Anda di halaman 1dari 21

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORPORASI

(Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Korporasi)

Dosen Pengampu

Dr. Rohman Hakim , S.H., M.H

Dany Sulistiono, S.Sos, M.M

NIM : 22.6.9.0236

UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA


PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2022/2023
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORPORASI

(Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Korporasi)

Dosen Pengampu

Dr. Rohman Hakim , S.H., M.H

Oleh

Dany Sulistiono, S.Sos, M.M

NIM : 22.6.9.0236

UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA


PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2022/2023
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORPORASI

Dany Sulistiono, S.Sos M.M

NIM : 22.6.9.0236

I. PENDAHULUAN
Patut untuk diketahui bersama, bahwa membicarakan tentang
korporasi pada hakikatnya tidak bisa melepaskan hal tersebut dari bidang
hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya
dengan badan hukum (rechtpersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan
terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata (Harahap,
2017: 40). Dengan merujuk kepada konsep korporasi dalam hukum perdata,
maka patut dikemukakanlah pandangan Subekti dan Tjitrosudibio yang
mendefinisikan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang
merupakan badan hukum (Subekti dan Tjitrosudibio, 1979: 34).

Kendatipun demikian, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan


Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia” yang menyatakan bahwa: Dengan adanya
perkumpulanperkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut
serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari
perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk
perumusan berbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang
kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi
sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari
suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin
sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi.
Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan
sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subjek
suatu tindak pidana (Prodjodikoro, 1989: 55).
Mencermati konsepsi intelektual dari Wirjono Prodjodikoro tersebut
di atas, adalah menjadi semakin menarik ketika dianalisa lebih jauh bahwa
suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan pidana sebagai
subjek suatu tindak pidana. Oleh karena itulah, tulisan ini fokus mengungkap
eksistensi pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berdasarkan
ketentuan sistem pemidanaan (substantif) di Indonesia saat ini (Ius
constitutum) dan bagaimanakah prospeknya di masa akan datang (ius
constituendum). Secara yuridis-formal bahwa pada awalnya dalam hukum
pidana Indonesia, korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana.
Manusia alamiah (natural person) merupakan satu-satunya yang dikenal
sebagai subjek hukum pidana pada saat itu. Hal tersebut dapat ditelusuri
melalui ketentuan dalam KUHP (WvS) yang memandang suatu delik hanya
dapat dilakukan oleh manusia, yakni khususnya dalam formulasi Pasal 59
KUHP (WvS) yang berbunyi: “Dalam hal-hal di mana pelanggaran
ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau
komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau
komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak
dipidana”.

Lebih jelas lagi, bahwa dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal
51 Ned.WvS (Pasal 59 KUHP/WvS) dinyatakan: “suatu strafbaarfeit hanya
dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum (dibaca:
korporasi, pen.) tidak berlaku di bidang hukum pidana” (A.Z. Abidin dkk,
1962: 14). Pemikiran tersebut di atas pada hakikatnya dilatar belakangi
karena di Negeri Belanda pada saat KUHP (WvS) dirumuskan oleh para
penyusunnya pada tahun 1886, adalah menerima asas “societas/ universitas
delinquere non potes” bahwa badan hukum atau perkumpulan tidak dapat
melakukan tindak pidana (Muladi, 2002: 157). Kendatipun demikian, tak
dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan zaman yang memberi
peranan strategis kepada korporasi pada kegiatan seharihari dalam lapisan
masyarakat mendorong untuk dilakukannya terobosan baru. Seperti dalam
KUHP Belanda saat ini saja telah mengalami perubahan besar dari KUHP
Belanda terdahulu, khususnya terkait korporasi. Dasar hukum mengenai
korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana ada dalam KUHP
Belanda, yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1976 khususnya dalam
formulasi Pasal 51 KUHP Belanda yang isinya menyatakan antara lain:

1) Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perseorangan maupun oleh


korporasi;
2) Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana
dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan (maatregelen)
yang disediakan dalam perundangundangan sepanjang berkenaan
dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi
dapat dilakukan terhadap:
a) Korporasi sendiri, atau
b) Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan
tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual
memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
c) Korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara
tanggung-renteng
3) Berkenaan dengan penerapan butirbutir sebelumnya yang disamakan
dengan korporasi adalah persekutuan bukan badan hukum, maatschap
(persekutuan perdata), redenj (persekutuan perkapalan) dan
doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan
tertentu, social fund (yayasan) (Remmelink, 2003: 98-103). Adalah
merupakan sebuah realita, bahwa dewasa ini korporasi semakin
memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek
hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana sekaligus yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser.
Doktrin yang mewarnai WvS Belanda 1886 yakni, “societas /universitas
delinquere non potes” sudah mengalami perubahan sehubungan dengan
diterimanya konsep pelaku fungsional. Menurut Rolling pembuat delik
memasukkan korporasi ke dalam functioneel daderschap, oleh karena
korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam
kehidupan ekonomi dan mempunyai banyak fungsi, yaitu sebagai
pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-lain
(Muladi dan Priyatno, 2008: 17).

Selanjutnya patut dikemukakan juga pandangan Pujiyono, bahwa


pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh
sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia.
Namun pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu adanya perkembangan
industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan
perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak
lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah (natuurlijke persoon) tetapi
meliputi pula korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula
dilakukan oleh korporasi (Pujiyono, 2019: 7-8).

Di Indonesia, pergeseran manusia sebagai satu-satunya subjek tindak


pidana mulai terlihat dalam UU Khusus di luar KUHP (Lex Specialis).
Sebagaimana pernah diungkap oleh Sudarto berikut ini: misalnya dalam
“Ordonansi BarangBarang Yang Diawasi” (S. 1948–295) terdapat ketentuan
yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak pidana yang
disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Kemudian juga terlihat dalam
“Ordonansi Obat Bius” (S. 27–278 Jo. 33–368) Pasal 25 ayat (7). Serta dalam
Pen. Pres. tentang “Pemberantasan Kegiatan Subversi” (No.11/ 1963).
(Sudarto, 2009: 102)

Lebih tegas lagi, adalah tampak dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang
secara tegas menyebutkan “badan hukum” sebagai subjek hukum, khususnya
dalam formulasi Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi: “Jika suatu tindak pidana
ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan,
suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan
pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi
itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu,
maupun terhadap kedua-duanya”.

Beranjak ke uraian berikutnya, adalah menarik sekali untuk dicermati


berbagai UU yang mengakui eksistensi korporasi sebagai subjek hukum
pidana. Seperti dalam ketentuan formulasi Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat yang berbunyi: “Perusahaan negara dan swasta
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat
dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatan, Pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya
sesuai dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan”. Kemudian
dalam Penjelasan Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 tersebut dinyatakan bahwa:
“Perusahaan negara meliputi BUMN dan BUMD sedang perusahaan swasta
termasuk di dalamnya koperasi”. Dengan demikian, menurut UU No. 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat tersebut, jelas sudah mengenal subjek hukum
berupa korporasi.

Eksistensi korporasi sebagai subjek tindak pidana tersebut tampak


dalam Ketentuan Formulasi Pasal 45 ayat (1) RUU KUHP 2019, ditegaskan
bahwa Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Lebih lanjut, dalam
ketentuan formulasi Pasal 45 ayat (2) RUU KUHP 2019 dinyatakan bahwa:
“Korporasi sebagaimana dimaksud ayat (1) mencakup badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta
perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau
badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang
disamakan dengan itu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. 1

Akhirnya, patut untuk diperhatikan pula penjelasan umum RUU


KUHP 2019 Buku ke I, khususnya pada butir ke-5 yang menyatakan bahwa:

1
Muhammad Mahrus Setia Wijaksana, Pengaturan Korporasi sebagai subjek tindak pidana
(Eksistensi & Prospeknya), Jurnal Rechts Vinding 25 Agustus 2020
Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan
perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana
yang terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka
subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi
mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak
pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana.
Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana,
berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum
dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Berdasarkan uraian diatas,
pada makalah ini akan membahas tentang pemberantasan tindak pidana
korporasi.

II. RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah yang ada dalam makalah ini, sebagai berikut.

1) Apa yang dimaksud kejahatan korporasi?


2) Apa yang dimaksud dengan tindak pidana korporasi ?
3) Bagaimana dasar pemikiran korporasi sebagai subyek hukum pidana ?
4) Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana
Indonesia?
5) Apa saja jenis-jenis korporasi?

III. PEMBAHASAN
A. Kejahatan Korporasi
Perkembangan ekonomi yang sangat pesat juga membawa dampak
negatif bagi terciptanya modus kejahatan korporasi di Indonesia. Kasus PT.
Freeport -McMoran Indonesia yang meruapakan investor pertama di
Indonesia sejak diundangkannya UU No.11 Tahun 1967 menjadi contoh
betapa keberadaan korporasi tidak hanya menjadi sumber pendapatan
Negara, akan tetapi sumber permasalahan baru yaitu kejahatan korporasi.
Korporasi yang bergerak di bidang pertambangan emas di papua tersebut
akhir-akhir ini masih enggan melakukan renegosiasi dengan pemerintah
terkait kontrak Kerjasama pertambangan sebagaimana diamanatkan UU No.
4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara, melakukan perusakan
lingkungan dnegan membuat lubang tambang di Grasberg diameter 2,4
kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m 2
sehingga merusak bentang alam Grasberd dan Ersberg. Tindakan korporasi
tersebut sangat merugikan kepentingan publik baik masyarakat Papua
maupun kedaulatan Negara Republik Indonesia atas kekayaan alam yang
dimilikinya.
Sebuah adagium hukum menyatakan “ubi societas ubi ius” dimana
ada masyarakat pasti terdapat hukum memberikan sebuah pemahaman dasar
bahwa hukum selalu ada seiring dengan interaksi manusia sebagai individu
dengan individu yang lain dengan berbagai macam motivasi. Interaksi antar
individu mulai berkembang seiring dengan semakin meningkatnya
kebutuhan hidup yang ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan dan
ketersediaan sumber daya yang ada. Alhasil, masing-masing individu mulai
tergerak untuk saling bekerjasama antar individu lain yang dianggap
memiliki kemampuan lebih demi memenuhi kebutuhan yang ada.
Pemenuhan kebutuhan manusia secara individu memang tidak dapat
dilakukan seorang diri tanpa melibatkan manusia yang lain mengingat
manusia sebagai homo homini socius. Namun jangan lupa bahwa manusia
sendiri menginginkan perolehan keuntungan yang lebih dari setiap interaksi
yang dilakukannya. Perhitungan keuntungan dan kerugian apa yang akan
diderita mentahbiskan manusia sebagai makhluk homo homini economicus
yang selalu berupaya untuk mendapatkan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kondisi semakin menjadi sulit ketika sumber daya alam yang tersedia
begitu terbatas dengan kemampuan manusia serba terbatas pada gilirannya
melahirkan sebuah kondisi persaingan antar individu satu dengan yang lain.
Persaingan yang lahir sebenarnya menimbulkan semangat positif bagi
manusia bagi terciptanya iklim usaha yang kompetitif dan produktivitas
yang tinggi berimbas pada produk yang beragam dengan kualitas yang
tinggi.
Suasana persaingan yang tercipta rupanya tidak hanya melahirkan
dampak posiitf tetapi dampak negatif berupa sikap tamak dan serakah dari
individu yang menginginkan penguasaan secara total serta bersikap
sekehendak hati dalam berinteraksi dengan manusia yang lain. Korporasi
sendiri lahir dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan yang sangat
terbatas sehhingga diupayakan sebuah Kerjasama antar anggota di dalam
korporasi tersebut. Korporasi merupakan suatu persona ficta atau legal
fiction atau fiksi hukum. Yang berarti keberadaannya bergantung dari
hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa korporasi merupakan ciptaan
hukum yang secara fisik atau badan dan ke dalam hukum memasukkan
unsur animus kehidupannya bergantung pada hukum. Korporasi sebagai
pelaku hukum diakui kehadirannya oleh karena hukum. Jika dibandingkan
dengan manusia, keberadaan manusia ada sejak tanda kehidupan ada dalam
dirinya secara alami diberikan oleh Tuhan.. keberadaan manusia tidak
ditentukan dari hukum yang mengatakan dia ada akan tetapi manusia ada
karena kehendak Tuhan. Itulah sebabnya manusia dalam hukum diakui
pemegang hak dan kewajiban dengan istilah unik “Naturlijk person”.
Istilah korporasi memiliki kaitan erat dengan pemahaman badan hukum
sebagaimana dikenal dalam bidang hukum perdata. 2

B. Tindak Pidana Korporasi

Menurut Utrecht/Moh. Soleh Djindang tentang korporasi adalah suatu


gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama
sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personafikasi. Korporasi adalah

2
Suhartati, Elfina Lebrine Sahetapy, Hwian Christian, Anatomi Kejahatan Korporasi, PT.
Revka Petra Media: Surabaya, 2018, 2-3
badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri
terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.3

Adapun Yan Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan


korporasi adalah suatu oerseroan yang merupakan badan hukum; korporasi
atau perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau
organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia
(personal) ialah sebagai pengemban (atau Pemilik) hak dan kewajiban
memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka perngadilan.4

Kegiatan korporasi yang melanggar hukum pidana sebagaimana telah


diatur didalam undang-undang hukum pidana didalam dunia internasional
disebut sebagai “corporate crime” yang didalam bahasa Indonesia disebut
sebagai “ tindak pidana korporasi”.

Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya menjelaskan yang dimaksud


dengan tindak pidana korporasi adalah tindak pidana baik komisi maupun
omisi, yang dilakukan dengan sengaja dan bersifat melawan hukum oleh
personel pengendali korporasi atau diperintahkan dengan sengaja olehnya
untuk dilakukan oleh orang lain, sepanjang tindka pidana tersebut dilakukan
dalam batas tugas, kewajiban dan wewenang dari jabatan personel
pengendali korporas yang bersangkutan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar korporasi
serta bertujuan untuk memperoleh manfaat bagi korporasi, baik berupa
manfaat dinansial maupun non-finansial.

Pembicaraan mengenai kejahatan korporasi tidak akan pernah dapat


dilepaskan dari pembicaraan mengenai white collar crime ( kejahatan erah
putih). Istilah white collar crime diungkapkan pertama kali pada tahun 1939
oleh kriminoligi Edwin H. Sutherland dalam suatu presdential address

3
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 1987), h. 64
4
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : CV. Aneka, 1977), h. 256
dihadapan American Sociological untuk menunjuk pada kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan status sosial yang
tinggi dalam kaitannya dengan okupasinya.

Secara umum white collar crime dapat dikelompokka dalam:

a. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan profesi dalam


melakukan pekerjaannya seperti dokter, notaris pengacara, dan
sebagainya.
b. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya
seperti korupsi dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang lain
seperti pelanggaran terhadap hak-hak warga negara;
c. Kejahatan korporasi.
Dengan demikian pada dasarnya ada perbedaan antara kejahatan
okupasional (occupational crimes) yang berarti kejahatan yang dilakukan
oleh individu untuk kepentingan sendiri dalam kaitannya dengan jabatan
dan kejahatan lain oleh karyawan yang merugikan majikan, dengan
kejahatan korporasi (corporate crime) yang merupakan perilaku korporasi
yang tidak sah dalam bentuk pelanggaran hukum kolektif dengan tujuan
untuk mencapai tujuan organisasi.

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli


hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang
hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau
dalam bahasa Belanda disebut rechtperson atau dalam bahasa Inggris
dengan istilah legal person atau legal body.

Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang


masih menjadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontrak. Pihak yang
setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan
hal-hal sebagai berikut:

1. Pemindahaan pengurus saja ternayata tidak cukup untuk mengadakan


represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi,
korporasi dan pengurus, atau pengurus saja;
2. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakain memainkan
peranan yang penting pula;
3. Hukum pidana hakus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan mengakkan norma-norma dan ketentuan-
ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya
ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia,
maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk
selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi;
4. Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk
menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi
itu sendiri.
Korporasi merupakan subyek hukum yang baru diatur dalam hukum
pidana Indonesia yang tidak dicantumkan dalam KUHP tetapi rumusannya
terdapat di luar KUHP (undang-undang). Gillies berpandangan bahwa,
korporasi atau perusahaan yakni orang atau manusia di mata hukum yang
mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh manusia,
maka diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak,
dan dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan.
Sedangkan dalam lingkup hukum pidana pengertian korporasi lebih
luas dibandingkan dalam hukum perdata sebagaimana pengertian korporasi
didalam hukum pidana tidak hanya mencakup mengenai badan usaha
berbadan hukum saja tetapi mencakup juga badan usaha tidak berbadan
hukum serta organisasi-organisasi yang terstruktural dan sistematis, di
Indonesia kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana saat ini secara
khusus baru diakui dalam undang-undang yang mengatur tindak piana di
luar KUHP. Hal ini dikarenakan Undang-Udnang Hukum Pidana Indonesia
masih menganut pandangan societas delinquere non potest sehingga belum
mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Adapun
beberapa Undang-Undang yang sudah mengakomodir kedudukan korporasi
sebagai subjek hukum pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup.

C. Dasar Pemikiran Korporasi sebagai Subyek Hukum Pidana


Penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak lepas dari
moderenisasi sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK)). Bertalian dengan penempatan korporasi sebagai subyek hukum
pidana sampai sekarang masih menjadi permasalahan, sehingga timbul sikap
setuju/pro dan tidak setuju/kontrak terhadapsubyek hukum pidana korporasi.
Adapun yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan atau kealpaan
hanya terdapat pada para persona alamiah.
2. Bahwa tingkah laku material yang merupakan syarat dipidanya
beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah.
3. Bahwa pidana dan tinakan yang berupa mermpas kebebasan orang tidak
dapat dikenakan terhadap korporasi.
4. Bahwa tuntutan adn pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa orang yang tidak bersalah.
5. Bahwa dalam praktiknya tidak mudah menentukan norma-norma atas
dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi
atau keduanya harus dituntut dan dipidana.
Adapun yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek hukum
pidana yang dikemukakan oleh Elliot dan Quinn yang menerangkan bahwa
beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi, dengan alasan sebagai berikut:
1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, bukan mustahil
perusahan-perusahaan dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana,
sehingga hanya para pegawai/pekerja yang dituntut karena telah
melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari
kegiatan usha yang dilakukan oleh perusahaan.
2. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural lebih mudah untuk
menuntut suatu perusahaan daripada para pegawainya.
3. Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah perusahaan lebih
memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan
daripada pegawai perusahaan tersebut.
4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para
pemegang saham untuk melakukan pengawan terhadap kegiatan-
kegiatan perusahaan dimana mereka telah menanamkan investasinya
5. Apabila sbeuah perusahaan telah memperoleh keuntungan dari kegiatan
usaha yang ilegal, maka seharusnya perusahan itu pula yang harus
dikenakan sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan.5

D. Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi


Dalam hukum pidana telah diakui bahwa korporasi sebagai subyek atau
pelaku pidana, namun pertanggungjawaban dalam hukum pidan masih
bersifat mendua. Apabila dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang masih setia diikuti sampai sekarang ini, tindak pidana
korporasi tidak dapat dijaring, sebab korporasi tidak termasuk subyek hukum
atau pelaku. Dalam KUHP yang menjadi subyek hukum adalah manusia /
orang saja. Namun demikian beberapa peraturan perundang-undangan yang
berada di luar KUHP antara lain Undang Undang No. 7 Drt Tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang Undang No. 2 tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian, Undang Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai,
Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta undang-
undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah
merumuskan bahwa korporasi secara tegas diakui dapat menjadi subyek
hukum atau pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

5
https://e-journal.uajy.ac.id/18449/3/HK117562.pdf diakses pada Kamis 08 Juni 2023 pukul 10.45
WIB
Akan tetapi ada perundang-undangan yang lain justru tidak jelas arah
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Melihat hal demikian
mennunjukkan adanya keraguan dari pembuat Undang-Undang untuk
menempatkan korporasi atau badan hukum sebagai subyek atau pelaku yang
dapat dibebani tanggung jawab pidana. Adanya pengaturan yang tidak
konsisten tersebut tentunya akan mempersulit penegak hukum untuk
mempertanggungjawabkan korporasi terhadap kejahatan yang dilakukan.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas masih ada faktor-faktor lain
yang menghambat penegak hukum atau pengendalian terhadao tindak pidana
korporasi, yaitu pertama, (korporasi sebagai pelaku tindak pidana atau
kejahatan yang potensial) pada umunya mempunyai lobby yang efektif dalam
usaha perumusan delik maupun cara-cara menanggulangi tindak pidana
korporasi. Kedua, menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi
maupun menentukan kesalahan korporasi tidaklah mudah.
Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang
bertanggungjawab. Sistem ini membatasi sifat tindak pidana yang dilakukan
korporasi adalah hanya perorangan saja (natuurlijk persoon). Bila tindak
pidana dilakukam dilingkungan korporasi, maka yang melakukan tindak
pidana adalah pengurusnya. Tanggungjawab bila terjadi tindak pidana adalah
mengurus yang melakukan tindak pidana. Sistem ini dianut oleh KUHP. Hal
ini dinyatakan dalam Pasal 59 yang berbunyi: “dalam hal-hal dimana karena
pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan
pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak
dipidana”.
Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab. Dalam sistem
ini dimungkinkan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya.
Dalam sistem ini telah terjadi perubahan yang pada mulanya korporasi tidak
dapat melakukan tindak pidana atau universitas delinquere non potest
berubah dengan menerima konsep pelaku fungsional, artinya korporasi dapat
dimintai pertanggungjawban dalam melakukan tindak pidana. Masalah
pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pokok pertanggungjawaban dalam hukum pidana
atau kesalahan. Dalam undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa: tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya. Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada
dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana.
Menurut Suprapto Korporasi bisa dipersalahkan bila kesengajaan atau
kelalaian atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alat
korporasi. Kesalahan itu bukan individu tetapi kolektif.
Struct liability merupakan pertanggungjawaban pidana tanpa keharusan
untuk membuktikan adanya kesalahan. Prinsip tanggungjawab yang
memandang kesalahan sebagai suatu hal yang tidak relevan untuk
dipermasalahkan apakah ada atau tidak ada. Menurut Doktrin ini seseorang
sudah apat dipertanggungjawabkan untu tindak pidana tertentu walaupun
pada diri orang tersebut tidak ada kesalahan. Menurut LB Curson, doktrin ini
didasarkan pada alasan-alasan tertentu, yaitu:
1. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhi peraturan-peraturan
penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
sosial
3. Tingginya tingkat sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
bersangkutan.
Tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur
dalam undang-undang (statutory offences, regulatory offences, mala
prohibita) yang pada umumnya merupakan delikdelik terhadap kesejahteraan
umum. Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan dan
minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang
yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.
Vicarious Liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban
seperti ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatanya. Pada
umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara
majikan dengan buruhnya. Pembantu atau bawahannya.
Dapat dipertanggungjawabkan korporasi atas dasar kedua doktrin
tersebut dalam perkembangannya memang sangat diperlukan. Sebab dengan
perkembangan teknologi, tidak mudah mendapatkan bukti yang memadai
tentang kesalahan dari pemilik korporasi. Kedua doktrin tersebut perlu
dipertimbangkan sejauhmana dapat diambil oper. Hal ini sehubungan dengan
beberapa tindak pidana saat ini yang erat hubunganya dengan perkemabangan
dan kemajuan dibidang teknologi, ekonomi dan perdagangan yang banyak
melibatkan badan hukum atau korporasi.6

E. Bentuk-bentuk dan Jenis-jenis Korporasi


Kalau merujuk pada bentuk korporasi, ada beberapa bentuk korprasi yang
ada, termasuk diantaranya, adalah :
1) Korporasi perseroan
2) Korporasi BUMN
3) Korporasi PT tbk

Adapun jenis-jenis korporasi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1) Pembagian yang pertama, adalah pengertian apa itu korporasi berdasarkan


lapangan usaha, berdasarkan pengertian ini, anda bisa menemukan
beberapa jenis korporasi jenis perusahaan korporasi yang meliputi :

6
https://media.neliti.com/media/publications/23549-ID-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-
hukum-pidana-di-indonesia.pdf diakses pada Kamis 08 Juni 2023 pukul 09.30 WIB
2) Perusahaan korporasi agraris, jenis perusahaan korporasi ini menjalankan
kegiatan bisnisnya dalam bidang pertanian, namun tak menutup
kemungkinan perusahaan juga mempunyai usaha bidang lainnya seperti
perkebunan, kehutanan, perikanan, dan lain sebagainya.
3) Perusahaan korporasi ekstraktif, kelompok perusahaan korporasi
ekstraktif mempunyai aktivitas bisnis berkaitan dengan pemanfaatan
kekayaan alam. Contoh jenis korporasi ini di antaranya adalah perusahaan
tambang.
4) Perusahaan korporasi industri. Korporasi dalam bidang industri
menjalankan operasional bisnis lewat kegiatan produksi. Dari situ, mereka
bisa membuat barang mempunyai nilai guna lebih baik. Produk yang bisa
dihasilkan oleh korporasi industry dapat berupa barang setengah jadi atau
barang jadi.
5) Perusahaan korporasi perdagangan, bentuk korporasi ini memiliki
aktivitas bisnis dalam bidang perdagangan, mereka tidak menjalankan
aktivitas pengolahan atau produksi.
6) Perusahaan korporasi jasa. Terakhir, ada perusahaan korporasi yang
bekerja di sektor jasa. Contohnya adalah perusahaan perhotelan,
perusahaan jasa perbankan, dan lain-lain.

Berdasarkan status kepemilikannya, jenis korporasinya adalah :

1) Koperasi, koperasi bisa pula termasuk sebagai salah satu jenis korporasi.
Kepemilikan modal di dalamnya berasal dari sekelompok orang yang
menyerahkan dana saat melakukan pendaftaran sebagai anggota koperasi.
2) Perusahaan korporasi BUMN, selanjunya ada korporasi BUMN yang
pembentukannya dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, modal yang
digunakan oleh korporasi BUMN sepenuhnya berasal dari pemerintah.
3) Perusahaan korporasi swasta, terakhir, ada jenis korporasi swasta,
pengertian ap aitu korporasi swasta adalah perusahaan yang
pembentukannya dilakuakn oleh pengusaha. Modal yang digunakan untuk
pembentukan perusahaan berasal dari pihak luar.
PENUTUP
Berdasarkan Pemaparan diatas, dapat kita simpulkan bersama bahwa
korporasi sebagai entitas legal yang pembentukannya berada di bawah otoritas
hukum sebuah negara. Pembentukan korporasi bisa dilakukan oleh beberapa
individu atau entitas legal. Namun, Anda perlu memahami bahwa korporasi
merupakan entitas yang terpisah dengan individu yang tergabung di dalamnya.
Korporasi bukan fiksi, ia benar-benar ada dan menduduki posisi penting dalam
masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia dan
membebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat korporasi adalah
sejalan dengan asas hukum bahwa siapapun sama dihadapan hukum. Korporasi
berbuat dan bertindak atas kepentingan dari korporasi melalui struktur
kepengurusan yang tersistematisasi, atas dasar pandangan tersebut dan dengan
didukung beberapa teori seperti Strict Liability dan Vicarious Liability maka
korporasi dapat dikenakan pidana. Korporasi dipidana sebagai pertanggungjawaban
karena tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan bukan mustahil
dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan bukan hanya pegawainya yang
dituntut tetapi juga direksi, komisaris, pemegang saham karena telah melakukan
tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang
dilakukan oleh perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Chidir, 1987, Badan Hukum, Bandung : Alumni.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Sinergi,
2003, Manajemen Korporasi dalam Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
BPPP.
https://e-journal.uajy.ac.id/18449/3/HK117562.pdf diakses pada Kamis 08 Juni
2023 pukul 10.45 WIB
https://flip.id/business/blog/apa-itu-korporasi-definisi-karakteristik-
jenis-dan-contohnya diakses pada kamis 08 Juni 2023 Pukul 15.00
WIB
https://media.neliti.com/media/publications/23549-ID-pertanggungjawaban-
korporasi-dalam-hukum-pidana-di-indonesia.pdf diakses pada Kamis 08 Juni
2023 pukul 09.30 WIB
Moeljono Djokosantoso, 2003, Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi,
Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
Muhammad Mahrus Setia Wijaksana, Pengaturan Korporasi sebagai subjek tindak
pidana (Eksistensi & Prospeknya), Jurnal Rechts Vinding 25 Agustus 2020
Pramadya Yan Puspa, 1977, Kamus Hukum, Semarang : CV. Aneka,
Priyatno, Dwidja, 2017, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : dalam
kebijakan legislasi, Prenada Media : Elektronik
Suhartati, Sahetapy Lebrine Elfina, Christianto Hwian, 2018, Anatomi
Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT. Revka Petra Media.

Anda mungkin juga menyukai