Oleh :
1908018020
NAMA
NIM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERDEKA
MALANG
2022
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini dengan baik dan sistematis.
tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ivan Zairani,
S.H., S.Sos., M.Hum sebagai dosen pembimbing dan dosen pengajar Politik Hukum
Pidana.
Terima kasih pula kepada seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Unmer
karena telah banyak membimbing kami dan kami berharap dapat bermanfaat bagi
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini perkembangan korporasi di Indonesia sudah sangat cepat dan
luas bukan lagi milik badan usaha negara seperti pada masa Kolonial,
perkembangan korporasi berkembang pesat baik dari segi kualitas, kuantitas
maupun bidang usaha yang dijalaninya. Adanya korporasi memang banyak
mendatangkan keuntungan bagi amsyarakat dan negara, seperti adanya kenaikan
pemasukan kas negara dari pajak dan devisa, maupun membuka lapangan
pekerjaan, peningkatan alih teknologi dan lain sebagainya. Namun di samping ada
keuntunganatau dampak positif adanya korporasi juga mendatangkan dampak
negartif, seperti pencemaran lingkungan, eksploitasi atau pengrusakan sumber
daya alam, bersaing secara curang, manipualsi pajak, eksploitasi pekerja dan
kejahatan lainnya.
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea,
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan
menyulitkan untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Oleh
karena itu apabila korporasi melakukan perbuatan yang berdampak mendatangkan
kerugian bagi pihak lain, maka cukuplah fakta yang menderitakan korban dijadikan
dasar menuntut pertanggungjawaban pidana dari korporasi tanpa harus menilai
kesalahan pembuatnya. Hal ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena beberapa
negara (Anglo Amerika) telah memberlakukan doktrin stict liability dan vicarious
liability untuk jenis tindak pidana tertentu .
Doktrin strict liability atau liability without fault adalah pembebanan tanggung-
jawab pidana kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang
dipersyaratkan. Substansi dari doktrin ini adalah pelaku sudah dapat dijatuhi pidana
apabila pelaku telah dapat dibuktikan melakukan perbuatan yang dilarang oleh
ketentuan pidana (actus reus) tanpa melihat sikap bathinnya atau niat didalam
dirinya.
4
B. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang akan penulis identifikasikan dalam hal ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana analisa pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana ?
2. Bagaimana analisa penerapan pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP
sebagai hal baru dalam hukum pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
Guna menemukan definisi korporasi dalam hukum pidana, maka hal ini dapat
berangkat dari beberapa pendapat para sarjana hukum. Menurut Rudi Prasetyo,
kata korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum
pidana untuk menyebut apa yang biasa disebut sebagai badan hukum atau
rechtspersoon dalam bahasa Belanda dan legal entities atau corporation dalam
bahasa Inggris pada bidang hukum lain khususnya hukum perdata. 3 Merujuk pada
pengertian korporasi dalam hukum perdata, bahwa apa yang dimaksud korporasi
itu adalah badan hukum, maka terhadap korporasi memiliki definisi tersendiri. R.
Subekti mendefinisikan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti
manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan
hakim.4 Terhadap apa saja yang dianggap sebagai badan hukum punya
pengaturannya tersendiri. Karenanya terhadap korporasi dalam hukum perdata
subjeknya lebih dibatasi. Contoh korporasi dalam hukum perdata yang secara
umum dikenal merupakan badan hukum adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, dan
Yayasan.
Rancangan KUHP sendiri juga mendefinisikan korporasi baik yang berbadan
hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 189
yang mengatur bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”
Berdasarkan pembahasan mengenai definisi korporasi, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang diciptakan oleh hukum
yang berasal dari gabungan orang guna mencapai suatu tujuan. Berbicara
mengenai korporasi itu sendiri tidak akan terlepas dari hukum perdata, karena
konsep mengenai korporasi banyak diambil dari hukum perdata. Meski demikian,
definisi korporasi dalam hukum pidana memiliki pengertian yang lebih luas bila
dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, yang terbatas
hanya terhadap badan hukum. Definisi ini pula telah digunakan dalam R-KUHP.
3 Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 27 mengutip dari Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam
Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang: 23 – 24 November 1989), hlm. 2
4 Chidir Ali, Op.cit., hlm. 11
7
5 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 233-238
6 Muladi, Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 233
7 Cristina Maglie, “Models of Corporate Criminal Liability in Comparative Law”,Washington University Global
Studies Law Review, (V olume 4: 547, Januari 2005)., hlm. 556
8 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 100
8
perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan sendiri. Dalam hal ini maka
perbuatan atau kesalahan dari “pejabat senior” ( senior officer) diidentifikasi sebagai
perbuatan atau kesalahan dari korporasi.
Christopher M Little dan Natasha Savoline menanggapi putusan yang dikeluarkan
oleh The Supreme Court of Canada tersebut, berpendapat bahwa dari putusan
mengenai identification theory tersebut muncul enam asas, yakni:
1) Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja,
melainkan juga sejumlah pejabat (officer) dan direktur.
2) Geografi tidak menjadi faktor, atau dengan kata lain perbedaan wilayah
operasional dari suatu korporasi tidak mempengaruhi penentuan siapa
orang-orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang
bersangkutan. Sehingga perbedaan wilayah tidak bisa menjadi alasan
seseorang mengelak sebagai directing mind.
3) Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggungjawab dengan
mengemukakan bahwa orang atau orang-orang tertentu telah melakukan
tindak pidana meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar
hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum.
4) Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak
pidana, maka ia harus memiliki kalbu yang salah atau nilai yang jahat, yaitu
yang dikenal dalam hukum pidana sebagai mens rea. Apabila pejabat atau
direktur korporasi yang merupakan directing mind tersebut tidak menyadari
tindak pidana yang dilakukannya, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
5) Untuk dapat menerapkan identification theory tersebut, maka harus dapat
ditunjukan bahwa perbuatan yang dilakukan individu sebagai directing mind
merupakan bagian dari kegiatan yang ditugaskan kepadanya. Perbuatan
tersebut juga bukan merupakan perbuatan curang yang ditujukan kepada
korporasi. Serta tindak pidana yanag dilakukan harus bertujuan untuk
memberi manfaat korporasi.
6) Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis
kontekstual. Atau dengan kata lain, analisis harus dilakukan berdasarkan
kasus per kasus.
9
Jika melihat penggunaan dari doktrin identifikasi ini, maka doktrin ini lebih ditujukan
kepada pengurus dari korporasi dengan jabatan tinggi seperti direktur atau high
level manager, karena kewenangan dalam bertindak untuk dan atas nama korporasi
pada dasarnya hanya terdapat pada tingkatan jabatan tersebut. Hal ini akan
berimbas pada korporasi hanya dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh direktur atau top manajer, tanpa
mengakomodir perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh agen korporasi, baik yang
berada di dalam korporasi, maupun yang berada di luar korporasi. Karenanya,
doktrin ini kadang dianggap sebagai legal barrier to potential corporate criminal
liability.
Secara lebih lanjut, doktrin identifikasi akan sulit untuk diterapkan terhadap
bentuk-bentuk korporasi saat ini. Dengan demikian, doktrin identifikasi ini
merupakan doktrin yang memungkinkan korporasi memiliki suatu
pertanggungjawaban pidana dengan dasar suatu perbuatan yang dilakukan oleh
individu yang diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. Agar individu tersebut
dapat diidentifikasikan sebagai korporasi, maka individu tersebut harus bertindak
sebagai directing mind. Menentukan directing mind dapat dilakukan dengan melihat
fakta-fakta pada kasus seperti kedudukan dari individu tersebut atau wewenang
yang dimilikan sehingga dapat dianggap bahwa perbuatannya memanglah
perbuatan perusahaan.Wewenang yang sedemikian besarnya pada umumnya
terdapat pengurus dengan jabatanjabatan tinggi seperti high level manager atau
direksi. Karenanya doktrin ini dalam penerapannya tidak mengakomodir perbuatan
yang dilakukan oleh pegawai jabatan rendah.
2. Doktrin Strict Liability
Doktrin Strict liabillity merupakan doktrin pertanggungjawaban pidana
korporasi yang diadopsi dari doktrin dalam hukum perdata. Doktrin ini sering
diterapkan pada perbuatan melawan hukum (the law of torts) dalam hukum
perdata. Pengertian strict liability dalam hukum perdata dapat merujuk pada Black’s
Law Dictionary, definisi “liability that does not depend on actual negligence
or intent to harm, but that is based on the breach of an absolute duty to
make something safe” . Dalam hukum pidana, doktrin strict liability merupakan
doktrin yang mengesampingkan unsur kesalahan atau unsur mens rea dalam
10
dilakukan oleh pekerjanya selama hal tersebut dilakukan dalam ruang lingkup
pekerjaan.
Dengan demikian, perusahaan sebagai pemberi kerja akan memantau apa
yang dilakukan pekerjanya guna mencegah terjadinya pelanggaran atau tindak
pidana. Melalui doktrin vicarious liability, maka korporasi dapat bertanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukan oleh para pihak yang telah diberikan atribusi tugas
oleh korporasi berdasarkan suatu hubungan pekerjaan. Hal ini tidak tertutup bagi
pekerja yang berada di dalam organ perusahaan, melainkan juga agen-agen atau
wakil yang berada di luar organ perusahaan, dengan batasan selama perbuatan
yang dilakukan oleh pekerja, agen, atau wakil tersebut terbatas pada ruang lingkup
pekerjaan atau atribusi yang diberikan kepada pekerja atau agen tersebut.
Penerapan doktrin vicarious liability harus dibatasi, karena doktrin ini merupakan
bentuk penyimpangan terhadap asasmens rea dalam hukum pidana. Penerapan
hanya dapat dilakukan apabila undang-undang secara tegas memperbolehkannya.
kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh alat-alat korporasi melalui suatu
rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi.
dasar korporasi atau ketentuan lainnya. Unsur ketiga tentang pihak yang
bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang terjadi.
Menurut unsur ketiga ada 2 pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban,
yaitu Korporasi dan Pengurusnya. Pengurus disini dibatasi hanya mereka yang
memiliki kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, bukan mereka
yang berada di level bawah (lower level officer). Menurut penjelasan RUU KUHP,
ada tiga option tentang pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana
korporasi, yaitu : a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh
karena itu penguruslah yang bertanggung jawab; b. Korporasi sebagai pembuat
tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau c. Korporasi sebagai
pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Oleh karena itu,
jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka
penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi
sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.
3) Tindak Pidana Korporasi Menurut RUU KUHP Dalam RUU KUHP.
Tindak pidana yang merupakan tindak pidana korporasi tidak disebutkan
secara tegas. Dalam Pasal 50 RUU KUHP dikatakan: “... perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar
atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.” Namun,
terdapat sejumlah pasal di dalam RUU KUHP yang secara tegas menyebutkan
bahwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana, misalnya beberapa pasal di bawah
ini : Pasal 644
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Kategori III : a. kreditor yang turut menerima penawaran
perdamaian di sidang pengadilan karena telah mengadakan persetujuan dengan
debitor atau dengan pihak ketiga dan kreditor tersebut meminta keuntungan
khusus; atau b. debitor yang turut menerima penawaran perdamaian di sidang
pengadilan karena telah mengadakan persetujuan dengan kreditor atau dengan
pihak ketiga dan debitor tersebut meminta keuntungan khusus.
(2) Jika yang berutang adalah korporasi, maka pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dijatuhkan kepada pengurus atau komisaris yang mengadakan
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
16
Pasal 737
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar
wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 735.
Setelah menulusuri Buku II RUU KUHP secara keseluruhan, hanya ditemukan
dua jenis tindak pidana dimana pelakunya adalah korporasi. Terdapat juga
beberapa tindak pidana yang tidak menyebutkan pelakunya adalah korporasi, tetapi
badan pengurus atau komisaris. Sehingga dengan tidak disebutkannya secara tegas
jenis-jenis kejahatan yang merupakan kejahatan korporasi, maka penerapan
tanggung jawab korporasi menjadi tidak mudah bahkan cenderung sangat terbatas.
Namun, di pasal lain ditegaskan bahwa unsur seseorang termasuk juga korporasi.
Dengan demikian, maka setiap tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban
korporasi asal memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Bab II sub
Bab 2, tanpa melihat jenis kejahatannya. Dengan demikian, jenis kejahatan yang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi sangat luas.
4) Sanksi Pidana Korporasi Menurut RUU KUHP
Setelah mendapatkan gambaran tentang pelaku tindak pidana, jenis
kejahatan yang pelakunya adalah korporasi serta pihak yang bertanggung jawab
apabila tindak pidana korporasi dilakukan, maka perlu diketahui jenis sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. RUU KUHP mengatakan bahwa sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana pokok berupa denda.
Namun, pernyataan tentang jenis pidana pokok untuk korporasi tersebut hanya
dimuat di dalam Penjelasan RUU KUHP, bukan di dalam Batang Tubuh. Meskipun
pidana pokok hanya berupa denda, namun ancaman sanksi maksimum lebih berat
dibanding terhadap perseorangan. Denda maksimum bagi korporasi, yaitu kategori
tertinggi berikutnya. Rumusannya sebagai berikut :
Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah), sedangkan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah denda Kategori VI, yaitu
17
sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Selain denda maksimum, telah
pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu denda Kategori IV sebesar
Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
RUU KUHP juga telah mengantisipasi apabila korporasi tidak mampu membayar
sanksi pidana denda, maka sanksi tersebut ditukar dengan pidana pengganti
berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Selain pidana denda,
terhadap korporasi dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan, yaitu berupa
segala hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk melakukan kegiatan dalam
bidang usaha tertentu. Siapa yang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi.
5) Konsep rumusan RKUHP
Mengacu ke Bab III tentang konstruksi kejahatan korporasi dan dikaitkan
dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Maka dapat disimpulkan
tanggung jawab pidana korporasi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat :
1. Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi atau demi kepentingan korporasi; 2. Berdasarkan hubungan kerja atau
hubungan yang lainnya; 3. Dalam lingkup usaha korporasi. Bila dibandingkan
dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Bab II, yaitu berupa :
identification doctrine, aggregation doctrine, reactive corporate fault, vicarious
liability, management failure model, corporate mens rea, specific corporate
offences. Konsep yang paling mendekati rumusan RUU KUHP adalah vicarious
liability.
Dengan menganut doktrin vicarious liability terdapat sejumlah keuntungan,
yaitu : 1. Pelaku tindak pidana tidak harus dilakukan oleh orang penting atau orang
yang menjadi simbol korporasi tersebut seperti yang disyaratkan dalam
identification doctrine atau kesalahan manajemen korporasi seperti dalam
management failure model. 2. Kejahatan yang menjadi tanggung jawab perusahaan
adalah kejahatan riil sebagaimana kejahatan yang sebenarnya terjadi, bukan
kejahatan yang diakibatkan oleh kegagalan korporasi mengambil suatu tindakan
sebagaimana dimaksud oleh reactive corporate fault.
Selain keuntungan tersebut, juga terdapat sejumlah kelemahan, yaitu :
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berangkat dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat perbedaan antara rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi
yang termuat di dalam RUU KUHP dan sejumlah undang-undang lainnya.
2. Rumusan unsur-unsur yang terdapat di dalam RUU KUHP lebih rinci dan
jelas.
3. Sanksi pidana yang terdapat di dalam RUU KUHP dan sejumlah undang-
undang lainnya yang dibebankan kepada korporasi sama, yaitu berupa
denda dan pidana tambahan sampai dengan pencabutan ijin usaha.
4. Namun RUU KUHP tetap mengandung sejumlah kelemahan seperti :
a. Tidak ada ketegasan tentang sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana. Di dalam Undang-undang Lingkungan Hidup dikatakan bahwa
pelaku juga wajib dipidana dan dapat dijatuhi hukuman penjara.
b. Tidak ada kepastian kapan seorang pengurus yang melakukan tindak
pidana bertanggung jawab secara pidana atas perbuatannya dan
kapan perbuatan pengurus menjadi tanggung jawab pidana korporasi.
c. Doktrin yang dianut di dalam RUU KUHP adalah vicarious liability dan
kejahatan strict liability, doktrin ini tidak dapat diterapkan untuk
20
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan agar RUU KUHP, khususnya
menyangkut “Buku I, Bagian II Pertanggungjawaban Pidana, Paragraf 6 Korporasi”
untuk ditinjau kembali dan dilakukan perubahan sehingga dapat mengakomodasi
hal-hal sebagai-berikut :
1. Diperlukan kebijakan dengan tidak hanya menyandarkan pada doktrin
vicarious liability dan kejahatan strict liability tetapi juga mengacu kepada
doktrin-doktrin lainnya yang lebih baru dan lebih mampu memberikan
pertanggungjawaban pidana korporasi seperti corporate mens rea atau
specific corporate offences doctrine.
2. Kepada pelaku tindak pidana mereka juga harus bertanggung jawab secara
pidana dan dapat dijatuhi hukuman pidana penjara, karena itu perlu ada
21
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Ali, Mahrus. Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Semarang: Badan Penyediaan
Bahan Kuliah FHUNDIP, 1986.
________. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. cet. 1. Jakarta: Bina
Aksara, 1983. Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Penerbit
Alumni, 1985.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 2005.
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum
Pidana. cet.3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Di Indonesia. Diterjemahkan oleh Tristam
Pascal Moeliono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2003.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Alumniu, 1986.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar-Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
Dalam
Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara
Baru, 1983. ________. Tentang Tindak-Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: BPHN, 1984.
22