Anda di halaman 1dari 15

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang “Korupsi (Studi Kasus E-KTP) ” ini. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang
sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata
kuliah Auditing II dengan judul “Korupsi(Studi Kasus E-KTP)”. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Kami menyadari bahwa Tak Ada Gading Yang Tak Retak, begitu juga dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangannya.Oleh karena itu,saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan makalah
selanjutnya.Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Karawang, 04 November 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................... 1

Daftar Isi .................................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 3

1.1 . Latar belakang masalah ....................................................................................... 3


1.2 . Rumusan masalah ................................................................................................ 3
1.3 . Tujuan .................................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 4

A. Definisi Korupsi ....................................................................................................... 4


B. Undang-Undang Tentang Korupsi ........................................................................... 4
C. Faktor Penyebab Korupsi ......................................................................................... 6
D. Dampak Korupsi ...................................................................................................... 6

BAB III ANALISIS KASUS KORUPSI .............................................................................. 10

BAB IV PENUTUP................................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia.
Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan
korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung lama menjadi sebuah
objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-
masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang
meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan.
Fenomena korupsi telah menghilangkan nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggang rasa, dan
rasa senasib sepenanggungan di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan
manusia Indonesia yang apatis terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil.
Tindakan korupsi seolah-olah bukanlah lagi sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama
manapun sebab kecenderungan korupsi telah merasuki hati sebagian orang bangsa ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian korupsi?
2. Bagaimana Undang-Undang tentang korupsi di Indonesia?
3. Apa sajakah faktor-faktor penyebab korupsi?
4. Contoh kasus korupsi di Indonesia.
5. Apa sajakah dampak korupsi dalam berbagai bidang?

C. Tujuan
1) Memahami apa yang dimaksud dengan korupsi
2) Mempelajari Undang-Undang tentang korupsi di Indonesia
3) Memahami faktor-faktor penyebab korupsi
4) Mempelajari tentang kasus ekonomi E-KTP

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Coruption atau Corruptus yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, atau memutarbalikkan. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan
Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia
dengan sebutan Korupsi. Selain itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Ditinjau dari segi hukum, korupsi adalah sebuah kejahatan. Di Indonesia, Singapura dan
Malaysia, korupsi adalah kejahatan yang serius dan pelakunya mendapat sanksi hukum yang
maksimal. Dari sudut pandangan ekonomi, korupsi adalah gejala pemborosan yang merugikan.
Biasanya korupsi adalah hasil kerja sama antara pengusaha dan penguasa. Baik perusahaan
maupun negara menampung kerugian. (Rahardjo, 1999: 13).
Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan
wewenang kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat
curang, melakukan penggelapan, dan menerina hadiah terkait janggung jawab yang dijalani.

B. Undang-Undang tentang Korupsi


Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah
korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa
perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun
1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan
Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang
mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari :
a) Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer
Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi
menurut perundang- undangan ini ada dua, yaitu tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa

4
pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian
keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang
menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang
diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan
keuangan material baginya.
b) Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan
yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang
dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan
korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda
(PHB).
c) Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi
dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk
melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil
menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
d) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e) Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958
tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut
diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut
2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Anti
Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini
masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS
1949.Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1961.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

5
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Faktor Penyebab Korupsi


Korupsi yang saat ini sudah sangat banyak dilakukan oleh para pejabat khususnya di negara-
negara berkembang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
 Faktor Internal
1) Lemahnya keimanan
2) Lemahnya moral dan etika
3) Sifat tamak manusia,
4) Gaya hidup konsumtif,
5) Tidak mau (malas) bekerja keras
6) Rendahnya integritas dan profesionalisme,

 Faktor Eksternal
a) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
b) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
c) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan,
d) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga dan birokrasi belum mapan,
e) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat

D. Dampak Korupsi
Korupsi menyebabkan berbagai macam dampak pada berbagai bidang. Dampak tersebut
diantaranya:
 Dampak Ekonomi
 Dampak Sosial
 Dampak Politik
 Dampak Hukum

6
BAB III
KASUS KORUPSI SETYA NOVANTO

Masyarakat Indonesia dikejutkan lagi dengan berita korupsi berskala besar. Pelaksanaan
proyek raksasa pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik bernilai Rp 5,9 triliun
diduga menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun. Jumlah kerugian yang fantastik.
Media menyebutnya ‘megakorupsi’, karena tercatat sebagai kerugian negara terbesar sepanjang
sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, disamping kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI).
Shah dan Schacter (2004) membagi tipologi korupsi menjadi: grand corruption (yakni
pejabat negara yang menyelewengkan sumberdaya publik dengan memanfaatkan kelemahan
institusi), state capture atau regulatory captur e (agen swasta yang mengkooptasi lembaga
eksekutif/legislatif untuk meraih keuntungan), dan bureaucratic atau petty corruption (suap atau
pemerasan yang dilakukan dalam konteks pelayanan publik rutin). Kasus KTP Elektronik
termasuk grand corruption karena melibatkan berbagai institusi publik yang lemah tata kelola
dan pengawasannya.

Dua orang terdakwa telah diadili dari kalangan pejabat Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri), tapi puluhan tersangka akan menyusul karena Komisi Pemberantasan
Korupsi(KPK) sudah memeriksa 294 saksi (yang mungkin berubah status dalam waktu dekat
menjadi tersangka) sejak pertengahan 2014. Para calon tersangka terdiri dari pejabat setingkat
Menteri dan jajaran birokrasi, pimpinan dan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI,
direksi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan konsorsium swasta. Sebuah ‘konser akbar’
peradilan korupsi yang memilukan di tengah stagnansi ekonomi nasional dan kondisi rakyat yang
belum sejahtera.

Kasus Grand Corruption

Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum disebut ada kesepakatan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk menyetujui anggaran pengadaan KTP Elektronik sesuai
dengan grand design tahun 2010 yakni sebesar Rp 5,9 triliun. Proses pembahasannya dikawal
oleh Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar. Sementara, sang makelar proyek Andi
Agustinus alias Andi Narogong memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat
Kemendagri. Rencana bagi-bagi duit anggaran proyek KTP Elektronik secara garis besar:

A. Sebesar 51 persen atau sejumlah Rp 2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau
belanja riil pembiayaan proyek;

B. Sedangkan sisanya sebesar 49 persen atau sejumlah Rp 2,558 triliun dibagi-bagikan kepada:
1. Beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri termasuk para terdakwa sebesar 7 persen
atau sejumlah Rp 365,4 miliar;
2. Anggota Komisi II DPR RI sebesar 5 persen atau sejumlah Rp 261 miliar;

7
3. Setya Novanto (mantan Ketua Fraksi Golkar, sekarang Ketua Umum Partai Golkar dan
Ketua DPR RI) dan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebesar 11 persen atau sejumlah Rp
574,2 miliar;
4. Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) dan Muhammad Nazaruddin
(mantan Bendahara Umum Partai Demokrat) sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574.2
miliar;
5. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen atau sejumlah Rp 783
miliar.
Dakwaan jaksa merinci daftar calon tersangka dan dugaan dana yang diterima. Selain
diterima perorangan, jaksa juga menyebut terdakwa telah memperkaya korporasi. Daftar
perusahaan yang tercantum dalam dakwaan adalah:

1. Perum PNRI menerima sejumlah Rp 107,7 miliar;


2. PT Sandipala Artha Putra (Rp 145 miliar);
3. PT Mega Lestari Unggul, perusahaan induk PT Sandipala Artha Putra (Rp 148 miliar);
4. PT LEN Industri (Rp 20 miliar);
5. PT Sucofindo (Rp 8 miliar);
6. PT Quadra Solution (Rp 127 miliar).

 ANALISIS KASUS E-KTP


Kasus megakorupsi KTP Elektronik terjadi tahun 2010, ketika proses transisi demokrasi
di Indonesia sudah melampaui satu dasawarsa (sejak reformasi tahun 1998). Fakta itu sangat
menyedihkan karena terkesan konsolidasi gerakan reformasi yang mencita-citakan “Indonesia
bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)” semakin jauh dari kenyataan. Sementara
individu dan kelompok koruptif telah mengkonsolidasikan semua potensi dan membangun
jaringan yang ‘menggurita’ hingga mengendalikan partai berkuasa (rulling party) dan menguasai
suara menentukan di parlemen.

Bila kasus korupsi KTP Elektronik ditelaah dari perspektif legal, maka akan kesulitan
menemukan celah penyimpangan karena semua prosedur formal telah dijalani. Sementara itu,
perspektif institusional mencoba menelusuri norma dan perilaku yang diterapkan dalam
organisasi kekuasaan di parlemen, kementerian atau BUMN/korporasi swasta. Sedangkan,
perspektif politik membongkar kepentingan tersembunyi dari aspek politik dan ekonomi yang
mendasari penyimpangan berskala besar itu. Tabel analisis di bawah ini meringkaskan kerumitan
kasus korupsi KTP Elektronik yang telah menyita perhatian publik karena menyeret nama-nama
pejabat tinggi yang sedang dan pernah berkuasa.

8
Tabel Analisis Kasus Mega Korupsi E-KTP

Kasus Prespektif Prespektif Perspektif


MegaKorupsi Legal Institusional
Politikal
KTP Elektronik

Sebab -Kelemahan Proses -Pembahasan Anggaran -Tidak ada pengawasan


penentuan program di dikomisi II berlangsung publik terhadap
kementrian. tertutup. kepentingan tersembunyi
-Kelemahan proses -Konsinyering Program / ekonomi partai politik
penganggaran di DPR dikemendagri bermitra (PD yang berkuasa
-Kelemahan proses dengan Komisi II DPR mungkin mengajak
pengawasan internal RI berlangsung tertutup. Golkar yang
(BPKP) dan Eksternal (BPK -Pelaksanaan tender berpengalaman dalam
dan KPK) penggandaan mengelola APBN).
barang/jasa pemerintah -Tidak ada aturan tegas
di LKPP berlangsung tentang conflict of
terbuka/online( namun interest antara politisi
dimungkinkan terjadi dan pengusaha (Ketua
negosiasi/komunikasi di Fraksi Golkar
balik proses formal) menghubungi pengusaha
--Pelaksanaan program yang biasa
pengadaaan barang oleh menangani tender
BUMN dan konsorsium pemerintah, sementara
swasta berorientsi pada Ketua Fraksi PD melobi
output fisik (itupun pejabat Kemendagri).
belum semua terpenuhi/ -Pimpinan Komisi II
tercapai), tidak DPR melobi semua
berorientasi pada unsur Fraksi/Partai
manfaat/ outcome yang menentukan
program yang lebih luas. proses pengesahan
program & anggaran E-
KTP.
-Setelah program
disetujui & anggaran
cair, maka proses
pembagian fee dilakukan
melalui Ketua Fraksi
masing-masing.
-Semua unsur pelaku
saling melindungi
karena telah mendapat
‘manfaat’ (fee) &
berkontribusi pada
penyimpangan sistemik
(trap of guilty).

9
Aktor -Pejabat di Kemendagri -Pejabat yang -Pimpinan partai politik
yang menangani program merancang program/ yang mengetahui/
E-KTP (Dirjen anggaran, lalu membuka menyetujui rencana
Kependudukan dan peluangterjadinya program/anggaran, tapi
Catatan Sipil Kemendagri penyimpangan (antara membiarkan
[Irman] dan Direktur lain melakukan mark up kemungkinan terjadinya
Pengelola Informasi nilai proyek). penyimpangan.
Administrasi -Pejabat yang -Pimpinan lembaga
Kependudukan melakukan pegawasan publik (eksekutif dan
Kemendagri [Sugiharto] (BPKP, LKPP dan legislatif, mungkin juga
selaku Pejabat Pembuat KPK) dan menyatakan lembaga pengawas)
Komitmen proyek EKTP). kelayakan proyek E- yang mengetahui
-Anggota dan Pimpinan KTP, dengan peluang penyimpangan,
DPR RI yang membahas membiarkan tapi tidak segera
program/anggaran E-KTP. penyimpangan pada mengoreksinya.
-Anggota dan Pimpinan tahap implementasi. -Anggota DPR RI yang
DPR RI yang menyetujui berperan ganda sebagai
anggaran E-KTP bersama pengusaha, dan biasa
Bappenas & Kemendagri. bekerjasama dengan
-Direksi BUMN /Swasta pejabat Kementerian dan
yang melaksanakan Direksi BUMN/swasta
program. untuk meloloskan
program pemerintah.
-Pengusaha yang
berperan sebagai broker
/perantara antara
kepentingan politik
/parlemen dan
birokrasi/eksekutif.
Proses UU nomor 23 tahun -Pertemuan informal di -Mantan Bendahara
2006 menetapkan luar kantor (DPR dan Umum Partai Demokrat,
kebijakan nasional Kemendagri) di antara M. Nazaruddin, yang
kependudukan: lima tahun pihak yang diduga pertama kali ‘bernyanyi’
setelah diterbitkan UU, terlibat, membicarakan tentang korupsi E-KTP,
pemerintah harus rencana proyek E-KTP. dikenal dekat dengan
menyediakan nomor induk -LKPP sudah Ketua Umum PD.
kependudukan bagi seluruh menyarankan agar 9 -Pengusaha Andi
masyarakat. lingkup pekerjaan tidak Agustinus alias Andi
-Keputusan Presiden digabungkan karena ada Narogong kenal dekat
menugaskan Mendagri peluang gagal yang dengan Ketua Fraksi
untuk melaksanakan besardan berpotensi Golkar (diakui biasa
amanat UU 23/2006 dibantu merugikan keuangan menyediakan logistik
Menkeu (merancang negara. Tapi tidak kampanye partai), ikut
Program /anggaran) dan diperhatikan. merancang proyek

10
pejabat terkait lain. -Sebanyak 14 saksi EKTP bersama
-Grand design identitas mengembalikan dana Rp Nazaruddin.
tunggal penduduk (single 30 miliar dan lima -Mantan Ketua Komisi
ID) disusun. Anggaran perusahaan II DPR RI, Chairuman
proyek besar tapi diyakini mengembalikan dana Rp Harahap (periode 2009-
dapat menghemat 220 miliar kepada KPK. 2012) dan Agun
pengeluaran negara di Pengembalian dana Rp Gunanjar Sudarsa
masa akan datang dalam 250 miliar itu (2012-2014), yang
urusan kependudukan. membuktikan memang memimpin pembahasan
-Pada November 2009, terjadi penyimpangan program/anggaran
sebelum proyek dimulai, besar dan melibatkan proyek E-KTP.
program pengadaan e-KTP banyak pihak. Keduanya dari Partai
dilaporkan ke Wakil Golkar.
Presiden. -Momen korupsi E-KTP
terjadi tahun 2010,
berdekatan dengan
penyelenggaraan
Kongres PD dan Munas
Golkar.
Dampak -Kebijakan nasional Kepercayaan publik -Peran pengusaha
tentang kependudukan terhadap partai dan sebagai broker yang
terbengkalai, rencana parlemen terus merosot, menghubungkan
penduduk memiliki single- sehingga berdampak kepentingan politisi
ID untuk semua keperluan terhadap kualitas dengan pejabat eksekutif
tak terwujud. legitimasi dari anggota sangat menonjol, dengan
-Data kependudukan DPR terpilih dan mengorbankan
belum terkonsolidasi, parlemen yang kepentingan publik.
sehingga rentan untuk terbentuk. Proses perencanaan
berbagai penyimpangan, -Erosi kepercayaan juga program/anggaran
antara lain penyalahgunaan melanda lembaga pemerintah rentan
data pemilih dalam Pilkada pemerintah, secara diintervensi kepentingan
dan Pemilu. khusus sosok Mendagri tersembunyi.
periode 2009-2014 -Proses reformasi
(Gamawan Fauzi) yang birokrasi dan reformasi
pernah dinobatkan politik (partai/parlemen)
sebagai tokoh mengalami kemunduran.
antikorupsi Gejala korupsi sistemik
(penerima Bung Hatta justru memuncak.
Award tahun 2004).

11
Hasil Analisis Kasus Mega Korupsi E-KTP
Analisis legal-formal akan menyoroti siapa saja pihak yang membahas, menyetujui, dan
melaksanakan program dan anggaran KTP Elektronik. Lalu diperiksa lanjut, apakah mereka
melanggar aturan, misalnya menerima fee (bisa bermakna suap atau gratifikasi) atas persetujuan
dan dukungan yang diberikan. Kasus KTP Elektronik terbongkar karena ada 14 tersangka yang
mengembalikan dana Rp 30 miliar dan lima perusahaan mengembalikan dana Rp 220 miliar
kepada KPK. Dalam perspektif hukum pidana, mereka yang telah mengembalikan dana haram
itu tetap dinyatakan bersalah, meski mungkin diringankan hukumannya berdasar pertimbangan
hakim, jika berperan sebagai justice collaborator. Kompleksitas legal bisa muncul, tatkala para
tersangka berargumen bahwa mereka sudah menjalankan semua prosedur administrasi, termasuk
berkonsultasi dengan KPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Lebih rumit lagi, mantan Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan bahwa Ketua LKPP yang saat
itu memeriksa kelayakan proyek KTP Elektronik adalah Agus Raharjo, notebene saat ini
menjabat sebagai Ketua KPK. Kemungkinan kasus E-KTP akan mengalami hambatan untuk
membongkar pelaku sampai ke akar-akarnya karena melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh.

Intimidasi fisik terlihat ketika penyidik KPK yang menangani kasus KTP Elektrobik,
Novel Baswedan, diserang oleh dua orang misterius yang menyiramkan air keras (11/4/2017).
Novel yang dikenal sebagai penyidik pemberani dan berintegritas, pernah membongkar kasus
petinggi Kepolisian RI yang terlibat penyimpangan anggaran proyek SIM (simulator surat izin
mengemudi), kini dirawat khusus di Singapura karena harus melakukan operasi mata. Bukan
hanya ancaman fisik, KPK juga mengalami tekanan politik dengan diajukannya hak angket oleh
DPR RI. Komisi III DPR mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S.
Haryani (anggota DPR dari Fraksi Hanura) yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan
palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP Elektronik. Ini baru pertama kali DPR
mengajukan hak angket terhadap lembaga independen seperti KPK. Biasanya hak angket
ditujukan kepada pemerintah berkaitan tugas pelaksanaan undang-undang.

Analisis kelembagaan membantu kita untuk memahami tindakan korupsi sejak tahap
perencanaan, merumuskan program dan menentukan anggaran. Gejala awal korupsi bisa terlihat
ketika dipaksakan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang digelembungkan ( mark
up) anggarannya, sehingga nilai proyek menjadi sangat fantastis. Kasus serupa terjadi pada
proyek pembangunan fasilitas olahraga di kawasan Hambalang, Jawa Barat bernilai Rp 2,5
triliun, dengan potensi kerugian negara Rp 753 miliar. Kasus Hambalang juga melibatkan kaum
politisi dari partai berkuasa. Dalam kasus KTP Elektronik, sejak tahap perencanaan, LKPP sudah
menyarankan agar 9 lingkup pekerjaan tidak digabungkan jadi satu, karena ada peluang gagal
yang besar dan berpotensi merugikan keuangan negara. Tapi, saran itu diabaikan. Di situlah
potensi penyimpangan mulai terbuka, ketika banyak pekerjaan dipaksakan untuk ditangani
simultan, sehingga menyulitkan pengawasan secara bertahap. Apalagi, bila semua pekerjaan itu
diarahkan untuk dilaksanakan oleh satu pihak yang sudah dikenal oleh penentu kebijakan.

12
Analisis politikal, atau lebih tepat ekonomi-politik, membongkar kepentingan ekonomi
dan politik di balik perkara korupsi. Bukan hanya pejabat eksekutif, legislatif dan
BUMN/korporat yang bersalah, tapi juga pimpinan partai politik yang menyetujui dan
membiarkan terjadinya penyimpangan. Pimpinan legislatif (DPR) dan eksekutif (Kementerian)
juga turut bertanggung-jawab membiarkan program bernilai strategis sebagai ‘bancakan’ politisi
dan pengusaha. Dalam kasus KTP Elektronik, terlihat pimpinan Fraksi Partai Demokrat (AU)
dan Fraksi Golkar (SN) berperan besar. Kedua pimpinan partai itu dibantu oleh politisi Partai
Demokrat (MN) dan pengusaha (AN) yang merancang proyek KTP Elektronik. Saat persidangan
tipikor terkuak, peran Ketua Fraksi Golkar SN (sekarang Ketua DPR RI) dalam mengatur
penganggaran proyek KTP Elektronik.

Secara politikal, proyek E-KTP sudah bermasalah sejak tahap perencanaan, karena ada
kesepakatan informal di belakang proses formal. Jika kesepakatan informal itu bisa dideteksi dini
dan dicegah, maka kerugian negara mungkin bisa dihindari. Namun, para pelaku terbukti
canggih menjaga rahasia, termasuk hubungan dengan pejabat di Kemendagri dan BUMN/swasta.
Pejabat Kemendagri dan BUMN berperan penting sebagai penguasa anggaran dan pejabat
pelaksana proyek. Mereka bisa melaporkan adanya tekanan politik, apabila benar-benar jujur dan
profesional sejak tahap perencanaan. Tetapi, karena mereka diam saja dan berkompromi dengan
praktek ilegal, maka akhirnya mereka menjadi bagian dari korupsi sistemik.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang kekuasaan,
memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan
penggelapan, dan menerima hadiah terkait janggung jawab yang dijalani. Korupsi di Indonesia
telah ada dari dulu sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut
hingga era reformasi. Korupsi telah berakar jauh ke masa silam, tidak saja di masyarakat
Indonesia, akan tetapi hampir di semua bangsa.
Korupsi yang semakin hari semakin berkembang dengan pesat dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya kurang atau dangkalnya pendidikan agama dan etika sehingga
mempermudah pejabat untuk melakukan korupsi, kurangnya sanksi yang keras, kurangnya gaji
dan pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin
meningkat, lemahnya pengawasan terhadap para penyelenggara negara, faktor budaya atau
kebiasaan dimana pejabat melakukan korupsi dianggap sebagai hal yang biasa dan cenderung
dilakukan terus-menerus.

A. Saran
Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang bobrok dan sungguh
membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan negara dicuri untuk kepentingan
segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa dengan tindakannya akan membuat sengsara
berjuta-juta rakyat ini. Tentu untuk mengatasi masalah korupsi ini adalah tugas berat namun
tidak mustahil untuk dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk mengatasi,
mencegah tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama (mengingatkan bahwa korupsi, dan
menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama), dibutuhkan juga penegakan
hukum yang berat untuk menjerat para koruptor sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma
sosial untuk memberikan rasa malu kepada pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib
sama dengan pelaku terorisme. Tugas kita semua sebagai warga negara ikut serta dalam upaya
pemberantasan korupsi agar korupsi tidak semakin membudaya.

14
Daftar Pustaka

Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan,


dan Keadilan. Bandung: Fokus
Santosa, Kholid O. 2004. Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945. Bandung:
Sega Arsy
http://www.nu- antikorupsi.or.id/Iskandar/ Sonhadji/ “Perilaku Korupsi Dan Dampaknya”
diakses pada tanggal 17 September 2013 pukul 19.00 WIB
http://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu311999.pdf. diakses 18 September 2013
pukul 17.00 WIB
Jurnal:
Sapto waluyo, nurul fikri, Mahasiswa Program Doktoral, Dapartemen Sosiologo, Universitas
Indonesia. 2016.Grand Corruption dan Defisit Demokrasi:
Studi Kasus KTP Elektronik

15

Anda mungkin juga menyukai