OLEH:
I NYOMAN WARTANA
211310835
DOSEN PENGAMPU:
DENPASAR
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iii
BAB I. Pendahuluan ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II. Pembahasan ................................................................................... 3
2.1 Tindak Pidana Korupsi.......................................................................... 3
2.2 Pengembalian aset............... ................................................................ 3
BAB III. Penutup ......................................................................................... 6
3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 6
3.2 Saran .................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 7
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas , tujuan penelitian nya adalah untuk mengetahui
pengaturan mengenai pengembalian aset negara terhadap UU no 20 tahun 2001.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin ―corruptio atau ―corruptus yang kemudian muncul
dalam banyak bahasa Eropa, Inggris, Prancis ―corruption bahasa Belanda
―corruptie yang kemudian muncul pula dalam bahasa Indonesia korupsi. Di Indonesia,
kita menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas sebagai ―KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme). Korupsi selama ini mengacu kepada berbagai ―tindakan gelap dan tidak sah
(illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi
ini kemudian berkembang sehingga pengertian korupsi menekankan pada
penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntunganpribadi.
Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam
berbagai pembahasan tentang korupsi:
a) Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office centered corruption). Philip
mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku dan tindakan pejabat publik yang
menyimpang dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti
keluarga, kerabat dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme:
pemberian patronase karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive), bukan merit.
b) Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan umum (public interest-
centered). Dalamkerangka ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang
kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan
tertentu dari orang- orang dengan imbalan (apakah uang atau materi lain). Akibatnya,
tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
c) Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang berdasarkan analisa korupsi
menggunakan teoripilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi dalam kerangka
analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau kelompok menggunakan korupsi
sebagai ―lembaga‖ ekstra legal untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi.
Hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang
lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
3
4
dari kejahatan serta bentuk pencegahan yang efektif dan ekonomis. Termasuk dalam hal
penanggulangan Tipikor, pertimbangan kebijakan berkaitan pemulihan dampak kejahatan
berupa pengembalian kerugian Negara harus diakselerasikan dalam proses kriminalisasi.
Merupakan tugas dan Tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial
dipandang dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk
melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil Tipikor. Cita-cita pemberantasan korupsi
yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat
tiga isu utama, yaitu pencegahan, pemberantasan dan pengembalian aset hasil korupsi
(asset recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya
terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga
meliputi pengembalian aset Tipikor. Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam pengembalian
aset hasil Tipikor, maka dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor. Dalam konteks
ini Romli Atmasasmita mengemukakan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan terhadap
kesejahteraan bangsa dan negara yang ditandai dengan hilangnya aset hasil Tipikor
merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya pemberantasan Tipikor.
Upaya pengembalian aset negara ‗yang dicuri‘ (stolen asset recovery) melalui
Tipikor cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku Tipikor memiliki akses yang
luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian
uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin
sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil
kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana Tipikor itu sendiri
dilakukan. Bagi negara- negara berkembang untuk menembus pelbagai permasalahan
pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum negara-negara besar akan
terasa teramat sulit, apalagi negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja
sama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan. Brenda Grantland menjelaskan
bahwa perampasan aset (asset forfeiture) adalah suatu proses dimana pemerintah secara
permanen mengambil properti dari pemilik tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai
hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik. Dari definisi
tersebut dapat dilihat bahwa perampasan aset merupakan suatu perbuatan permanen yang
berbeda dengan penyitaan yang merupakan perbuatan sementara, karena barang yang
disita akan ditentukan dalam putusan apakah akan dikembalikan pada yang berhak,
dirampas atau untuk negara dimusnahkan atau akan digunakan bagi pembuktian perkara
lain. Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata rampas yang diatur
5
dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang
disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya
tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang
bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Menurut Marjono Reksodiputro bahwa konsep
hukum (Legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah tindakan
perampasan bentuk sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-
sama dengan pidana pokok.
3) pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata serta
4) pidana pembayaran uang pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi.
3.2 Saran
Penekanan pada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bentuk
memulihkan kerugian negara sudah seharusnya dimaksimalkan. Pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dapat melalui beberapa cara yaitu perampasan aset hasil tipikor, beban
pembuktian terbalik, melalui gugatan perdata, dan optimalisasi pembayaran uang pengganti
serta upaya penjeratan melalui ketentuan tindak pidana pencucian uang. Selain itu yang tak
kalah penting juga mengatasi persoalan kemandekan eksekusi pembayaran uang pengganti
dengan pembaruan kebijakan dan penguatan komitmen penegak hukum untuk
mengoptimalkan pengembalian akibat kerugian negara dari tindak pidana korupsi.
6
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, H.R., and Andri Desasfuryanto. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: PTIK,
2012.
Anwar, Yesmil, and Adang. Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Di
Indonesia). Jakarta: Grasindo, 2008.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Arief, Basrief. Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta). Jakarta: Adika
Remaja Indonesia, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
BhuanaIlmu Populer, 2007