Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN YURIDIS ATAS UPAYA HUKUM PERKARA PIDANA

PENGANIAYAAN YANG TELAH DISELESAIKAN MELALUI


RESTORATIVE JUSTICE
( Studi Putusan Pengadilan Negeri Suka Makmu Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm. Jo Putusan)
(Mahkamah Agung Nomor 247/K/Pid/2022)

[NARNILA WATI]
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Teuku Umar
Jl. Alue Peunyareng, Gunong Kleng, Kec. Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh 23681
Email : narnilawati@gmail.com

ABSTRAK
Tindak pidana penganiayaan merupakan perbuatan penyerangan terhadap orang lain atas tubuh yang
menimbulkan rasa sakit, luka ringan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Restorative justice ialah
pendekatan yang berbeda dalam memahami tindak pidana, dalam pandangan keadilan restoratif
korban tidak disematkan pada negara seperti pemahaman yang konvesional, akan tetapi korban
dimaknai sebagai orang yang dirugikan sehingga pelaku diwajibkan untuk membenahi hubungan yang
sudah rusak akibat tindak pidana. Salah satu kasus penganiayaan yang diselesaikan melalui keadilan
restoratif di pengadilan serta melakukan musyawarah sehingga terdapat kesepakatan berdamai dan
ganti rugi berupa pemulihan nama baik korban. Dalam putusan hakim mengeluarkan putusan
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum sehingga jaksa mengajukan upaya hukum kasasi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tinjauan hukum pengajuan kasasi serta perkara yang
diselesaikan melalui keadilan restoratif dijadikan dasar pengahapusan pidana. Metode yang digunakan
ialah metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengajuan kasasi oleh jaksa
penuntut umum dengan alasan putusan judex facti dalam putusan tersebut tidak dapat diterima serta
demi hukum dan keadilan yang sesungguhnya, hukuman pidana bisa saja dihampuskan karena sudah
terjadi perdamaian, keduabelah pihak telah setuju dengan kesepakatan yang terjadi, mengingat jika
hukuman pidana tetap dijatuhkan alih-alih terjadi masalah baru dimasa yang akan datang.
Kata Kunci : Upaya hukum, tindak pidana, penganiayaan, Restorative justice

ABSTRACT
The crime of assault is an act of attacking another person on the body that causes pain, minor injury
and even loss of a person's life. Restorative justice is a different approach in understanding criminal
acts, in the view of restorative justice victims are not embedded in the state like conventional
understanding, but victims are interpreted as people who are harmed so that perpetrators are required
to fix relationships that have been damaged by criminal acts. One of the cases of persecution that was
resolved through restorative justice in court and held deliberation so that there was an amicable
agreement and compensation in the form of restoring the victim's good name. In the judge's decision,
the judge released a decision to acquit the defendant of all lawsuits so that the prosecutor filed a
cassation. The purpose of this study is to find out the legal review of the filing of cassation and cases
resolved through restorative justice as the basis for the elimination of the crime. The method used is
the normative juridical method. The results showed that the appeal by the public prosecutor on the
grounds that the judex facti decision in the decision was unacceptable and for the sake of real law and
justice, the criminal sentence could have been abolished because peace had occurred, both parties had
agreed to the agreement that occurred, given that if criminal penalties are still imposed instead of new
problems in the future.
Keywords : Legal remedies, criminal acts, persecution, Restorative justic

1
1. PENDAHULUAN
Tindak pidana atau criminal act merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan. 1
Atas perbuatan tindak pidana tersebut pelaku haruslah dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah penjatuhan hukuman pidana, baik berupa
hukuman pokok dan atau hukuman tambahan. Hukuman pokok terdiri dari pidana mati,
penjara seumur hidup, penjara waktu tertentu, kurungan, denda dan pidana tutupan, sedangkan
pidana tambahan terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu
dan pengumuman putusan hakim.2 Dalam hal menentukan suatu perbuatan apakah termasuk
tindak pidana atau tidak haruslah dipedomani azas legalitas (legality principle) yaitu “nullum
delictum noella poena sine lega poenali”. Azas legalitas tersebut di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana diatur pada Pasal 1 ayat (1) KUHP “tidak seorang pun dapat dipidana
atau dikenakan pidana, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak
pidana dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.”3
Menurut Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan ialah perbuatan manusia yang merupakan
pelanggaran norma, merasakan kerugian, menjengkelkan, sehingga tidak dapat dibiarkan
berkembang. Kejahatan selalu menunjukkan kepada perbuatan manusia dan juga
batasannyaatau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan dilarang, apa yang
baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat dalam Undang-Undang, kebiasaan, dan adat
istiadat.4
Salah satu contoh kejahatan yang sering terjadi di sekitar masyarakat ialah penganiayaan.
Kejahatan yang dalam bentuk kekerasan seperti penganiayaan akan mengakibatkan luka berat
atau luka ringan terhadap korban. Perilaku masyarakat yang kurang mengontrol emosinya,
baik itu dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan maupun pengaruh lingkungan
pergaulannya yang kurang baik. Perselisihan pendapat baik secara individual maupun
kelompok dapat menjadi suatu faktor yang dapat terjadinya suatu tindak pidana kekerasan
yang berujung pada penyaniayaan.
KUHP sudah membagi berbagai macam jenis penganiayaan serta bentuk penganiayaan
yang tentunya memiliki konsekuensi pemidanaan yang berbeda. Pasal 351-355 KUHP
menerangkan tentang delik penganiayaan yang merupakan suatu bentuk perbuatan dapat
merugikan orang lain, baik fisik maupun mental seseorang yang dapat terimbas hilangnya
nyawa seseorang.5 Terdapat peraturan dari tindak pidana penganiayaan yang dapat
menyebabkan luka ringan, luka berat, hilangnya nyawa seseorang, jelas harus dipandang
sebagai perbuatan yang merugikan orang lain selaku subjek hukum yang patut untuk
mendapatkan keadilan.
Perkara pidana penganiayaan, ada yang diselesaikan melalui keadilan restoratif atau
perdamaian terlebih dahulu sebelum dilakukannya persidangan di Pengadilan, namun banyak
juga yang di selesaikan di pengadilan yang berakhir dengan putusan dan hukuman bagi pelaku
1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2005,hlm,20
2
Pasal 10 Kitap Undang-Undang Hukum Pidana
3
Pasal 1 ayat (1) Kitap Undang-Undang Hukum Pidana
4
Wahyu Widodo, “Kriminologi dan Hukum Pidana”, Universitas PGRI Semarang, 2015,hlm,23
5
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2
tindak pidana penganiayaan. Upaya keadilan restoratif yang dilakukan oleh penuntut umum
dengan tujuan untuk memulihkan kembali keadaan yang sudah retak di antara pelaku dan
korban kembali seperti semula, jika pihak penuntut umum tidak berhasil berdamai maka
perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan. Keadilan restoratif atau perdamaian dilakukan
atas dasar suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun dengan tujuan untuk memulihkan
keadaan seperti semula.
Restorative justice atau keadilan restoratif, yang merupakan model pendekatan yang
muncul sejak tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana, menawarkan
pandangan dan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menangani tindak pidana,
dalam pandangan keadilan restoratif korban dari tindak pidana tidak disematkan kepada
negara, seperti pemahaman yang konvesional. Akan tetapi korban dimaknai sebagai pihak
yang dirugikan dari adanya tindak pidana, sehingga pelaku berkewajiban untuk membenahi
rusaknya suatu hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana.6
Salah satu contoh kasus yang diselesaikan melalui keadilan Restoratif yaitu kasus
penganiayaan ringan pada tahun 2021 di Nagan Raya. Kasus pidana penganiayaan ringan
yang di lakukan oleh terdakwa berinisial E terhadap korban berinisial R, tindakan terdakwa
dengan menggunakan tangan kanan untuk memukul kepala korban sehingga menimbulkan
rasa sakit dan pusing di bagian kepala dan leher korban. Korban langsung dilarikan ke Rumah
Sakit Sultan Iskandar Muda untuk diperiksa dan di visum, hasil visum mengatakan korban
mangalami memar di bagian kepala dan terdapat kemerahan atau biru di bagian leher
diakibatkan dari pukulan tangan terdakwa.
Kasus penganiayaan tersebut diselesaikan melalui keadilan restoratif oleh pihak
kejaksaan, namun pihak jaksa tidak berhasil dalam menyelesaikan perkara penganiayaan
melalui keadilan restoratif, maka perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk
mendapatkan keadilan bagi korban. Namun di saat proses persidangan majelis hakim
menawarkan kembali untuk diselesaikan melalui keadilan restoratif, pihak korban dan
terdakwa setuju jika kasus mereka diselesaikan melalui restoratif walaupun upaya jaksa
dahulu tidak berhasil. Setelah kasus tersebut berhasil diselesaikan oleh majelis hakim melalui
keadilan restoratif, dengan putusan hakim yang mengatakan terdakwa bebas dari segala
tuntutan hukum serta mendapatkan ganti rugi yang berupa perbaikan nama baik korban.
Walaupun demikian, namun jaksa tetap mengajukan upaya hukum berupa kasasi ke
Mahkamah Agung. Padahal di dalam Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP disebutka bahwa
terhadap putusan bebas murni/vrijpraak tidak ada upaya hukum lagi. Berdasarkan hal tersebut
menarik untuk dikaji lebih lanjut terkait tinjauan yuridis atas upaya hukum perkara pidana
penganiayaan yang telah selesai melalui Restorative Justice serta penyelesaian perkara
melalui Restorative Justice dapat di jadikan dasar penghapusan pidana bagi pelaku.

2. METODE PENELITIAN
Dalam uraian tentang metode penelitian mencakup keseluruhan langkah cara atau
langkah-langkah yang akan peneliti tempuh dalam menetukan penulisan, mengelola dan
menganalisa serta memaparkan hasil penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif ialah pendekatan yang dilakukan
6
Eva Achjani Zulfa, Disertasi, Keadilan Restoratif di Indonesia ( Studi Tentang Kemungkinan
Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana ), 2009, hlm, vi.

3
berdasarkan bahan hukum utama. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan
sekunder sebagai dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur yang berkaitan.7 Dalam metode ini peneliti akan mengkaji
pendekatan peraturan Perundang-undangan, literatur buku-buku, skripsi, jurnal, artikel dan
kepustakaan lainnya yang menjadi referensi maupun dasar sumber perlengkapan penelitian
ini. Tujuan penelitian ini yaitu untuk meneliti penerapan hukum dalam hubungannya dengan
penanggulangan kegiatan, baik dari sudut ketentuan perundang-undangan maupun kebijakan
hakim sebagai aparatur penegak hukum yang berwenang mengadili dan memutuskan suatu
perkara.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penganiayaan ialah tindak kejahatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
yang disertai ancaman, yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar aturan
tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah sangat jelas dari pasal ke pasal
tentang penganiayaan dan sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku serta sesuai dengan
bentuk dari penganiayaan yang dilakukan.8
Menurut Mr. M. H. Tirtaamidjaja menyebutkan “penganiayaan” ialah dengan sengaja
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan
sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan
itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.9 Sedangkan menurut Sudarsono,
penganiayaan ialah perbuatan yang menyakiti atau menyiksa manusia dengan sengaja
mengurangi atau merusak kesehatan orang lain.10
Landasan hukum larangan penganiayaan dalam hukum positif dimuat dalam Bab XX,
Pasal 351 s/d Pasal 355. Jenis tindak pidana penganiayaan dapat dikategorikan sebagai
berikut:

a) Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP) Penganiayaan yang menyebabkan sakit atau
berhalangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan atau gangguan pikiran yang tidak
lebih lama dari empat minggu, sakit itu dapat diharapkan sembuh dan tidak
mendatangkan bahaya maut.11
Dalam Pasal 351 menyebutkan bahwa:
1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
7
Soerjono Soekanto & Sri Mamudja, 2001,Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat ),
Rajawali Pers, Jakarta, hlm.13-14
8
Alra Harynova, Penganiayaan Dilihat Dari Perspektif Kitap Undang-Undang Hukum Pidana Dan
Hukum Pidana islam,skripsi, 2018, hlm,72
9
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta Fasco, 1955, hlm. 174
10
Sudarsono, Kamus Hukum, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992 ) hlm.34
11
Fikri, “Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Berencanaan ( Studi Kasus Putusan No.
63/Pid. B/2012/PN.Dgl)” , Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 1, tahun 2013, hlm. 05

4
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.12

Dari pasal tersebut di atas dapat diuraikan secara terperinci bahwa penganiayaan ini
dinamakan penganiayaan biasa, diancam hukuman lebih berat, apabila penganiayaan biasa ini
berakibat luka berat atau mati, tentang luka berat disebutkan dalam Pasal 90 KUHP luka berat
atau mati di sini hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pembuat.13

b) Penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP) Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan
berencana merumuskan sebagai berikut:

1. Penganiayaan dengan berencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara


paling lama empat tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

c) Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP) Dalam Pasal 354 penganiayaan berat sebagai
berikut:
1. Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Jika
perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.14

d) Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP


Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 sebagai berikut:
1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.15

e) Penganiayaan ringan (Pasal 352)

12
R. Soenarto Soedibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge
Raad, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007 ), hlm 214.
1318
Fikri, “Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Berencanaan ( Studi Kasus Putusan No.
63/Pid. B/2012/PN.Dgl)” , Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 1, tahun 2013, hlm. 05
14
R. Soenarto Soedibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge
Raad, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007 ), hlm.217
1520
Ibid., hlm. 218

5
Penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menyebabkan rasa sakit atau
berhalangan mengerjakan jabatan atau pekerjaan.16 Disebut penganiayaan ringan karena
penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit yang tidak menyebabkan si korban
tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah
diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:17
1 Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denpaling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
2. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tindak dipidana, tindak pidana
penganiayaan yang dapat diselesaikan oleh lembaga adat adalah tindak pidana
penganiayaan ringan, seperti yang disebutkan dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2008 Pasal 13 ayat (1) huruf m.18

Sesuai dengan uraian pendahuluan d iatas, bahwa kasus penganiayaan yang terjadi di
Nagan Raya sebagaiman diputuskan dalam putusan Pengadilan Suka Makmue Nomor
63/Pid.B/2021/PN.Skm. Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/K/Pid/2022, yaitu kasus
tersebut terjadi di Desa Puloe Ie pada tanggal 07 Juni 2021 sekitar pukul 08.00 WIB.
Terdakwa melakukan tindak penganiayaan terhadap korban di area Pesantren Safinatun Naja,
di saat itu korban datang ke kediaman terdakwa dengan tujuan melayat adik terdakwa yang
sudah tiada di hari itu. Di masa sakit adik terdakwa, terdakwa tidak membolehkan siapapun
menjenguk adik nya, namun korban tetap berkeinginan kuat untuk menjenguk adik terdakwa
dan tidak menghiraukan larangan terdakwa dan keluarga. Selang beberapa hari setelah korban
menjenguk, adik terdakwa meninggal dunia setelah meninggal dunia terdakwa berprasangka
buruk terhadap korban, terdakwa mengira korban mengguna-guna adik terdakwa hingga tiada.
Maka di hari adik terdakwa tiada korban datang untuk melayat bertemu dengan terdakwa,
terdakwa dengan perasaan yang sangat marah dan emosi langsung memukul korban sebanyak
3 (tiga) kali di bagian kepala korban dengan tangan kanan terdakwa. Sehingga korba
merasakan sakit dan pusing di bagian kepala dan terdapat memar di bagian bawah leher.
Kasus tersebut telah diselesaikan melalui Restorative Justice dan mendapatkan
kesepakatan damai, adapun mekanisme penyelesaiannya diuraikan sebagai berikut :
1. Kejaksaan melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan untuk dilaksanakan
persidangan.
2. Pengadilan memeriksa berkas yang di limpahkan oleh jaksa, serta ketua
pengadilan menentukan majelis hakim, setelah berkas tersebut sampai ke tangan
hakim maka langsung ditentukan hari persidangan pertama.

16
Fikri, “Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan........., hlm. 05
17
Natalia Ayu Ariati, Tinjauan Yuridis Penggunaan Visum Et Repertum Sebagai Sarana Pembuktian
Perkara Penganiayaan yang Terjadi dalam Pertandingan Sepak Bola ( Studi Kasus dalam putusan No :
173/Pid/2010/PT.Smg). (studi kasus 2010), Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 25.
18
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP.........., hlm. 216-217

6
3. Di hari persidangan maka akan di bacakan dakwaan penuntut umum dan
dihadirkan barang bukti dalam persidangan yang sedang berlanjut
4. Setelah mendengarkan dakwaan dan melihat bukti yang telah dihadirkan, majelis
hakim mengarahkan untuk di selesaikan melalui keadilan restoratif
5. Setelah mendapatkan arahan untuk penyelesaian melalui keadilan restoratif, maka
akan diarahkan ke hari pelaksana perdamaian dengan melalui beberapa tahapan
yang lain serta siapa saja yang harus hadir didalam proses perdamaian tersebut
6. Pelaksanaan perdamaian tersebut dilakukan secara musyawarah besar antara
terdakwa dan korban yang dilakukan di ruang mediasi Pengadilan dengan
menghadirkan terdakwa dan korban, kepala desa dari tempat kediaman terdakwa,
kepala desa dari tempat kediaman korban, keluarga para pihak, dan disaksikan
langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Suka Makmu Kabupaten Nagan Raya.
7. Di dalam musyawarah tersebut terdakwa dan korban dinasehati langsung oleh
kepala desa masing-masing, serta dinasehati pula oleh Ketua Pengadilan agar
kedepan tidak terjadi lagi salah paham antara terdakwa dan korban, di akhir
musyawarah tersebut terdapat beberapa kesepakatan antara terdakwa dan korban
serta keluarga
8. Kesepakatan yang terjadi dalam musyawarah yaitu pemberian ganti rugi dalam
bentuk ganti rugi tersebut yaitu pemulihan nama baik korban di pesantren
safinatun naja dikarenakan korban tidak menerima ganti rugi berupa uang
9. Setelah menyetujui kesepakatan pemulihan nama maka kesepakatan selanjutnya
pemulihan keadaan seperti semula menurut adat aceh Peusijuk, yaitu ungkapan
resmi bahwa pertingkaian terdakwa dan korban di anggap selesai serta melalui
prosesi adat peusijuk sudah di anggap bersaudara layaknya saudara kandung, dan
membawa sedikit makanan khas aceh serta alat-alat peusijuk
10. Setelah melewati prosesi adat Peusijuk terdakwa dan korban menandatangani
surat perdamaian yang bahwa perkara pidana penganiayaan yang terjadi di antara
mereka di katakan selesai dan keadaan akan segera membaik seperti semula.
11. Setelah dilaksanakan perdamaian antara terdakwa dan korban, majelis hakim
memutuskan perkara tersebut dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan
hukum sesuai dengan kesepakatan yang terjadi.

3.1 Tinjauan Hukum Terhadap Pengajuan Kasasi Atas Perkara Penganiayaan yang
telah diselesaikan Melalui Restorative Justice

Pengajuan upaya hukum kasasi atas vonis bebas diatur dalam Pasal 244 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi, “ terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa
atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung kecuali terhadap putusan bebas”.19 Selanjutnya dalam Pasal 67 KUHAP dijelaskan
“bahwa terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum
19
Janpatar Simamora, Jurnal Hukum “ Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut
19.
Umum Terhadap Vonis Bebas” . hlm,09

7
yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat. Dari ketentuan Pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa terhadap putusan
bebas tidak dimungkinkan adanya upaya hukum banding maupun kasasi”. Pasal 67 maupun
Pasal 244 KUHAP mengecualikan putusan bebas dari upaya hukum banding dan kasasi.
Bahkan dalam Pasal 233 ayat (2) ditegaskan bahwa hanya permintaan banding sebagaimana
dimaksud pada Pasal 67 yang boleh diterima panitera Pengadilan Negeri dalam kurun waktu
tujuh hari setelah putusan dibacakan dan sudah diberitahukan.
Secara ketentuan, ditemukan larangan untuk mengajukan kasasi terhadap vonis bebas
oleh penuntut umum. Namun, di sisi lain ditemukan pola pengaturan yang memungkinkan
diajukan kasasi atas vonis bebas dimaksud dalam bentuk regulasi yang lebih rendah dari
KUHAP. Pengaturan dimaksud dituangkan dalam putusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-
PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksana KUHAP, khususnya pada angka
19 Lampiran Putusan yang pada pokoknya menyebutkan bahwa terhadap putusan bebas tidak
dapat dimintai banding, namun berdasarkan situasi dan kondisi serta demi hukum, Mahkamah
Agung akan memproses permintaan kasasi hanya saja proses kasasi dimaksud akan
didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung, jadi bukan lagi berpatokan pada
mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 244 dan Pasal 67 KUHAP.20
Secara internal terdapat peraturan Perundang-Undangan Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, terdapat pada point 4 tentang tugas dan wewenang Jaksa Agung mengatakan “
mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam lingkup
peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan peradilan agarna, maka
dari itu selaras dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengatakan bisa mengajukan
kasasi terhadap putusan bebas atas dasar demi kebenaran hukum terhadap putusan bebas.21
Merujuk pada perkara sebagaimana telah diputuskan di Pengadilan Negeri Suka Makmue
Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm, terdakwa didakwakan dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu
penganiayaan yang mengakibatkan luka berat terhadap korban, pada kenyataannya korban
tidak terlalu mendapatkan luka berat seperti yang ada di dalam dakwaan tersebut. Sesuai
dengan isi Visum Et Repertum Korban hanya mengalami memar dibagian bawah leher dan
merasa sakit dan pusing di bagian kepala, serta tidak bisa beraktivitas seperti biasa hanya 1
( satu ) hari.22
Dalam pertimbangan majelis Hakim, perbuatan terdakwa melanggar Pasal 351 ayat (1)
KUHP tidak disebutkan dalam peraturan Perundang-undangan sebagai tindak pidana yang
dapat dilakukan Restorative Justice, Majelis berpendapat bahwa terhadap Pasal 351 ayat (1)
KUHP ini dapat dilakukan keadilan restoratif, sebab bukan saja Pasal 351 ayat (1) KUHP
tidak termasuk sebagai penganiayaan berat, tetapi juga senyatanya perbuatan Terdakwa
tersebut masih tergolong ringan dan hanya menyebabkan memar-memar yang tidak
mendatangkan bahaya terhadap korban sebagaimana tercantum pada Visum Et Repertum
Nomor 023/VER/RSUD-SIM/2021 tanggal 08 Juni 2021. Selain itu berdasarkan Pasal 13 ayat
(1) huruf m jo. Pasal 14 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaaan Kehidupan
20
Janpatar Simamora, Jurnal Hukum, “Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi Oleh Jaksa ............”. Hlm,01
21
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang kejaksaan Republik Indonesia
22
Putusan Pengadilan Negeri Suka Makmu Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm. hlm.4

8
Adat dan Adat Istiadat, penganiayaan ringan termasuk kategori sengketa atau perselisihan
yang dapat diselesaikan secara adat dengan melibatkan tokoh-tokoh adat Gampong
setempat.23
Penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif yang sudah mengakomodir kepentingan
korban (victim justice), kepentingan Terdakwa dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat.
Majelis berpendapat Terdakwa tidak patut untuk dijatuhi pidana sekalipun telah terbukti
melakukan tindak pidana, sebab dengan adanya perdamaian yang diresmikan secara adat ini
kesalahan Terdakwa terhadap korban dapat dimaafkan dan unsur “Pencelaannya” menjadi
hapus. Dalam hal ini Majelis menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir “The Last
Resort” atau ultimum remedium, karena pertikaian antara Terdakwa dengan korban dapat
terselesaikan secara bermartabat tanpa harus menjatuhi Terdakwa dengan pemidanaan.
Penjatuhan pidana hanya dilakukan apabila tidak terdapat pilihan lain untuk menyelesaikan
pertikaian antara korban dengan Terdakwa. Di samping itu pula, alih-alih menjadi solusi
penjatuhan pidana malah dapat menimbulkan masalah baru antara korban dengan Terdakwa
akibat Terdakwa terstigma sebagai pelaku kejahatan. Oleh karena itu sesuai dengan putusan
Mahkamah Agung Nomor 2127K/Pid/2001 dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-
Timur Nomor 46/Pid/78/UT/WANITA, maka Terdakwa haruslah dilepaskan dari segala
tuntutan hukum (onslaght van alle rechtvervolging).24
Putusan Majelis Hakim di persidangan tahap pertama di Pengadilan Negeri Suka
Makmue, memutuskan terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum yang berarti terdakwa
sejak putusan tersebut di bacakan terdakwa di bebaskan atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Pertimbangan Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan
yang membebaskan terdakwa, dengan alasan penuntut umum tidak dapat menerima karena
putusan judex facti yang mengatakan perbuatan Terdawa bukan pidana berat sesuai dalam
dakwaan penuntut umum. Tetapi perbuatan tersebut merupakan tindak pidana ringan oleh
karena itu Majelis hakim melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum sebagaimana
mestinya, serta telah di pertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat
dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang. Selain itu alasan jaksa penuntut
umum mengajukan kasasi ialah demi kepentingan hukum dan kebenaran yang
sesungguhnya.25
Dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, membenarkan putusan
Pengadilan Negeri Suka Makmue judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan sama sekali
dengan hukum dan/atau Undang-undang, maka permohonan kasasi dinyatakan ditolak.
Karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum maka biaya perkara seluruh tingkat
peradilan dan pada tingkat kasasi dibebankan kepada negara.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa perkara tindak pidana penganiayaan yang telah
diselesaikan melalui keadilan restoratif dapat diajukan upaya hukum kasasi dengan alasan
demi kepentingan hukum dan keadilan yang sesungguhnya, sehinggan pengajuan kasasi
perkara penganiayan putusan pengadilan negeri suka makmue Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm
sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Nomor 16 tahun 2004 tentang

23
Putusan Pengadilan Negeri Suka Makmu Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm. hlm.25
24
.Putusan Pengadilan Negeri Suka Makmu Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm. hlm.33
25
. Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/K/Pid/2022. Hlm. 3

9
perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republik indonesia. 26
Selanjut menurut analisis peneliti, peneliti setuju dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan
Suka Makmue dan Majelis Hakim Mahmakah Agung membebaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum, karena perbuatan Terdakwa masih dikategorikan penganiayaan ringan dan
bisa di selesaikan secara kekeluargaan dengan melalui keadilan restoratif atau perdamaian,
serta melibatkan beberapa aparat desa, keluarga para pihak, terdakwa dan korban serta ketua
Pengadila Negeri Suka Makmue. perbuatan terdakwa tidak terbukti penganiayaan berat yang
bisa di vonis pidana penjara 2 tahun sesuai dakwaan dengan menggunakan Pasal 351 ayat (1)
KUHP, perkara penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP sesuai dengan Adat dan Adat Istiadat
pada Pasal 13 ayat (1) huruf m, dikategorikan masih bisa diselesaikan secara adat atau di
tingkat desa. Serta peneliti setuju dengan diselesaikan melalui keadilan restoratif dikarenakan
untuk memulihkan keadaan seperti semula, dilakukan upaya perdamaian ini tanpa adanya rasa
paksaan antar kedua belah pihak dengan suka rela melakukan perdamaian serta tulus
permintaan maaf dari terdakwa terhadap korban serta penerapan hukum adat dalam
penyelesaian perkara penganiayaan ringan ini.

3.2 Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Sebagai Dasar Penghapusan
Hukuman Pidana

Penganiayaan merupakan suatu bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain
terhadap fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tidak hanya itu,
terdapatnya 3 aturan pidana dari penganiyaan yang dapat menyebabkan luka berat ataupun
hilangnya nyawa orang lain, jelas harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat
merugikan korbannya selaku subjek hukum yang patut untuk mendapatkan keadilan. Faktor-
faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri si pelaku, yaitu faktor emosi dan
kesal yang kurang dikendalikan oleh si pelaku, sehingga terjadilah sebuah penganiayaan yang
dilakukan si pelaku terhadap korban. Faktor eksternal yang menjadi penyebab tindak pidana
penganiayaan, terbagi atas tempat kejahatan, keluarga, dan waktu kejahatan, faktor
lingkungan.27
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan atas dasar filsafat
dan nilai-nilai tanggung jawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan penyembuhan dan
“inclusiveness”. Berfokus pada reprasi terhadap kerugian akibat kejahatan, di samping itu
mendorong pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya, melalui
kesempatan pihak korban serta keluarga korban, pelaku, masyarakat serta penegak hukum.
memperhatikan kebutuhan setelah terjadinya kejahatan, mencari suatu pemecahan berupa
penyembuhan dengan tujuan mencegah kerugian selanjutnya.28
Perkara pidana penganiayaan yang diselesaikan melalui keadilan restoratif bisa
dijadikan dasar penghapusan hukuman pidana bagi terdakwa dikarenakan, hakim harus aktif
26
. Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/K/Pid/2022. Hlm.4
27
Yogie Ronaldo Sitepu, Jurnal Hukum, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pelaku
Penganiayaan Yang Mengakibat Luka Berat Dibagian Kepala”. Hlm,02
28
Ira Andira, Jurnal Hukum, “ Penerapan Restorative Justice Dalam Upaya Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana ( Studi Putusan di Polres Tebing Tinggi). Hlm,06

10
mengikuti perkembangan perasaan keadilan yang hidup ditengah masyarakat. Perkembangan
kekinian telah memperlihatkan bahwa terdapat pergeseran paradigma keadilan, yaitu dari
keadilan retributif menuju keadilan restoratif. Restorative justice perlahan dijadikan
paradigma baru yang menutupi kekurangan dari paradigma retributif justice.29 Secara konsep
filsafat pemidanaan dalam rancangan KUHP ( tahun 2015 ) mengakomodasi pemidanaan
sebagai sarana menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ( Pasal 55 ayat 1 huruf c ).
Demikian tafsir dari yurisprudensi tentang perlunya pelepasan pemidanaan terhadap pelaku
yang telah berdamai dengan korban mendapatkan ganti kerugiannya sehingga harmoni sosial
telah kembali pulih seperti semula.
Nilai kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan dalam pancasila harus di
manivestasikan dalam pembentukan norma hukum pidana menggunakan prosedur yang
demokratis, terbuka, adil dan partisipasi. Seperti pemahaman “legalitas” yang
mempertimbangkan “living law” nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai
pancasila dan prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat, diberikan peluang ruang
untuk menyelesaikan melalui mekanisme mediasi atau keadilan restoratif.30
Perdamaian yang didasari adanya kebutuhan maaf perlu dielaborasi dalam proses
penanganan perkara pidana, baik sebelum atau diluar pengadilan maupun saat dalam proses
persidangan di pengadilan. Hal ini dilakukan untuk memulihkan bargaining position hak-hak
asasi manusia korban yang selama ini dipinggirkan. 31 Sejalan dengan perkembangan hukum
pidana modern, perdamaian yang dilakukan antara korban dan pelaku tindak pidana perlu
dikembangkan kebijakan peraturannya dalam pembaruan hukum pidana.32 RUU KUHP (tahun
2015) telah mengakomodasi pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarganya dan
maaf dari korban serta keluarga menjadi dasar pertimbangan ( Pasal 56 ayat (1) huruf i, j, dan
k). Pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai
akibat tindak pidana yang dilakukan menjadi faktor peringanan pidana ( Pasal 135 ).
Berkaitan dengan konteks perdamaian berdasarkan permusyawaratan dan kebijaksanaan
dalam tujuan pemidanaan maka sudah seharusnya tidak menjadi alasan peringanan pidana,
tetapi dapat berupa penghapusan pidana bila terpulihkan hak dan kerugian korban akibat
guncangan yang terjadi telah diharmonisasikan kembali. Pembaharuan hukum pidana telah
29
Budi Suhariyanto, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan
Pidana Ditinjau dari Perspektif Restoartif Justice”. ( Jakarta: Pusat Penelitian & Perkembangan Mahkamah
Agung 2013), hlm,134
30
Mokhammad Najih. Politik Hukum Pidana: Kosep Peembaharuan Hukum Pidana Dalam Cita
Negara Hukum. (Malang: Stara Press, 2014). hlm. 39
31
Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban secara in concreto
dalam hukum positif saat ini tidak ada dalam ketentuan induk KUHP/WvS, namun hanya ada pada
sebagian kecil ketentuan perundang-undangan di luarnya, sedangkan pada sebagian besarnya masih
berorientasi pada pelaku tindak pidana. Terjadi kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang
berorientasi pada korban dalam ketentuan perundang-undangan di luar KUHP/WvS merupakan bentuk
kebijakan murni yang tidak terjalin secara sistem dengan induknya. Eko Soponyono. Kebijakan
Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41
Nomor 1 Jnauari 2012. hlm.40
32
Alef Musyahadah R, ”Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam
Sistem Pemidanaan” Tesis. (Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2005), hlm. 143-144

11
memberikan penegasan akan upaya filosofi pemidanaan dari retributif justice menuju
Restoratif Justice. Penghukuman sejauh mungkin dapat bermanfaat bagi para pihak dalam hal
ini korban, pelaku, dan masyarakat berguna memulihkan konflik di masa yang akan datang.
Demikian tindak pidana dipersepsikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak individu
(korban) oleh individu yang lain (pelaku) dalam masyarakat, sehingga penyelesaian perkara di
orientasikan pada pemulihan hubungan.33
Perdamaian antar pelaku dan korban dengan diikuti pergatian kerugian dan maaf hanya
berfungsi meringankan pemidanaan terhadap pelaku. Diluar kelaziman, terdapat putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor 46/Pid/78/UT/Wanita yang memberikan
pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar telah terjadi perdamaian. Pada dasarnya perbuatan
pelaku terbukti dan memenuhi unsur Pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Sama hal nya dengan perkara pidana penganiayaan Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm yang
mendapatkan putusan penghapusan dari segala tuntutan hukuman pidana, pada dasarnya
perbuatan pelaku terbukti bersalah dan memenuhi unsur Pasal yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum tetapi didalam dakwaan JPU terdapat kekeliruan pada penempatan Pasalnya.
Seharusnya pelaku harus didakwakan dengan Pasal 352 penganiayaan ringan dikarenakan
perbuatan terdakwa tidak menyebabkan korban tidak bisa beraktifitas seperti biasa. maka dari
itu majelis Hakim mevonis bebas /vrijspraak dari segala tuntutan hukum terhadap terdakwa,
setelah mendengar putusan Hakim Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap
putusan bebas untuk mendapatkan kebenaran hukum.

4. KESIMPULAN

1. Dari uaraian pembahasan diatas dapat kita ketahui, bahwa tinjauan hukum terhadap
perkara penganiayaan yang telah diselesaikan melalui keadilan restoratif dapat
diajukan upaya hukum kasasi oleh jaksa penuntut umum, dikarenakan untuk
kepentingan hukum serta untuk mendapatkan keadilan yang sesungguhnya, jika kita
merujuk kepada Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP yang mengecualikan pengajuan
kasasi terhadap putusan bebas maka putusan Nomor 63/Pid.B/2021/PN.Skm tidak
dapat diajukan kasasi oleh jaksa penuntut umum, dikarenakan jaksa merujuk pada
Perundang-Undangan Nomor 11 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republik indonesia, terdapat pada point 4
tentang tugas dan wewenang jaksa penunutut umum yang mengatakan “ mengajukan
kasasi demi kepetingan hukum kepada mahkamah agung dalam lingkup peradilan
umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan peradilan agama, maka dari
itu selaras dengan yurisprudensi mahkamah agung yang mengatakan bisa mengajukan
kasasi terhadap putusan bebas atas dasar demi kebenaran hukum terhadap putusan
bebas/vrijspraak.
2. Pembahasan kedua dapat kita ketahui bahwa, hukuman pidana bisa dihampuskan
karena sudah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak dan pihak tersebut telah
sepakat untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutannya, mengingat dengan
berlakunya nilai pancasila keadilan dan permusyawaratan serta kebijaksanaan maka
33
Budi Hariyanto, “ Kedudukan perdamaian Sebagai Penghapusan Pemidanaan Guna Mewujudkan
Keadilan Dalam Pembaharuan Hukum pidana”.hlm,13

12
dari itu hakim harus menjunjung tinggi nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat tidak hanya berlaku nilai keadilan dimeja hakim saja. Walaupun perbuatan
terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan hukuman pidana bisa dihampuskan jika
kedua belah pihak setuju dengan berdamai, serta terdakwa meminta maaf, mengakui
kesalahannya dan tidak mengulaginya kembali, permberian ganti rugi yang terdapat
pada korban.

UCAPAN TERIMA KASIH


Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan hidayat nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan artikel ini. Dalam proses Penelitian serta
penyusunan artikel ini tentu banyak pihak yang membantu, saya ucapkan banyak terimakasih
kepada dosen pembimbing artikel yang sudah membantu penelitian serta penyusunan artikel
saya, dosen pembimbing lapangan yang telah mengarahkan magang serta membantu proses
penyusunan penelitian ini, kepada supervisor saya mengucapkan banyak terimakasih karena
telah mengarahkan dan bimbingan penyusunan penelitian saya. Terimakasih buat ayah sama
mama yang setiap langkah nila selalu mensuport dan mendoakan nila.

DAFTAR PUSTAKA

 Buku

Moeljatno, S. H. "Asas-asas Hukum Pidana." Rineka Cipta, Jakarta (2002).


Sani, Adam. "PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENANGANAN PELANGGARAN
SYARI’AT ISLAM DI ACEH." Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan 2.1
(2018).
Zulfa, Eva Achjani. "Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang kemungkinan penerapan
pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana)." Universitas
Indonesia (2009).
Tirtaämidjaja, M. H. Pokok-pokok hukum pidana. Fasco, 1955.
Soerodibroto, Soenarto. "KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge
Raad Edisi Keempat." (1999).
Soesilo, Raden. "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal." (1995).
Soponyono, Eko. "Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan yang Berorientasi Pada
Korban." Masalah-Masalah Hukum 41.1 (2012): 29-41.
Najih, Mokh. Politik hukum pidana: Konspesi pembaharuan hukum pidana dalam cita negara hukum.
Setara Press, 2014
Widodo, Wahyu. "Kriminologi dan Hukum Pidana." Universitas PGRI Semarang Press (2015).

 Artikel

FIKRI, F. Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Berencana (Studi Kasus Putusan No. 63/pid.
b/2012/pn. dgl) (Doctoral dissertation, Tadulako University).

13
Setiawati, L. (2018). Penetapan Sanksi Pidana Tambahan Kepada Orangtua Yang Melakukan Tindak
Pidana Kekerasan Terhadap Anak Kandungnya Ditinjau Dari Pasal 10 Kitab Undang undang
Hukum Pidana Di Indonesia (Doctoral dissertation, Universitas Bhayangkara Jaya).
Sialagan, David Seh Tumonggi. "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PELAKU
PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN LUKA BERAT DIBAGIAN KEPALA
(PUTUSAN NOMOR: 317/PID. B/2018/PN. MDN)." Ilmu Hukum Prima (IHP) 2.1 (2019):
187-209.
Simamora, Janpatar. "Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap
Vonis Bebas." Jurnal Yudisial 7.1 (2014): 1-17
Situngkir, D. A. (2018). Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana
Internasional. Soumatera Law Review, 1(1), 22-42.
Suhariyanto, B. (2016). Restoratif justice dalam pemidanaan korporasi pelaku korupsi demi
optimalisasi pengembalian kerugian negara. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 5(3), 421-438.
Suhariyanto, Budi. "Kedudukan Perdamaian Sebagai Penghapus Pemidanaan Guna Mewujudkan
Keadilan Dalam Pembaruan Hukum Pidana." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional 6.1 (2017): 1-19.
TAUFIK YANUAR RAMADHAN, M. U. H. A. M. M. A. D. TINJAUAN YURIDIS AKTA
PERDAMAIAN YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA PERDATA. Diss. Universitas Mataram, 2018.
Ariani, Natalia Ayu. "Tinjauan Yuridis Penggunaan Visum Et Repertum Sebagai Sarana Pembuktian
Perkara Penganiayaan Yang Terjadi Dalam Pertandingan Sepakbola (Studi Kasus Dalam
Putusan Nomor: 173/Pid/2010/Pt. Smg)." (2010).
Ira, I. A. (2018). PENERAPANRESTORATIVE JUSTICE DALAM UPAYA PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Tebing
Tinggi). Ilmu Hukum Prima (IHP), 1(1), 29-43.
MUSYAHADAH R, A. L. E. F. KEDUDUKAN PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN
PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PEMIDANAAN. Diss. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro, 2005.

 Peraturan perundang-undangan

No, U. U. (44). Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
NOMOR, Qanun Aceh. Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun
Aceh Nomor, 9, 10.
NOMOR, Qanun Aceh. Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun
Aceh Nomor, 9, 10
INDONESIA, KEJAKSAAN REPUBLIK. "PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN
PRESIDEN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA."
(2012).

14

Anda mungkin juga menyukai