Anda di halaman 1dari 5

Nama : Lusida Fontana Rumsory

NIM : 1369320029
Kelas : B
Tugas : Teori Hukum

1. Restorative Justice dalam perkara lakalantas Putra Bungsu Ahmad Dhani (Abdul Qodir
Jaelani)

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-


beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana
serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada
pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan
atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan
pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa
yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal
adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna
yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan
pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban
dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan
pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi,
perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini
menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang
kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif
dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan
hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari
masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan
pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara
pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut
tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan
perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku
pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian
bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan
hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses
pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian
masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai
saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan,
tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas
penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa
mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku
berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai
perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya
pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara
pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang
dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk
terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana
yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus
meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu
didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan
dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik
formil. Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah
menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku
seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan
mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat
melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada
tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama
lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk
mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis
serta adil.
Minggu dini hari, Lancer yang dikemudikan oleh Dul mengalami kecelakaan berutun
dengan Gran Max dan Avanza, terjadi di KM 8 Tol Jagorawi, di jalur 3 dan 4 arah
Jakarta. Diketahui 5 orang tewas dan Dul berada di salah satu mobil yang terlibat
kecelakaan mengalami patah tulang. Saat itu polisi memastikan bahwa pengemudi Lancer
adalah Dul yang masih dibawah umur (13 tahun). Dari kasus pelanggaran lalu lintas ini,
maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran lalu lintas tersebut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada akhirnya diancam dengan sanksi pidana
yaitu sanksi pidana penjara. Dalam perkembangannya, pelaku tindak pidana lalu lintas
jalan ini berkewajiban memberikan santunan kepada korbannya. Memang santunan bagi
korban tindak pidana lalu lintas jalan pada saat ini seperti sudah menjadi kewajiban,
apalagi jika si pelaku adalah orang yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat atau
dengan kata lain mempunyai uang yang lebih.
Keadilan restorative justice juga merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama- sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan
(retributive justice).
Jika dilihat dari prinsip utama diversi dan restorative justice, yaitu
menghindarkan pelaku tindak pidana dari system peradilan pidana formal dan
memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dikatakah bahwa anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Akan
tetapi berdasarkan ketentuan pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA) menyatakan bahwa penahanan atas anak hanya bisa dilakukan ketika usia
anak 14-18 tahun. Itu berarti, restorative justice yang dilakukan dalam masalah yang
dialami Dul pada saat ia bermasalah dengan hukum diusia 13 tahun dapat dikatakan tepat.
2. Prosedural Justice Putusan Mahkamah Agung Tingkat PK Dalam Kasus
Terpidana Sudjiono Timan

Peninjauan Kembali dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena diajukan dan
ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum ini
hanya dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan terhadap semua
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harus ada dan terdapat keadaan-
keadaan tertentu sebagai syarat. Upaya hukum luar biasa diajukan kepada Mahkamah Agung dan
diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi,” Terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung”.Dalam kasus korupsi dengan terpidana Sudjiono Timan, terpidana belum
pernah dinyatakan telah meninggal dunia/diduga meninggal dunia, sehingga tidak terdapat hak
kepada “ahli waris”. Dengan demikian menurut pandangan diatas, maka syarat formil
permohonan pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana korupsi yang
berstatus buron tersebut tidak terpenuhi sebagaimana yang diatur dalam KUHAP dikarenakan
terpidana belum meninggal atau tidak ada surat yang menyatakan terpidana telah meninggal
dunia, sehingga putusan Peninjauan Kembali tersebut batal demi hukum (vanrechtswegenietig
atau ab intio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah
ada, maka putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat
hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi
atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor atas putusan pengadilan. Upaya hukum
merupakan hak terdakwa/terpidana dan Jaksa/Penuntut Umum yang dapat dipergunakan apabila
ada pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan. Karena upaya
hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja dipergunakan dan bisa juga
terdakwa/terpidana dan Jaksa/Penuntut Umum tidak menggunakan hak tersebut. Akan tetapi, bila
hak untuk mengajukan upaya hukum tersebut dipergunakan oleh terdakwa/terpidana dan
Jaksa/Penuntut Umum, maka pengadilan wajib menerimanya. KUHAP membedakan upaya
hukum menjadi dua macam, yaitu : upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya
hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat banding, dan
bagian kedua adalah pemeriksaan kasasi. Upaya hukum luar biasa juga terdiri dari dua bagian,
yaitu, : bagian kesatu tentang kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung, dan bagian
kedua tentang Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang
merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, yaitu upaya banding dan
kasasi. Putusan pengadilan yang dimohon banding atau kasasi belum merupakan putusan yang
berkekuatan hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua putusan baik oleh pihak terdakwa
maupun oleh Jaksa/Penuntut Umum. Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya hukum
luar biasa karena mempunyai keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk membuka kembali
(mengungkap) suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus
dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum. Dengan demikian lembaga Peninjauan
Kembali adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik kembali atau menolak
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ahli waris dalam sistem pewarisan
yang berlaku di Indonesia, Menurut Hukum Islam Definisi ahli waris adalah orang-orang yang
karena sebab (keturunan, perkawinan/perbudakan) berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka
orang yang meninggal dunia. Menurut Hukum Perdata Dalam penerapan Hukum Waris, apabila
seorang pewaris yang beragama selain islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah
sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”). Menurut Hukum Adat Hukum waris adat adalah hukum yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris
dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris
yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.
Akibat hukum dari perkara kasus tindak pidana korupsi Sudjiono Timan dimana
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Isteri terpidana membuat jagat dunia
hukum geger. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan “melepaskan” perkara terhadap
Peninjauan Kembali Sudjiono Timan. Karena putusan ini selain berdampak kepada upaya
pemberantasan korupsi, polemik di kalangan dunia hukum membuat putusan pengadilan
merupakan salah satu penting pandangan dunia hukum kepada putusan pengadilan. Majelis
Hakim yang memeriksa perkara Peninjauan Kembali sebagaimana putusan Nomor
97/PK/Pid.Sus/2012 berpendapat bahwa pemohon Peninjauan Kembali adalah Isteri Terpidana
Sudjiono Timan yang dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali. Pendapat Majelis Hakim ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut :
- Dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan
Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah
Terpidana atau Ahli Warisnya.
- Pemohon Peninjauan Kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang
hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian.
- KUHAP tidak pernah memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam
Pasal 263 Ayat (1) tersebut.
- Dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah sebagai Ahli
Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari Suaminya.
- Makna istilah “Ahli Waris” dalam pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan
bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atau harta benda Terpidana, melainkan
istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum
sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
- Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa hak Ahli
Waris untuk mengajukan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang
diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang
diberikan Undang-Undang kepada mereka demi untuk kepentingan Terpidana.
- Berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap tersebut, baik Terpidana maupun Ahli Waris
sama-sama mempunyai hak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali tanpa
mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak, lagi pula Undang-Undang tidak
menentukan kedudukan prioritas di antara Terpidana dengan Ahli Waris.
- Isteri atau Ahli Waris Terpidana selaku pemohon Peninjauan Kembali yang didampingi
oleh Kuasa Hukumya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan Kembali pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara Persidangan masing-
masing tanggal 20 Februari 2012 dan tanggal 29 Februari 2012.

Anda mungkin juga menyukai