Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA

“Pra Peradilan Dalam Perkara Pidana”

Dosen Pengampu :
Nurfaradila Amanda, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH :
Alvia Farras Tsabita 2021407036
Rika Wahyuni 2021407037
Gusvi Ainur Ridho I 2021407058

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT.


Shalawat dan salam semoga selamanya tercurah kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya serta umatnya yang
selalu setia. Dengan karunia dan hidayah-Nyalah pembuatan makalah
mengenai “Hukum Acara Pidana” ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Acara Pidana dengan Dosen pengampu Ibu
Nurfaradila Amanda, S.H., M.H.
Makalah ini disusun berdasarkan pengetahuan yang penulis
dapatkan dari berbagai referensi dan sumber. Selain itu, makalah ini
juga mempunyai tujuan yaitu bisa bermanfaat dan menambah
wawasan bagi pembaca. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan
dan kekurangan baik dalam penyusunan kalimat maupun tata bahasa,
juga kritik dan saran juga sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan
makalah ini. Akhir kata di ucapkan terima kasih
Kamis, 02 Maret 2023

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................2

C. Tujuan..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3

A. Proses Perkara Pidana Di Kepolisian..............................................................3

B. Proses Perkara Pidana Di Kejaksaan...............................................................3

C. Kelebihan Serta Kekurangan Dari Proses Pidana Kepolisian &


Kejaksaan........................................................................................................4

BAB III PENUTUP.....................................................................................10

Kesimpulan............................................................................................................10

Saran.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya penegakan hukum merupakan upaya yang secara sengaja
dilakukan untuk mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan
juga kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal
itu telah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia yaitu untuk
mencapai suatu kedaan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara
merata baik materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara hukum telah menjamin segala warga
negaranya bersamaaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Penegakan hukum dalam hukum pidana pada dasarnya merupakan proses
pelaksanaan hukum untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum dan apa
yang bertentangan atau melawan hukum. Hal ini dapat berarti bahwa penegakan
hukum pidana juga menentukan tentang perbuatan mana yang dapat dihukum atau
dipidana menurut ketentuan hukum pidana materiil dan petunjuk tentang
bertindak serta upaya-upaya yang diharuskan untuk kelancaran berlakunya hukum
baik sebelum maupun sesudah perbuatan melanggar hukum tersebut terjadi sesuai
dengan ketentuan hukum pidana formil.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan oleh penulis maka dapat kita
tarik kesimpulan bahwa ada beberapa poin permasalahan diantaranya :
1. Bagaimanakah Proses Pidana di Kepolisian serta kelebihan dan
kekurannya?
2. Bagaimanakah Proses Pidana di Kejaksaan serta kelebihan dan
kekurangannya?
C. Tujuan Penulisan
Dalam menjawab permasalahan diatas maka tujuan adanya penulisan
makalah ini adalah :
1. Mengetahui Proses Pidana di Kepolisian Serta Kelebihan dan
Kekurangannya.
2. Mengetahui Proses Pidana di Kejaksaan Serta Kelebihan dan
Kekurangannya
A. Proses Pidana Di Kepolisian
Sejauh ini dalam teori teiah diakui bahwa kedudukan subsistem
kepolisian adalah sebagai gate keepers atau penjaga pintu gerbang dari
sistem peradilan pidana. Baik sistem peradilan pidana dliihat sebagai
suatu rangkaian sistem yang mengalir maupun sebagai suatu rangkaian
sistem dalam rangkaian paralel,subsistem kepolisian tetap berposis
idemikian. Apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai rangkaian
sistem yang mengalir, berarti tekanan diletakkan pada adanya anggota
masyarakat yang melanggaraturan pidana dalam perundang-undangan.
Asumsi awalnya adalah bagaimana memperlakukan orang yang
melakukan perbuatan pidana. Sebaliknya apabila sistem peradilan pidana
dilihat sebagai sistem rangkaian yang paralel, berarti tekanan
ditempatkan pada adanya perbuatan-perbuatan yang mencocoki
rumusan undang-undang yang ditetapkan sebagai perbuatan pidana.
Menghadapi dua persoalan ini, sistem peradilan pidana memposisikan
subsistem kepoilsian sebagai lini terdepannya. Seiain itu,orang-orang lain
yang sebenarnya tidak langsung berkaitan dengan suatu peristiwa pidana
tertentu, oleh system peradilan pidana juga dilibatkan dalam proses yang
terjadi pada subsistem kepolisian.
Hal ini mengandung pemahaman bahwa pada dasarnya setiap
perbuatan pidana yang diproses dalam system peradilan pidana dimulai
dari subsistem kepolisian. Anggota masyarakat yang menyaksikan suatu
peristiwa pidana, karena tanggung jawab sosialnya pula didorong untuk
menyampaikannya kepada subsistem kepolisian.
Kepolisian merupakan gerbang pertama dan utama dalam proses
penegakan hukum. Tugas pokok kepolisian diatur di dalam Undang-
undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Yaitu terdapat dalam pasal 13, yang berbunyi Tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; menegakkan hukum dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Proses ini diawali dengan melapornya korban pada pihak
kepolisian. Kemudian polisi akan melakukan penyelidikan dan
penyidikan. Penyidikan berarti adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-
undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus
menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Proses
penyidikan ini, tentu saja akan melibatkan korban, dan keterlibatan korban
dalam proses pencarian alat bukti seringkali hanya dijadikan sebagai saksi.
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat dan atau dialami sendiri. Penempatan korban sebagai
saksi korban dalam proses penyidikan menjadikan posisi korban kurang
mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Perspektif
perlindungan yang diberikan berdasar atas kebutuhan negara terhadap
keterangan saksi, bukan karena dilihat sebagai partisipasi warga negara
karena jasa/sumbangsihnya memberikan keterangan saksi sehingga perlu
dilindungi. Demikian halnya terhadap korban, masih melihat korban perlu
dilindungi karena negara membutuhkan keterangannya, bukan karena
negara merasa bertanggungjawab atas kegagalannya melindungi
warganya.
Kepolisian diberikan kewenangan atau diskresi oleh hukum pidana
kita untuk melakukan seluruh rangkaian proses terhadap siapa saja yang
terlibat dalam kejahatan. Wewenang kepolisian bukanlah untuk
mempengaruhi jalannya proses pemidanaan, namun untuk memperkuat
proses penegakan hukum.
Pengaturan mengenai penyelidikan dan penyidikan di tingkat
kepolisian diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
kemudian dijelaskan dalam Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana. Penyidikan tindak pidana tersebut harus
dilaksanakan dengan professional, transparan dan akuntabel terhadap
setiap perkara pidana, guna terwujudnya supremasi hukum yang
mencerminkan rasa keadilan.

Adapun kewenangan penyelidik antara lain karena kewajibannya:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya


tindak pidana
2) Mencari keterangan dan barang bukti
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicuridai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab

Sedangkan jika dilihat pada Pasal 7 ayat (1) KUHAP, bahwa penyidik
karena kewajibannya mempunyai wewenang, yaitu :

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya


tindak pidana,
2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian,
3) Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka,
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan,
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,
6) Mengambil sidik jari dan memotret seorang,
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi,
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara,
9) Mengadakan penghentian penyidikan,
10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat
perintah penyidikan. Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri
dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A (perkara ditemukan oleh polisi) dan
Laporan Polisi Model B (adanya laporan dari masyarakat). Setelah Laporan Polisi
dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim
Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor
dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor. Kepala SPKT atau Kepala
Siaga Bareskrim Polri segera meneruskan laporan polisi dan berita acara
pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada: a.
Karobinops Bareskrim Polri untuk laporan yang diterima di Mabes Polri; b.
Direktur Reserse Kriminal Polda untuk laporan yang diterima di SPKT Polda
sesuai jenis perkara yang dilaporkan; c. Kapolres/Wakapolres untuk laporan yang
diterima di SPKT Polres; dan d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang
diterima di SPKT Polsek. Laporan Polisi dan berita acara pemeriksaan saksi
pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan ke kesatuan yang
lebih rendah atau sebaliknya dapat ditarik ke kesatuan lebih tinggi. Kegiatan
penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:

a. Penyelidikan;
b. Pengiriman SPDP;
c. Upaya paksa;
d. Pemeriksaan;
e. Gelar perkara;
f. Penyelesaian berkas perkara;
g. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. Penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. Penghentian penyidikan.

Seluruh rangkaian kegiatan penyidikan tersebut, ditujukan untuk mengungkap


tindak pidana dan berorientasi pada tertangkapnya pelaku tindak pidana.
Serangkaian kegiatan tersebut akan melibatkan korban kejahatan dalam
prosesnya.

Namun, pengaturan mengenai penyidikan di kepolisian tidak mengatur korban di


dalamnya. Keberadaan korban didalam proses penyidikan hanya untuk
kepentingan pembuktian perbuatan ataupun kesalahan pelaku tindak pidana.
Dalam hal ini, korban hanya sebagai alat bukti keterangan saksi. Kurangnya
perlindungan hukum terhadap korban dapat menyebabkan korban bersikap pasif
dan cenderung non-kooperatif dengan petugas. Bahkan terdapat korelasi antara
kurangnya perlindungan dengan keengganan korban untuk melapor kepada aparat,
terlebih lagi setelah korban melapor, peran dan kedudukannya bergeser
sedemikian rupa sehingga aparat peradilan merasa satu-satunya pihak yang dapat
mewakili semua kepentingan korban.

Hak-hak dan kepentingan korban sama sekali tindak mendapatkan perlindungan


secara jelas dan seimbang. Sehingga korban mengalami kerugian untuk yang
kedua kali. Kerugian pertama karena sebagai objek tindak pidana. Kerugian
kedua, materi dan waktu yang digunakan untuk proses pengungkapan tindak
pidana dalam tahap penyidikan. Atau dengan kata lain korban mengalami
viktimisasi sekunder. Hak hak korban telah diatur secara umum di dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tepatnya di dalam Pasal
5, yang menguraikan hak-hak saksi dan korban sebagai berikut:

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta


bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
Hak diatas, dalam proses penyidikan di kepolisian belum sepenuhnya dapat
diperoleh korban. Hasil wawancara diperoleh data bahwa korban belum
memperoleh perlindungan keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda.
Proses penyelidikan ataupun penyidikan belum menempatkan korban sebagai
objek ataupun subjek yang dilindungi, bahkan adakalanya sebagian penyidik
tidak mengetahui tentang hak ini.
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
Menentukan perlindungan sendiri dengan kata lain ingin dilindungi seperti apa
belum terlaksana dalam proses penyidikan. Perlindungan yang diberikan
belumlah memadai, dalam kasus lain penyidik beranggapan tersangkalah yang
harus dilindungi dengan ditahan dikantor polisi agar terhindar dari amukan
masa.
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
Berdasarkan haisl wawancara, pertanyaan kepada korban adakalanya dipenuhi
dengan tekanan, hal itu dianggap sebagai bagian dari strategi untuk
mendapatkan keterangan yang diinginkan.
4) Mendapat penerjemah;
Hak ini yang sudah dilaksanakan meski dengan cara bukan ada penerjemah
tetapi penyidik bertanya dengan Bahasa di daerah itu.
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
Pertanyaan menjerat dengan yang tidak menjerat adalah tipis perbedaannya.
Menjerat disini dengan maksud menjebak agar menjawab dengan jujur atau
menjawab sesuai dengan keinginan penyidik. Dalam beberapa kasus,
pertanyaan menjerat dilakukan agar terungkap informasi yang valid dengan
waktu yang tidak terlalu lama.
6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
Informasi perkembangan kasus dalam tahap penyidikan sudah diperoleh pihak
korban dengan baik. Yaitu adanya SP2HP, Surat Pemberitahuan
Perkembangan Hasil Penyidikan yang disampaikan kepada korban.
B. Proses Pidana Di Kejaksaan

Anda mungkin juga menyukai