Anda di halaman 1dari 22

1

“ PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM RANCANGAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) “

Oleh :

1908018020

NAMA
NIM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MERDEKA

MALANG

2022
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan

rahmatNya , kami dapat menyusun artikel Pertangggung Jawaban Korporasi dalam

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini dengan baik dan sistematis.

Dalam penyusunan Tugas Politik Hukum Pidana dengan judul “ Pertangggung

Jawaban Korporasi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “ ini,

tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ivan Zairani,

S.H., S.Sos., M.Hum sebagai dosen pembimbing dan dosen pengajar Politik Hukum

Pidana.

Terima kasih pula kepada seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Unmer

karena telah banyak membimbing kami dan kami berharap dapat bermanfaat bagi

nusa dan bangsa.

Sangatta, Juli 2022

Penulis
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini perkembangan korporasi di Indonesia sudah sangat cepat dan
luas bukan lagi milik badan usaha negara seperti pada masa Kolonial,
perkembangan korporasi berkembang pesat baik dari segi kualitas, kuantitas
maupun bidang usaha yang dijalaninya. Adanya korporasi memang banyak
mendatangkan keuntungan bagi amsyarakat dan negara, seperti adanya kenaikan
pemasukan kas negara dari pajak dan devisa, maupun membuka lapangan
pekerjaan, peningkatan alih teknologi dan lain sebagainya. Namun di samping ada
keuntunganatau dampak positif adanya korporasi juga mendatangkan dampak
negartif, seperti pencemaran lingkungan, eksploitasi atau pengrusakan sumber
daya alam, bersaing secara curang, manipualsi pajak, eksploitasi pekerja dan
kejahatan lainnya.
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea,
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan
menyulitkan untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Oleh
karena itu apabila korporasi melakukan perbuatan yang berdampak mendatangkan
kerugian bagi pihak lain, maka cukuplah fakta yang menderitakan korban dijadikan
dasar menuntut pertanggungjawaban pidana dari korporasi tanpa harus menilai
kesalahan pembuatnya. Hal ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena beberapa
negara (Anglo Amerika) telah memberlakukan doktrin stict liability dan vicarious
liability untuk jenis tindak pidana tertentu .
Doktrin strict liability atau liability without fault adalah pembebanan tanggung-
jawab pidana kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang
dipersyaratkan. Substansi dari doktrin ini adalah pelaku sudah dapat dijatuhi pidana
apabila pelaku telah dapat dibuktikan melakukan perbuatan yang dilarang oleh
ketentuan pidana (actus reus) tanpa melihat sikap bathinnya atau niat didalam
dirinya.
4

Penerapan doktrin strict liability secara luas ternyata banyak mendapat


penentangan karena tindak pidana (kejahatan) mensyaratkan sikap bathin bagi
pelakunya sehingga korporasi tidak mungkin memiliki mens rea. Sebagai suatu fiksi
hukum, korporasi tidak mungkin melakukan perbuatan hukum sendiri melainkan
perbuatan yang mengikat dirinya dilakukan oleh pengurusnya yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi. Solusinya adalah dengan mengeluarkan kebijakan
legislasi yang memberikan legitimasi bahwa korporasi dapat
dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau kejahatan tanpa memperhatikan kesalahannya.
Dokrin vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal
responsibility of one person for the wrongful acts of another). Doktrin ini didasarkan
asas respondeat superior, di mana dalam hubungan antara master dengan servant
atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium
facit per se. Menurut maxim ini tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain
dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu . Menurut Muladi dan Prayitno ,
penerapan doktrin “strict liability” maupun “vicarious liability” hendaknya hanya
diberlakukan terhadap jenis dan perbuatan pelanggaran yang sifatnya ringan saja,
seperti dalam pelanggaran lalu lintas.
Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana
korporasi, terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan
umum/masyarakat, misalnya perlindungan makanan, minuman serta kesehatan
lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan
si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pada si
pelaku/korban sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara
sendiri.
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
pertanggungjawaban korporasi direncanakan masuk dalam pasal-pasal pidana
umum sehingga berbeda dengan KUHP saat ini yang tidak memasukan
pertanggungjawaban korpoarasi. Dalam hukum pidana khusus, korporasi
didefinisikan: “kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum,‟ sedangkan RKUHP
5

mendefinisikan “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik


merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.‟ Dengan rumusan
demikian, hukum pidana tidak membedakan status korporasi diakui atau tidak
diakui sebagai person hukum. Sehingga korporasi hanya dapat dijatuhi pidana
denda sehingga tidak dapat dijatuhi hukuman pokok sebagaimana hukuman yang
diterapkan pada hukuman person atau perorangan.

B.       Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang akan penulis identifikasikan dalam hal ini adalah
sebagai berikut :
1.   Bagaimana analisa pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana ?
2.  Bagaimana analisa penerapan pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP
sebagai hal baru dalam hukum pidana?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korporasi dalam hukum pidana


Kata korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), korporation
(Jerman) itu sendiri secara etimologis berasal dari kata “ corporatio” yang diambil
dari bahasa latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”,
maka corporatio sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja yakni
corporare, yang dipakai oleh banyak orang pada zaman abad pertengahan dan
sesudah itu.1 Corporare sendiri berasal dari kara “corpus” yang berarti badan.
Berdasarkan penjelasan mengenai korporasi secara etimologis, sebagaimana
pendapat dari Satjipto Rahardjo, maka dapat disimpulkan bahwa korporasi
merupakan suatu badan yang diciptakan oleh hukum. Badan yang diciptakannya itu
terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum itu memasukkan
unsur animus yang membuat badan hukum itu mempunyai suatu kepribadian. Oleh
karena korporasi itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptanya,
kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.2
1 Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 23
2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 110
6

Guna menemukan definisi korporasi dalam hukum pidana, maka hal ini dapat
berangkat dari beberapa pendapat para sarjana hukum. Menurut Rudi Prasetyo,
kata korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum
pidana untuk menyebut apa yang biasa disebut sebagai badan hukum atau
rechtspersoon dalam bahasa Belanda dan legal entities atau corporation dalam
bahasa Inggris pada bidang hukum lain khususnya hukum perdata. 3 Merujuk pada
pengertian korporasi dalam hukum perdata, bahwa apa yang dimaksud korporasi
itu adalah badan hukum, maka terhadap korporasi memiliki definisi tersendiri. R.
Subekti mendefinisikan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti
manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan
hakim.4 Terhadap apa saja yang dianggap sebagai badan hukum punya
pengaturannya tersendiri. Karenanya terhadap korporasi dalam hukum perdata
subjeknya lebih dibatasi. Contoh korporasi dalam hukum perdata yang secara
umum dikenal merupakan badan hukum adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, dan
Yayasan.
Rancangan KUHP sendiri juga mendefinisikan korporasi baik yang berbadan
hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 189
yang mengatur bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”
Berdasarkan pembahasan mengenai definisi korporasi, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang diciptakan oleh hukum
yang berasal dari gabungan orang guna mencapai suatu tujuan. Berbicara
mengenai korporasi itu sendiri tidak akan terlepas dari hukum perdata, karena
konsep mengenai korporasi banyak diambil dari hukum perdata. Meski demikian,
definisi korporasi dalam hukum pidana memiliki pengertian yang lebih luas bila
dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, yang terbatas
hanya terhadap badan hukum. Definisi ini pula telah digunakan dalam R-KUHP.

3 Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 27 mengutip dari Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam
Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang: 23 – 24 November 1989), hlm. 2
4 Chidir Ali, Op.cit., hlm. 11
7

B. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


Setiap korporasi dalam KUHP tidak ditemukan pasal tentang
pertanggungjawaban korporasi namun hanya ditemukan dalam hukum perdata.
Berikut ini adalah teori-teori yang diciptakan guna mengakomodir kemungkinan
pembebanan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap korporasi.
Dalam pembahasannya hanya akan terbatas pada empat teori yakni identification
theory, strict laibility, vicarious liability , dan functioneel daderschap. Tiga teori
pertama yang disebutkan merupakan teori yang berasal dari negara-negara Anglo
Saxon. Karenanya teori tersebut melihat pertanggungjawaban pidana dengan
mengkaitkannya pada unsur actus reus dan mens rea. Sedangkan teori yang
terakhir disebutkan merupakan teori yang berasal dari negara Eropa Kontinental,
teori yang digunakan sebenarnya merupakan doktrin yang sudah berlaku pada
bidang hukum lain, seperti vicarious liability dan strict liability yang merupakan
doktrin yang diadopsi dari ranah hukum perdata. Teori-teori ini yang kemudian
digunakan dalam membebankan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan
terhadap korporasi.
1. Doktrin Identification Theory
Identification theory atau direct corporate criminal liability5merupakan salah
satu doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang berasal dari negara-negara
Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika.6 Doktrin ini bertumpu pada asumsi
bahwa semua tindakan legal maupun ilegal yang dilakukan oleh high level manager
atau direktur diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. 7 Oleh karenanya, doktrin
ini digunakan untuk memberikan pembenaran atas pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, meskipun pada kenyataannya
korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri dan tidak mungkin memiliki
mens rea karena tidak memiliki kalbu. 8 Pendapat mengenai identification theory
serupa juga dikemukakan oleh Muladi dalam bukunya. Muladi mengemukakan
bahwa melalui doktrin identifikasi, sebuah perusahaan dapat melakukan sejumlah
delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan

5 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 233-238
6 Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 233
7 Cristina Maglie, “Models of Corporate Criminal Liability in Comparative Law”,Washington University Global
Studies Law Review, (V olume 4: 547, Januari 2005)., hlm. 556
8 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 100
8

perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan sendiri. Dalam hal ini maka
perbuatan atau kesalahan dari “pejabat senior” ( senior officer) diidentifikasi sebagai
perbuatan atau kesalahan dari korporasi.
Christopher M Little dan Natasha Savoline menanggapi putusan yang dikeluarkan
oleh The Supreme Court of Canada tersebut, berpendapat bahwa dari putusan
mengenai identification theory tersebut muncul enam asas, yakni:
1) Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja,
melainkan juga sejumlah pejabat (officer) dan direktur.
2) Geografi tidak menjadi faktor, atau dengan kata lain perbedaan wilayah
operasional dari suatu korporasi tidak mempengaruhi penentuan siapa
orang-orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang
bersangkutan. Sehingga perbedaan wilayah tidak bisa menjadi alasan
seseorang mengelak sebagai directing mind.
3) Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggungjawab dengan
mengemukakan bahwa orang atau orang-orang tertentu telah melakukan
tindak pidana meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar
hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum.
4) Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak
pidana, maka ia harus memiliki kalbu yang salah atau nilai yang jahat, yaitu
yang dikenal dalam hukum pidana sebagai mens rea. Apabila pejabat atau
direktur korporasi yang merupakan directing mind tersebut tidak menyadari
tindak pidana yang dilakukannya, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
5) Untuk dapat menerapkan identification theory tersebut, maka harus dapat
ditunjukan bahwa perbuatan yang dilakukan individu sebagai directing mind
merupakan bagian dari kegiatan yang ditugaskan kepadanya. Perbuatan
tersebut juga bukan merupakan perbuatan curang yang ditujukan kepada
korporasi. Serta tindak pidana yanag dilakukan harus bertujuan untuk
memberi manfaat korporasi.
6) Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis
kontekstual. Atau dengan kata lain, analisis harus dilakukan berdasarkan
kasus per kasus.
9

Jika melihat penggunaan dari doktrin identifikasi ini, maka doktrin ini lebih ditujukan
kepada pengurus dari korporasi dengan jabatan tinggi seperti direktur atau high
level manager, karena kewenangan dalam bertindak untuk dan atas nama korporasi
pada dasarnya hanya terdapat pada tingkatan jabatan tersebut. Hal ini akan
berimbas pada korporasi hanya dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh direktur atau top manajer, tanpa
mengakomodir perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh agen korporasi, baik yang
berada di dalam korporasi, maupun yang berada di luar korporasi. Karenanya,
doktrin ini kadang dianggap sebagai legal barrier to potential corporate criminal
liability.
Secara lebih lanjut, doktrin identifikasi akan sulit untuk diterapkan terhadap
bentuk-bentuk korporasi saat ini. Dengan demikian, doktrin identifikasi ini
merupakan doktrin yang memungkinkan korporasi memiliki suatu
pertanggungjawaban pidana dengan dasar suatu perbuatan yang dilakukan oleh
individu yang diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. Agar individu tersebut
dapat diidentifikasikan sebagai korporasi, maka individu tersebut harus bertindak
sebagai directing mind. Menentukan directing mind dapat dilakukan dengan melihat
fakta-fakta pada kasus seperti kedudukan dari individu tersebut atau wewenang
yang dimilikan sehingga dapat dianggap bahwa perbuatannya memanglah
perbuatan perusahaan.Wewenang yang sedemikian besarnya pada umumnya
terdapat pengurus dengan jabatanjabatan tinggi seperti high level manager atau
direksi. Karenanya doktrin ini dalam penerapannya tidak mengakomodir perbuatan
yang dilakukan oleh pegawai jabatan rendah.
2. Doktrin Strict Liability
Doktrin Strict liabillity merupakan doktrin pertanggungjawaban pidana
korporasi yang diadopsi dari doktrin dalam hukum perdata. Doktrin ini sering
diterapkan pada perbuatan melawan hukum (the law of torts) dalam hukum
perdata. Pengertian strict liability dalam hukum perdata dapat merujuk pada Black’s
Law Dictionary, definisi “liability that does not depend on actual negligence
or intent to harm, but that is based on the breach of an absolute duty to
make something safe” . Dalam hukum pidana, doktrin strict liability merupakan
doktrin yang mengesampingkan unsur kesalahan atau unsur mens rea dalam
10

petanggungjawaban pidana. Lebih jelasnya Black’s Law Dictionary mendefinisikan


strict liability crime sebagai “a crime that does not require a mens rea element,
such as traffic offenses and illegal sales of intoxicating liquor .” Dari definisi yang
dikemukakan oleh Black’s Law Dictionary tersebut jelas menunjukkan bahwa
doktrin strict liability menyimpangi asas utama dalam hukum pidana yakni asas
kesalahan atau asas mens rea.
Penyimpangan terhadap asas kesalahan atau asasmens rea dalam doktrin ini
dikarenakan, doktrin strict liability memandang dalam pertanggungjawaban pidana
cukup dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan atau
actus reus yang merupakan perbuatan yang memang dilarang. Sedangkan untuk
mens rea dipandang sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan
apakah pada kenyataan ada atau tidak. Hal ini didasarkan pada fakta yang bersifat
menderitakan si korban cukup untuk menjadi dasar untuk menuntut
pertanggungjawaban pada pelaku sesuai maxim “ res ipsa loquitur” atau fakta sudah
berbicara sendiri.
Dalam R-KUHP, doktrin strict liability merupakan salah satu doktrin yang
dimungkinkan diberlakukan untuk delik-delik tertentu. Hal ini dapat dilihat dari
ketentuan pada Pasal 39 ayat (1) yang mengatur bahwa: “Bagi tindak pidana
tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana
semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan” Meski tidak disebutkan dalam Pasal tersebut
bahwa pengaturan tersebut merupakan bentuk doktrin strict liability, akan tetapi
dalam penjelasan Pasal 39 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa pemberlakuan
tersebut merupakan bentuk pemberlakuan asas strict liability.
Dengan demikian, doktrin strict liability merupakan doktrin yang memandang
kesalahan atau mens rea sebagai unsur yang tidak relevan untuk dipertimbangkan.
Atau dengan kata lain mengesampingkan unsur kesalahan. Dalam penerapannya,
doktrin ini tetap harus dibatasi berdasarkan peraturan yang menyatakan
keberlakuan doktrin ini. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat atas hak-
hak fundamental. Doktrin ini sebaiknya diterapkan untuk tindak pidana yang ringan.
Sedangkan terhadap korporasi, doktrin ini dapat diterapkan untuk tindak pidana
yang berkaitan dengan perlindungan kepentingan umum atau masyarakat.
11

3. Doktrin Vicarious Liability


Doktrin vicarious liability merupakan doktrin pertanggungjawaban pidana
korporasi lainnya yang diadopsi dari hukum perdata. Dalam hukum perdata
terdapat doctrine ofrespondeat superior, dimana ada hubungan antara employee
dengan employer atau principal dengan agents, dan berlaku maxim yang berbunyi
“qui facit per alium facit per se”, yang berarti seseorang yang berbuat melalui orang
lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatannya. Doktrin ini biasanya
diterapkan terkait dengan perbuatan melawan hukum (the law of tort).
Dalam perbuatan-perbuatan perdata, diatur mengenai hubungan atasan dan
bawahan atau pekerja dan pemberi kerja, dimana pemberi kerja bertanggungjawab
atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya. Sehingga apabila terjadi suatu
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja sehingga mengakibatkan kerugian salah
satu pihak, maka pihak tersebut dapat menggugat pemberi kerja atau atasannya
untuk bertanggungjawab. Akan tetapi pertanggungjawabannya tersebut terbatas
sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh pekerja atau bawahannya tersebut masih
dalam ruang lingkup pekerjaan atau kewenangannya serta dapat dibuktikan
pertanggungjawabannya. Meski demikian, doktrin ini juga dianggap telah
menyelesaikan beberapa permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi. Seperti pada doktrin identification theory yang lebih ditujukan pada
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pengurus atau high level manager, maka
doktrin vicarious liability ini juga dapat dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh pegawai rendahan.
Doktrin ini juga dapat mencakup perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
berada di luar organisasi korporasi, selama terhadapnya diadakan suatu hubungan
perkerjaan. Hal ini dikarenakan luasnya ruang lingkup hubungan subordinasi dalam
vicarious liability selama antara kedua belah pihak tersebut terdapat hubungan
pekerjaan dan terbatas pada atribusi tugas yang diberikan. Selain itu doktrin ini
juga bermanfaat dalam hal melakukan pencegahan. Menurut Low, pencegahan ini
dilakukan karena seorang pemberi kerja dianggap bertanggungjawab atas apa yang
12

dilakukan oleh pekerjanya selama hal tersebut dilakukan dalam ruang lingkup
pekerjaan.
Dengan demikian, perusahaan sebagai pemberi kerja akan memantau apa
yang dilakukan pekerjanya guna mencegah terjadinya pelanggaran atau tindak
pidana. Melalui doktrin vicarious liability, maka korporasi dapat bertanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukan oleh para pihak yang telah diberikan atribusi tugas
oleh korporasi berdasarkan suatu hubungan pekerjaan. Hal ini tidak tertutup bagi
pekerja yang berada di dalam organ perusahaan, melainkan juga agen-agen atau
wakil yang berada di luar organ perusahaan, dengan batasan selama perbuatan
yang dilakukan oleh pekerja, agen, atau wakil tersebut terbatas pada ruang lingkup
pekerjaan atau atribusi yang diberikan kepada pekerja atau agen tersebut.
Penerapan doktrin vicarious liability harus dibatasi, karena doktrin ini merupakan
bentuk penyimpangan terhadap asasmens rea dalam hukum pidana. Penerapan
hanya dapat dilakukan apabila undang-undang secara tegas memperbolehkannya.

4. Teori Pelaku Fungsional (Functioneel Daderschap)


Teori lain mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Teori
pelaku fungsional. Menurutnya, merujuk pada Pasal 15 Wet Economische Delicten,
korporasi juga dapat melakukan delik-delik selain dari delik ekonomi, jika melihat
dari fungsinya dalam masyarakat. Dalam menanggapi korporasi sebagai pelaku
fungsional, Remmelink berpendapat bahwa perlu juga diperhatikan adanya delik-
delik fungsional sebagai dasar untuk dijadikannya korporasi sebagai pembuat
sehingga terhadapnya dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Adapun
yang dimaksud delik-delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari lingkup
atau suasana sosial ekonomi, dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana
aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah / ditujukan
pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.
Dengan demikian, delik-delik fungsional dianggap lebih cocok untuk
diterapkan terhadap korporasi. Dari teori pelaku fungsional tersebut dapat diketahui
bahwa korporasi dapat dianggap sebagai subjek hukum pidana. Hal ini didasarkan
pada korporasi dapat melakukan tindak pidana dalam bentuk perbuatan fungsional.
Selain itu terhadap korporasi juga dapat diadakan kesalahan atas dasar
13

kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh alat-alat korporasi melalui suatu
rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi.

C. Analisa pertanggungjawaban korporasi dalam RKUHP


1) Pengaturan tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam RUU
KUHP
Dalam RKUHP pertanggungjawaban korporasi diletakkan pada Buku I Bagian
II Pertanggungjawaban Pidana, Paragraf 6 Korporasi. Dalam paragraf ini, pasal-
pasalnya secara keseluruhan sebagai berikut :
Pasal 47
Korporasi merupakan subyek tindak pidana.
Pasal 48
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha
korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 49
Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 50
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan
yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar
atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
Pasal 51
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Tanggung
Jawab Pidana Korporasi Dalam RUU KUHP
pasal 52
(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan
apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.
14

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan


dalam putusan hakim.
Pasal 53
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang
bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi
sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi.

2) Unsur-unsur Tanggung Jawab Pidana Korporasi Menurut RUU KUHP


Menyimak Pasal 48 s/d 52, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
pidana korporasi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
Unsur Pertama : Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan
kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik
sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Unsur Kedua : Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi
yang bersangkutan.
Unsur Ketiga : Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya. Pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
Unsur pertama tersebut menegaskan tentang pelaku tindak pidana. Dari
unsur pertama tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana tidak harus
pengurus korporasi tetapi bisa dilakukan oleh staf atau orang-orang yang bertindak
untuk kepentingan korporasi. Orang-orang yang bertindak untuk kepentingan
korporasi tersebut bisa karena hubungan kerja sebagai staf atau sebagai tenaga
kontrak, maupun pihak lain yang berdasarkan suatu perjanjian melakukan suatu
tindakan untuk kepentingan perusahaan.
Sedangkan, dari unsur kedua terlihat tindak pidana tersebut hanya sebatas
lingkup usaha korporasi tersebut. Lingkup usaha ini dapat dilihat dari anggaran
15

dasar korporasi atau ketentuan lainnya. Unsur ketiga tentang pihak yang
bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang terjadi.
Menurut unsur ketiga ada 2 pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban,
yaitu Korporasi dan Pengurusnya. Pengurus disini dibatasi hanya mereka yang
memiliki kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, bukan mereka
yang berada di level bawah (lower level officer). Menurut penjelasan RUU KUHP,
ada tiga option tentang pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana
korporasi, yaitu : a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh
karena itu penguruslah yang bertanggung jawab; b. Korporasi sebagai pembuat
tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau c. Korporasi sebagai
pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Oleh karena itu,
jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka
penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi
sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.
3) Tindak Pidana Korporasi Menurut RUU KUHP Dalam RUU KUHP.
Tindak pidana yang merupakan tindak pidana korporasi tidak disebutkan
secara tegas. Dalam Pasal 50 RUU KUHP dikatakan: “... perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar
atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.” Namun,
terdapat sejumlah pasal di dalam RUU KUHP yang secara tegas menyebutkan
bahwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana, misalnya beberapa pasal di bawah
ini : Pasal 644
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Kategori III : a. kreditor yang turut menerima penawaran
perdamaian di sidang pengadilan karena telah mengadakan persetujuan dengan
debitor atau dengan pihak ketiga dan kreditor tersebut meminta keuntungan
khusus; atau b. debitor yang turut menerima penawaran perdamaian di sidang
pengadilan karena telah mengadakan persetujuan dengan kreditor atau dengan
pihak ketiga dan debitor tersebut meminta keuntungan khusus.
(2) Jika yang berutang adalah korporasi, maka pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dijatuhkan kepada pengurus atau komisaris yang mengadakan
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
16

Pasal 737
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar
wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 735.
Setelah menulusuri Buku II RUU KUHP secara keseluruhan, hanya ditemukan
dua jenis tindak pidana dimana pelakunya adalah korporasi. Terdapat juga
beberapa tindak pidana yang tidak menyebutkan pelakunya adalah korporasi, tetapi
badan pengurus atau komisaris. Sehingga dengan tidak disebutkannya secara tegas
jenis-jenis kejahatan yang merupakan kejahatan korporasi, maka penerapan
tanggung jawab korporasi menjadi tidak mudah bahkan cenderung sangat terbatas.
Namun, di pasal lain ditegaskan bahwa unsur seseorang termasuk juga korporasi.
Dengan demikian, maka setiap tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban
korporasi asal memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Bab II sub
Bab 2, tanpa melihat jenis kejahatannya. Dengan demikian, jenis kejahatan yang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi sangat luas.
4) Sanksi Pidana Korporasi Menurut RUU KUHP
Setelah mendapatkan gambaran tentang pelaku tindak pidana, jenis
kejahatan yang pelakunya adalah korporasi serta pihak yang bertanggung jawab
apabila tindak pidana korporasi dilakukan, maka perlu diketahui jenis sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. RUU KUHP mengatakan bahwa sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana pokok berupa denda.
Namun, pernyataan tentang jenis pidana pokok untuk korporasi tersebut hanya
dimuat di dalam Penjelasan RUU KUHP, bukan di dalam Batang Tubuh. Meskipun
pidana pokok hanya berupa denda, namun ancaman sanksi maksimum lebih berat
dibanding terhadap perseorangan. Denda maksimum bagi korporasi, yaitu kategori
tertinggi berikutnya. Rumusannya sebagai berikut :
Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah), sedangkan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah denda Kategori VI, yaitu
17

sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Selain denda maksimum, telah
pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu denda Kategori IV sebesar
Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
RUU KUHP juga telah mengantisipasi apabila korporasi tidak mampu membayar
sanksi pidana denda, maka sanksi tersebut ditukar dengan pidana pengganti
berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Selain pidana denda,
terhadap korporasi dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan, yaitu berupa
segala hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk melakukan kegiatan dalam
bidang usaha tertentu. Siapa yang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi.
5) Konsep rumusan RKUHP
Mengacu ke Bab III tentang konstruksi kejahatan korporasi dan dikaitkan
dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Maka dapat disimpulkan
tanggung jawab pidana korporasi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat :
1. Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi atau demi kepentingan korporasi; 2. Berdasarkan hubungan kerja atau
hubungan yang lainnya; 3. Dalam lingkup usaha korporasi. Bila dibandingkan
dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Bab II, yaitu berupa :
identification doctrine, aggregation doctrine, reactive corporate fault, vicarious
liability, management failure model, corporate mens rea, specific corporate
offences. Konsep yang paling mendekati rumusan RUU KUHP adalah vicarious
liability.
Dengan menganut doktrin vicarious liability terdapat sejumlah keuntungan,
yaitu : 1. Pelaku tindak pidana tidak harus dilakukan oleh orang penting atau orang
yang menjadi simbol korporasi tersebut seperti yang disyaratkan dalam
identification doctrine atau kesalahan manajemen korporasi seperti dalam
management failure model. 2. Kejahatan yang menjadi tanggung jawab perusahaan
adalah kejahatan riil sebagaimana kejahatan yang sebenarnya terjadi, bukan
kejahatan yang diakibatkan oleh kegagalan korporasi mengambil suatu tindakan
sebagaimana dimaksud oleh reactive corporate fault.
Selain keuntungan tersebut, juga terdapat sejumlah kelemahan, yaitu :
18

1) Vicarious liability sulit diterapkan untuk kejahatan yang di dalamnya


terdapat mens rea. Contohnya adalah pembunuhan atau penganiayaan
seperti terdapat dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Unsur dengan
sengaja adalah unsur niat atau mens rea, unsur tersebut menunjukkan niat
si pelaku untuk melakukan suatu tindakan berupa merampas nyawa orang
lain. Dengan demikian vicarious liability hanya dapat diaplikasikan untuk
kejahatan tertentu.
2) Vicarious liability dianggap terlalu inclusive, yaitu perusahaan dapat
dipidana untuk kesalahan yang dilakukan oleh pekerja yang kepadanya
seharusnya tidak harus dipertanggungjawabkan, dalam hal korporasi
mungkin telah melakukan segalanya sesuai dengan kekuasaan yang
dimilikinya untuk mencegah kesalahan tersebut.
3) Vicarious Liability juga sulit diterapkan apabila kejahatan tersebut terjadi
akibat kesalahan policy korporasi sendiri. Misalnya, tidak ada ketentuan
tentang standar kesehatan dan keamanan yang memadai. Sehingga apabila
terjadi kematian atau aktivitas perusahaan menimbulkan kerugian baik
kepada pekerjanya maupun masyarakat pelakunya tidak dapat diketahui
apakah pengurus, staff atau orangorang yang berdasarkan suatu perjanjian
melakukan tindakan untuk kepentingan perusahaan.
4) Di dalam RUU KUHP juga mengadung keraguan, saat kapan seorang
pengurus yang melakukan tindak pidana bertanggung jawab secara pidana
dan saat kapan korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana pengurus.
5) Di dalam RUU KUHP juga tidak ada kejelasan tentang apakah si pembuat
tindak pidana juga dimintai pertanggungjawaban pidana, walaupun atas
tindak pidana tersebut korporasi telah mengambil alih tanggung jawab
pidana tersebut. Hal ini agak berbeda dengan Undang-undang Lingkungan
Hidup, karena di dalam Undang-undang Lingkungan Hidup ditegaskan
bahwa pelaku tindak pidana tetap dipidana dan mereka dapat dijatuhi
hukuman penjara.
19

6) Pasal 52 seolah menganggap tuntutan pidana terhadap korporasi


merupakan the last resort, sehingga harus mendahulukan bidang hukum
yang lain (perdata atau administrasi), karena dianggap pemidanaan kurang
berguna atau tidak memberikan perlindungan yang maksimal. Tentu saja
pendapat seperti ini keliru. Selain itu, pasal ini menimbulkan persepsi yang
salah tentang kejahatan korporasi, karena dianggap kurang serius atau
berbahaya dibandingkan dengan kejahatan yang lain, padahal dari berbagai
pengalaman, terlihat korban kejahatan korporasi sangat banyak dan
terkadang mengalami penderitaan yang berkepanjangan, misalnya korban
pencemaran, luka-luka yang dialami di tempat kerja, dll.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berangkat dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat perbedaan antara rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi
yang termuat di dalam RUU KUHP dan sejumlah undang-undang lainnya.
2. Rumusan unsur-unsur yang terdapat di dalam RUU KUHP lebih rinci dan
jelas.
3. Sanksi pidana yang terdapat di dalam RUU KUHP dan sejumlah undang-
undang lainnya yang dibebankan kepada korporasi sama, yaitu berupa
denda dan pidana tambahan sampai dengan pencabutan ijin usaha.
4. Namun RUU KUHP tetap mengandung sejumlah kelemahan seperti :
a. Tidak ada ketegasan tentang sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana. Di dalam Undang-undang Lingkungan Hidup dikatakan bahwa
pelaku juga wajib dipidana dan dapat dijatuhi hukuman penjara.
b. Tidak ada kepastian kapan seorang pengurus yang melakukan tindak
pidana bertanggung jawab secara pidana atas perbuatannya dan
kapan perbuatan pengurus menjadi tanggung jawab pidana korporasi.
c. Doktrin yang dianut di dalam RUU KUHP adalah vicarious liability dan
kejahatan strict liability, doktrin ini tidak dapat diterapkan untuk
20

kejahatankejahatan yang memiliki unsur mens rea atau mental


element atau niat.
5. Kelemahan-kelemahan tersebut diatas mengakibatkan tidak semua
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara
pidana. Sehingga terhadap kejahatan tertentu korporasi tidak dapat
dipertanggungjawabkan, dengan demikian kejahatan korporasi mengalami
impunity.
6. Sanksi pidana pokok yang dijatuhkan kepada korporasi hanya semata-mata
denda. Hal ini akan menimbulkan keraguan akan deterent effect. Dan bisa
jadi tidak seimbang antara sumber daya dan dana yang dihabiskan untuk
menangani kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (white collar crime)
yang canggih, menggunakan teknologi tinggi, sulit dideteksi dengan sanksi
yang dijatuhkan.
7. Pasal 52 RUU KUHP, seolah menganggap tuntutan pidana terhadap korporasi
merupakan the last resort, sehingga harus mendahulukan bidang hukum
yang lain (perdata atau administrasi) karena dianggap pemidaan kurang
berguna atau tidak memberikan perlindungan yang maksimal. Tentu saja
pendapat seperti ini keliru.

B.       Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar RUU KUHP, khususnya
menyangkut “Buku I, Bagian II Pertanggungjawaban Pidana, Paragraf 6 Korporasi”
untuk ditinjau kembali dan dilakukan perubahan sehingga dapat mengakomodasi
hal-hal sebagai-berikut :
1. Diperlukan kebijakan dengan tidak hanya menyandarkan pada doktrin
vicarious liability dan kejahatan strict liability tetapi juga mengacu kepada
doktrin-doktrin lainnya yang lebih baru dan lebih mampu memberikan
pertanggungjawaban pidana korporasi seperti corporate mens rea atau
specific corporate offences doctrine.
2. Kepada pelaku tindak pidana mereka juga harus bertanggung jawab secara
pidana dan dapat dijatuhi hukuman pidana penjara, karena itu perlu ada
21

tambahan pasal di dalam Paragraf 6 Bagian II Buku I RUU KUHP, untuk


menegaskan hal ini.
3. Sanksi pidana berupa denda dimungkinkan untuk menjatuhkan denda lebih
besar dan proporsional dengan kekayaan korporasi tersebut sehingga dapat
menimbulkan deterrent effect bagi korporasi tersebut maupun korporasi
lainnya, karena itu perlu dilakukan perubahan atas Pasal 80 RUU KUHP
tentang Pidana Denda.
4. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 52 RUU KUHP harus dihapuskan untuk
menghindari persepsi tentang tindak pidana korporasi adalah tindak pidana
yang tidak serius.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Ali, Mahrus. Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Semarang: Badan Penyediaan
Bahan Kuliah FHUNDIP, 1986.
________. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. cet. 1. Jakarta: Bina
Aksara, 1983. Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Penerbit
Alumni, 1985.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 2005.
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum
Pidana. cet.3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Di Indonesia. Diterjemahkan oleh Tristam
Pascal Moeliono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2003.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Alumniu, 1986.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar-Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
Dalam
Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara
Baru, 1983. ________. Tentang Tindak-Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: BPHN, 1984.
22

Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Cet. 1. Jakarta:


Grafiti Per, 2007. Sudarto. Hukum Pidana 1. Semarang: Badan
Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH-UNDIP, 1987.
Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. cet.4. Surabaya: Pustaka Tirta
Mas, 1986.

Anda mungkin juga menyukai