Anda di halaman 1dari 11

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

TINDAK PIDANA KORUPSI FIRDAUS, S.H, M.H

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH :

AKMAL MIMPA JAYA (11920710591)

FAIRUZ ALFARIZI (11920710630)

NURGAYAH (11920720592)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM A


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, serta
karunianya sehingga makalah untuk memenuhi tugas kelompok yang berjudul “Sistem
pembuktian dalam tindak pidana Korupsi” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan makalah ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak.kami mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang tulisannya sudah kami kutip
sebagai bahan rujukan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, maka dari itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membuat penulis menjadi lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan pembaca tentang Tindak pidana
korupsi.

Pekanbaru, 06 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................. 2


DAFTAR ISI ............................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 4
1. Latar belakang ................................................................... 4
2. Rumusan masalah ............................................................. 5
3. Tujuan penulisan ................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................ 6


1. Sistem pembuktian tindak pidana korupsi .......................... 6
2. Sistem pembuktian Terbalik tindak pidana korupsi................. 9

BAB III PENUTUP ..................................................................... 10


1. Kesimpulan ......................................................................... 10
2. Saran-Saran ........................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 11


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi yang popular disebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan
untuk keuntungan pribadi pada dasarnya merupakan masalah keadilan sosial.1 Salah satu
unsur penting dari teori keadilan sosial ini adalah bahwa kesejahteraan umum masyarakat
tidak boleh dilanggar, artinya bahwa kesejahteraan umum tidak boleh dikorbankan untuk
kepentingan pribadi.2
Korupsi merupakan masalah serius. Tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan
politik, serta merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, sebab lambat laun perbuatan
ini seakan menjadi sebuah budaya. Oleh karena itu, korupsi merupakan ancaman terhadap
cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur.3
Secara sederhana, tindak pidana korupsi dapat dipahami sebagai suatu perbuatan
curang, yaitu dengan menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang
dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan negara atau
penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 4
Tindak pidana korupsi juga merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan secara sistematis
dan terorganisir dengan baik, serta dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kedudukan dan peranan penting dalam tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu,
kejahatan ini sering disebut dengan istilah white collar crime atau kejahatan kerah putih
serta ruang lingkupnya bersifat lintas Negara.
Di Indonesia, aktivitas dari tindak pidana korupsi ini semakin tidak terkendali,
perbuatan ini tidak saja akan berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.5 Praktik korupsi terjadi hampir di
setiap lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula
menjalar hingga ke dunia usaha. Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan
1
Purwaning M. Yanuar, 2007, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, PT Alumni, Bandung, hlm 37.
2
John Rawl sebagaimana dikutip dalam Marwan Effendy, 2014, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan,
Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hlm 74
3
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 1.
4
Aziz Syamsudin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 35.
5
Basrief Arief, 2006, Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Adika Remaja Indonesia, Jakarta,
hlm 87
secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat
dalam negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia dalam menangani kasuskasus korupsi
selama ini cenderung mengutamakan cara melalui jalur pidana yang lebih berfokus pada
penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi daripada pengembalian aset atau
keuangan negara. Namun, kenyataannya, jalur pidana tidak cukup efektif untuk
mencegah, memberantas, dan mengurangi jumlah tindak pidana korupsi. Pengembalian
keuangan atau aset negara hasil tindak pidana korupsi terasa sulit dilakukan karena pada
umumnya tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia,
terselubung, dan melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk menutupi
perbuatan tersebut.6
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Sitem pembuktian dalam tindak pidana korupsi?
2. Sebutkan Macam-macam Sitem pembuktian dalam tindak pidana korupsi?
3. Jelaskan mengenai sistem pembuktian terbalik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari Sitem pembuktian dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui Macam-macam Sitem pembuktian dalam tindak pidana korupsi.
3. Untuk mengetahui sistem pembuktian terbalik.

6
Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, Tesis, (Medan: Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hlm. 4.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Sistem berasal dari bahasa Yunani yakni systema yang berarti sesuatu yang
terorganisasi, suatu keseluruhan kompleks.7 Apabila KUHAP yang dipergunakan sebagai
hukum acara pidana dalam pemeriksaan perkara delik korupsi sebagai suatu sistem, maka
pembuktian adalah bagian dari sistem tersebut.
Dalam lingkup pembuktian, tindak pidana korupsi memang merupakan
masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya
dengan rapi. Masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan
suatu Tindak Pidana Korupsi agar pembuktiannya benar-benar dilakukan secara cermat,
begitu juga dengan sistematika penyusunan dakwaan, dan uraian dakwaannya, karena
berdasarkan Pasal 143 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Surat dakwaan yang tidak di uraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak n
4 (empat) Sistem Pembuktian yaitu:
a. Sistem keyakinan Hakim Belaka
Dalam sistem ini hakim dianggap cukup mendasarkan terbuktinya suatu
keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan hukum, jadi
dengan sistem dapat mencari dasar putusannya menurut hati nuraninyasemata-mata
untuk menentukan apakah seseorang tersebut bersalah atau tidak dan apakah
perbuatannya terbukti atau tidak.8
b. Sistem Pembuktian Positif
Sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yaitu alat
bukti yang telah ditentukan oleh Undang-undang secara positif. (positief wettelijke
bewijs theorie). 9 Menurut teori ini, system pembuktian positif bergantung pada alat-
alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya,
undang-undang telah meenentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat

7
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun
1999),Cetakan Pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, h. 98
8
http://bhamin.org/pembuktian-dalam-tindak-pidana-korupsi/
9
DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Penertbit Rineka Cipta, 2006, h. 258.
dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut
dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang
diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang
maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun berkeyakinan bahwa
terdakwa tidak bersalah.
Disatu sisi system pembuktian ini, tentu hakim akan berusaha membuktikan
kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif
karena menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undangundang. Dalam
system pembuktian positif adalah yang dicari kebenaran formal, oleh karena itu
system pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Hal ini telah diperkuat
dengan salah satu penjelasan yang telah ditulis oleh Dr. Alfitra, SH., MH., yang
dalam bukunya “hukum pembuktian dalam beracara pidana, perdata dan korupsi di
Indonesia” bahwa: 10
1) Terdakwa bisa menyatakan bersalah didasarkan pada alat bukti yang sah.
2) 2) Keyakinan hakim diabaikan
3) 3) Hakim lebih objektif dalam memutus perkara.
4) 4) Tujuannya adalah kebenaran formil maka dipergunakan dalam hukum acara
perdata.
c. Sistem Pembuktian Negatif
Hakim dalam memutuskan suatu perkara didasarkan pada alat bukti yang
telah ditentukan oleh Undang-undang dan keyakinan (Nurani) hakim itu sendiri. Yang
pada prinsipnya, system pembuktian menurut undang-undang secara negative
menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila
alat bukti tersebut secara limitative ditentukan oleh undangundnag dan didukung pula
oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Didalam
pembuktian apakah tedakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana, menurut
Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut system pembuktian menurut undang-
undang secara negatif. Dalam system pembuktian menurut undang-undang secara
negative (negatief wettelijke bewijs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurng-
kurangnya dua alat bukti, sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur

10
Ibid.
pelengkap. Jadi dalam menentukan orang bersalah atau tidak bagi yang didakwa,
haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua alat bukti seperti
yang tertuang di dalam KUHAP Pasal 183 “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang
memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila
alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP,
maka pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan “Standar Beyond a
reasonable doubt” (patokan penerapan standar terbukti secara sah dan meyakinkan),
dan pemidanaan yang dijatuhkan adalah dapat dianggap sebagai bentuk kesewenang-
wenangan.
d. Pembuktian Bebas (vrij bewijstheorie)
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah Indonesia telah
meletakkan landasan kebijakan dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut telah tertuang dalam bentuk Peraturan Perundang-
Undangan, diantaranya Ketetapan MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1. Menurut Ansorie Sabuan (1990:186-189) Sistem Pembuktian Bebas, yaitu :


Menurut teori ini ditentukan bahwa hakim didalam memakai dan
menyebutkan alasan-alasan dalam mengambil keputusan sama sekali tidak terikat
pada penyebutan alat-alat bukti yang termaktub dalam undang-undang, melainkan
hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain asal saling
berkaitan dengan alat bukti yang lainnya.
2. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:109) Sistem Pembuktian Bebas, yaitu
Menurut ajaran Pembuktian Bebas atau Teori Pembuktian Bebas adalah
ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada
hakim.11

B. SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


Sistem pembuktian terbalik adalah salah satu bentuk extraordinary legal
instrument yang dibentuk unutk menangani masalah korupsi yang merajalela di
Indonesia. Dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa sistem
pembuktian terbalik yang digunakan adalah bersifat terbatas dan berimbang yakni,
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentan seluruh harta bendanya, harta benda
istrinya, atau suami, anak, dan harta benda setipa orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
Sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang disempurnakan
dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun
1999. Dalam UU ini ketentuan Pasal 37 UU No 31 Tahun 1999 dirubah rumusannya
menjadi dua pasal yakni Pasal 37 dan Pasal 37 A UU No. 21 Tahun 2001. Tidak terdapat
banyak perubahan dalam perubahan Pasal 37 ini. Dalam penjelasan pasal 37 dikatakan
bahwa pasal ini sebagai konsekuensi berimbang diterapkannya pembuktian terbalik
terhadap terdakwa.Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang
atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak
bersalah (presumption of innocent) dan menyalahkan diri sendiri ( non self
incrimination).
Berdasarkan isi pasal 37 dan pasal 37 A serta penjelasannya maka sistem
pembuktian terbalik secara murni dapat diterapkan. Namun menurut Pasal 37 A ayat (2),
apabila terdakwa tidak mampu membuktikan asal kekayaannya maka Jaksa Penuntut
Umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya.Sehingga disini sistem
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbanglah yang kembali digunakan.

11
https://www.google.com/search?q=pembuktian+bebas+adalahhttps://lbhamin.org/
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. System pembuktian dalam tindak pidana korupsi, yaitu system keyakinan hakim
belaka, system pembuktian positif, pembuktian negative dan pembuktian bebas.
2. Berdasarkan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang
disempurnakan dalam UU No. 20 Tahun 2001 maka sistem pembuktian terbalik yang
diterapkan di Indonesia adalah bersifat terbatas dan berimbang.
3. Dalam sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang pembuktian terdakwa
tidak dapat dijadikan dasar penghukuman, karena JPU masih wajib membuktikan
dakwaannya, namun sistem pembuktian terbalik sebagai suatu aturan khusus akan
semakin berpengaruh dalam penjatuhan putusan oleh hakim.
DAFTAR PUSTAKA

Basrief Arief, 2006, Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Adika Remaja

Indonesia, Jakarta.

DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Penertbit Rineka Cipta, 2006.

Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

John Rawl sebagaimana dikutip dalam Marwan Effendy, 2014, Teori Hukum Dari Perspektif

Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi, Jakarta.

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31

Tahun 1999),Cetakan Pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001.

Purwaning M. Yanuar, 2007, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, PT Alumni, Bandung.

Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, Tesis,

(Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010).

http://bhamin.org/pembuktian-dalam-tindak-pidana-korupsi/

https://www.google.com/search?q=pembuktian+bebas+adalahhttps://lbhamin.org/

Anda mungkin juga menyukai