Anda di halaman 1dari 11

Contoh Kasus Restorative Justice dan Mediasi Penyelesaiannya

“ Seorang Anak Mencuri Sapi Ibunya “


Dosen Pengampu : Dr. Rohman Hahim S.H, M.H
Oleh

Alfi ‘Atiyatul Mubasyiroh

NIM : 22.6.9.0237

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN


JURUSAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2022
A. Latar Belakang

Restorative justice bertujuan untuk penyelesaian hukum guna

menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Restorative

justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam

penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan

sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan

kebijakan, namun tata pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana

Indonesia belum dilakukan secara optimal.

Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak

pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada

pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang

terkait.

Hal ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan

atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak

korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada

keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam

masyarakat.

Praktik yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam

masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari contoh

atau pilot project yang diambil sabagai cara alternatif untuk

menyelesaikan kasus pidana diluar pengadilan. Bentuk praktik


Restorative Justice telah berkembang diberbagai Negara dan dapat

dikelompokan menjadi empat jenis praktik yaitu, Victim Offender

Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing, Circle dan

Restorative Board/Youth Panels.(translate for Indonesia).

Restorative Justice menawarkan solusi terbaik dalam

menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan

pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian yang penting

untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atas kerugian yang

disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Program Restorative Justice

yang paling lama dan banyak diterapkan di banyak Negara adalah

aplikasi Restorative Justice dalam bentuk Victim Offender Mediation.

Restorative Justice merupakan upaya untuk mendukung dan

melakasanakan ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat 3 UU No. 35

Tahun 2014 tentang perlindungan anak, yaitu bahwa “ penangkapan,

penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila

sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya

terakhir”.
B. Pembahasan

a. Restorative Justice

Restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh

masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan

untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui

perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan

semula. Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini

termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.

Arti restorative justice merupakan alternatif penyelesaian

perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang

diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua

pihak terkait. Prinsip dasar restorative justice adalah adanya

pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan

memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku

melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Dalam pelaksanaan restorative justice, pelaku memiliki

kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat

berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan

untuk menjaga ketertiban umum.


b. Dasar Hukum

Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana ringan

termuat dalam beberapa peraturan berikut ini:

 Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

 Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHP)

 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

 Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung,

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung,

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun

2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012

tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan

Restorative Justice

 Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301

Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan


 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan

Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif

 Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice

adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam

Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah

pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan

restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut

ini:

 Tindak Pidana Anak

 Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hokum

 Tindak Pidana Narkotika

 Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik

 Tindak Pidana Lalu Lintas

c. Syarat Pelaksanaan Restorative Justice

Syarat pelaksanaan restorative justice adalah termuat dalam

Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian

Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri


Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana

berdasarkan Keadilan Restoratif.

Melansir situs Kompolnas, penanganan tindak pidana dengan

restorative justice harus memenuhi persyaratan umum dan khusus.

Persyaratan umum berlaku pada kegiatan penyelenggaraan fungsi

reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan. Sedangkan

persyaratan khusus hanya berlaku untuk tindak pidana berdasarkan

restorative justice pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan.

Berikut ini persyaratan umum pelaksanaan restorative justice

secara materiil, meliputi:

 Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari

masyarakat

 Tidak berdampak konflik social

 Tidak berpotensi memecah belah bangsa

 Tidak radikalisme dan separatism

 Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan

putusan pengadilan

 Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap

keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana

terhadap nyawa orang.


Sedangkan persyaratan umum pelaksanaan restorative justice

secara formil, meliputi:

 Perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan

kesepakatan perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak,

kecuali untuk tindak pidana Narkotika

 Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku,

berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti

biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau

mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.

Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan

kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali

untuk tindak pidana Narkotika).

Adapun persyaratan khusus dalam penanganan tindak pidana

berdasarkan restorative justice merupakan persyaratan tambahan

untuk tindak pidana lainnya.

C. Contoh Kasus Restorative Justice

Dalam hal ini saya akan membahas salah satu contoh kasus

restorative justice yang terjadi di Indonesia yaitu, seorang anak mencuri

sapi ibunya. Restorative justice dilakukan karena tersangka dan korban

telah melakukan kesepakatan damai. Berkat kebesaran hatinya, korban


Miswana, sebagai ibu tersangka, memaafkan perbuatan anaknya sehingga

kasus diselesaikan melalui restorative justice.

Tersangka telah bebas tanpa syarat usai permohonan yang diajukan

disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum)

Kejagung melalui ekspose secara virtual. Alasan pihaknya memberikan

penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif karena korban

adalah orang tua dari tersangka telah memaafkan perbuatan anaknya.

Selain itu, tersangka juga disebutkan baru pertama kali melakukan tindak

pidana. Tersangka di masyarakat terkenal baik dan sering membantu

orang tuanya.

D. Penyelesaian Kasus

Tersangka telah bebas tanpa syarat usai permohonan yang

diajukan disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum)

Kejagung melalui ekspose secara virtual. Alasan pihaknya memberikan

penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif karena korban

adalah orang tua dari tersangka telah memaafkan perbuatan anaknya.

E. Kesimpulan

Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak

pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada

pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang


melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang

terkait.

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice

adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal

364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara

paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Penanganan tindak pidana dengan restorative justice harus

memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku

pada kegiatan penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan,

atau penyidikan. Sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku untuk

tindak pidana berdasarkan restorative justice pada kegiatan penyelidikan

atau penyidikan.

F. Daftar Pustaka

https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-restorative-justice-

lt62b063989c193/?page=all (diakses pada tanggal 18 Desember 2022)

https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/restorative-justice-

alternatif-baru-dalam-sistem-pemidanaan (diakses pada tanggal 18 Desember

2022)
https://news.detik.com/berita/d-6082418/restorative-justice-kejagung-setop-

penuntutan-2-kasus-pencurian

Anda mungkin juga menyukai