Anda di halaman 1dari 52

“KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

KORUPSI
(Studi Putusan 282K/PID.SUS/2014)”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :


Tindak Pidana DI Luar KUHP
Dosen :

OMAY CHUSMAYADI SH.,MH.

DISUSUN OLEH :

ERICK FREDICK
2016330050118

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih
sayang yang tiada akhir kepada manusia. Dan atas izin-Nya, akhirnya

Tugas Hukum Pidana dengan Judul ; “KORPORASI SEBAGAI PELAKU


TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan 282K/PID.SUS/2014)” ini
sebagai tugas individu bisa selesai dikerjakan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua yang telah membantu
dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Harapan penulis agar makalah
ini bisa bermanfaat bagi semua orang yang membacanya, terutama
penulis pribadi. Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih
sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca.

Atas segala kekurangan dan kesalahan penulis dalam


menyelesaikan makalah ini, mohon maaf dan atas segala kelebihan dan
kebenaran penyusun di dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata
penyusun mengucapkan terima kasih atas apresiasi yang diberikan
terhadap makalah ini.

Jakarta, Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar : ............................................................................................... i


Daftar Isi : ........................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 7
BAB II KORPORASI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A Pengertian Korporasi...................................................................... 8
B Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana...................................... 11
C Tanggung jawab Korporasi............................................................. 15
D Jenis-Jenis Sanksi Pidana Yang Dapat Dijatuhkan Kepada
Korporasi........................................................................................ 21
BABIII PEMBAHASAN
A Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak
Pidana Korupsi................................................................................ 26
1. Pertanggung jawaban Pidana Korporasi................................... 26
2. Penerapan Azaz Logische Specialiteit dan Azaz Lex Specialis
Systematis Derogat Lex Generalis............................................ 36
B Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Korupsi................................................................... 38
BAB IV PENUTUP
A Kesimpulan .................................................................................... 46
B Saran .............................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya penegakan hukum merupakan suatu proses

dilakukannya upaya-upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma

hukum sebagai pedoman prilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Untuk itu peraturan perundang-

undangan tertulis sebagai Law in the books membutuhkan peranaparat

penegak hukum untuk menjadikannya sebagai Law in actions.1

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI

Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disingkat UUPTPK), bukanlah satu-

satunya regulasi yang mengatur tentang pemberantasan korupsi. Sejarah

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia,sesungguhnya dimulaisemenjak Wetboek van Strafrecht voor

Nederlansdsc Indie diberlakukan bagi semua golongan penduduk di Indonesia

pada tanggal 1Januari1918.

Dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, regulasi yang mengatur

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor:PRT/PM/06/1957 tentang


pemberantasan Korupsi;

1
D Andhi Nirwanto, Otonomi Daerah versus Desentralisasi Korupsi, Aneka Ilmu,
Semarang, 2013, hlm. 12.

1
2

2. Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM/08/1957tentang penilikan


harta benda;
3. Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM/11/1957tentang penyitaan
dan perampasan harta benda yang asal danmulanya diperoleh dengan
perbuatan yang melawan hukum;
4. Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958
tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;
5. Undang-Undang Nomor: 24/Prp/1960 tentang pengusutan, penuntutan
dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Pemberlakuan ketentuan peraturan UUPTPK didasarkan pada

pertimbangan bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional,

sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan UUD’45. Akibat tindak pidana korupsi

yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan

nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah besar yang

dihadapi bangsa Indonesia saat ini, hal tersebut dikarenakan tindak pidana

korupsi sebagai Extra ordinary crime yang menimbulkan kerugian

Negara,menghambat pertumbuhan Negara dan menyengsarakan rakyat.

Sehingga, sejak reformasi digulirkan di Indonesia hal ini mendapat sorotan

dari berbagai pihak atau dapat dikatakan bahwa masalah korupsi mendapat

prioritas utama untuk diberantas.

Seiringdengan perkembangan zaman, tindak pidana korupsi juga

semakin berkembang diberbagai sektor. Dimana tindak pidana korupsi tidak

hanya dilakukan oleh orang perseorangan saja melainkan juga badan hukum
3

atau korporasi, Indonesia telah memasuki dimensi baru dalam kejahatan

korporasi yaitu kolusi antara pemegang kekuasaan politik (politic power)

dengan pemegang kekuasaan ekonomi (economic power). Kolusi yang

dimaksud disini adalah permufakatan jahat antara pengusaha dengan birokrat

untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum.2

Kolusi tersebut dilakukan melalui lobi politilk, kontrak pemerintah,

suap dan usaha pengusaha untuk mempengaruhi keputusan yang dikeluarkan

oleh pemerintah. Tentu saja penyalahgunaan kekuasaan tersebut tidak hanya

merugikan Negara secara ekonomi tetapi juga membawa kerugian non-

ekonomi yang besar berupa hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

pengusaha dan birokrat. Salah satu dari bentuk kolusi tersebut adalah adalah

suap yang dilakukan oleh pengusaha kepada birokrat untuk menggolkan

kehendak para pengusaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang

lebih banyak bagi korporasi yang dimilikinya. Suap di Indonesia

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam

UUPTPK.3

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi merupakan

fenomena yang berkembang pesat saat ini, tindak pidana tersebut dilakukan

dengan berbagai modus untuk melanggar ketentuan hukum yang berlaku

dengan tujuan menguntungkan korporasi. korporasi diatur sebagai subyek

hukum dalam tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 3

2
Mardjono Reksodiputro, Kolusi di dalam dunia bisnis : praktek, bentuk dan usaha
penanggulanganya (beberapa catatan sementara), dalam kemajuan pembangunan ekonomi
dan kejahatan kumpulan karangan buku ke satu , Jakarta, 2007, hlm. 15.
3
Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 2.
4

UUPTPK, hal tersebut telah memberikan kesempatan kepada para penegak

hukum untuk membebankan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

dalam perkara tindak pidana korupsi. Meskipun banyak menimbulkan

perdebatan mengenai penempatan korporasi sebagai subyek tindak pidana,

UUPTPK telah menempatkan korporasi sebagai subyek hukum bersama

dengan manusia. Hal ini dilakukan sebagai reaksi dari adanya kolusi antara

politic power dengan economic power yang faktanya semakin merugikan

perekonomian Negara.4

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tampaknya baru

pada tahap pembebanan pertanggung jawaban pidana kepada pengurus

korporasi, penerapan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dituntut

dan dijatuhi pidana masih jarang diterapkan oleh penegak hukum.

Pemidanaan yang dikenakan kepada korporasi hanya berupa pidana denda

yang kurang mempunyai efek penjera dari pada pidana mati atau penjara dan

kesulitan pembuktian “kesalahan” korporasi sebagai bagian unsur melawan

hukum dari pada membuktikan kesalahan orang perorang yang berakibat

terdakwa dibebaskan.5

Beberapa kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi,

diantaranya adalah:

1. Kasus suap Wisma Atlet Sea Games 2011 Palembang yang melibatkan
Pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan pihak swasta PT. Duta Graha Indah;
2. Kasus Hambalang melibatkan PT. Adhi Karya dan PT. Duta Sari
Citralaras;

4
Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, hlm.38.
5
Eddyrifai, “Persepekti Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Korupsi”, Abstrack. Jurnal. Mimbar hukum. Diaksestanggal, 12/10/2018.
5

3. Kasus korupsi pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-


pulau Kecildan Raperda Tata Ruang Strategis Jakarta Utara. Kasus ini
melibatkan angota DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi dan pihak swasta PT.
Agung Podomoro Land (PT. APL) selaku Pengembang utama dalam
penggarapan proyek reklamasi pantai Jakarta utara, dimana kedua raperda
tersebut akan menjadi payung hukum proyek reklamasipantai jakarta
utara. Kasus ini terkuak setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan
terhadap ketua komisi D DPRD DKI M. Sanusi yang ditangkap saat
transaksi suap yang diberikan oleh pihak swasta yaitu PT. APL, dalam
kasus ini dapat dilihat bahwa korporasi masih kerap mempengaruhi
pembuat aturan baik di eksekutif maupun legislatif.

Dari beberapa kasus tersebut pertanggungjawaban pidana baru

dibebankan pada pengurus korporasi saja. Namun ada beberapa kasus dimana

korporasi dituntut dan dijatuhi pidana, contohnya pada Kasus korupsi jaringan

pita frekuensi 3G yang melibatkan PT. Indosat dan anak perusahanya, PT.

Indosat Mega Media (PT. IM2), serta Indar Atmanto, mantar direktur utama

PT IM2 sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Selanjunya mahkamah

agung mengeluarkan Putusan Kasasi Nomor 282 K/PID.SUS/2014 tertanggal

28 juli 2014 yang memutuskan Indar dijatuhi hukuman pidana 8 (delapan)

tahun penjara, disertai denda sebersar Rp. 300 (tiga ratus) juta dan kewajiban

uang pengganti sebesar Rp. 1,358 (seribu tiga ratus lima puluh delapan)

Triliunyang dibebankan kepada PT. IM2.

Kasus ini bermula dari laporan salah satu Lembaga Swadaya

Masyarakat (selanjutnya disingkat LSM) yang mengatas-namakan konsumen

telekomunikasi kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melalui seorang Kasi

Intelejen Karawang, Kasusnya diberi judul “Dugaan Tipikor Penyalahgunan

Alokasi Frekuensi pita 2.1 GHz” ditingkat Penyelidikan Kejati Jabar,

berjalannya waktu Kejaksaan Agung RI mengambil alih kasus dari Kejaksaan


6

Tinggi Jawa Barat yang sudah melalui proses penyelidikan kebenaran laporan

LSM. Dalam proses penyelidikan itu regulator dan jajaran Kementerian

Kominfo sudah dimintai keterangan dan di BAP. Pihak regulator telah

menyatakan bahwa kerjasama IM2-Indosat telah sesuai dengan regulasi

Telekomunikasi Indonesia dan global. Bukan penutupan kasus yang terjadi,

ternyata malah naik ke tingkat penyidikan dan oleh Kejaksaan Agung RI.6

Sesuai yang tertera dalam situs resmi Kejagung dan surat panggilan

tim penyidik Kejagung RI Nomor B-2647/F.2/Fd.1/12/2012, adalah “Dugaan

tindak pidana korupsi pengggunaan jaringan 3G pita frekuensi radio 2.1 GHz

oleh PT IM2 yang bekerjasama dengan PT Indosat, Tbk”, bagi pegiat ilmu

hukum tentu pasti bertanyak “apakah menggunakan jaringan 3G milik Indosat

itu adalah tindak pidana” sebagaimana dimaklumi bersama bahwa undang-

undang Telekomunikasi, Pasal 9 ayat (2) telah mengatur bahwa

“Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menyelenggarakan jasa

telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi

milik penyelenggara jaringan telekominikasi” sehingga Penggunaan Jaringan

3G oleh PT. Indosat Mega Media (selanjutnya disingkat IM2) yang bekerja

sama dengan PT. Indosat, Tbk adalah memang demikian skema bisnisnya

sehingga sama sekali bukan tindak pidana Telekomunikasi apalagi Tindak

Pidana Korupsi.7

Terkait dengan itu, tindak pidana Korupsi dan tindak pidana

6
Nonot Harsono, “Korporasi Dalam Konteks Administrative Penal Law terkait
dengan Penerapan Delik Korupsi (Berkaitan dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega
Media (IM2)”, Makalah Seminar AAI di Jakarta, 7-2-2013, hlm. 1.
7
Ibid.,
7

telekomunikasi diatur dalam dua undang-undang yang berbeda. Kejaksaan

hanya memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana korupsi,

sedangkan kewenangan untuk menyidik/memeriksa kebenaran laporan

masyarakat tentang telekomunikasi diberikan secara khusus kepada PPNS dari

kementerian Kominfo.

Berdasarkan uraian tersebut diatasdan persoalan diatas, maka penulis

tertarik untuk mengangkatnya dalamsebuah penelitian guna mengetahui

bagaimana penyelesain permasalahan tersebut dan akan diteliti dalam

penyusunan makalah dengan judul: “KORPORASI SEBAGAI PELAKU

TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan 282K/PID.SUS/2014)”.

B Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas,

maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan, yakni:

1. Bagaimana Pertanggung jawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak

pidana korupsi ?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap korporasi sebagai pelaku

tindak pidana korupsi?


BAB II

KORPORASI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A Pengertian Korporasi

Batasan pengertian atau defenisi korporasi tidak bisa dilepaskan

dengan bidang hukum perdata. Istilah ini digunakan oleh para ahli hukum dan

kriminologi untuk menyebutkan apa yang dalam bidang hukum perdata

disebut dengan Badan Hukum atau dalam Bahasa Belanda disebut Rechts

Persoon atau dalam Bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal

body. Secara etimologis kata korporasi (corporatie,Belanda), corporation

(Inggris), korporation (Jerman) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa

Latin, seperti halnya dengan kata lain yang berakhir dengan “tio” maka

“corporatio” sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja

“corporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau

sesudah itu . “Corporare”sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia =

badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian

maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan

lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan

perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang

terjadimenurut alam.8

Badan hukum atau korporasi bisa diketahui dari jawaban atas

pertanyaan “apakah subjek hukum itu ?”. Pengertian subjek hukum pada
8
SoetanK Malikoel Adil, Dalam Muladi, Dwidja Priyatno, Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi DiIndonesia dalam kebijakan legislasi, Kencana,
Depok, 2017, hlm. 12.

8
9

pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan

kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan

kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.

Berbicara mengenai konsep “badan hukum” sebenarnya konsep ini bermula

timbul sekedar dalam konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk

menjalankan kegiatan yang diharapkan lebih berhasil.9

Apa yang dinamakan dengan “Badan Hukum” itu sebenarnya tiada lain

sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu

badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum

yang berwujud manusia alamiah (natuurlijke persoon). Diciptakan pengakuan

adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan, namun

badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala

harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Dan harta ini harus dipandang

sebagai hartakekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia

yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul kerugian, maka

kerugian inipun hanya dapat dipertanggungjawabkan semata-mata dengan

harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkutan.10

Dari uraian di atas ternyata bahwa korporasi adalah badan yang

diciptakan oleh hukum yang terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan

ke dalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu

mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan

9
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni 1991, hlm 18.
10
Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Banyumedia Publishing, Malang, 2003, hlm 3.
10

hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh

hukum.11

Dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana tentang korporasi

berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi,

yaitu:

1) Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan

dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah

berbadan hukum.Alasannya adalah bahwa dengan berbadan hukum, telah

jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam

korporasi tersebut.

2) Yang bersifat luas, dimana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus

berbadan hukum, setiapkumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu

usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana.

Pendapat kedua tersebut di atas dianut oleh UUPTPK, sebagaimana tertuang

dalam Pasal 1 butir 1 yang bunyinya: “korporasi adalah kumpulan orang dan

atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun

bukan badan hukum”.12

11
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 69.
12
Loebby Loqman, Kapita Selekta, hlm. 32.
11

B Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum

pidana,menurut KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut sistem

hukum Eropa Kontinental (civil law) agak tertinggal jika dibandingkan dengan

negara-negara ”common law” seperti Inggris, Amerika Serikat dan

Canada.Negara-negara “Common Law” tersebut perkembangan

pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri.

Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah

dijatuhi pidana denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban

hukum.13

Perkembangan Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum

pidana Indonesia terjadi melalui 3 (tiga) tahap yaitu:

a. Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah

manusia alamiah (natuurlijke persoon).

Pandangan ini dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku di

Indonesia. Pandangan ini dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non

potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila

dalam suatu perkumpulan terjadi tindak pidana maka tindak pidana

tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Pandangan

ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S.

Nederland) yang menyatakan, Dalam hal-hal di mana karena ditentukan

pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau

komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau


13
Muladi, Lembaga Pidanan Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002, hlm 34.
12

komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak

dipidana.

Ketentuan di atas maka terlihat bahwa para penyusun KUHP

dahulu dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” atau

“universitas delinquere non potest”. Asas ini merupakan contoh yang khas

dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut

hukum pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia.

b. Tahapan ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi

yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah parapengurusnya

yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan

secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

hal tersebut. Contoh peraturan perundang-undangan yang berada pada

tahap ini antara lain:14

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951;


b. Undang-UndangNo. 2 tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
c. Undang-UndangNo.3tahun1951(Undang-
UndangPengawasanPerburuhan);
d. Undang-UndangNo. 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api);
e. Undang-UndangNo. 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan
Apotek);
f. Undang-UndangNo. 22 Tahun 1958 (Undang-Undang Penyelesaian
Perburuhan);
g. Undang-UndangNo. 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan
Tenaga Asing);
h. Undang-UndangNo. 83 Tahun 1958 (Undang-Undang Penerbangan);
i. Undang-UndangNo.5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi,
berubah menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1989).

c. Tahapan ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.


14
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm.
223.
13

Alasan menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

ini antara lain karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal,

keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang

dideritamasyarakat,dapat demikian besarnya, sehingga tak akan mungkin

seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi

saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus

tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulang delik

tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang

sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi

untuk mentaati peraturan yang bersangkutan.15

Peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini antara

lain:16

a. Undang-Undang No. 7/Drt/1955 (Undang-Undang Tindak


Pidana Ekonomi);
b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 (Perindustrian);
c. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 (Pos);
d. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 (Psikotropika);
e. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana korupsi ).

Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia

ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda.Namun sekarang di

Negeri Belanda telah memasuki tahap keempat, yaitu pengaturan tentang

pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP (WVS) Belanda,

sebab dengan lahirnya UU Tanggal 23 Juni 1976 Stb 377, yang disahkan

15
Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia
dalam kebijakan legislasi, Kencana, Depok, 2017, hlm. 27.
16
Barda Nawawi Arief, Op., Cit, hlm. 224.
14

tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 W.v.S

Belanda yang berbunyi:17

1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan


hukum;
2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat
dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan
pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang
terhadap: badan hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan
tindakan yang dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak
sebagai “pemimpin” melakukan tindakan yang dilarang itu; terhadap
“badan hukum” dan “yang memerintahkan melakukan perbuatan”
diatas bersama-sama.
3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.

Lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan perundang-

undangan pidana khusus yang tersebar diluar KUHP Belanda yang mengatur

tentang pertanggung jawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak

perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggung jawaban korporasi dalam

Pasal 51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal

91 KUHP Belanda (Pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk

semua peraturan diluar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi. Di Indonesia

dalam konsep KUHP Tahun 2004 juga sudah diatur tentang pertanggung

jawaban pidana korporasi dalam ketentuan umum Buku I. Adapun pasal-pasal

tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pasal 44: “Korporasi sebagai subjek tindak pidana ”.


2) Pasal 45: ”Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh
orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan
hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha
korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”.
3) Pasal 46: “Jikatindak pidana dilakukan oleh korporasi,
pertanggungjawaban pidananya dapat dikenakan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya”.
17
Muladi, Demokratisasi, Op., Cit, hlm 158.
15

4) Pasal 47:“Korporasi dapat dipertanggung jawabkan secara pidana terhadap


suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika
perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi
korporasi yang bersangkutan”.
5) Pasal 48:“Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi
sepanjang, pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi”.
6) Pasal 49 :
a) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap korporasi.
b) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan
dalam putusan Hakim.
7) Pasal 50: “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh
pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat
diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan
dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi”.

C Tanggung Jawab Korporasi

Pada negara-negara Eropa Kontinental, seperti di Belanda18 pengaturan

pertanggungjawaban korporasi terdapat dalam Ketentuan Umum KUHP,

sehingga tidak perlu diatur secara tersebar diluar KUHP (WvS Belanda),

sebab dengan lahirnya Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb. 377, yang

disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 WvS

Belanda yang merumuskan:

1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan
tuntutan pidana dan jika dianggapperlu dapat dijatuhkan pidana dan
tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: badan
hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan tindakan yang
dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin”
melakukan tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang
memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama.
3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseroan
tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
18
Ibid.,
16

Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan peraturan

perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KUHP Belanda yang

mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena

dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban

korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum

berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda (Pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan

ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak

disimpangi.

Di Jerman berkembang suatu teori, untuk memidana badan hukum

tanpa mensyaratkan kesalahan, yang berasal dari Schunemann. Menurutnya,

badan hukum tidak mungkin dinyatakan bersalah. Namun pemidanaan

terhadap badan hukum dapat dilakukan. Menurut pandangannya Schuld

grundsatz dapat digantikan oleh prinsip legitimasi lainnya yaitu apa yang

dinamakan Rechtsguternot stand. Rechtsguternot stand mempunyai pengertian

“yaitu bilamana ada kemungkinan objek-objek hukum penting tertentu

terancam dan perlindungannya hanya dapat diberikan dengan cara

menjatuhkan pidana pada badan hukum”.

Jika penjatuhan pidana hendak didasarkan pada suatu Rechtsguternot

stand, maka menurut Schunemann, masih harus dipenuhi beberapa syarat

tertentu. Syarat-syarat yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Pidana harus punya daya kerja preventif;


2. Kepentingan daya kerja preventif haruslebih besar dibanding
kepentingan integritas finansial dari perusahaan; dan
3. Tidak mungkin untuk menghukum subyek hukum manusia karena
dalam kenyataan tindak pidana dilakukan dalam suatu ikatan
17

perusahaan.

Pada negara-negara Anglo Saxon menggunakan doktrin pertanggungjawaban

pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori identifikasi (identification

theory) perbuatan/kesalahan “pejabat” senior (senior officer) diidentifikasikan

sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. Disebut juga teori/doktrin “alter ego”

atau teori organ dalam arti sempit (Inggris) hanya perbuatan pejabat senior

(otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.

Dalam arti luas (Amerika Serikat) tidak hanya pejabat senior/direktur,

tetapi juga agen dibawahnya. Ada beberapa pendapat untuk

mengidentifikasikan “senior officer”. Pada umumnya pejabat senior adalah

orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama

pada umumnya pada pengendali perusahaan adalah direktur dan Manager.

Doktrin pertanggungjawaban korporasi dalam suatu tindak pidana yang

mendasarkan pada teori identifikasi:19

1. Hakim Ried dalam perkara Tesco Supermarkets (1972) menyatakan bahwa


untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri dari “Dewan
Direktur, Direktur Pelaksana, dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang
melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk
perusahaan”. Konsep pejabat senior tidak mencakup semua pegawai
perusahaan yang bekerja atau melaksanakan petunjuk pejabat tinggi
perusahaan.
2. Lord Morris mengemukakan bahwa pejabat senior adalah orang yang
tanggungjawabnya/melambangkan pelaksana dari “the directing mind and
will of the company”.
3. Viscount Dilhorne menyatakan bahwa pejabat senior adalah seorang yang
dalam kenyataannya mengendalikan jalannya perusahaan (atau ia
merupakan bagian dari para pengendali) dan ia tidak bertanggungjawab
pada orang lain dalam perusahaan itu.
4. Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam perkara Universal Telecasters)
dimana manajer penjualan dapat diidentifikasikan sebagai perusahaan,
DwidjaPriyatno,SistemPertanggungjawabanPidanaKorporasi DiIndonesia dalam
19

kebijakan legislasi, Kencana, Depok, 2017.


18

yaitu sebagai Senior Officer.Walaupun orang itu (Manajer Penjualan) tidak


memiliki kekuasaan manajemen yang umum, tetapi ia memiliki
kebijaksanaan manajerial (managerial discretion) yang relevan dengan
bidang operasi perusahaan yang menyebabkan timbulnya delik. Dengan
kata lain, dalam pandangannya pejabat perusahaan dapat menjadi senior
officerdalam bidang yang relevan walaupun tidak untuk semua tujuan.
5. Supreme Court Queensland memutuskan bahwa manajer perusahaan
menjual motor (motor dealer) dapat dipandang sebagai senior cation dan
doktrin vicarious liability, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak
memenuhi kewajiban/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-
undang. Pelanggaran/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal
dengan istilah companies offences, situational offence, atau strict liability
offences. Misal undang-undang menetapkan sebagai suatu delik bagi:
Korporasi yang menjalankan usahanya tanpa izin, korporasi pemegang
izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam
izin itu, korporasi yang mengoperasikan kendaraan yangtidak
diasuransikan di jalan umum. Pada negara-negara Anglo-Saxon juga
menggunakan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi:20

a. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (vicarious liability):

1) Bertolak dari doktrin “respond-ent superior”; (catatan: arti dari


“adagium/maxim” ini ialah: “a master is liable in certain cases for
the wrongful acts of his servant, and a principal for those of his
agents”).
2) Didasarkan pada “employment principle”, bahwa majikan
(“employer”) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para
buruh/karyawan; jadi “the servant’s act is the master’s act in law”.
3) Juga bisa didasarkan “the delegation principle”. Jadi “a guilty
mind” dari buruh/karyawan dapat dihubungkan ke majikan apabila
ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (harus
ada “a relevan delegation of powers and du-ties”) menurut
undang-undang.

b. Doktrin pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang

(“strict liability”). Pertanggungjawaban korporasi dapat juga semata-

mata berdasarkan undang-undang, terlepas dari doktrin “identification”

dan doktrin “vicarious liability”, yaitu dalam hal korporasi melanggar

atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang

ditentukan oleh undang-undang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi


20
Ibid.,
19

tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “companies offence”,

“situational offence”, atau “strict liability offences”. Misal undang-

undang menetapkan sebagai suatu delik bagi korporasi yang

menjalankan usahanya tanpa izin;

1) Korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat


(kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin itu;
2) Korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak
diasuransikan di jalan umum. Perspektif pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi adalah dengan
merumuskan tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban pidana
korporasidan jenis sanksi pidana korporasi dalam Ketentuan
Umum KUHP, sehingga dapat digunakan untuk semua peraturan
perundang-undangan diluar KUHP (termasuk tindak pidana
korupsi). Pengaturanpidana pertanggungjawaban korporasi juga
dapat dibuat secara khusus dalam peraturan perundang-undangan
tindak pidana korupsi. Formulasi pidana dan penegakan hukum
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi
dapat menggunakan pada teori-teori/doktrin yang berkembang
seperti teori/doktrin identifikasi, teori/doktrin
vicariousliability(pertanggungjawabanpengganti) atau teori/doktrin
strict liability (pertanggungjawaban ketat).

Pelanggaran ketentuan Undang-Undang Telekomunikasi yang dijerat

dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor adalah sebagai sesuatu yang

tidak tepat. Banyak hal yang kontra produktif dengan diterapkannya UU

Tipikor untuk pengembangan keilmuan dan praktek. Dengan hanya berpijak

bahwa setiap ada unsur melawan hukum, penyalahgunaan wewenang dan

dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara, maka semua perkara

bermuara pada dakwaan korupsi ini menjadi bertentangan dengan asas lex

spiacialis derogat legi generali. Di mana dalam asas itu disebutkan bahwa

terdapat dua jenis lex specialist derogate legi generalie dalam arti yuridis

misalnya seperti yang diatur dalam Pasal 63 KUHP (councursus idealis) yang
20

disebut sebagai byzondere delicten (delik-delik dalam KUHP) dan dalam arti

sistematis/logis yang disebut sebagai tindak pidana khusus dalam arti specialis

delicten (delik-delik diluar KUHP).21

Berkaitan dengan Tindak Pidana khusus dibagi dalam dua golongan

yaitu:

1. Benar-benar dari hukum pidana yang karena adanya perkembangan dan


perubahan social secara cepat yang pada akhirnya perlu disertai dengan
peraturan hukum yang bersanksi pidana termasuk yudifikasi hukum pidana
yang kontemporer dalam hal ini berupa pengaturan hukum pidana yang
berupa tindak pidana di luar KUHP, seperti Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme,Undang-
Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang tindak
Pidana Pencucian uang, dll.
2. Tindak Pidana khusus dalam arti Tindak pidana administrasi, yaitu
perundang-undangan di lapangan hukum perdata, administrasi Negara
yang diberikan dengan sanksi pidana, yang sifatnya untuk menjaga agar
ketentuan administrasi tersebut ditaati, contohnya dalam perundangan
perbankan, kehutanan, narkotika, perdagangan, termasuk telekomunikasi,
dll. Dalam kaitan tindak pidana administratif, jelas menunjukkan bahwa
kaitannya dengan pemberian sanksi pidana sebagai ultimatum remidium,
karena dalam peraturan perundangan hukum adminstrasi terutama telah
diatur terlebih dahulu sanksi administrasi, baru bila dipandang pengaturan
tersebut tidak cukup kuat dengan sanksi administrasi maka diterapkan
sanksi pidana. Sebagai catatan sebetulnya sanksi pidana administrasi
seharusnya hanya berupa pidana kurungan, namun politik hukum di
Indonesia sudah sedemikian melesat, sehingga pidana administrasi bisa
berupa pidana penjara yang berat bahkan pidana mati, seperti narkotika.
Seharusnya bila memang menginginkan pidana berat mestinya dirumuskan
dalam perundangan tindak pidana khusus, misalnya undang-undang tindak
pidana narkotika atau misalnya tindak pidana Ilegal Logging.

D Jenis-Jenis Sanksi Pidana Yang Dapat Dijatuhkan Kepada Korporasi

Bentuk-bentuk atau jenis-jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan

kepada korporasi dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Selama

Yenti Ganarsih, Korporasi Dalam Konteks Administrative Penal Law Terkait


21

Penerapan Delik Korupsi (Berkaitan Dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega Media
(IM2) makalah disampaikan pada seminar AAI di Jakarta, 7 Februari 2013, hlm. 6.
21

ini, berbagai undang-undang pidana Indonesia baru menetapkan denda sebagai

sanksi pidana pokok bagi korporasi. Sementara itu, bentuk-bentuk sanksi

pidana lain oleh undang-undang ditetapkan sebagai sanksi pidana tambahan

atau tindakan tata tertib. Berikut adalaha sanksi pidana pokok dan pidana

tambahan yang akan dijatuhkan kepada korporasi:22

1. Pidana Pokok

2. Pidana Denda

Tidak mungkin untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada suatu

korporasi berupa pidana penjara, sehingga sebagai konsekuensinya adalah

tidak mungkin menuntut suatu korporasi sebagai pelaku tindak pidana

berdasarkan suatu undang-undang pidana apabila dalam undang-undang

tersebut ditentukan bahwa sanksi pidana yang dapatdijatuhkan kepada pelaku

pidana adalah kumulasi pidana penjara dan pidana denda (keduanya sanksi

pidana tersebut bersifat kumulatif, yaitu harus kedua sanksi tersebut

dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan). Dengan kata lain,

korporasi hanya mungkin dituntut dan dijatuhi pidana apabila sanksi pidana

penjara dan pidana denda di dalam undang-undang itu ditentukan sebagai

sanksi pidana yang bersifat alternative (artinya dapat dipilih oleh Hakim).

Apabila kedua sanksi pidana itu bersifat alternative, maka kepada

pengurusnya dapat dijatuhi sanksi pidana penjara saja, atau sanksi pidana

denda, atau kedua sanksi tersebut dijatuhkan secara kumulatif.

22
Sutan Remy Sjahdeini, https://anoelbjong.wordpress.com/2012/06/19/bentuk-
bentuk-sanksi-pidana-bagi-korporasi-dalam-lingkup-peradilan-pidana-indonesia/, Diakses
17Oktober 2018.
22

Sementara kepada korporasinya hanya dijatuhkan sanksi pidana denda

karena korporasi tidak mungkin menjalani sanksi pidana penjara. Apabila

sanksi pidana ditentukan secara kumulatif antara pidana penjara dan pidana

denda, bukan secara alternatif, tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang

itu yang menentukan dengan tegas bahwa dalam hal tuntutan dilakukan

terhadap korporasi akan dijatuhkan sanksi pidana denda saja (mungkin dengan

pidana denda yang lebih berat), maka sanksi pidana penjara dan denda yang

ditentukan secara kumulatif itu tidak menghalangi dijatuhkan pidana denda

saja kepada korporasi.

Bagaimana caranya agar pasal-pasal pidana dalam suatu undang-

undang diberlakukan pula bagi korporasi selaku pelaku tindak pidana yang

diatur dalam undang-undang tersebut dan tidak menimbulkan keraguan bagi

para penegak hukum untuk menuntutpula korporasi selain menuntut

pengurusnya dimana memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Ditentukan secara tegas dalam undang-undang itu bahwa korporasi dapat


dituntut selaku pelaku tindak pidana yang diatur dalam undang-undang itu;
dan
2. Sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda yang ditentukan sebagai
sanksi yang harus dijatuhkan secara kumulatif hanya apabila pelaku tindak
pidana yang dibebani dengan pertanggung jawaban pidana adalah
manusia; sedangkan apabila pelaku tindak pidana adalah suatu korporasi,
maka tindak pidana yang ditentukan di dalam pasal-pasal pidana dalam
undang-undang itu adalah berupa pidana denda.

Dengan mengambil sikap seperti di atas itu, maka Penyidik (Polisi),

Penuntut Umum (Jaksa) dan Hakim tidak perlu meragukan apakah suatu

korporasi dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan undang-


23

undang yang bersangkutan dan tidak ragu-ragu pula mengenai bentuk atau

jenis sanksi pidananya.23

1. Pengumuman Putusan Hakim

Salah satu bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada

korporasi adalah diumumkannya putusan Hakim melalui media cetak

dan/atau elektronik. Pengumuman ini bertujuan untuk mempermalukan

pengurus dan/atau korporasi. Korporasi yang sebelumnya telah memiliki

reputasi yang sangat baik akan betul-betul dipermalukan bila samapai

terjadi hal yang demikian itu. Bentuk sanksi pidana ini, sekalipun hanya

merupakan sanksi pidana tambahan, akan sangat efektif guna mencapai

tujuan pencegahan (deterrence).

2. Pembubaran yang Diikuti dengan Likuidasi Korporasi

Bagaimanakahdengan pidana yang berupa pidana mati?

Mungkinkah pidana mati dijatuhkan terhadap suatu korporasi?Arti lain

dari “mati” bagi suatu korporasi adalah “bubarnya” korporasi tersebut.

Korporasi diberi sanksi pidana berupa “pembubaran korporasi” yang tidak

lain sama hakikatnya dengan “pidana mati” atau “hukuman mati” bagi

korporasitersebut. Apabila korporasi dibubarkan sebagai akibat

dijatuhkannyasanksi pidana, maka konsekuensi perdatanya adalah

“likuidasi” atas aset korporasiyang bubar itu.

Dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10

Tahun 1998, suatu Bank dapat diperintahkan untuk dibubarkan oleh


23
Ibid.,
24

Pimpinan Bank Indonesia apabila Bank tersebut mengalami kesulitan yang

membahayakan usahanya atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan

suatu Bank dapat membahayakan sistem perbankan. Perintah pembubaran

Bank oleh Undang-Undang Perbankan dilihat sebagai tindakan tata tertib,

bukan sebagai sanksi administratif.

3. Pencabutan Izin Usaha yang diikuti dengan Likuidasi Korporasi

Terhadap korporasi hendaknya dapat pula dijatuhkan sanksi pidana

berupa pencabutan izin usaha. Dengan dicabutnya izin usaha, maka sudah

barang tentu untuk selanjutnya korporasi tidak dapat lagi melakukan

kegiatan usaha untuk selamanya. Guna memberikan perlindungan kepada

kreditor, hendaknya putusan hakim berupa pencabutan izin usaha tersebut

dibarengi pula dengan perintah kepada pengurus korporasi untuk

melakukan likuidasi terhadap asset perusahaan untuk pelunasan utang-

utang koporasi kepada para kreditornya. Anatara putusan hakim berupa

pencabutan izin usaha disertai perintah likuidasi dan putusan hakim berupa

pembubaran korporsai sebagai hasil akhir boleh dikatakan tidak ada

bedanya. Keduanya mengakibatkan perusahaan tidak dapat melakukan

kegiatan usaha dan asset korporasi dilikuidasi.

4. Pembekuan Kegiatan Usaha

Pembekuaan kagiatan tertenti, dapat ditentukan oleh hakim utnuk

jangka waktu tertentu saja atau untuk selamanya. Sementara itu,


25

pembekuan semua kegiatan, hanya dapat diputusakan oleh hakim untuk

jangka waktu tertentu. Apabila untuk selamanya, maka putusannya bukan

berupa pembekuan semua kegiatan usaha, tetapi berupa pembubaran

korporasi atau berupa pencabutan izin usaha diikuti dengan likuidasi.

5. Pidana Tambahan

Pidana tambahan berupa:

a. Melakukan pembersihan lingkungan atau clean up dengan biaya


sendiri atau menyerahkan pembersihanya kepada Negara atas beban
baiay korporasi (dalam hal tindakan pidana lingkungan hidup) yang
ditentukan oleh hakim minimum biaya yang harus dikeluarkan oleh
korporasi berdasarkan penaksiran harga oleh suatu konsultan
independen.
b. Membangun atau membiayai pembangunan proyek yang terkait
dengan tindak pidana yang dilakukan, misalnya membangun rumah
sakit atau pusat rehabilitas korban narkoba yang ditentukan oleh
Hakim minimum biaya yang harus dikeluarkan oleh korporasi
berdasarkan penaksiran harga oleh suatu konsultan independen.

6. Penyitaan Koorporasi

Selama berlangsungnya proses pemeriksaan, hendaknya

dimungkinkan pula dilakukan penyitaan terhadap korporasi oleh

pengadilan dengan diikuti penyerahan pengelolaannya kepada direksi

sementara yang ditetapkan oleh pengadilan. Pengadilan dapat

mengeluarkan penetapan untuk menunjuk salah satu BUMN yang sejenis

dalam bidang usaha dengan korporasi yang bersangkutan untuk mengelola

sementara korporasi tersebut sampai penyitaan itu dicabut.


BAB III

PEMBAHASAN

A Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Korupsi

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak

dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak

pidana tidak termasud pertanggungjawaban tindak pidana hanya

menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan.24

Pandangan diatas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Moelyatno, yang membedakan dengan tegas “dapat dipidananya

perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zjir van het

feit) dan“dapat dipidananya orang” (strafbaarheid van den persoon), dan

sejalan dengan itu beliau memisahkan antara pengertian

“perbuatanpidana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab pidana”

(criminal responsibility atau criminal liability).25Oleh karena hal tersebut

dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi

pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini disebut pandangan dualistis

mengenai perbuatan pidana. Pandangan ini merupakan penyimpangan dari

pandangan yang monistis antara lain yang dikemukakan oleh Simons yang

merumuskan“strafbaar feit” adalah: “een strafbaar gestelde,


24
Dwidja Priyatno. Op., Cit, hlm. 30.
25
Moelyatno.Seperti dikutip oleh Sudarto. Dalam Sudarto, Hukum Pidana I. Cetakan
ke II, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm. 40.

26
onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
c. Melawan hukum (onrechtmatig);
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar
persoon).

Simons mencampur unsur objektif (perbuatan) dan unsur subjektif

(pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah:26

a. Perbuatan orang ;

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu

sepertidalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di muka

umum”.

Segi subyektif dari strafbaar feit:

a. Orang yang mampu bertanggung jawab;

b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa).

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau

dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.Sudarto

berpendapat bahwa untuk menentukan adanya pidana, kedua pendirian itu

tidak mempunyai perbedaan prinsipiil. Soalnya ialah apabila orang

menganut pendirian yang satu hendaknya memegang pendirian itu secara

konsekwen,agar supaya tidak ada kekacauan pengertian

(begripsverwarring). Jadi dalam mempergunakan istilah “tindak pidana”


26
Ibid., hlm. 41.

46
haruslah pasti bagi orang lain apakah yang dimaksudkan ialah menurut

pandangan monistis ataukah yang dualistis.Bagi yang berpandangan

monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana,

sedangkan bagi yang berpandangan dualistis sama sekali belum

mencukupi syarat untuk dipidana karena harus disertai syarat

pertanggungan jawab pidana yang harus ada padaorang yang berbuat.27

Menurut Sudarto, memang harus diakui, bahwa untuk sistematik

dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana dalam arti ”keseluruhan

syarat untuk adanya pidana ”(der inbegriff dervoraussetzungen derstrafe),

pandangan dualistis itu memberikan manfaat. Yang penting ialah kita

harus senantiasa menyadari bahwa untuk mengenakan pidana itu

diperlukan syarat-syarat tertentu. Apakah syarat itu demi jelasnya kita

jadikan satu melekat padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh

Simons dan sebagainya,ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat

pada perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti

dikemukakan oleh Moelyatno, itu adalah tidak prinsipiil, yang penting

ialah bahwa semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus

lengkap adanya.

Berdasarkan uraian di atas bahwa dipidananya seseorang tidaklah

cukup apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur delik dalam

undang-undang, tetapi masih ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu

bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan

atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat


27
Ibid., hlm. 45.

47
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut

perbuatannya maka perbuatan tersebut harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Jadi di sini berlaku asas

“Geen Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini tidak

tercantum dalam KUHP Indonesia ataupun peraturan lainnya, namun

berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan karena akan bertentangan

dengan rasa keadilan, bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama

sekali tidak bersalah.

Dalam hal ini Penulis menguraikan undang-undang yang mengatur

yaitu, Undang-Undang Pemberantasan TIPIKOR Nomor 31 tahun 1999

Pasal 2:

1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa norma hukum tindak

pidana Telekomunikasi telah ada regulasinya akan tetapi pada prakteknya

dalam kasus ini Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan

Agung (Kejagung), meningkatkan status kasus penyalahgunaan jaringan

frekuensi 2,1 GHz/3G (third generation) milik PT. IM2., Tbk ke

Penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan No. PRINT-4/Fd.1/01/2012

tanggal 18 Januari 2012, dengan tersangka mantan Presiden Direktur IM2

48
bernama Indar Atmanto28dan mantan direktur Utama Indosat, Johnny

Swandy.29 Sebagai tersangka, kemudian pada tanggal 03 Januari 2013

Kejaksaan Agung menetapkan, bahwa PT. Indosat30dan PT.IM231 sebagai

tersangka korporasi dalam kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi

tersebut.

Upaya Kejaksaan Agung ini disasarkan pada perbuatan melawan

hukum yang ada pada dakwaannya, yaitu bahwa IM2 memakai frekuensi

radio 2.1 GHz/3G (third generation) milik Indosat, tanpa mengikuti lelang

dan tanpa izin dari pemerintah, sehingga IM2 menghindari kewajiban

membayar biaya upfront fee danbiayahak penggunaan pita frekuensi.

Berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(selanjutnya disingkat BPKP) pada tanggal 09 Nopember 2012, bahwa

kerugian Negara yang diakibatkan oleh pemakaian frekuensi 2.1 GHz/3G

(third generation) oleh IM2 tersebut sebesar Rp. 1,3 Triliun. Sehingga

Kejagung mendakwa para tersangka dengan Pasal 3 UUPTPK.32

Terkait permasaahan PT. Indosat, Tbk, dan PT. IM2melakukan

upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya

disingkat PTUN) Jakarta sebagai pihak tergugatDeputiKepala

28
Surat Dakwaan No. Perkara : PDS-23/JKT. SL/12/2012 tertanggal 27 Desember
2012.
29
Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No.
Prin141/F.2/Fd.1/11/2012.
30
Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus No. Prin-01/F.2/Fd.1/01-2013 tertanggal 3 Januari 2013.
31
Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus No. Print 02/F.2/Fd. 1/01-2013.
32
Azis Syamsuddin, “Korporasi Dalam Konteks Administrative Penal Law terkait
dengan Penerapan DelikKorupsi (Berkaian dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega
Media (PT. IM2) Makalah Seminar AAI di Jakarta”, 7 Februari 2013

49
BPKPbidang Investigasi dan TIM BPKP penerbit laporan hasil

penghitungan kerugian keuangan Negara (selanjutnya disingkat

LHKKPN) tanggal 31 Oktober 2012 maka turunlah putusan Nomor

231/G/2012/PTUN-JKT tahun 2013 yang menyatakan yang pada intinya

sama putusan pada tingkat pertama dan Banding memutuskan hasil

perhitungan BPKP ada kerugian Negara Rp. 1,358 Triliun dalam perkara

PT. IM2adalah tidak sah, dan sedangkan proses pidana korupsi juga terus

berjalan dengan putusan yang bertolak belakang sebagaimana dalam

putusan Kasasi Nomor 282K/Pid.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang

memutuskan Direktur Utama PT. IM2, Indar Atmanto dijatuhi hukuman

pidana selama 8 tahun penjara disertai dengan denda sebesar Rp.

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan kewajiban uang pengganti

sebesarRp.1,358 triliun yang dibebankan kepada manajemen IM2.33

Pengertian korporasi erat kaitannya dengan terminology badan

hukum (Rechtpersoon) yang ada dalam hukum perdata. Secara estimologi

tentang kata korporasi atau corporatie (Belanda), corporation (inggris),

corporation (Jerman) berasal dari kata corporation dalam bahasa latin

yang berarti hasil dari pekerjaan membadankan atau dengan perkataan lain

yaitu badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan

manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut

alam.34Pengertian korporasi menurut Black’ law Dictionary, yaitu

33
http//www.varia.id, Diakses 10 Oktober 2018.
34
MarwanEffendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam
Penegakan Hukum, Refrensi, 2012, hlm.85, Muladi, Dwipa Priyatno, Pertanggungan
Korporasi dalam Hukum Pidana, STHB, 1991, hlm. 12.

50
An entily (usually a business) having authority under law to act as
asingle person distinct from the shareholders who own it anf
having right to issue stock and exist indefinitely, a group or
succession of persons established in accordance with legal rules
into a legal or juristic person that has legal personality distinct
from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart
from them, and has the legal power that is constitution gives it.35

Korporasi sebagai suatu badan hasil ciptaan hukum, badan yang

diciptakannya itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan

kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat ciptaan

hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan

oleh hukum.36Sedangkan menurut David J.R, secara umum korporasi

memiliki 5 (lima) ciri penting yaitu:37

1. Merupakan subyek hukum “buatan” yang memiliki kedudukan


hukum khusus;
2. Memiliki jangka waktu hidup tak terbatas;
3. Memperoleh kekuasaan (dari Negara) untuk melakukan
kegiatan bisnis tertentu;
4. Dimiliki oleh pemegang saham/modal/asset;
5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi
biasanya sebatas saham yang dimiliki.

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT), pengertian

dari PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,

didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

dasar yangseluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan

yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.

Dalam tindak pidana korupsi pegertian suatu korporasi tidak

35
Ibid, hlm. 85, Bryan A Garner (Editor in chief), Black Law Dictionary, West
Publishing. Co, ST Paul Minim, 1999, hlm. 341
36
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, 1986, hlm. 110.
37
Marwan Effendy, Op. Cit., hlm. 88.

51
terbatas hanya kepada badan hukum, tetapi menurut Pasal 1 angka 1

UUPTPK adalah “kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Menurut Muladi,

Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan

korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus

atau para pengurus (corporate executing officers) yang memiliki

kekuasaan untuk memutus (power of decision) dan keputusan tersebut

telah diterima oleh korporasi tersebut. Penerapan sanksi pidana terhadap

korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan.38

Dibidang hukum pidana, sesuai dengan pengertian korporasi

sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 1 ayat 1 UUPTPK, keberadaan

suatu badan hukum atau jelas merupakan “korporasi” begitu juga badan

usaha, meskipun bukan berbadan hukum karena merupakan kumpulan

orang dan atau harta kekayaan yang terorganisasi dikatagori sebagai

korporasi, diterima dan diakui sebagai subyek hukum yang dapat

melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan. Dalam

perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 (tiga) sistem

pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yakni:39

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang

bertanggungjawab;

2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab;


38
Muladi, “Prinsip-PrinsipDasar Hukum Pidana lingkungan Dalam Kaitannya
Dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997”, dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi,
Volume 1/Nomor 1/1998, hlm. 9.
39
Mardjono Reksodiputro, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH. UNDIP-Semarang,
23-24 Nopember 1986, hlm. 9.

52
3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Perlu diketahui tidak bisa semua perkara yang muaranya

merugikan Negara dapat dikaitkan dengan ketentuan UUPTPK, kecuali

terhadap perkara-perkara yang secara kasuistis mengandung unsur-unsur

Tindakan Pidana Korupsi, seperti dalam perkara tindak Pidana Kehutanan

dengan Terdakwa Adelin Lis, sebagaimana terlihat dalam Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 68K/PIDSUS/20008 tanggal

31 Juli 2008 yang menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi

secara bersama-sama dan berlanjut karena dipandang tidak memenuhi

kewajibannya membayar dana Reboisasi.40

Demikian pula dalam usaha, dalam usaha perbankan tindak pidana

korupsi biasanya dilakukan oleh oknum internal Bank dengan cara kolusi

bersama Nasabah, yang biasanya dilakukan melalui pemberian kredit yang

lebih besar daripada nilai jaminannya sehingga taksiran terhadap harga

jaminan jauh lebih tinggi dari harga sebenarnya (mark-up), modus

operandi seringkali disertai juga antara lain;41

a) mengunakan dokumen fiktif,


b) proyek dan asset perusahaan diajukan sebagai jaminan kredit
secara berulang di Bank yang berbeda,
c) Kredit dengan proyek fiktif,
d) Penyimpangan penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan
40
Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, hlm. 166,
Humphrey R. Jemat, Makalah, “Korporasi Dalam Konteks Adinistrative Penal Law Terkait
dengan Penerapan Delik Korupsi (Berkaitan dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega
Media (IM2)”, Makalahseminar AAI di Jakarta, 7 Februari 2013, hlm. 3.
41
Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dan Perspektif Hukum Pidana,
hlm. 62, dan Humphrey R. Jemat, Korporasi Dalam Konteks Adinistrative Penal Law Terkait
dengan Penerapan Delik Korupsi (Berkaitan dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega
Media (IM2), Makalah seminar AAI di Jakarta, 7 Februari 2013, hlm. 3.

53
proposal semula, dan
e) Penyalahgunaan pembayaran uang muka (down-payment)
dengan jaminan Surat Perintah Kerja (SPK) baik fiktif maupun
tidak.

Beberapa kasus perbankan yang telah disidangkan dengan dakwaan

korupsi antara lain:42

1) Kasus Korupsi yang melibatkan Presdir Golden Key Group (Eddy

Tansil);

2) Direksi BAPINDO merupakan kasus korupsi yang menggambarkan

kolusi antara oknum Bank dan nasabahnya;

3) Kasus korupsi dalam bidang Perbankan, misalnya:

a) Kasus BRI, Cabang Yogyakarta (Tahun 1983) yaitu dengan


menjalin kerjasama dengan oknum Bank, mempermainkan catatan
computer sehingga dapat membobol uang Negara.
b) Kasus BNI 1946, Cabang New York (tahun 1987) melakukan
transfer secara tidak sah di kamar hotel di New York dengan
Personal Komputer.
c) Kasus BDN, Cabang Jakarta Bintaro Jaya (tahun 1988), kerjasama
antara pegawai Bank membukukan mutasi kredit fiktif atau setoran
tanpa nota ke dalam rekening seseorang dengan menggunakan
password atasannya yang bukan wewenangnya dan kasus BNI
Cabang Kebayoran Baru dengan menggunakan dokumen fiktif.

Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka setiap subyek

hukum termasuk korporasi dapat dikenakan pertanggungjawabannya

dalam Tindak Pidana Korupsi sepanjang terkait dengan unsur-unsur delik

Tindak PidanaKorupsi. Apalagi, Jaksa Agung Republik Indonesia telah

mengeluarkan surat No. R-042/A/Fd.!/07/2008, tanggal 16 Juli 2008,

Perihal Penanganan Perkara di Bidang Kehutanan yang berindikasi Tindak

Pidana Korupsi, yang diajukan kepada seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi

42
Ibid., hlm. 4.

54
se-Indonesia yang secara prinsip menyatakan bahwa UUPTPK

sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20

Tahun 2001, tidak bersifat multi-guna (multi-purpose).

2. PenerapanAzaz Logische Specialiteit dan Azaz Lex Specialis

Systematis Derogat Lex Generalis

Sebagaimana diketahui MA dalam putusannya No. 59/Pid.B/2008

PN.PTSB tanggal 17 Maret 2008 atas nama Terpidana, Tambun Husein

dan No. 2642K/Pid/2008 tanggal 12 Pebruari 2008 atas nama Terpidana,

DL Sitorus telah berpendapat bahwa perkara tersebut adalah perkara

Tindak Pidana Kehutanan (Administrave Penal Law), bukan tindak Pidana

Korupsi.43Sejalan dengan itu dalam Rapat Kerja MA dengan jajaran

Pengadilan 4 (empat) lingkungan Peradilan seluruh Indonesia di Makassar

Tahun 2007 membahas juga hal demikian yang mengacu kepada Stufen

Bouw Theory dari Hans Kelsen, bahwa peraturan perundang-undangan

yang memiliki karakter dan dimensi sendiri tidak boleh dicampuradukkan

antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan pula dengan prinsip Lex

Specialis Systematis Derogat Lex Generali (Asas kekhususan yang

sistematis) jadi tidak relevan setiap perbuatan yang mengakibatkan

kerugian Negara (jikalau itu ada) yang diatur sendiri dalam undang-

undang Administrative yang bersanksi pidana yang mengatur juga tentang

kerugian yang ditimbulkan dijerat oleh Tindak Pidana Korupsi.44

Penerapan Azaz Lex Specialis Systematis Derogat Lex Generali


43
Ibid. hlm. 168, dan Humphrey R.Djemat. hlm. 5.
44
Keberatan Terdakwa Indar Atmanto Terhadap Dakwaan Penuntut Umum Dalam
Kasus PT. Indosat dan PT. IM2, hlm. 4, Humphrey R.Djemat.hlm. 5.

55
berlaku pula dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang

Perpajakan dan Undang-UndangTax Amnesty. Jika unsur-unsur perbuatan

pidana yang dilakukan telah diatur dalam ketentuan pidana berdasarkan

pasal-pasal padaUndang-Undang Perpajakan, maka ketentuan sanksi

pidana dalam undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi tidak perlu lagi diterapkan, cukup dengan sanksi Pidana

berdasarkan Undang-undang Pajak karena sanksi pidananya sudah diatur

secara sendiri.45

Dengan demikian semua produk legeslasi berupa perundang-

undangan dalam lingkup Administrasi Negara yang memiliki sanksi

Pidana sendiri, misalnya Undang-Undang tentang Kepabeanan, Undang-

Undang tentang Kehutanan dan Undang-Undang tentang perikanan, tidak

dapat di intervensi oleh Undang-Undang Korupsimeskipun perbuatan

tersebut merugikan keuangan Negara karena Undang-Undang tersebut

telah mengatur sendiri tentang tata cara pengembalian keuangan Negara. 46

Hal tersebut terkait dengan konteks hukum pidana dalam istilah

Administrative Penal Law, yaitu semua produk legeslasi berupa

perundang-undangan dalam lingkup Administrasi Negara yang memiliki

sanksi pidana sendiri.47

B Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku Tindak

Pidana Korupsi
45
Ibid., hlm. 194.
46
Ibid.,
47
Ibid.,

56
Salah satu kejahatan yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah

tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kemudahan,

keuntungan, dan laba yang lebih besar, sehingga dapat mengefisienkan biaya

atau modal yang dikeluarkan oleh korporasi, baik itu modal tenaga kerja,

waktu, tempat dan dana. Tujuan akhirnya adalah korporasi baik itu

sekumpulan atau perorangan akan mendapatkan pengahasilan lebih jika

dibandingkan dengan tanpa melakukan tindak pidana korupsi.

Tentunya, jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan

kerugian baik bagi Negara, lingkungan maupun masyarakat dimana suatu

korporasi tersebut berada. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terjadi secara

terus menerus sehingga sudah sepantas tindak pidana harus diberikan kepada

korporasi yang telah melakukan tindakan pelanggaran tersebut.

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat

dipisahkan dari masalah pidana dan pemidanaan, oleh karena suatu tindak

pidana apabila dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka

konsekuensi lebih lanjut dari hal itu adalah penjatuhan pidana.

Dasar pertimbangan pemidanaan korporasi menurut Tim Pengkajian

Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan

hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 menyatakan bahwa:

Jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif


terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi
karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam
masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti.

57
Dengan demikian dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan jaminan

yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas ternyata bahwa pemidanaan

korporasi didasarkan kepada tujuan pemidanaan baik yang bersifat preventif

(khusus) dan tindakan represif.Korporasi dijadikan subjek hukum pidana sama

dengan manusia alamiah, namun perlu diingat bahwa tidak semua tindak

pidana dapat dilakukan oleh korporasi dan sanksi pidana sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP tidak semuanya dapat dikenakan pada

korporasi.  Yang mungkin dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda.

Selain pidana denda juga terhadap korporasi dapat diberikan tindakan untuk

memulihkan keadaan seperti sebelum adanya kerusakan oleh suatu

perusahaan.

Sesuai dengan perkembangan ganti rugi juga dapat dijatuhkan pada

korporasi sebagai jenis pidana baru. Ganti kerugian ini dapat berupa ganti

kerugian terhadap korban. Selain itu juga dapat dijatuhkan sanksi berupa

pidana tambahan yaitu penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk

paling lama 1 (satu) tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1)

huruf c UUPTPK.

Perkembangan selanjutnya lahir berbagai ketentuan pidana khusus,

yang mengatur korporasi sebagai subjek hukumnya, dengan merumuskan

sanksi pidana untuk korporasi bervariasi, yaitu ada yang merumuskannya

kumulatif-alternatif, alternatif dan merumuskannya tunggal.Korporasi sebagai

58
badan hukum (rechtpersoon) tidak bisa dikenai tanggung jawab sama persis

seperti orang pribadi (natuurlijkpersoon). Secara teori korporasi bisa

melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasnya.

Berdasarkan hal tersebut, korporasi tidak dapat

dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, tetapi harus ada

pembatasan, yaitu delik-delik yang bersifat personal yang menurut kodratnya

dilakukan oleh manusia, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

korporasi.Sehubungan dengan apa yang telah dijabarkan, maka korporasi yang

melakukan tindak pidana tersedia pidana pokok denda dan pidana tambahan

dan sejumlah tindakan. Walaupun korporasi dapat dipertanggungjawabkan

secara pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu:48

a. Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan


kepada korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu;
b. Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat dikenakan kepada
korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati;
c. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu
tertentu;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian fasiliteit tertentu yang telah atau dapat
diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu;
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu.

Khusus mengenai saksi penutupan atau penghentian kegiatan perusahaan perlu

di pertimbangkan akibat-akibat yang dapat timbul dalam hubungannya dengan

peranan-peranan perusahaan atau korporasi sebagai pemberi kerja. Sebab jika

sanksi ini dikenakan terhadap korporasi, maka yang lebih terkena adalah para

karyawan atau buruh perusahaan itu sendiri dibanding pengusaha atau pemilik

perusahaan.
48
Ahmad Drajat, http://www.pn-medankota.go.id/v3/index.php?
option=com_content&view=article&id=383:drajad1&catid=101:kumpulan-
artikel&Itemid=101, Diakses 10 Oktober 2018.

59
Bentuk rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut

oleh UUPTPKdapat dirumuskan sebagai:

1) Various liability atau pertanggungjawaban pengganti atau diwakilkan.


Artinya orang bisa bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain. Dalam hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 20 ayat (1)
yang berkenaan dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi;
2) Strict liability atau pertanggungjawaban pidana ketat atau
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan yang dalam hal ini
ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) UUPTPK.

Hal ini dapat disebabkan oleh karena pelaku delik pidana yang terdapat

di dalam UUPTPK adalah person atau manusia dan korporasi/badan hukum.

Kedua bentuk atau rumusan pertanggungjawaban pidana tersebut dapat saling

melengkapi.Sehingga dicantumkannya korporasi sebagai subyek hukum

tindak pidana merupakan langkah maju dari pembentuk undang-undang.

Dengan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana akan memberikan

harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas dan

efektif mungkin.

Melalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai

subyek hukum dan diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain, yaitu

manusia (alamiah). Dengan demikian korporasi dapat bertindak seperti

manusia pada umumnya. Pada UUPTPK ini pengaturan pertnggungjawaban

korporasitercantum dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 UUPTPK.

Sepanjang mengenai proses dalam sistem peradilan pidana, UUPTPK telah

mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang

dinyatakan dalam Pasal 20, yaitu:

60
1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi,
maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
dan atau pengurusnya;
2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus;
3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;
4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana di maksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain;
5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi tersebut di bawa
ke sidang pengadilan;
6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan
untuk menghadap dan penyerahan surat pengadilamn tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor;
7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporsi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Disamping pidana pokok tersebut, juga diatur pidana tambahan

terhadap Korporasi yang melakukan tindak pidna korupsi sebagaimana diatur

dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan c, yang berbunyi:49

a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud


atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperroleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barangg tersebut.
c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.

Sebagaimana sudah dikemukan di atas bahwa dalam Pasal 20 ayat (2)

UUPTPK sudah diatur tentang kapan korporasi melakukan tindak pidana

korupsi yaitu: apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukanoleh orang-

orang:

1) Yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain;

Alkosar Artidjo, “Permasalahan Gratifikasi Dan Pertanggungjawaban Korporasi


49

Dadalam Undang-Undang  Korupsi”, Majalah Varia Peradilan No. 330 Mei 2013, hlm 66.

61
2) Bertindak dalam lingkungan korporasi;

3) Baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Pasal 20 tersebut memuat beberapa ketentuan yaitu:

1) Indikator kapan terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi yang


tercermin dalam Pasal 20 ayat (2).
2) Tentang hukum acaranya, tetapi masih sedikit memberikan keterangan
yakni hal tuntutan penjatuhan pidananya sesuai Pasal 20 ayat (1), dan
hukum acaranya pada Pasal 20 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
3) Mengenai pembebanan tanggung jawab pidananya dalam Pasal 20 ayat
(7).

Sehingga UUPTPK menganut ajaran atau teori pertanggungjawaban

korporasi identifikasi serta teori aggregate. Teori identifikasi ditunjukan dari

frasa: “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu

korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan atau pengurusnya” (Pasal 20 ayat (1) ) dan frasa “apabila tindak

pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja

maupun berdasarkan hubungan lain” (Pasal 20 ayat (2).

Dari urian di atas dapat dipahami bahwa kasus yang menimpa PT.

Indosat dan IM2adalah tindak pidana dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor

36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang disebutkan bahwa ketentuan

Pasal 47 sampai dengan Pasal 57 adalah kejahatan. Ditinjau dari perundangan

yang mengatur bahwa ada sifat melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan

dan dapat merugikan Negara.

Berkaitan dengan dakwaan putusan pengadilantesebutdiketahui dan

dibuktikan berkaitan dengan tanpa hak atau tidak sah dalam hal akses ke

jaringan telekomunikasi atau akses ke jasa telekomunikasi sesuai larangan

62
Pasal 22 yang ancaman sanksinya ada pada Pasal 50 dengan pidana

maksimum 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam

ratus juta rupiah). Atau bila dikaitkan dengan dengan penggunaan spectrum

frekuensi radio bisa dikaitkan dengan kewajiban administrasi Pasal 33 ayat (1)

dan (2) yang sanksi pidananya diatur pada Pasal 53 pidana penjara maksimum

4 tahun dan/atau denda Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah) dalam hal

ini penyelenggara jasa (IM2) namun bila dikaitkan dengan penyelenggara

jaringan dalam hal ini Indosat bisa menggunakan pasal lain.

Tindak pidana diranah pengadilan khususnya mengenai

telekomunikasi sangat jarang terjadi masuk kategorisasi tindak pidana korupsi,

bahkan kasus ini merupakan kasus yang pertama kali terjadi. Maka

pemahaman-pemahaman terhadap telekomunikasi dirasakan amat penting

terutama mengenai hal-hal yang mendasar yang dapat merugikan langsung

atau tidak langsung terhadap Negara. Setelah terjadinya kasus ini pengusaha

dibidang telekomunikasi penting untuk memahami aspek risiko yang harus

dicegah agar tidak terjadi perbuatan tersebut masuk kategori perbuatan

melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang bahkan sampai berdampak

pada kerugian Negara.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

63
Berdasarkan uraian yang telah diberikan pada bab sebelumnya,

terutama dengan memperhatikan pokok permasalahan dalam makalah ini,

dapat diambil beberapa kesimpulan yakni:

1. Dalam membebankan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

dalam tindak pidana korupsi di Indonesia didasarkan atas (1) korporasi

sebagai pelaku telah melawan hukum formil tindak pidana korupsi; (2)

kesalahan korporasi yakni kesengajaan atau kelalaian korporasi, serta

kemampuan bertanggung jawab dan tidak adanya alasan peniadaan pidana

(strafuitslutingsgroden) pada korporasi, dan (3) korporasi harus jelas.

Dengan demikian apabila syarat-syarat tersebut telah dipenuhi, korporasi

dapat dibebani pertangung jawaban pidana dalam tindakpidana korupsi.

hanya pengurus yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.

2. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dikhawatirkan kurang

menimbulkan efek jera, karena dirasa kurang efektifnya sanksi pidana

pokok yangdapat diterapkan terhadap korporasi, yaitu hanya sanksi

pidanadenda. Akan tetapi, dapat ditambah efektifitasnya dengan

diterapkanya sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat(1)

UUPTPK, sehingga akan menambah efektifitas sanksi pidana serta akan

menambah efek jera bagi korporasi.

64
47

B Saran

1. Diharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menerapkan pedoman

yang sudah didapat dalam menerapkan model pertanggungjawaban pidana

terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi. Mengingat, jika hanya

pengurus yang dipertanggungjawabkan dirasa belum memberikan efek

jera bagi korporasi.

2. Diharapkan bagi penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, Jaksa dan

Hakim lebih objektif dalam melaksanakan proses penyidikan dalam

perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi serta tidak

tebang pilih dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap korporasi dalam

tindak pidana korupsi. Baik korporasi Swasta maupun BUMN harus

diperlakukan sama, hal tersebut dimaksudkan agar di kemudian hari

korporasi Swasta maupun BUMN lebih berhati-hati dalam menjalankan

kegiatanya serta tidak melakukan usaha-usaha yang melawan hukum

untuk mencapai tujuanya.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Drajat, http://www.pn-medankota.go.id/v3/index.php?


option=com_content&view=article&id=383:drajad1&catid=101:kump
ulan-artikel&Itemid=101, Diakses 10 Oktober 2018.

Alkosar Artidjo, “Permasalahan Gratifikasi Dan Pertanggungjawaban


Korporasi Dadalam Undang-Undang  Korupsi”, Majalah Varia
Peradilan No. 330 Mei 2013.

Azis Syamsuddin, “Korporasi Dalam Konteks Administrative Penal Law


terkait dengan Penerapan Delik Korupsi (Berkaian dengan Kasus PT.
Indosat dan PT. Indosat Mega Media (PT. IM2) Makalah Seminar AAI
di Jakarta”, 7 Februari 2013.

Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Bryan A Garner (Editor in chief), Black Law Dictionary, West Publishing. Co,
ST Paul Minim, 1999.

Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni 1991.

D Andhi Nirwanto, Otonomi Daerah versus Desentralisasi Korupsi, Aneka


Ilmu, Semarang, 2013.

Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2002.

Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia


dalam kebijakan legislasi, Kencana, Depok, 2017.

Eddy rifai, “Persepekti Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku


Tindak Pidana Korupsi”, Abstrack. Jurnal. Mimbar hukum. Diakses
tanggal, 12/10/2018.

http//www.varia.id, Diakses 10 Oktober 2018.

Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008.

Mardjono Reksodiputro, Kolusi di dalam dunia bisnis : praktek, bentuk dan


usaha penanggulanganya (beberapa catatan sementara), dalam
kemajuan pembangunan ekonomi dan kejahatan kumpulan karangan
buku ke satu , Jakarta, 2007.
Mardjono Reksodiputro, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Tindak Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan
Korporasi, FH. UNDIP-Semarang, 23-24 Nopember 1986.

Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, hlm. 166,


Humphrey R. Jemat, Makalah, “Korporasi Dalam Konteks
Adinistrative Penal Law Terkait dengan Penerapan Delik Korupsi
(Berkaitan dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega Media
(IM2)”, Makalahseminar AAI di Jakarta, 7 Februari 2013.

Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dan Perspektif Hukum


Pidana, hlm. 62, dan Humphrey R. Jemat, Korporasi Dalam Konteks
Adinistrative Penal Law Terkait dengan Penerapan Delik Korupsi
(Berkaitan dengan Kasus PT. Indosat dan PT. Indosat Mega Media
(IM2), Makalah seminar AAI di Jakarta, 7 Februari 2013.

Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty


Dalam Penegakan Hukum, Refrensi, 2012, hlm. 85, Muladi, Dwipa
Priyatno, Pertanggungan Korporasi dalam Hukum Pidana, STHB,
1991.

Moelyatno.Seperti dikutip oleh Sudarto. Dalam Sudarto, Hukum Pidana I.


Cetakan ke II, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990.

Muladi, “Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana lingkungan Dalam Kaitannya


Dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997”, dalam Jurnal Hukum
Pidana dan Kriminologi, Volume 1/Nomor 1/1998.

Muladi, Lembaga Pidanan Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002.

Nonot Harsono, “Korporasi Dalam Konteks Administrative Penal Law terkait


dengan Penerapan Delik Korupsi (Berkaitan dengan Kasus PT. Indosat
dan PT. Indosat Mega Media (IM2)”, Makalah Seminar AAI di
Jakarta, 7-2-2013.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan


Pertanggungjawaban Korporasi, Dalam Hukum Pidana, Banyumedia
Publishing, Malang, 2003.

Surat Dakwaan No. Perkara : PDS-23/JKT. SL/12/2012 tertanggal 27


Desember 2012.
Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No.
Prin141/F.2/Fd.1/11/2012.

Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak


Pidana Khusus No. Prin-01/F.2/Fd.1/01-2013 tertanggal 3 Januari
2013.

Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak


Pidana Khusus No. Print 02/F.2/Fd. 1/01-2013.

Soetan K Malikoel Adil, Dalam Muladi, Dwidja Priyatno, Sistem


Pertanggungjawaban Pidana Korporasi DiIndonesia dalam kebijakan
legislasi, Kencana, Depok, 2017.

Yenti Ganarsih, Korporasi Dalam Konteks Administrative Penal Law Terkait


Penerapan Delik Korupsi (Berkaitan Dengan Kasus PT. Indosat dan
PT. Indosat Mega Media (IM2) makalah disampaikan pada seminar
AAI di Jakarta, 7 Februari 2013.

Anda mungkin juga menyukai