Anda di halaman 1dari 11

PERANAN PENYIDIK POLRES KUTAI TIMUR DALAM

MENYELESAIKAN PERKARA TINDAK PIDANA MELALUI RESTORATIVE JUSTICE


(TINDAK PIDANA CURANMOR)
Disusun oleh:
I. PENDAHULUAN
Restorative Justice (Keadilan Berbasis Musyawarah) adalah satu
pendekatan utama, yang saat ini, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, wajib dilakukan dalam perkara anak
yang berhadapan dengan hukum. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada
kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus
pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan
kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang
bagi pihak korban dan pelaku. Pengaturan tentang restorative justice sebagai
upaya penyelesaian perkara pidana, sudah diakui secara Internasional.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi,
apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana
konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan
restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan
antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian,
kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi
penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang
kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi
aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah
penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum.
Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya
hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat
esensi.
Kepolisian negara Republik Indonesia sebagai penegak hukum juga tidak
menutup mata untuk menyelesaikan tidak pidana dengan musyawarah aatau
jalan damai, Kapolri telah menerbitkan Perkap yaitu Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
berdasarkan Keadilan Restoratif, tercatat dalam Berita Negara Republik
Indonesia tahun 2021 Nomor 947.
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang sering disebut
Peraturan Polri atau Perpol tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif merupakan sebagai langkah Polri dalam mewujudkan
penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku
tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan merupakan suatu
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi
perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang
pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak
hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya
berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang
makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban
tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban
dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang
melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi
dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan
pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya
menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar
tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan
tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk
menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal
sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung.
Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering
terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan
sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi
kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau
dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.
Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus
meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang
terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih
humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justice
dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
Polres Kutai Timur Polda Kalimantan Timur merupakan salah satu Polres
yang menerapkan Restorative Justice sesuai dengan Perkap No. 8 Tahun 2021
kepada pelaku pidana anak dibawah umur. Kepolisian Resor Kutai Timur sebagai
ujung tombak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mempunyai tugas dan
wewenang dalam menangani masalah tindak pidana termasuk tindak pidana
yang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya, disinilah dituntut profesionalisme
polisi khususnya Polres Kutim dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan
anak-anak sebagai pelaku tindak pidana terutama yang menyangkut hak-hak
anak, penerapan Undang-undang maupun penerapan pasal-pasal dan perbuatan
pidana yang dilakukannya.

II. RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah yang diambil yaitu:
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian kasus pidana di Polres Kutai Timur?
2. Bagaimana konsep dan mekanisme penyelesaian kasus tindak pidana yang
melibatkan anak dibawah umur dengan Restorative Justice?

III. PEMBAHASAN

Tugas dan wewenang Polri sesuai dengan bunyi Pasal 4 Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
berikut: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dan sejalan pula
dengan tugas pokok Polri dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berisi sebagai berikut:
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum, dan c.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Saat ini Kita mendapati kenyataan bahwa masih sering terjadi penegakan
hukum tanpa menggunakan hati nurani. Pendekatan dalam penegakan hukum
hanya berlandaskan pada legal-formalistik, hanya mengacu pada teks undang-
undang. Sebagian penegak hukum merasa telah cukup puas apabila telah
menegakkan hukum dengan cara melaksanakan teks undang-undang. Mereka
tidak berupaya keras untuk mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran di
dalam atau dibalik teks undang-undang tersebut. Akibatnya penerapan hukum di
Indonesia kerap terkesan kejam dan masih jauh dari rasa keadilan sejati. Banyak
aparat penegak hukum belum dapat memahami makna dari nilai-nilai keadilan di
masyarakat. Sebagian aparat penegak hukum hanya menjadi “corong undang-
undang”.
Aparat penegak hukum menerapkan hukum berdasarkan aturan formal
KUHP dan KUHAP tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial yang berkembang
di tengah masyarakat. Tidak mengherankan apabila kita menjumpai anak-anak
usia sekolah yang harus masuk ditahan atau bahkan divonis penjara hanya
karena mencuri akibat lapar, karena mencuri hp, mencuri pulsa hp, atau berkelahi
dengan temannya. Demikian pula terduga/tersangka pencuri peralatan
dapur/rumah tangga yang murah harganya, tanaman dan buah-buahan dalam
jumlah sedikit, harus diproses di Kepolisian, Kejaksaan dan diadili di pengadilan.
Dan selama proses berlangsung, terduga/tersangka masuk tahanan yang sudah
tentu sangat merugikan dan membuatnya menderita.
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada pelibatan
masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana yang ada. Pelibatan
ini terkait dengan tahapan-tahapan penegakan hukum pidana di tingkat
penyidikan. Sebenarnya dalam masyarakat Indonesia, konsep ini telah terbiasa
dijalankan dimana kasus-kasus yang tergolong kecil/sepele yang
dimusyawarahkan di bawah pengaruh dan wibawa kepala pemerintahan tingkat
bawah (lurah atau ketua RT) atau kepala adat dan tokoh agama setempat. Dari
musyawarah itu biasanya akan diambil putusan yang sama-sama
mempertimbangkan kepentingan pelaku dan korban dengan memfokuskan pada
tujuannya yakni memulihkan atau mengembalikan ketenteraman dan kedamaian
di masyarakat serta tidak terjadinya permusuhan dan dendam antara pelaku dan
korban. Model keadilan semacam ini telah dicoba dipraktikkan dalam perkara
pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya.
Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka
merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan
kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan
pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral
sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan
negara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights
of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan
menghargai partisipasi anak.

Dalam Sistem peradilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3


Tahun 1997 diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat perubahan fundamental sebagai upaya
mengatasi kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan
fundamental yang ada antara lain digunakannya pendekatan restorative justice
melalui sistem diversi. Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban para
penegak hukum dalam mengupayakan diversi (penyelesaian melalui jalur non
formal) pada seluruh tahapan proses hukum.
Sementara itu, dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak me nyatakan, keadilan restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Penanganan tindak pidana berdasarkan Keadilan Restoratif harus
memenuhi persyatan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku pada
kegiatan Penyelenggaraan fungsi Reserse Kriminal, penyelidikan, atau
penyidikan, sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku untuk tindak pidana
berdasarkan Keadilan Restoratif pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan.
Persyaratan umum, penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif
tersebut meliputi materiil dan formil. Persyaratan materiil meliputi:
 tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
 tidak berdampak konflik sosial;
 tidak berpotensi memecah belah bangsa;
 tidak radikalisme dan sparatisme;
 bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan
 bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara,
tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Sedangkan pesyaratan umum yang berupa persyaratan formil meliputi:
 perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan
perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana
Narkotika;
 pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian
barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak
pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.
Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang
ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana narkotika)

Secara umum selama enam bulan terakhir Polres Kutai Timur telah menerapkan
penyelesaian kasus tindak pidana diluar pengadilan yaitu melalui restorative
justice.

DATA RESTORATIVE JUSTICE TAHUN 2022


POLRES KUTAI TIMUR

NO BULAN JUMLAH PENYELESAIAN JENIS TINDAK PIDANA


KASUS MELALUI
RESTORATIVE JUSTICE
1 Januari 3 kasus 1. Pemalsuan surat 1
kasus
2. Perbuatan tidak
menyenangkan 1 kasus
3. Penyerobotan lahan 1
kasus
2 Maret 3 kasus 1. Sengketa lahan 3 kasus
3 April 4 kasus 1. Sengketa lahan 3 kasus
2. Penggelapan 1 kasus
4 Mei 4 kasus 1. Tidak ditemukan tindak
pidana 3 kasus
2. Penggelapan dalam
jabatan 1 kasus
5 Juni 6 kasus 1. Penggelapan dalam
jabatan 2 kasus
2. Penipuan 2 kasus
3. Pencurian oleh anak
dibawah umur 2
kasus

Dari data tersebut diatas, Polres Kutai Timur telah menerapkan Restorative
Justice (RJ) dalam penyelesaian perkara tindak pidana, dengan melalui
mekanisme sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidikan.
Secara umum dalam penyelesaian TP melalui gelar perkara setelah penerimaan
laporan dan menentukan apakah memenuhi unsur dan cukup alat bukti, sehingga
mekanisme ini tidak bisa dihilangkan karena melibatkan pengawas penyidik dan
pengawas internal.
Dalam artikel ini akan dibahas khusus penyelesaian kasus tindak pidana
pencurian yang melibatkan anak dibawah umur. Satuan Reserse Kriminal (Sat
Reskrim) Polres Kutai Timur berhasil mengungkap kasus tindak pidana pencurian
dengan pemberatan terhadap barang berupa ban motor beserta velgnya yang
terjadi di wilayah Kutai Timur (Kutim). Hal tersebut disampaikan Kanit Pidana
Umum, IPDA Erwin Susanto dalam konferensi pers di Mako Polres Kutim, Senin
(20/6/2022).
Pelaku berinisial FR dan dua rekannya SR dan OD, yang ternyata seorang
pelajar yang baru berusia 16 tahun atau masih di bawah umur. Menurut
pengakuannya, pelaku telah melakukan aksi pencurian ban dan velg motor di 2
lokasi berbeda di wilayah Sangatta, pelaku dalam aksinya sudah mempersiapkan
kunci-kunci yang dibutuhkan, salah satunya sebuah kunci roda ukuran 21 mm,
dan sepeda motor miliknya yang kemudian menjadi barang bukti di kepolisian.
pencurian velg dan ban dengan pelaku yang melibatkan anak-anak merupakan
yang pertama di wilayah hukum Polres Kutim. Informasi awal ada dua TKP motor
yang dicuri velg dan bannya.
Lokasi pertama di Gang Anita, Desa Sangatta Utara. Pelaku mengeksekusi
motor pada 14 Juni 2022, pukul 02.00 Wita setelah diintai selama 3 hari dan
berhasil melepas velg dan ban kemudian berselang berapa hari aksinya kembali
dilancarkan di Jalan Pendidikan Gang Tanjung. 1 Selain mengamankan pelaku,
petugas juga mengamankan bukti-bukti berupa 2 buah velg motor satu set
dengan ban depan belakang warna hitam emas, 4 buah kunci yaitu T (10), kunci
22 dan kunci 14, 1 unit motor mio soul G, 1 unit motor Genio, 1 buah knalpot
warna hitam. “Perkara pencurian dengan pemberatan ini, pelaku dijerat Pasal
363 Ayat 1 3e dan 5e KUHP ancaman tujuh tahun penjara,” tandasnya.
Dalam keterangan tersangka mengakui telah melakukan tindak pidana
pencurian, secara bersama-sama yaitu” barang siapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian yang dilakukan
waktu malam dalam sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada
rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh orang yang berhak”. Tersangka yang telah ditangkap dan
dimintai keterangan oleh penyidik serta kelengkapan administrasi penyidikan
telah dibuat untuk melakukan pemberkasan perkara pidana. Dalam
perkembangan kasus diupayakan diversi dan restorative justice dengan agenda
pemanggilan orang tua pelaku dan pemanggilan korban. Dari pihak korban
1
https://kaltimtoday.co/polres-kutim-ungkap-aksi-pencurian-velg-dan-ban-motor-di-kutim-pelaku-masih-pelajar/
menyampaikan tidak keberatan untuk dilakukan RJ dengan pertimbangan pelaku
masih dibawah umur dan mengaku tidak akan mengulangi perbuatannya.
Dari penyidik untuk melengkapi proses RJ telah memanggil beberapa pihak yang
terlibat dalam RJ sebelum masuk ke pengadilan untuk menyampaikan masukan
atau sebagai pihak luar. Adapun pihak yang terlibat antara lain penyidik/penyidik
pembantu dari PPA, keluarga pelaku, korban/pelapor, ketua RT dimana pelaku
tinggal, dinas sosial, bapas anak, Dinas DP3A dan ulama.
Dalam perkembangan setelah dilakukan musyawarah atau perundingan
maka seluruh pihak yang terlibat RJ setuju dilakukan RJ dengan pertimbangan
pelaku masih dibawah umur, baru sekali melakukan tindak pidana, masih punya
orang tua yang dapat memberikan pengawasan dan pendidikan, dari pihak
korban tidak keberatan namun di wajibkan mengganti barang yang hilang dicuri,
dari pihak ketua RT bersedia melakukan pengawasan, dari pihak tersangka
bersedia berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan pidana dan bersedia
mengganti kehilangan barang.
Sehubungan dengan model keadilan itu, pencegahan bertujuan mencegah
pengulangan pelanggaran di kemudian hari. Sedangkan retribusi memusatkan
pada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan kriminal pelanggar dan
dimaksudkan untuk memastikan si pelanggar membayar tindak pidana yang
dilakukannya. Ganjaran yang setimpal (just desert) menjelaskan konsepsi bahwa
alasan retribusi yang mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya
adalah beratnya sanksi seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan si
pelanggar. Dengan demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding
dengan perbuatan si pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh
pelanggar.2

Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal


merupakan bentuk upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa
menggunakan hukum pidana dengan diarahkan kepada penyelesaian informal
dengan keterlibatan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. 3
Pelaksanaan konsep Restorative Justice kasus ini berpedoman pada perintah
2
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Treck System & Implementasinya,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 63
3
Marlina, Peradilan Pidana anak di Indonesia, Refika aditama, Bandung, 2009
yang diberikan atasan secara internal yang menjadi petunjuk arah akan
melakukan kewenangan serta tugas dalam proses penyidikan anak dikarenakan
dalam perkap No.8 Tahun 2021 tidak menyebutkan kasus pencurian dengan
pemberatan dapat di lakukan Restorative Justice .

IV. PENUTUP
KESIMPULAN
1. Polres Kutai Timur dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana tidak
mengenyampingkan penyelesaian melalui penyelesaian diluar pengadilan,
yaitu diversi dan restorative justice. Mekanisme penyidikan harus sesuai
dengan standar operasional prosedur penyidikan dan KUHAP, terutama
kasus yang dapat diselesaikan melalui mediasi dan musyawarah antara
pelapor atau korban dengan terlapor. Upaya tersebut dilakukan untuk
memenuhi rasa keadilan dan memberikan kesempatan kepada kedua belah
pihak untuk berdamai.
2. Penyelesaian kasus pencurian yang melibatkan anak dibawah umur telah
melalui mekanisme yang benar yaitu dengan melibatkan pendamping, orang
tua pelaku, korban, pihak terlibat dari dinas sosial, Bapas anak, Ketua RT
serta penyidik. Dalam restorative justice diberikan kesempatan terlapor atau
terduga pelaku tindak pidana untuk mengakui kesalahan, meminta maaf dan
bersedia mengganti kerugian sesuai dengan kesepakatan. Tujuan dari
restorative justice kepada anak dibawah umur adalah untuk melindungi masa
depan mereka serta memberikan kepastian hukum.
SARAN
1. Dalam menangani Anak yang berhadapan dengan hukum, pendekatan
keadilan restoratif merupakan wacana yang memiliki prospek bagus jika
diterapkan. Namun demikian, untuk itu diperlukan perangkat perundang-
undangan yang memadai.
2. Diperlukan sosialisasi, pengajaran dan pencegahan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak diabwah umur, baik oleh orang tua, lingkungan sekitar
maupun lingkungan sekolah.
Daftar Pustaka.
Marlina, Peradilan Pidana anak di Indonesia, 2009,Refika aditama, Bandung.
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana , 2003 : Ide Dasar Double Treck
System & Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang-undangan

Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak


Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang
Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

Anda mungkin juga menyukai