Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TINDAK PIDANA KORUPSI


“Analisis Pidana Mati dalam Keadaan Tertentu dalam UU TPK”
Dosen Pengampu : Dr. Endri, S.H., M.H

Bangsawan Pasaribu
NIM. 190574201016

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2022
KATA PENGANTAR

Penyusun mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun masih diberikan
kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Analisis Pidana Mati dalam Keadaan Tertentu dalam UU TPK”.
Makalah ini dibuat sebagai syarat untuk dapat melengkapi tugas di mata
kuliah Hukum Tindak Pidana Korupsi, pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji dan untuk
menambah wawasan serta pengetahuan.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusun dalam penyusunan makalah ini. Secara khusus, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Endri, S.H., M.H. selaku dosen
pengampu dalam mata kuliah Hukum Tindak Pidana Korupsi. Semoga makalah
ini dapat menjadi bahan kajian yang bermanfaat. Penyusun juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan
makalah yang telah disusun ini.

Tanjungpinang, 25 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL (COVER)............................................................................i


KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1. Pidana Mati Dalam Keadaan Tertentu bagi Pelaku Tindak Pidana
Korupsi....................................................................................................4
2.2. Penerapan Sanksi Pidana Mati Dalam Keadaan Tertentu.......................8
BAB III PENUTUP...............................................................................................12
3.1. Kesimpulan............................................................................................12
3.2. Saran......................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).
Hal ini beralasan karena perbuatan korupsi menimbulkan dampak yang sangat
luar biasa bukan saja dapat merugikan keuangan negara tetapi juga dapat
menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian rakyat. Sebagai
kejahatan yang luar biasa tersebut maka perbuatan korupsi penanganannya
harus luar biasa pula.1 Korupsi yang telah mengakar akan membawa
konsekuensi terhambatnya pembangunan di suatu negara. Ketidakberhasilan
pemerintah memberantas korupsi akan semakin melemahkan citra pemerintah
dimata masyarakat. Dalam pelaksanaannya dapat terlihat dalam bentuk
ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan
bertambahnya jumlah angka kemiskinan di negara tersebut.
Di berbagai negara, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya karena dampak negatif yang
terjadi dan yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Menyadari kompleksnya
permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman
nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak
pidana korupsi dapat dikatakan meruapakan salah satu permasalahan nasional
yang harus dihadapi secara sungguh- sungguh melalui keseimbangan
langkah- langkah yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada
dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Di Indonesia, dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh korupsi ini
sangat banyak sekali dan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial
ekonomi,dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan

1
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional Dan Internasional (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2015), 4.

1
moralitas karena lambat laun perbuatan ini memberikan ancaman yang sangat
besar terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya
hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal
10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati termasuk jenis pidana pokok
yang menempati urutan yang pertama. Pidana mati merupakan pidana yang
terberat karena menyangkut nyawa. Pidana mati merupakan satu jenis pidana
dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari
semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut system Common
law, maupun Negara yang menganut Civil Law.
Terkait dengan tindak pidana korupsi, di keluarkanya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi
tindak pidana korupsi. Di dalam Undang-Undang ini diatur tentang bentuk-
bentuk atau jenis-jenis tindak pidana korupsi yang disertai dengan ancaman
pidananya baik berupa pidana denda, penjara bahkan pidana mati.
Pemberian pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini
diharapkan memberikan efek jera kepada pelakunya dan membuat orang lain
takut untuk melakukan perbuatan tersebut, meskipun dalam beberapa
ketentuan memicu beberapa kontroversi tentang pemberlakuan pidana mati di
Indonesia salah satunya bertentangan dengan keberadaan UU No 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.

2
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
mengangkat permasalahan sebagai berikut:
1) Apakah pelaku tindak pidana korupsi dapat dikenakan pidana mati dalam
keadaan tertentu?
2) Bagaimana penerapan sanksi pidana mati dalam keadaan tertentu bagi
pelaku tindak pidana korupsi?

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pidana Mati Dalam Keadaan Tertentu bagi Pelaku Tindak Pidana
Korupsi
A. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata bahasa latin, yakni corruption
atau corruptus yang kemudian disalin dalam bahasa Inggris menjadi
corruption atau corrupt, dalam bahasa Pera ncis menjadi corruption dan
dalam bahasa Belanda disalin menjadi corruptie (korruptie). Secara
etimologi korupsi berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina
atau memfitnah.2
Di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law
Dictionary, yaitu:
Corruption an act done with an intent to give some advantage
inconsistence with official duty and the rights of others. The act of an
official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station
or character to procure some benefit for himself or for another person,
contrary to duty and the rights of others.3
Sedangkan menurut perspektif hukum di Indonesia, definisi
korupsi secara gamblang dijelaskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya dijelaskan bahwa korupsi adalah
usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara
melawan hukum. Dalam UU tersebut, terdapat 13 Pasal yang menjelaskan
bentuk-bentuk pidana korupsi dan dikelompokkan sebagai berikut:
a. Suap menyuap
b. Penggelapan dalam jabatan
c. Pemerasan

2
Ibid.
3
J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 89.

4
d. Perbuatan curang
e. Benturan kepentingan dalam pengadaan
f. Gratifikasi
B. Pidana Mati
Rancangan KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana
pokok dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus
atau sebagai pidana eksepsional. Penempatan pidana mati terlepas dari
paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari
pandangan retensionis dan abolisionis. Pidana mati merupakan salah satu
jenis pidana yang paling kontroversial karna selalu mendapat sorotan dari
berbagai kalangan di seluruh dunia. Pidana mati menurut pandangan
abolisionis, karena tidak sesuai dengan Falsafah bangsa Indonesia yakni
Pancasila, namun di pihak yang masih mempertahankan pidana mati
bahwa pidana mati tersebut tidak bertentangan dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam falsafah Pancasila.4
Pidana mati di Indonesia dianggap tidak melalui proses peradilan
yang independen, imparsial dan bersih. Praktek pidana mati di Indonesia
selama ini masih dinilai bias kelas dan diskriminasi. Pidana mati tidak
pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya
pada umumnya bisa dikategorisasikan sebagai kejahatan serius atau luar
biasa.
Sedangkan ancaman pidana mati di Indonesia bersumber pada pada
Wetboek van Strafrecht yang disahkan sebagai Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1
Januari 1918. Dalam eksistensi pidana mati, hukum pidana merupakan
hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan
hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Keterkaitan
dalam KUHP, menegaskan untuk mengancam kejahatan-kejahatan yang
berat dengan pidana mati.

4
Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmia (Jakarta: Bina Aksara, 1982), 17.

5
C. Frasa “Keadaan Tertentu” dalam UU Tindak Pidana Korupsi
Korupsi termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa yang dapat
merusak moral bangsa, menimbulkan kerugian nasional, mempengaruhi
keterlambatan pembangunan, serta merampas keadilan dan kesejahteraan
rakyat Indonesia. UU Pemberantasan Korupsi memberlakukan hukuman
mati bagi korupsi, dan secara filosofis, penjatuhan hukuman pidana
korupsi sejalan dengan nilai-nilai moral Pancasila. Mampu menerapkan
hukuman mati terhadap korupsi dalam dialektika kehidupan bangsa
Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai dasar terwujudnya keadilan.5
Berdasarkan perubahan dalam UU Tipikor yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" kini memiliki cakupan yang lebih luas. Hal tersebut
diutarakan oleh salah satu kelompok DPR terkait isu pidana mati yaitu
kelompok TNI/Polri. Mereka mengajukan perubahan catatan dalam Pasal
2 ayat (2) tentang keadaan tertentu, sehubungan dengan kondisi khusus
yang mulanya diartikan sebagai situasi dan kondisi, tempat dan waktu
ketika korupsi itu dilakukan.
Pada saat ini, UU Tipikor tersebut mengartikan “keadaan tertentu”
sebagai keadaan yang dapat digunakan sebagai syarat untuk mengadili
seseorang atas tindak pidana korupsi (pemberat pidana) yaitu apabila
tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan tindak pidana korupsi.6

5
Wildan Tantowi, “Problematika Yuridis Penjatuhan Sanksi Pidana Mati Terhadap Koruptor Pada
Masa Pandemi Covid-19,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 8, no. 2 (2021): 178.
6
Satria Unggul Wicaksana Prakasa Vavirotus Sholichah, “Analisis Keadaan Tertentu Tentang
Penerapan Pidana Mati: Studi Kasus Korupsi Bansos Covid-19,” Jurnal Komunikasi Hukum 8 NO. 2,
A (2022): 173–198.

6
D. Pidana Mati bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Pemberlakukan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi,
adapun yang harus diperhatikan dalam rangka pembaharuan hukum,
pidana nasional dan harmonisasi suatu peraturan perundang-undangan,
maka perumusannya yaitu:
a) Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai
pidana yang bersifat khusus dan alternatif
b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan percobaan selama sepuluh tahun
yang apabila terpidana berkelakuan terpuji diubah dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum
dewasa.
d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang
sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan
dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Salah satu undang-undang yang masih memberlakukan ancaman
pidana mati adalah Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kebijakan formulasi pasal-pasal yang berkaitan dengan kedua hal
ini tentu didasarkan pada pemikiran dan dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Pemberlakuan ancaman pidana mati dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkan “Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Tindak pidana yang dimaksudkan
dalam ayat (1) yakni “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

7
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian
negara.”7
Adapun UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
sangat bertentangan dengan pidana mati karna pada dasarnya UU tersebut
memiliki prinsip kebebasan. Hukuman mati mungkin akan membuat
kejahatan si pelaku terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan
membuat orang lain takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas
tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup
sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku
kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk
hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.8
Untuk itu, Hak asasi manusia (HAM) berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman, artinya bahwa perkembangan HAM mengikuti
peradaban perkembangan manusia dari masa ke masa, awalnya HAM
dikenal dengan sebutan Natural Rights artinya hak-hak alam, yang
berpedoman pada teori hukum alam bahwa segala sesuatu berasal dari
alam termasuk HAM. Istilah ini kemudian diganti dengan The Rights Of
Man, tetapi akhirnya tidak diterima karena hak-hak wanita tidak
terwakilkan.9
2.2. Penerapan Sanksi Pidana Mati Dalam Keadaan Tertentu
Penerapan pidana mati dalam hukum positif indonesia, HAM telah
mendasari dengan berbagai pemikiran sebagai berikut:10
1) Hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan
masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang
ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan.
2) Hukuman mati tidak selalu efektif sebagai salah satu upaya pencegahan
atau membuat orang jera untuk melakukan kejahatan.

7
Pemerintah Pusat, “Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,” n.d.
8
Presiden Republik Indonesia, “Undang-Undang No . 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,”
1999.
9
La Margono, Materi Kuliah Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2013, 1.
10
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati (Jakarta: Aksara Press Persada, 1985), 99.

8
3) Atas dasar pertimbangan kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-
nilai HAM yang menutup kesempatan seorang terpidana untuk
memperbaiki diri.
Dari uraian di atas, membuktikan bahwa para aktvis pembela HAM
hingga pada saat ini hukuman mati berusaha untuk di hilangkan. Dengan
perspektif tersebut penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai
bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”.11
Jadi, hukuman mati pada dasarnya bertentangan dengan prinsip-
prinsip kemanusiaan (HAM) dan harus dihilangkan atau dihapus.52
Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan,
setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain takut
melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat
memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi.
Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat
merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain,
misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.
Dari sinilah, hukuman mati dinilai sudah tidak tidak efektif lagi
sebagai sebuah bentuk pemidanaan yang menjerakan, karena sistem
pemidanaan modern terus mengarah ke upaya merehabilitasi terpidana
(treatment). Dari sini, para pembela HAM berupaya menghilangkan hukuman
mati dari ketentuan hukum dan perundang-undangan di Indonesia demi
melindungi hak hidup warga negara secara mutlak.
Jika melihat secara tekstual, maka penerapan hukuman mati
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 28A, dan 28I Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-
Undang No 39 Tahun 1999, dan Pasal 3 DUHAM. Pasal 28A Undang-
Undang Dasar 1945 yang menentukan:

11
Ibid.

9
“bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28I ayat (1) menentukan: “hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Dalam beberapa kasus korupsi, para pelaku dapat dijatuhi hukuman
seberat-beratnya karena pelaku harus dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dalam setiap perbuatan yang terkandung unsur kesalahan atau
tindak pidana, maka tindak pidana atau kesalahan itulah yang menyebabkan
seseorang itu dihukum. Dalam hal ini dikenal asas tiada pidana tanpa
kesalahan (Geen straf zonder schuld atau no punishment without guilt) yang
merupakan asas pokok dalam pertanggungjawaban pembuat terhadap tindak
pidana yang dilakukan. Asas hukum tidak tertulis ini dianut hukum pidana
Indonesia saat ini. Asas tiada pidana tanpa kesalahan ini disimpangi oleh
Strict Liability dan Vicarious liability.12
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam ketentuan Pasal 3,
menjelaskan bahwa:13
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun”.
Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi, selanjutnya tertuang dalam
Pasal 6, yang berbunyi:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;

12
Yeni Widowaty, “Criminal Corporate Liability In Favor of The Victim In The Case Of
Environmental Crime,” Yudisial 5 (2012): 157–158.
13
Presiden Republik Indonesia, “UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,”
no. 1 (2002).

10
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Prosedur penerapan hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, hanya ada satu pasal
yang mengatur yaitu pasal 2 ayat (2). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
hukuman mati dapat diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam
“keadaan tertentu”. Ada dua hal yang menyebabkan hukuman mati dalam
tindak pidana korupsi tidak pernah dijatuhkan oleh hakim, yakni:
1. klausul “dapat” dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan
Tindak Korupsi bermakna fakultatif, bukan bermakna imperative.
2. klausul “dalam keadaan tertentu” memberi makna bahwa hukuman mati
tidak bisa diterapkan terhadap setiap perbuatan korupsi, tetapi hanya
terhadap korupsi yang dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu.
Disamping itu, keberadaan HAM dalam memberikan sanksi
pidana mati sangat bertentangan, begitu juga telah dibuktikan dari beberapa
aktivis pembela HAM yang berusaha untuk menghilangkan sanksi tersebut.
3.2. Saran
Dalam penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran
tindak pidana korupsi para aparat penegak hukum baik Kepolisian, KPK,
maupun Kejaksaan harus mempunyai kompetensi penegakan hukum di
bidang tindak pidana korupsi agar dapat melakukan secara serius dan
seefektiv mungkin serta jangan ada kesan pencampuran unsur poltik ke dalam
penegakan hukum . terlepas dari itu, a proses peradilan dilakukan secara
objektif dengan tidak memandang kelas sosial dalam hal penuntutan dapat
dilakukan secara proposional sesuai dengan bobot kasusnya dan sesuai
dengan pasal dalam Undang-Undang yang mengaturnya.
Sebagai hakim dalam kedudukannya pengganti Tuhan Yang Maha
Esa di dunia, seharusnya dapat menjatuhkan putusan dengan seadil-adilnya
serta menjadikan kesejahteraan bagi masyarakat.

12
13
DAFTAR PUSTAKA

Akhiar Salmi. Eksistensi Hukuman Mati. Jakarta: Aksara Press Persada, 1985.
Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional Dan
Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
J.C.T Simorangkir. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
La Margono. Materi Kuliah Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2013.
Pemerintah Pusat. “Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” n.d.
Poernomo, Bambang. Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmia. Jakarta: Bina
Aksara, 1982.
Presiden Republik Indonesia. “Undang-Undang No . 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia,” 1999.
———. “UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,” no. 1
(2002).
Tantowi, Wildan. “Problematika Yuridis Penjatuhan Sanksi Pidana Mati Terhadap
Koruptor Pada Masa Pandemi Covid-19.” Jurnal Hukum dan Pembangunan
Ekonomi 8, no. 2 (2021): 178.
Vavirotus Sholichah, Satria Unggul Wicaksana Prakasa. “Analisis Keadaan
Tertentu Tentang Penerapan Pidana Mati: Studi Kasus Korupsi Bansos
Covid-19.” Jurnal Komunikasi Hukum 8 NO. 2, A (2022): 173–198.
Yeni Widowaty. “Criminal Corporate Liability In Favor of The Victim In The
Case Of Environmental Crime.” Yudisial 5 (2012): 157–158.

14

Anda mungkin juga menyukai