Dosen Pengampu
NIM : 22.6.9.0236
Dosen Pengampu
Oleh
NIM : 22.6.9.0236
NIM : 22.6.9.0236
I. PENDAHULUAN
Patut untuk diketahui bersama, bahwa membicarakan tentang
korporasi pada hakikatnya tidak bisa melepaskan hal tersebut dari bidang
hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya
dengan badan hukum (rechtpersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan
terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata (Harahap,
2017: 40). Dengan merujuk kepada konsep korporasi dalam hukum perdata,
maka patut dikemukakanlah pandangan Subekti dan Tjitrosudibio yang
mendefinisikan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang
merupakan badan hukum (Subekti dan Tjitrosudibio, 1979: 34).
Lebih jelas lagi, bahwa dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal
51 Ned.WvS (Pasal 59 KUHP/WvS) dinyatakan: “suatu strafbaarfeit hanya
dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum (dibaca:
korporasi, pen.) tidak berlaku di bidang hukum pidana” (A.Z. Abidin dkk,
1962: 14). Pemikiran tersebut di atas pada hakikatnya dilatar belakangi
karena di Negeri Belanda pada saat KUHP (WvS) dirumuskan oleh para
penyusunnya pada tahun 1886, adalah menerima asas “societas/ universitas
delinquere non potes” bahwa badan hukum atau perkumpulan tidak dapat
melakukan tindak pidana (Muladi, 2002: 157). Kendatipun demikian, tak
dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan zaman yang memberi
peranan strategis kepada korporasi pada kegiatan seharihari dalam lapisan
masyarakat mendorong untuk dilakukannya terobosan baru. Seperti dalam
KUHP Belanda saat ini saja telah mengalami perubahan besar dari KUHP
Belanda terdahulu, khususnya terkait korporasi. Dasar hukum mengenai
korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana ada dalam KUHP
Belanda, yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1976 khususnya dalam
formulasi Pasal 51 KUHP Belanda yang isinya menyatakan antara lain:
Lebih tegas lagi, adalah tampak dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang
secara tegas menyebutkan “badan hukum” sebagai subjek hukum, khususnya
dalam formulasi Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi: “Jika suatu tindak pidana
ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan,
suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan
pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi
itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu,
maupun terhadap kedua-duanya”.
1
Muhammad Mahrus Setia Wijaksana, Pengaturan Korporasi sebagai subjek tindak pidana
(Eksistensi & Prospeknya), Jurnal Rechts Vinding 25 Agustus 2020
Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan
perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana
yang terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka
subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi
mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak
pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana.
Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana,
berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum
dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Berdasarkan uraian diatas,
pada makalah ini akan membahas tentang pemberantasan tindak pidana
korporasi.
III. PEMBAHASAN
A. Kejahatan Korporasi
Perkembangan ekonomi yang sangat pesat juga membawa dampak
negatif bagi terciptanya modus kejahatan korporasi di Indonesia. Kasus PT.
Freeport -McMoran Indonesia yang meruapakan investor pertama di
Indonesia sejak diundangkannya UU No.11 Tahun 1967 menjadi contoh
betapa keberadaan korporasi tidak hanya menjadi sumber pendapatan
Negara, akan tetapi sumber permasalahan baru yaitu kejahatan korporasi.
Korporasi yang bergerak di bidang pertambangan emas di papua tersebut
akhir-akhir ini masih enggan melakukan renegosiasi dengan pemerintah
terkait kontrak Kerjasama pertambangan sebagaimana diamanatkan UU No.
4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara, melakukan perusakan
lingkungan dnegan membuat lubang tambang di Grasberg diameter 2,4
kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m 2
sehingga merusak bentang alam Grasberd dan Ersberg. Tindakan korporasi
tersebut sangat merugikan kepentingan publik baik masyarakat Papua
maupun kedaulatan Negara Republik Indonesia atas kekayaan alam yang
dimilikinya.
Sebuah adagium hukum menyatakan “ubi societas ubi ius” dimana
ada masyarakat pasti terdapat hukum memberikan sebuah pemahaman dasar
bahwa hukum selalu ada seiring dengan interaksi manusia sebagai individu
dengan individu yang lain dengan berbagai macam motivasi. Interaksi antar
individu mulai berkembang seiring dengan semakin meningkatnya
kebutuhan hidup yang ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan dan
ketersediaan sumber daya yang ada. Alhasil, masing-masing individu mulai
tergerak untuk saling bekerjasama antar individu lain yang dianggap
memiliki kemampuan lebih demi memenuhi kebutuhan yang ada.
Pemenuhan kebutuhan manusia secara individu memang tidak dapat
dilakukan seorang diri tanpa melibatkan manusia yang lain mengingat
manusia sebagai homo homini socius. Namun jangan lupa bahwa manusia
sendiri menginginkan perolehan keuntungan yang lebih dari setiap interaksi
yang dilakukannya. Perhitungan keuntungan dan kerugian apa yang akan
diderita mentahbiskan manusia sebagai makhluk homo homini economicus
yang selalu berupaya untuk mendapatkan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kondisi semakin menjadi sulit ketika sumber daya alam yang tersedia
begitu terbatas dengan kemampuan manusia serba terbatas pada gilirannya
melahirkan sebuah kondisi persaingan antar individu satu dengan yang lain.
Persaingan yang lahir sebenarnya menimbulkan semangat positif bagi
manusia bagi terciptanya iklim usaha yang kompetitif dan produktivitas
yang tinggi berimbas pada produk yang beragam dengan kualitas yang
tinggi.
Suasana persaingan yang tercipta rupanya tidak hanya melahirkan
dampak posiitf tetapi dampak negatif berupa sikap tamak dan serakah dari
individu yang menginginkan penguasaan secara total serta bersikap
sekehendak hati dalam berinteraksi dengan manusia yang lain. Korporasi
sendiri lahir dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan yang sangat
terbatas sehhingga diupayakan sebuah Kerjasama antar anggota di dalam
korporasi tersebut. Korporasi merupakan suatu persona ficta atau legal
fiction atau fiksi hukum. Yang berarti keberadaannya bergantung dari
hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa korporasi merupakan ciptaan
hukum yang secara fisik atau badan dan ke dalam hukum memasukkan
unsur animus kehidupannya bergantung pada hukum. Korporasi sebagai
pelaku hukum diakui kehadirannya oleh karena hukum. Jika dibandingkan
dengan manusia, keberadaan manusia ada sejak tanda kehidupan ada dalam
dirinya secara alami diberikan oleh Tuhan.. keberadaan manusia tidak
ditentukan dari hukum yang mengatakan dia ada akan tetapi manusia ada
karena kehendak Tuhan. Itulah sebabnya manusia dalam hukum diakui
pemegang hak dan kewajiban dengan istilah unik “Naturlijk person”.
Istilah korporasi memiliki kaitan erat dengan pemahaman badan hukum
sebagaimana dikenal dalam bidang hukum perdata. 2
2
Suhartati, Elfina Lebrine Sahetapy, Hwian Christian, Anatomi Kejahatan Korporasi, PT.
Revka Petra Media: Surabaya, 2018, 2-3
badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri
terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.3
3
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 1987), h. 64
4
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : CV. Aneka, 1977), h. 256
dihadapan American Sociological untuk menunjuk pada kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan status sosial yang
tinggi dalam kaitannya dengan okupasinya.
5
https://e-journal.uajy.ac.id/18449/3/HK117562.pdf diakses pada Kamis 08 Juni 2023 pukul 10.45
WIB
Akan tetapi ada perundang-undangan yang lain justru tidak jelas arah
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Melihat hal demikian
mennunjukkan adanya keraguan dari pembuat Undang-Undang untuk
menempatkan korporasi atau badan hukum sebagai subyek atau pelaku yang
dapat dibebani tanggung jawab pidana. Adanya pengaturan yang tidak
konsisten tersebut tentunya akan mempersulit penegak hukum untuk
mempertanggungjawabkan korporasi terhadap kejahatan yang dilakukan.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas masih ada faktor-faktor lain
yang menghambat penegak hukum atau pengendalian terhadao tindak pidana
korporasi, yaitu pertama, (korporasi sebagai pelaku tindak pidana atau
kejahatan yang potensial) pada umunya mempunyai lobby yang efektif dalam
usaha perumusan delik maupun cara-cara menanggulangi tindak pidana
korporasi. Kedua, menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi
maupun menentukan kesalahan korporasi tidaklah mudah.
Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang
bertanggungjawab. Sistem ini membatasi sifat tindak pidana yang dilakukan
korporasi adalah hanya perorangan saja (natuurlijk persoon). Bila tindak
pidana dilakukam dilingkungan korporasi, maka yang melakukan tindak
pidana adalah pengurusnya. Tanggungjawab bila terjadi tindak pidana adalah
mengurus yang melakukan tindak pidana. Sistem ini dianut oleh KUHP. Hal
ini dinyatakan dalam Pasal 59 yang berbunyi: “dalam hal-hal dimana karena
pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan
pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak
dipidana”.
Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab. Dalam sistem
ini dimungkinkan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya.
Dalam sistem ini telah terjadi perubahan yang pada mulanya korporasi tidak
dapat melakukan tindak pidana atau universitas delinquere non potest
berubah dengan menerima konsep pelaku fungsional, artinya korporasi dapat
dimintai pertanggungjawban dalam melakukan tindak pidana. Masalah
pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pokok pertanggungjawaban dalam hukum pidana
atau kesalahan. Dalam undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa: tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya. Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada
dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana.
Menurut Suprapto Korporasi bisa dipersalahkan bila kesengajaan atau
kelalaian atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alat
korporasi. Kesalahan itu bukan individu tetapi kolektif.
Struct liability merupakan pertanggungjawaban pidana tanpa keharusan
untuk membuktikan adanya kesalahan. Prinsip tanggungjawab yang
memandang kesalahan sebagai suatu hal yang tidak relevan untuk
dipermasalahkan apakah ada atau tidak ada. Menurut Doktrin ini seseorang
sudah apat dipertanggungjawabkan untu tindak pidana tertentu walaupun
pada diri orang tersebut tidak ada kesalahan. Menurut LB Curson, doktrin ini
didasarkan pada alasan-alasan tertentu, yaitu:
1. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhi peraturan-peraturan
penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
sosial
3. Tingginya tingkat sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
bersangkutan.
Tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur
dalam undang-undang (statutory offences, regulatory offences, mala
prohibita) yang pada umumnya merupakan delikdelik terhadap kesejahteraan
umum. Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan dan
minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang
yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.
Vicarious Liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban
seperti ini misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh orang lain itu ada dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatanya. Pada
umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara
majikan dengan buruhnya. Pembantu atau bawahannya.
Dapat dipertanggungjawabkan korporasi atas dasar kedua doktrin
tersebut dalam perkembangannya memang sangat diperlukan. Sebab dengan
perkembangan teknologi, tidak mudah mendapatkan bukti yang memadai
tentang kesalahan dari pemilik korporasi. Kedua doktrin tersebut perlu
dipertimbangkan sejauhmana dapat diambil oper. Hal ini sehubungan dengan
beberapa tindak pidana saat ini yang erat hubunganya dengan perkemabangan
dan kemajuan dibidang teknologi, ekonomi dan perdagangan yang banyak
melibatkan badan hukum atau korporasi.6
6
https://media.neliti.com/media/publications/23549-ID-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-
hukum-pidana-di-indonesia.pdf diakses pada Kamis 08 Juni 2023 pukul 09.30 WIB
2) Perusahaan korporasi agraris, jenis perusahaan korporasi ini menjalankan
kegiatan bisnisnya dalam bidang pertanian, namun tak menutup
kemungkinan perusahaan juga mempunyai usaha bidang lainnya seperti
perkebunan, kehutanan, perikanan, dan lain sebagainya.
3) Perusahaan korporasi ekstraktif, kelompok perusahaan korporasi
ekstraktif mempunyai aktivitas bisnis berkaitan dengan pemanfaatan
kekayaan alam. Contoh jenis korporasi ini di antaranya adalah perusahaan
tambang.
4) Perusahaan korporasi industri. Korporasi dalam bidang industri
menjalankan operasional bisnis lewat kegiatan produksi. Dari situ, mereka
bisa membuat barang mempunyai nilai guna lebih baik. Produk yang bisa
dihasilkan oleh korporasi industry dapat berupa barang setengah jadi atau
barang jadi.
5) Perusahaan korporasi perdagangan, bentuk korporasi ini memiliki
aktivitas bisnis dalam bidang perdagangan, mereka tidak menjalankan
aktivitas pengolahan atau produksi.
6) Perusahaan korporasi jasa. Terakhir, ada perusahaan korporasi yang
bekerja di sektor jasa. Contohnya adalah perusahaan perhotelan,
perusahaan jasa perbankan, dan lain-lain.
1) Koperasi, koperasi bisa pula termasuk sebagai salah satu jenis korporasi.
Kepemilikan modal di dalamnya berasal dari sekelompok orang yang
menyerahkan dana saat melakukan pendaftaran sebagai anggota koperasi.
2) Perusahaan korporasi BUMN, selanjunya ada korporasi BUMN yang
pembentukannya dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, modal yang
digunakan oleh korporasi BUMN sepenuhnya berasal dari pemerintah.
3) Perusahaan korporasi swasta, terakhir, ada jenis korporasi swasta,
pengertian ap aitu korporasi swasta adalah perusahaan yang
pembentukannya dilakuakn oleh pengusaha. Modal yang digunakan untuk
pembentukan perusahaan berasal dari pihak luar.
PENUTUP
Berdasarkan Pemaparan diatas, dapat kita simpulkan bersama bahwa
korporasi sebagai entitas legal yang pembentukannya berada di bawah otoritas
hukum sebuah negara. Pembentukan korporasi bisa dilakukan oleh beberapa
individu atau entitas legal. Namun, Anda perlu memahami bahwa korporasi
merupakan entitas yang terpisah dengan individu yang tergabung di dalamnya.
Korporasi bukan fiksi, ia benar-benar ada dan menduduki posisi penting dalam
masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia dan
membebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat korporasi adalah
sejalan dengan asas hukum bahwa siapapun sama dihadapan hukum. Korporasi
berbuat dan bertindak atas kepentingan dari korporasi melalui struktur
kepengurusan yang tersistematisasi, atas dasar pandangan tersebut dan dengan
didukung beberapa teori seperti Strict Liability dan Vicarious Liability maka
korporasi dapat dikenakan pidana. Korporasi dipidana sebagai pertanggungjawaban
karena tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan bukan mustahil
dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan bukan hanya pegawainya yang
dituntut tetapi juga direksi, komisaris, pemegang saham karena telah melakukan
tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang
dilakukan oleh perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Chidir, 1987, Badan Hukum, Bandung : Alumni.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Sinergi,
2003, Manajemen Korporasi dalam Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
BPPP.
https://e-journal.uajy.ac.id/18449/3/HK117562.pdf diakses pada Kamis 08 Juni
2023 pukul 10.45 WIB
https://flip.id/business/blog/apa-itu-korporasi-definisi-karakteristik-
jenis-dan-contohnya diakses pada kamis 08 Juni 2023 Pukul 15.00
WIB
https://media.neliti.com/media/publications/23549-ID-pertanggungjawaban-
korporasi-dalam-hukum-pidana-di-indonesia.pdf diakses pada Kamis 08 Juni
2023 pukul 09.30 WIB
Moeljono Djokosantoso, 2003, Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi,
Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
Muhammad Mahrus Setia Wijaksana, Pengaturan Korporasi sebagai subjek tindak
pidana (Eksistensi & Prospeknya), Jurnal Rechts Vinding 25 Agustus 2020
Pramadya Yan Puspa, 1977, Kamus Hukum, Semarang : CV. Aneka,
Priyatno, Dwidja, 2017, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : dalam
kebijakan legislasi, Prenada Media : Elektronik
Suhartati, Sahetapy Lebrine Elfina, Christianto Hwian, 2018, Anatomi
Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT. Revka Petra Media.