Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MENGKAJI SANKSI YANG DIBERIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


DALAM UU NO 20 TAHUN 2001

OLEH:

I NYOMAN WARTANA

211310835

DOSEN PENGAMPU:

A.A GEDE OKA WIDANA, S.Pd.H.,M.Pd.H

D III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

SEKOLAH TINGGI ILMU WIRA MEDIKA

DENPASAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Singaraja, 20 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iii
BAB I. Pendahuluan ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II. Pembahasan ................................................................................... 3
2.1 Tindak Pidana Korupsi.......................................................................... 3
2.2 Pengembalian aset............... ................................................................ 3
BAB III. Penutup ......................................................................................... 6
3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 6
3.2 Saran .................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 7

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk
yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu
menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan
perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya
(cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi
dan tindak pidana lainnya.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan
yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada
penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat
mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.
Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya
menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah
banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini
sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel
organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif
dan yudikatif hingga ke BUMN.Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air
selama ini tidak saja merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat
1
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang
No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut
memberi konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor tidak hanya bertujuan untuk membuat jera
para Koruptor melalui penjatuhan pidana penjara yang berat, melainkan juga memulihkan
keuangan negara akibat korupsi sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum
UU Tipikor. UU Tipikor mengatur mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan dapat berupa
pengembalian aset melalui jalur pidana, dan pengembalian aset melalui jalur perdata. Di samping
UU Tipikor, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi
(UNCAC) 2003 yang mengatur juga bahwa pengembalian aset dapat dilakukan melalui jalur
pidana (aset recovery secara tidak langsung melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset
recovery secara langsung melalui civil recovery). Secara teknis, UNCAC mengatur pengembalian
aset pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung dari proses
pengadilan yang dilandaskan kepada sistem negotiation plea” atau plea bargaining system”
dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu dengan proses penyitaan berdasarkan
keputusan pengadilan.
Dengan mekanisme ini, terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang
diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan
digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana.

1
2

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang makalah maka rumusan masalahnya maka bagaimana
pengaturan mengenai pengembalian aset negara terhadap UU no 20 tahun 2001?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas , tujuan penelitian nya adalah untuk mengetahui
pengaturan mengenai pengembalian aset negara terhadap UU no 20 tahun 2001.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin ―corruptio atau ―corruptus yang kemudian muncul
dalam banyak bahasa Eropa, Inggris, Prancis ―corruption bahasa Belanda
―corruptie yang kemudian muncul pula dalam bahasa Indonesia korupsi. Di Indonesia,
kita menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas sebagai ―KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme). Korupsi selama ini mengacu kepada berbagai ―tindakan gelap dan tidak sah
(illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi
ini kemudian berkembang sehingga pengertian korupsi menekankan pada
penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntunganpribadi.
Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam
berbagai pembahasan tentang korupsi:
a) Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office centered corruption). Philip
mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku dan tindakan pejabat publik yang
menyimpang dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti
keluarga, kerabat dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme:
pemberian patronase karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive), bukan merit.
b) Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan umum (public interest-
centered). Dalamkerangka ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang
kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan
tertentu dari orang- orang dengan imbalan (apakah uang atau materi lain). Akibatnya,
tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
c) Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang berdasarkan analisa korupsi
menggunakan teoripilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi dalam kerangka
analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau kelompok menggunakan korupsi
sebagai ―lembaga‖ ekstra legal untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi.
Hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang
lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.

2.2 Pengembalian aset

Perspektif kebijakan kriminal menegaskan bahwa dalam hal penanggulangan


kejahatan, sangat penting untuk mempertimbangkan hal utama terkait perbaikan dampak

3
4

dari kejahatan serta bentuk pencegahan yang efektif dan ekonomis. Termasuk dalam hal
penanggulangan Tipikor, pertimbangan kebijakan berkaitan pemulihan dampak kejahatan
berupa pengembalian kerugian Negara harus diakselerasikan dalam proses kriminalisasi.
Merupakan tugas dan Tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial
dipandang dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk
melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil Tipikor. Cita-cita pemberantasan korupsi
yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat
tiga isu utama, yaitu pencegahan, pemberantasan dan pengembalian aset hasil korupsi
(asset recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya
terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga
meliputi pengembalian aset Tipikor. Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam pengembalian
aset hasil Tipikor, maka dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor. Dalam konteks
ini Romli Atmasasmita mengemukakan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan terhadap
kesejahteraan bangsa dan negara yang ditandai dengan hilangnya aset hasil Tipikor
merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya pemberantasan Tipikor.

Upaya pengembalian aset negara ‗yang dicuri‘ (stolen asset recovery) melalui
Tipikor cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku Tipikor memiliki akses yang
luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian
uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin
sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil
kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana Tipikor itu sendiri
dilakukan. Bagi negara- negara berkembang untuk menembus pelbagai permasalahan
pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum negara-negara besar akan
terasa teramat sulit, apalagi negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja
sama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan. Brenda Grantland menjelaskan
bahwa perampasan aset (asset forfeiture) adalah suatu proses dimana pemerintah secara
permanen mengambil properti dari pemilik tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai
hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik. Dari definisi
tersebut dapat dilihat bahwa perampasan aset merupakan suatu perbuatan permanen yang
berbeda dengan penyitaan yang merupakan perbuatan sementara, karena barang yang
disita akan ditentukan dalam putusan apakah akan dikembalikan pada yang berhak,
dirampas atau untuk negara dimusnahkan atau akan digunakan bagi pembuktian perkara
lain. Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata rampas yang diatur
5

dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang
disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya
tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang
bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Menurut Marjono Reksodiputro bahwa konsep
hukum (Legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah tindakan
perampasan bentuk sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-
sama dengan pidana pokok.

Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 013/A/JA/06/2014 tentang Pedoman


Pemulihan Aset, menyatakan bahwa perampasan adalah tindakan paksa yang dilakukan
oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan
penyitaan aset para pelaku korupsi merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk
menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah yang kelak
oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian
keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan.
Sehingga proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian dari tahap
penyidikan, berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Terdapat dua jenis perampasan aset dalamkaitannya dengan upaya pengembalian aset
yang berasal dari tindak pidana, yaitu perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata
(inrem) dan perampasan aset secara pidana yang mendasar dalam hal prosedur dan
penerapannya dalam melakukan perampasan aset yang merupakan hasil dari suatu tindak
pidana. Kedua jenis perampasan aset tersebut mempunyai dua tujuan yang sama, pertama:
mereka yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperbolehkan untuk mendapatkan
keuntungan dari pelanggaran hukum yang ia lakukan.
Hasil dan instrumen dari suatu tindak pidana harus dirampas dan digunakan untuk
korban (negara atau subjek hukum). Kedua, pencegahan pelanggaran hukum dengan cara
menghilangkan keuntungan ekonomi dari kejahatan dan mencegah perilaku jahat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan

Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan pelaku, serta


memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect) semata belum efektif
menekan terjadinya tindak pidana korupsi jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan
merampas hasil dan instrumen kejahatannya. Selain itu, penanganan tindak pidana korupsi
tidak semata untuk memidana pelaku namun juga harus memulihkan keuangan negara.
Upaya yang telah termuat dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin
terpulihkannya kerugian negara antaralain melalui:

1) perampasan aset hasil tindak pidana korupsi;

2) pembuktian terbalik dalam rangka optimalisasi pengembalian aset hasil tindak


pidana korupsi

3) pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata serta

4) pidana pembayaran uang pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi.
3.2 Saran
Penekanan pada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bentuk
memulihkan kerugian negara sudah seharusnya dimaksimalkan. Pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dapat melalui beberapa cara yaitu perampasan aset hasil tipikor, beban
pembuktian terbalik, melalui gugatan perdata, dan optimalisasi pembayaran uang pengganti
serta upaya penjeratan melalui ketentuan tindak pidana pencucian uang. Selain itu yang tak
kalah penting juga mengatasi persoalan kemandekan eksekusi pembayaran uang pengganti
dengan pembaruan kebijakan dan penguatan komitmen penegak hukum untuk
mengoptimalkan pengembalian akibat kerugian negara dari tindak pidana korupsi.

6
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, H.R., and Andri Desasfuryanto. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: PTIK,
2012.
Anwar, Yesmil, and Adang. Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Di
Indonesia). Jakarta: Grasindo, 2008.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Arief, Basrief. Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta). Jakarta: Adika
Remaja Indonesia, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
BhuanaIlmu Populer, 2007

Anda mungkin juga menyukai