Anda di halaman 1dari 16

NAMA NIM

1 HASBULLAH M.ALI 11313A0069


.
2 SUPRIYADI 11313A0065
.
3 SUCI RAHMAWATI 11313A0063
.
4 KHAIRUNNISAH 11313A0075
.

PRODI PPKn
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIAYAH MATARAM
2015
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Hukum Pidana
yang berjudul “ Strafbaar Feit atau Tindak Pidana “ tepat pada waktunya.
Makalah yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Tindakan Pidana(Strafbaar
Feit). Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber baik dari buku
maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan
pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak
kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau
kritik yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.

Mataram, November 2015

Penyusun
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A Latar Belakang......................................................................................................... 1
B Rumusan Masalah................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................................... 5
A Cara Merumuskan Perbuatan Pidana...................................................................... 5
B Jenis-jenis Tindak Pidana........................................................................................ 8
C Subjek Tindak Pidana.............................................................................................. 10
BAB IV PENUTUP............................................................................................................... 12
A Kesimpulan............................................................................................................... 12
B Saran........................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan
hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.
Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan
adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar
dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan
saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus
maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga
perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi
penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak
dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik
individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan
sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan
dalam ilmu hukum pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat
dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri
pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai
cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta subjek
tindak pidana itu sendiri.
2

B. Rumusan Masalah

C. Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?


D. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?
E. Siapa saja subjek tindak pidana ?
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi Tindak Pidana ( Strafbaar Feit )
1
Istilah “Tindak Pidana” adalah dimaksudkan dengan terjemahan dalam
bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah “tindak
pidana”, juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku
ataupun dalam peraturan tertulis.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai
istilah “tindak pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971
tentang pemberatasan tindak pidana korupsi.
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para
serjana hokum pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya
terdapat perbedaan, disamping adanya perbedaan.
Suatu perumusan (defenisi) yang terlahir dan menurut hemat penulis adalah
merupakan yang terbaik untuk dijadikan pegangan, adalah apa yang dikemukakan
oleh Prof. Muljatno S.H. (beliau memakai istilah “perbuatan pidana”), yang
merumuskan :
“ perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut “
Selanjutnya beliau mengatakan : menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-
perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hokum. Perbuatan-
perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau
menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik dan adil.
Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno menerangkan bahwa strafbaar
feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab. sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah
1 K Wantjik Saleh, SH. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Ghalia Indonesia, Tahun
1961, Cetakan ke-4 Halaman 9-10
4

kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat
melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakuklan dengan
kesalahan. (Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana, cetakan ke enam, PT Rineka
Cipta, Jakarta)
5

BAB III
PEMBAHASAN

A. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana

Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak


pidana dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum
pidana kepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah
ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang
diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran. 2[1]
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya,
tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat
ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci
lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. 3[2]
Dalam buku II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik
perumusan perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang
dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang
melanggarnya atau tidak menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-
unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga
sikap batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana

1. Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana


Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a. Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana

2[1] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 55-
56.

3[2] Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: PT. Kencana, 2006), hal. 31.
6

Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini
diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard,
dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338
(pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan),
406 (perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard
diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian
dengan kualifikasi tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman
Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana
dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut
kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu,
misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat
(305), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak
(341), penggelapan oleh pegawai negri (415). 4[4]
c. Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya
dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai
perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini
dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351).
Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni, penganiayaan (mishandeling)
2. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan
dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak
pidana materiil).
a. Dengan Cara Formil
perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana
formil (formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan

4[4] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002)h. 112-114
7

secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok
larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum tertentu.
Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu
selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang
timbul dari perbuatan yang melawan hukum tersebut. 5[5]
b. Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan
pidana materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil
maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya
tidak menjadi persoalan. Dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
3. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat
Dan Yang Lebih Ringan

a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok


Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana
antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang
lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan
pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna,
yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian
rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu.
b. Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana
yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan
kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau
kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur
yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu.

5[5] K Wantjik Saleh, SH. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Ghalia


Indonesia, Tahun 1961, Cetakan ke-4 Halaman 15
8

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:


1. Menurut sistem KUHP
Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal
kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu,
a. Kejahatan (crims)
b. Perbuatan buruk (delict)
c. Pelanggaran (contravenrions)
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu
“misdrijf" ( kejahatan) dan “overtreding" (pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan
syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan
semua yang terdapat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat
dalam buku III adalah pelangaran. 6[9]
2. Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja ( doleus
delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)7[10]

4. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak
pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus.8[11]

6[9] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2007)h. 41

7[10] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian , (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002)h. 123

8[11] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I. h. 126


9

5. Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana
khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang
sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu
7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia
(delicta communia) yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana propia) dapat
dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu . 9[12]
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang ( delictacommunia ) dan tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (d elicta propria).
9. Berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan
antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat
(gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)

C. Subjek Tindak Pidana

Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana


bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung
jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. 10[15]
Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan ( deelneming). Konsep
penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau
melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung
jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur
dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu sebagai
berikut.
1. Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.

9[12] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, h. 127

10[15] Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian /I (Jakarta : PT RajaGrafindo


Persada, 2007) h. 16
10

2. Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh


tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh)
orang lain.
3. Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama
dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut
melakukan tindak pidana yang diinginkan.
4. Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur
perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan/
menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan menyalahgunakan
martababat dan kekuasaan beserta pemberian kesempatan.
5. Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu
mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu. 11[16]
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah
perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia
(naturlijke personen).

BAB IV
PENUTUP

11[16] R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta


Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal( Bogor : Politea, 1991) h. 73-75
11

A. Kesimpulan
Istilah “Tindak Pidana” adalah dimaksudkan dengan terjemahan dalam bahasa
Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah “tindak pidana”,
juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun
dalam peraturan tertulis.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai
istilah “tindak pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971
tentang pemberatasan tindak pidana korupsi.
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para serjana
hokum pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat
perbedaan, disamping adanya perbedaan.
Suatu perumusan (defenisi) yang terlahir dan menurut hemat penulis adalah
merupakan yang terbaik untuk dijadikan pegangan, adalah apa yang dikemukakan
oleh Prof. Muljatno S.H. (beliau memakai istilah “perbuatan pidana”), yang
merumuskan :
“ perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa yang melanggar larangan tersebut “
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan
tindak pidana :
1. Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
2. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
3. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat
Dan Yang Lebih Ringan
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1. Menurut sistem KUHP
2. Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
12

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus


delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)12[10]

4. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak
pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus. 13[11]

5. Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana
khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang
sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu

B. Saran
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan
dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa
unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan
jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana
menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman
pidana kalau dilanggar

12[10] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja


Grafindo
Persada, 2002)h. 123
13[11] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I. h. 126
13

Googl e Chro me .lnl< DAFTAR PUSTAKA

Saleh Wantjik, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta 1977.


Chazawi Adami, Tindak Pidana ( Kesopanan), PT Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2005
Dirdjosisworo Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya CV, Bandung, 1984.
Djoko Prakoso, Kejahataan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, PT
Bina Aksara, Jakarta, 1987.

http://www.academia.edu/5473437/pengertian_dan_ruang_lingkup_hukum_pidana( diundu
h pada senin, 30 November 2015, pukul 04.35 wita )

Anda mungkin juga menyukai