Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
I
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………….……………………………………………..i
Daftar Isi………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN………………...………………………………………………1
Latar Belakang……………………………...……………………………………………..1
Rumusan Masalah…………………………...…………………………………………….2
Tujuan………………………………………..……………………………………………2
Manfaat……………………………..……………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN…………………..……………………………..…….………...3
a. Pengertian Korupsi……………...………………………………………..3
b. Hukuman Mati di Indonesia…………...…………………………………4
c. Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor….………………………………...7
d. Perbuatan Merugikan Negara…………………..………………………...8
e. Suap – Menyuap…………………………………...……………………..9
f. Penyalahgunaan Jabatan………………………….……………………..10
g. Pemerasan ……………………………………………10
h. Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan……… …,...……….....10
i. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan………………………...11
A. Kesimpulan …………………………………….12
B. Saran …………………………………………...12
Daftar pustaka……………………………………………………...……..13
BAB I
Pendahuluan
I. Latar belakang
1
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
tindak pidana lainnya karena dampak negatif yang terjadi dan yang ditimbulkan oleh tindak
pidana ini.
Karakter masyarakat Indonesia yang cenderung sungkan terhadap pemilik kekuasaan
menyebabkan negeri ini belum mampu memberikan terapi kejut (shock therapy) bagi orang-
orang yang melakukan kejahatan korupsi. Walaupun saat ini korupsi merupakan sumber bencana
atau kejahatan (the roots of all evils) yang sebenarnya relatif lebih berbahaya dibanding
terorisme.
Perumusan ancaman pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selalu
menjadi polemik yang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Terlepas dari
hal tersebut, ancaman pidana mati dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sepertinya
tidak bermakna apapun karena penerapannya diabaikan oleh aparat penegak hukum.
III. Tujuan
Manfaat dari penulisan artikel ini adalah menyediakan referensi bagi masyarakat
mengenai efektif hukuman mati dalam menurunkan angka kejadian korupsi di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption sama seperti
penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa : Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak
bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi
dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan
manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti,
S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
Dalam Undang undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1 ayat 1 a
dan b yang berbunyi
1.a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi tertuang dalam pasal
2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
3
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama yang
berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
4
Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan
apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia.
Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka
menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu
terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak
hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak
hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang
mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak
atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak
itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan
pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius
sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on
Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan
merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena
dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia
pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan
dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi
antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik
daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil
studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan
hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari
sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori
kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara
melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68
negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur
mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam
undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap
orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak
jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam
penjelasan pasal ini menyatakan :
5
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang
terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup
ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka
tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya
pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan
pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau
kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam
keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup
(right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup
dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum
internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum
internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela¬rang pidana mati melainkan membatasi
penerapannya.
Hal itu dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Pu¬tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang
menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau¬pun pelaksanaan
pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi
me¬rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua,
pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila
terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20
ta¬hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa
tersebut sem¬buh.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas
pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro
dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana
mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan
KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk
menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP diatur dalam
Pasal 86 sampai dengan Pasal 89.
6
c. Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor
Korupsi adalah penyakit yang sulit untuk diberantas. Adanya aturan hukum yang keras tidak
menjadikan seorang koruptor menjadi takut untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak saja berkait
dengan masalah hukum murni semata, tetapi juga menyangkut masalah moral. etika, serta
budaya walau hal ini masih dalam taraf perdebatan. Korupsi dan penerapaan sanksi hukum
menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa Hal: pertama, bahwa korupsi menjadi
penghambat dari pembangunan yang dilaksanakan. Dengan terjadinya korupsi maka terjadi pula
ekonomi biaya tinggi. Kedua, terkait dengan terjadinya korupsi, maka pelaksanaan aturan hukum
yang berusaha menjerat para koruptor juga telah memberikan ancaman yang berat, berupa
penjatuhan sanksi pidana mati. Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan ancaman tersebut amat
jarang dijatuhkan sebagai sanksi pidana. Apakah dengan hal tersebut menjadikan pelaku korupsi
semakin bebas berbuat?
Dalam hal terjadinya perbuatan korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi
hukuman pidana mati sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Hanya pelaksanaan dari ketentuan pidana ini tidak
bersifat mengikat secara hukum, karena adanya kata "dapat". Kata tersebut memberikan
pengertian kepada kita bahwa pelaku pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati, bukan pelaku
pidana dijatuhi hukuman mati.Pelaksanaan hukuman mati pada hakikatnya memberikan faktor
jera bagi pelaku serta memberikan pendidikan bagi pihak lain untuk berbuat hal yang sama. Jika
pasal tersebut memberikan kata "dapat", maka putusan diserahkan kepada hakim untuk
menjatuhkan pilihan pidana terhadap pelaku pidana korupsi. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku
korupsi tentu dikaitkan dengan Hak asasi Manusia atas hidup dan kehidupan. Keengganan hakim
untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pidana korupsi berkait dengan hak yang diterima
oleh pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana mati ditolak karena pidana mati berkait dengan hidup
mati seseorang, bagi kaum moralis hal ini berkait dengan hak Tuhan untuk menentukan kematian
seseorang. Tentu kematian seseorang merupakan hak Tuhan, akan tetapi hak manusia untuk
menjatuhkan pidana mati merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Artinya
menjatuhkan sanksi tersebut bukan karena kesewenangan, melainkan hak yang diberikan Tuhan
dengan sebuah kewenangan hukum. Dengan demikian tidak melanggar hak manusia itu sendiri.
Banyak negara yang mulai menghapuskan sanksi mati dalam hukum pidananya, akan tetapi bagi
Indonesia hal ini masih perlu untuk dipertahankan. Pidana mati tentunya bersifat paling akhir,
tetapi melihat perbuatan korupsi tidak saja merugikan pihak secara individual, maka pidana mati
masih logis untuk duipertahankan. Penjatuhan pidana mati tentu tidak saja bersifat memberikan
efek jera, tetapi dengan dampak koorupsi yang bersifat menggurita karena menimbulkan
gangguan secara ekonomi terhadap keuangan negara, maka hakim harus mulai berfikir alternatif
mati sebagai sanksi pidana.
7
Selain permasalahan penjatuhan pidana mati permasalahan lain yang muncul adalah bahwa
pidana korupsi harus diartikan sebagai adanya keuangan negara yang dirugikan (Pasal 2 ayat 1).
Jika keuangan negara tidak dirugikan, maka undang-undang ini akan sulit untuk diterapkan.
Dengan demikian pelaku kejahatan keuangan yang merugikan keuangan perusahaan tidaklah
dapat diartikan merugikan keuangan negara. Tampaknya kita juga harus berfikir dan berpaling
pada Pasal 12 UU No.7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against
Corruption 2003. Dalam Pasal 12 tersebut dijelaskan bahwa Negara Pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya untuk mencegah
korupsi yang melibatkan sektor swasta,meningkatkan standar akuntansidan audit di sektor
swasta, jika dipandang perlu memberikan sanksi perdata, adminitratif, atau pidana yang efektif,
proporsional dan bersifat larangan bagi yang tidak mematuhi tindakan tindakan tersebut.
8
2. Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis
korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya
terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena
jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 UU PTPK sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan
pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20
tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” (KPK, 2006).
e. Suap – Menyuap
Suap – menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau hadiah yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya. Contoh ; menyuap pegawai negei yang karena jabatannya bisa
menguntungkan orang yang memberikan suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. (KPK,
2006)
Korupsi jenis ini telah diatur dalam UU PTPK :
a. Pasal 5 ayat (1) UU PTPK;
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK;
c. Pasal 5 ayat (2) UU PTPK;
d. Pasal 13 UU PTPK;
e. Pasal 12 huruf a PTPK;
f. Pasal 12 huruf b UU PTPK;
g. Pasal 11 UU PTPK;
h. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PTPK;
i. Pasal 6 ayat (1) huruf b UU PTPK;
j. Pasal 6 ayat (2) UU PTPK;
k. Pasal 12 huruf c UU PTPK;
l. Pasal 12 huruf d UU PTPK (KPK, 2006).
9
f. Penyalahgunaan Jabatan
Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat pemerintah
yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan
barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini sebagaiamana rumusan Pasal 8
UU PTPK (KPK, 2006).
Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal – pasal lain yang mengatur
tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain:
a. Pasal 9 UU PTPK;
b. Pasal 10 huruf a UU PTPK;
c. Pasal 10 huruf b UU PTPK;
d. Pasal 10 huruf c UU PTPK (KPK, 2006).
g. Pemerasan
Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat.
Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar hukum dan definisinya
yaitu:
a) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan dengan
kekuasaannya itu memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang menguntungkan
dirinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 huruf e UU PTPK.
b) Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat dengan alasan
uang atau pemberian ilegal itu adalah bagian dari peraturan atau haknya padahal kenyataannya tidak
demikian. Pasal yang mengatur tentang kasus ini adalah Pasal 12 huruf e UU PTPK (KPK, 2006).
2) Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi jenis
ini di atur dalam Pasal 12 UU PTPK (KPK, 2006).
10
i. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan
Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk
pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan tender
(KPK, 2006).
Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang
rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor
tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai
peserta. Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender
maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i UU PTPK
sebagai berikut:
”Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan
perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ancaman pidana mati merupakan ancaman pidana yang paling serius karena berkaitan dengan
nyawa manusia. Dalam hal ini, tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri sendiri mengatur tentang
ancaman pidana mati dalam kondisi pemberatan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Adapun keadaan-keadaan tertentu yang dijadikan sebagai alasan pemberat dalam tindak pidana
korupsi yakni:
1. Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya;
2. Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana alam
nasional;
3. Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas;
4. Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penggulangan krisis
ekonomi dan moneter;
5. Pengulangan tindak pidana korupsi.
Meskipun di Undang-Undang Korupsi telah mengatur tentang pidana mati bagi pelaku tindak
pidana korupsi, belum ada satupun koruptor yang dipidana mati. Hal tersebut sangat disayangkan
mengingat dampak yang ditimbulkan tindak pidana korupsi dapat mengganggu kepentingan nasional.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat diberikan adalah hakim harus berani
menjatuhkan pidana mati kepada koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu dan sangat
merugikan keuangan negara. Hal tersebut berguna untuk memberikan efek jera bagi masyarakat dalam
rangka menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi.
12
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
http://hmibecak.wordpress.com/2007/06/14/problemetika-pidana-mati-di-indonesia/
Diakses 7 Desember 2011 pukul 23.15
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=140&Item
id=140
13