan dalam kecelakaan, hal ini tidak

diklasifikasikan sebagai laka lantas melainkan diklasifikasikan sebagai

tindak pidana penganiayaan atau percobaan pembunuhan dan/atau

pembunuhan.

Berdasarkan Pasal 260 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Lalu Lintas

disebutkan bahwa “dalam melakukan penyidikan laka lantas, Penyidik

mempunyai kewenangan melakukan tindakan lain menurut hukum secara

bertanggung jawab”. Pasal tersebut merupakan payung hukum penerapan

diskresi dalam penyidikan laka lantas, lebih lanjut dalam Pasal 236 ayat (2)

Undang-Undang Lalu Lintas disebutkan bahwa “Kewajiban mengganti

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada kecelakaan lalu lintas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar

pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang

terlibat”. Pasal yang disebutkan tersebut merupakan landasan yuridis

penerapan restorative justice dalam penanganan kasus laka lantas, namun

kasus laka lantas yang diperbolehkan diselesaikan di luar pengadilan


33

menurut Undang-Undang Lalu Lintas yaitu kasus laka lantas ringan yang

hanya mengakibatkan kerugian material atau kerugian barang dan/atau

kerugian benda.

Walaupun tidak semua kasus laka lantas dapat di-restorative justice-

kan menurut Undang-Undang Lalu Lintas, akan tetapi kewenangan diskresi

yang dimiliki oleh penyidik Polri memberi mereka pilihan untuk

mengesampingkan perkara-perkara pidana terutama laka lantas karena

mempertimbangkan aspek keamanan, kepentingan umum, manfaat dari

pengesampingan kasus laka lantas tersebut dan demi mendapatkan keadilan

untuk pelaku dan korban. Kasus pembunuhan 3 (tiga) orang di Kampung

Satoan Kel Pejagan Kab Bangkalan yang terjadi pada tanggal 19 januari

2008 merupakan contoh kasus pembunuhan yang berawal dari laka lantas,

kronologis awalnya tersangka a.n. Adi Utomo bersenggolan motor dengan

Rusdiono (anak dari Korban a.n. Satar) mengakibatkan Rusdiono terluka

ringan karena jatuh dari sepeda motornya, peristiwa laka lantas itu berubah

menjadi pengeroyokan oleh Rusdiono dan kawan-kawannya kepada Adi

Utomo, karena Rusdiono tidak terima diserempet oleh Adi Utomo. Peristiwa

laka lantas dan pengeroyokan tersebut tidak dilaporkan kepada Polres

Bangkalan. Selanjutnya pihak orang tua Rusdiono yang merasa anaknya

bersalah ingin bersilaturahmi untuk meminta maaf ke rumah Adi Utomo,

namun sesampainya disana, naas mereka bertiga dibunuh oleh Adi Utomo.27

27
Disarikan dari hasil wawancara dengan Penyidik Pembantu Unit Idik III Pidter Satreskrim
Polres Bangkalan Bripka Edi Eko Purnomo, S.H. pada tanggal 20 Agustus 2015.
34

Bertolak dari penjabaran kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa

dari sebuah kasus laka lantas yang tergolong sedang, dapat menjadi sebuah

tindak pidana yang lebih besar bila tidak dilakukan upaya-upaya penegakan

hukum oleh Polri. Polri berkewajiban melakukan tindakan-tindakan

Kepolisian berupa tindakan preemtif, preventif maupun penegakkan hukum

untuk mencegah dan menangkal terjadinya rentetan tindak pidana lain yang

disebabkan oleh sebuah tindak pidana yang tergolong ringan dan seharusnya

dapat diselesaikan dengan baik oleh pihak-pihak yang berperkara, salah

satunya dengan cara menerapkan konsep restorative justice yang

mendudukan pihak korban dalam posisi sentral dalam menyelesaikan

perkara pidana dan menjauhkan dari pemenjaraan, yang diubah menjadi

pertanggungjawaban dari pelaku terhadap korban28.

Ketentuan penerapan ADR atau restorative justice dalam penanganan

perkara laka lantas juga diatur dalam Surat Telegram Kapolda Jatim Nomor

: ST/1888/VII/2011/Ditlantas tanggal 18 Juli 2015 tentang pertimbangan

penggunaan ADR dalam penanganan laka lantas, dijelaskan bahwa :

a. ADR dapat dilakukan kepada kasus Laka Lantas yang mengakibatkan


korban luka ringan atau alami kerugian materiil (kategori laka ringan);
b. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat diselesaikan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam
suatu kesepakatan tertulis.
c. Penyelesaian kasus laka lantas dengan cara ADR, harus merupakan
kesepakatan antara pihak – pihak yang terlibat laka lantas yaitu korban
dan tersangka;
d. Sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang
atau penasehat ahli melalui seoraang mediator/petugas polantas yang
menangani laka lantas;

28
Yunan Hilmy, Op.Cit. hlm.256
35

e. Apabila sengketa tidak dapat diselesaikan/salah satu pihak


mengingkari hasi kesepakatan, maka perkara laka lantas tetap
diselesaikan melalui siding PN dengan BAC ataupun BA singkat;
f. Kejadian laka lantas yang diselesaikan dengan cara ADR tetap wajib
dilaporkan baik dalam bentuk lapbul maupun laphar ke Ditlantas
Polda Jatim u.p. Subdit Bin Gakkum melalui jalur pelaporan yang
telah ada sera wajib dimasukkan ke dalam aplikasi input data IRSMS ;
g. Pelaku bukan merupakan residivis;
h. Penyelesaian perkara laka lantas dengan cara ADR akan gugur dengan
sendirinya apabila status korban berubah menjadi LB atau MD;
i. Kasus laka lantas yang telah diselesaikan dengan cara ADR, penyidik
tetap wajib untuk menyelesaikan berkas perkara kasus dimaksud
sampai dengan pembuatan resume dan dilampirkan surat kesepakatan
yang dibuat antara korban dan tersangka untuk kemudian diarsipkan
atau sewaktu-waktu bisa dikirimkan ke JPU apabila status korban
berubah menjadi LB atau MD.

Penerapan konsep restorative justice juga diatur dalam Pasal 63 ayat (1)

Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penanganan Laka Lantas

(selanjutnya disebut Perkap Penanganan Laka Lantas) yang berbunyi

“kewajiban mengganti kerugian terjadi kesepakatan damai antara para

pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, untuk menyelesaikan perkaranya

dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan”. Berdasarkan penjelasan

Surat Telegram Kapolda Jatim dan Peraturan Kapolri di atas, dapat diartikan

bahwa pelaksanaan restorative justice atau ADR merupakan upaya hukum

luar biasa yang dilakukan oleh Polri dalam penegakkan hukum,

mengesampingkan suatu tindak pidana demi kepentingan yang lebih besar

lainnya yaitu kepentingan umum, kemanusiaan dan kemanfaatan. Dengan

demikian restorative justice muncul karena terdapat tujuan kehidupan

bernegara yang harus dicapai, antara lain untuk menciptakan kesejahteraan


36

rakyat dan menegakkan hukum yang berorientasi pada kebijakan-kebijakan

hukum yang berkeadilan dan kemanfaatan hukum.29

29
Ahmad Yakub Sukro, Op.Cit.hlm.120.

Anda mungkin juga menyukai