Anda di halaman 1dari 5

NAMA : BANGSAWAN PASARIBU

NIM : 190574201016

UAS : POLITIK HUKUM

Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum pemilu

Periode Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru

Konfiguasi politik merupakan konstelasi kekuatan politik yang dinamis dan kemudian
mengarahkan bentuk-bentuk legalitas formal peraturan yang disebut sebagai prosuk hukum. Konfigurasi
politik hukum terbagi menjadi dua yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter. Secara
teoritis, konfigurasi politik yang demokratis akan membentuk produk hukum yang responsive, sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter akan membentuk produk hukum yang konservatif atau otordoks.

a. Konfigurasi politik demokratis


Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka ruang bagi partisipasi
masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara. Konfigurasi
politik demokratis menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus
melaksanakan kehendak masyarakatnya. Oleh karena itu, badan perwakilan rakyat dan partai
politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan
negara. Pers terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman atau
tindakkan kriminalisasi lainnya.
b. Konfigurasi politik otoriter
Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi
yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan negara, sehingga potensi dan anspirasi masyarakat tidak teragregasi dan teratikulasi
secara proporsional. Bahkan dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan
rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan bbaik dan lebih merupakan
alat untuk justifikasi atas kehendak pemerintah. sedangkan Pers tidak memiliki kebebasan dan
senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah.
1. Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum Pemilu Periode Demokrasi Liberal
Pada periode ini beberapa produk legislasi dikeluarkan. Ada beberapa peraturan perundang-
undangan yang menyangkut lembaga perwakilan dan pemilihan umum, tetapi tidak semuanya
dapat dilakukan sesuai dengan tujuannya. Beberapa UU tentang pemerintahan daerah
diundangkan, dan produk hukum agaria nasional telah digarap dalam waktu yang panjang pada
periode ini, tetapi baru bisa final sesudah terjadi perubahan sistem politik atau periode
sesudahnya.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrument penting dalam negara demokrasi yang
menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politikus-politikus”
yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Mereka yang
terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban
untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompokyang lebih besar melalui partai politik
(parpol). Oleh karena itu, adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik
modern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat,
mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan,serta
menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara sah dan damai. Pemilu merupakan
komponen penting dari negara demokrasi, perlu ditegaskan hukum pemilu tidak dapat dilepaskan
dari sistem yang mengatur tentang susunan dan kedudukan lembaga perwakilan, sebab pemilu
diselenggarakan dalam rangka mengisi lembaga perwakilan. Pemilu mutlak diperlukan oleh negara
yang menganut paham demokrasi.
Semua konstitusi yang pernah berlaku pada periode ini, yaitu UUD 1945,Konstitusi RIS, dan
UUDS 1950 menganut paham demokrasi sebagai salah satu asasnya yang fundamental.
Demokrasi yang dianutnya adalah demokrasi perwakilan.
Ketiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia juga menuntut adanya lembaga pemilu,
kendati tidak semua UUD menyebutnya secara eksplisit. UUD 1945 misalnya, tidak memuat istilah
pemilu itu. Tetapi tidak dapat dikatakan UUD ini memuat secara implisit ketentuan adanya pemilu
sebab aparatur demokrasi yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut (seperti adaya MPR
dan DPR) memang menuntut adanya lembaga pemilu. Terlihat urgensi pemilu sebagai
konsekuensi logis dari paham kedaulatan rakyat seperti yang dimuat dalam alinea IV
Pembukaan dan Pasal I ayat (2) UUD 1945.
Berbeda dengan UUD 1945, konstitusi RIS dan UUDS 1950 memuat tentang pemilu secara
eksplisit. Konstitusi RIS memuat hal tersebut dalam Pasal 34, sedangkan UUDS 1950 memuatnya
dalam Pasal 35, Pasal 57 dan Pasal 135 (2) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34 Konstitusi RIS:
“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam
pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang sedapat
mungkin bersifat umum dan berkesanaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia
ataupun menurut cara yang jujur menjamin kebebasan mengeluarkan suara.” Pasal 35
UUDS 1950:
“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam
pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat
umum dan berkesaman, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut
cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.” Pasal 57 UUDS 1950:

“Anggota –anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga
negara Indonesia yang memnuhi syarat-syarat dan menutut aturan-aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang.”
Pasal 135 ayat (2) UUDS 1950.
“Anggota-anggota konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum
dan dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.”

Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan pemilu selalu menjadi program
pemerintah. Pada tanggal 5 Oktober 1945 sudah dinyatakan untuk segera diadakan Pemilu secara
Nasional dan ketika pada tanggal 14 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang
susunan Kabinet Sjahrir II, dicantumkan juga pernyataan bahwa tindakan-tindakan demokratis
yang lain harus segera dilaksanakan adalah mengadakan pemilihan umum.

UU Nomor 7 Tahun 1953 yang biasa disebut dengan UU Pemilu mencakup electoral laws dan
pengaturan electoral procces. Electoral laws adalah sistem pemilihan dan perangkat peraturan
yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu itu. Sedangkan
Electoral procces adalah mekanisme yang dijalankan dalam pemilu seperti pencalonan,
kampanye, cara penghitungan, penentuan hasil, dan sebagainya. UU Nomor 7 Tahun 1953
secara rinci mengatur sistem pemilu dan pedoman mekanisme pemilu yang mencakup electoral
laws dan peraturan electoral procces. UU ini mengatur dengan sangat rinci sehingga tidak
memberikan peluang yang terlalu banyak terhadap pemerintah untuk membuat interprestasi
(berdasarkan delegasi perundang-undangan).

2. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum pada Periode Demokrasi Terpimpin


Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin bertolak belakangdengan yang terjadi pada
era demokrasi parlementer. Sistem politik demokrasi terpimpin muncul secara resmi setelah
konstituante dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun UUD yang tetap, dan dububarkan
dengan dekrit Presiden tanggal 5 juli 1945. Meskipun pembenaran yuridis-konstitusional atas
dekrit itu bermacam-macam, karena menurut UUDS presiden tidak berwenang “memberlakukan”
atau “mencabut berlakunya” sebuah UUD, tetapi praktiknya dekrit ini diterima dan dianggap final
sebagai dasar berlakunya UUD dan menjadi titik tolak munculnya demokrasi baru yang disebut
demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistim yang berlaku sebelumnya, ketika
politik sangat ditentukan oleh politik partai-partai melalui sistem free fight. Proses pengambilan
keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat serta semangat
gotong-royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian menampilkan
Soekarno sebagai penguasa otoriter.
UUDS 1950 sejak pemula dimaksudkan untuk berlaku sementara, yakni berlaku sampai
ditetapkannya UUD baru oleh konstituante bersama-sama dengan pemerintah sesuai dengan
Pasal 134 UUDS 1950. Pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR menyetujui UU tentang
Pemilihan Umum (Pemilu) untuk anggota kostituante dan Perwakilan Rakyat, yaitu UU Nomor 7
Tahun 19533. Pemilu pertama diselenggarakan pada tahun pada tahun 1955, dengan dua kali
pemungutan suara, yaitu untuk anggota konstituante pada bulan Desember 1955.
Helbert Feith mengatakan, kampanye yang mendahului Pemilu 1955 membawa pengaruh yang
besar bagi politisasi massa rakyat di desa-desa. Bahkan dibanyak tempat telah mengakibatkan
semakin terlibatnya rakyat dalam masalah-masalah politik, dalam skala yang lebih besar daripada
massa revolusi. Hal tersebut mengakibat5 kan semakin dipertegasnya pembagian
komunikasi, terutama antara santri dan abangan, yang menyebabkan pula semakin
melemahnya pemerintah. begitu juga dengan consensus-konsensus tujuan nasional yang telah
menurun sebeum dimulainya kampanye, menjadi semakin lemah lagi.
Selama periode demokrasi terpimpin, tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan
perundang- perundangan Pemilu. Sepertin telah dikemukakan, lembaga perwakilan yang mula-
mula dipakai pada awal periode ini adalah DPR yang anggota-anggotanya dibentuk
berdasarkan hasil Pemilu 1955. Akan tetapi, kendati dengan istilah penghentian pelaksaan
tugas, DPR ini telah dibubarkan dengan penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960. Diktum
Penpres tersebut adalah sebagai berikut.
a. Menghentikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.
b. Mengusahakan pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945 dalam waktu singkat.
Bunyi diktum kedua yang lebih berupa janji untuk membentuk DPR yang sesuai dengan
tuntutan UUD 1945 adalah rencana Pemilu.pemilu yang dijanjikan itu ternyata ditunda lagi ketika
pada tanggal 20 Mei 1962 pemerintah mengeluarkan pengumuman sebelum Irian Barat kembali
kepangkuan Republik.

Anda mungkin juga menyukai