Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA HUKUM BAGI TERSANGKA

DI AJUKAN SEBAGAI TUGAS PENGGANTI UTS HUKUM ACARA PIDANA

Dosen Pengampu :
Dr. A. Istiqlal Assaaad, S.H.,M.H

Nama : Nur Aisyah. H


Nim 04020200506

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan
karunianya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dalam
bentuk maupun isi yang sangat sederhana. Adapun tema dari makalah ini
adalah “Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka”.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada dosen mata kuliah Hukum Acara Pidana yaitu Yth. Bapak Dr. A. Istiqlal
Assaad, S.H.,M.H yang telah memberikan tugas makalah ini sebagai pengganti
Ujian Tengah Semester terhadap kami.

Saya jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami,
maka kritik dan saran yang membangun senantiasa saya harapkan semoga
makalah ini dapat berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang
berkepentingan pada umumnya.

Makassar, 13 April 2022


Tertanda,

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................... 3
2.1. Pengertian Praperadilan…….. .......................................................... .3
2.2. Tujuan Praperadilan...........................................................................6
2.3. Pihak-Pihak yang Dapat Diajukan Praperadilan…. ....................... .10
2.4. Pihak-Pihak yang Diberi Wewenang untuk
MengajukanPraperadilan ................................................................. 12

2.5.Syarat-Syarat Praperadilan ............................................................... .13


BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan… .................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... .16

ii
BAB 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan


tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan
penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan,
penahanan, penyitaan dan sebagainya.

Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak


terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru
mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang
berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan
agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.

Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka
maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului,
berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di siding pengadilan.

Di Eropa dikenal Lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-


benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter
commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat
disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Misalnya penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu
kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya
perkara tidak di teruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak.
Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun wewenang
praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau
penahanan sah atau tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah
ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah tidak.

Menurut Oemar Seno Adji, Lembaga rechter commissaris (hakim yang


memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim,
yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk
menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan
badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.

Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas


itu. Hakim komisaris misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu
penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan
yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu, kalau hakim komisaris di negeri Belanda
melakukan pengawasan terhadap terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa
1
melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di
Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge
d’ Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan
pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi, dan alat-alat bukti yang lain. Ia
dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu.
Setelah pemeriksaan pendahuluan di lakukan rampung, ia menentukan apakah suatu
perkara cukup alasan untuk dilimpahkan kepada pengadilan ataukah tidak. Kalau
cukup alasan, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang
disebut Ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan
membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Namun demikian, menurut
Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Intruction. Hanya perkara-
perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang
tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh
polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa).

Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan


pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan
pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup
alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan siding pengadilan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu praperadilan?


2. Apa tujuan praperadilan?
3. Dari pihak apa saja yang dapat diajukan praperadilan?
4. Pihak apa saja yang diberi wewenang pengajuan permohonan praperadilan?
5. Apa saja syarat-syarat praperadilan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan tentang yang dimaksud praperadilan.


2. Menjelaskan tujuan praperadilan.
3. Menjelaskan syarat-syarat praperadilan.
4. Menjelaskan pihak-pihak yang diberi wewenang praperadilan.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN PRAPERADILAN.

Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia, secara
formil diatur dalam Kitab Uundang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dalam praktik
digunakan oleh pihak-pihak/institusi yang mengajukan upaya agar ketidakpuasan
penerapan hukum atau tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah
menciderai rasa keadilan dan kepentingan mereka. Sehubungan dengan perkembangan
dan kemajuan sudah tentu pada masa era sistem KUHAP tersebut telah disadari akan
pemikiranuntuk dapat diterapkan dan dilaksanaan keseluruhan sistem peradilan
pidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis Normatif yaitu dengan
mengkaji atau menganalisias data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder
dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di
dalam sistem perundangundangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi
penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data
sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagaimana Fungsi lembaga
praperadilandalam sistem peradilan Pidana terpadu di Indonesia serta wewenang
Lembaga praperadilan berdasarkan KUHAP. Pertama Sistem peradilan memiliki dua
tujuan besar, yakni utuk melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. Sedangkan
Lembaga praperadilan yang diadakan KUHAP,diantaranya berwenang menguji
(memeriksa dan memutus) sah atau tidak sahnya suatu penahanan. (Pasal 77 huruf a
KUHAP). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Lembaga praperadilan
dalam sistem peradilan pidana berfungsi sebagai lembaga yang melakukan
pengawasan secara horisontal terhadap tindakan yang dilakukan oleh instansi
kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku penuntut umum Praperadilan
yang dilaksanakan dalam wewenang badan peradilan meliputi hal-hal untuk
melakukan tindakan hukum oleh pejabat/insitusi harus didasari pada ketentuan hukum
yang berlaku dalam penanganan perkara pidana, baik putusan pengadilan maupun
upaya hukum, yang keduanya merupakan bagian/instrument dalam sistem peradilan
pidana.
Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada dan
merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga
pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas
yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,dengan demikian, Praperadilan bukan
berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi
hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,administratif yustisial, personil,
peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah
pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana
fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial.
Salah satu masalah mendasar yang sering menjadi perdebatan hangat di
kalangan komunitas hukum adalah mengenai upaya paksa yang dilakukan oleh para
pejabat penegak hukum, terutama Penyidik dan Penuntut Umum. Secara umum,
upaya paksa yang dikenal dalam sistem peradilan pidana modern di dunia ini adalah
3
upaya paksa di bidang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
penyadapan.
Dan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum
seharusnya tunduk dibawah pengawasan Pengadilan (judicial scrutiny). Mestinya
tak ada satupun upaya paksa yang dapat lepas dari pengawasan Pengadilan sehingga
upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum tersebut tidak
dilakukan secara sewenang wenang yang berakibat pada terlanggarnya hak – hak
dan kebebasan sipil dari seseorang.
Persis pada prinsip judicial scrutiny inilah yang justru tidak ditemukan dalam
UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan
KUHAP. Pada saat diundangkannya, KUHAP disebut – sebut sebagai karya agung
Bangsa Indonesia, tak heran karena pada saat itu, hanya KUHAPlah yang secara
terang – terangan menyebutkan Hak Asasi Manusia secara eksplisit. Namun, sekali
lagi, tindakan pengawasan dari Pengadilan bisa dikatakan absen pada setiap tindakan
yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Salah satu hal mendesak untuk
segera dilakukannya perbaikan, dikarenakan saat ini berada pada titik yang paling
bawah adalah mengenai penahanan pra persidangan (pre trial detention). Harus
diakui, terminologi penahanan pra persidangan tidak dikenal di dalam KUHAP,
karena yang dikenal adalah penahanan berdasarkan instansi yang menahan. Secara
universal terminologi penahanan pra persidangan adalah sangat beragam, dan untuk
kepentingan riset ini, ICJR menggunakan terminologi penahanan pra persidangan
adalah penahanan yang diterapkan terhadap tersangka sebelum dimulainya
persidangan pertama secara resmi. Secara singkat penahanan pra persidangan dalam
riset ini merujuk pada penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut
Umum.

Salah satu alasannya yang paling mendasar adalah buruknya situasi dan kondisi
di rumah – rumah tahanan. Rumah – rumah tahanan, ataupun tempat – tempat lain
yang digunakan untuk menahan tersangka di Indonesia, saat ini boleh dikata sudah
dalam kondisi over crowded yang akut. Situasi ini akhirnya memunculkan beragam
persoalan kesehatan yang dialami oleh para tahanan. Tak hanya persoalan kesehatan,
namun penerapan penahanan pra persidangan juga memunculkan beragam masalah
lain seperti terbukanya kemungkinan terjadinya praktek komodifikasi dan juga
perkelahian antar tahanan atau kelompok tahanan. Selain itu, pengawasan terbatas dari
peradilan—melalui mekanisme praperadilan terhadap institusi penyidik—menjadikan
tindakan sewenang-wenang kerap kali terjadi terhadap para tahanan dalam bentuk
penyiksaan, baik fisik maupun psikis, selama proses penyidikan.

Setidaknya, ICJR mengidentifikasi dua hal yang menjadi penyebab utama dari
situasi ini. Pertama, karena absennya pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) dalam
setiap tahapan yang terdapat dalam KUHAP saat ini. Kedua, ketiadaan elaborasi yang
mendalam terhadap syarat sahnya penahanan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21
KUHAP. Meski ada lembaga praperadilan sebagai mekanisme komplain terhadap
upaya paksa, namun dalam praktiknya lembaga ini hanya berkutat pada persoalan
administrative dari dilakukannya penahanan oleh pejabat yang berwenang, dan
4
masalah lain yang tak kalah penting untuk dibenahi yaitu minimnya pengaturan hukum
acara Praperadilan di dalam KUHAP.

Persoalan di seputar penahanan pra persidangan ini tentu harus dibenahi di


hulunya yaitu KUHAP. Namun pembahasan Rancangan KUHAP yang saat ini dibahas
di DPR diprediksi akan memakan waktu yang cukup panjang. Dalam konteks ini, ICJR
bersama – sama dengan Organisasi Non Pemerintah lainnya membentuk Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk
mengawal pembahasan Rancangan KUHAP. ICJR di dalam Koalisi KUHAP
mengambil prakarsa untuk berperan aktif dalam mengawal pembahasan mengenai
penahanan pra persidangan dan mekanisme kontrol terhadap upaya paksa.

Namun pada saat ini, situasi yang dihadapi dan yang tersedia untuk melawan
penahanan yang sewenang – wenang adalah lembaga Praperadilan. Karena itu tak ada
pilihan lain yang tersedia bagi ICJR pada saat ini, selain mengambil pilihan untuk
mengefektifkan secara maksimal lembaga Praperadilan ini. Namun pilihan ini bukan
berarti ICJR menyetujui dipertahankannya mekanisme Praperadilan untuk perubahan
KUHAP di masa depan. ICJR – dalam konteks Rancangan KUHAP – secara tegas
mendesak untuk digantinya lembaga Praperadilan dengan lembaga kontrol baru yang
menekankan kehadiran judicial scrutiny dalam setiap tahapan dalam sistem peradilan
pidana, termasuk untuk penetapan seseorang menjadi tersangka.

Kembali ke soal Praperadilan dalam KUHAP, riset yang telah dilakukan oleh
ICJR ini berfokus pada dua hal yaitu mengukur sejauh mana efektifitas dari lembaga
praperadilan dan juga untuk menjawab bagaimana cara memaksimalkan fungsi dan
peran dari lembaga praperadilan. Dari dua persoalan ini, ICJR menawarkan
pembaharuan secara terbatas terhadap lembaga Praperadilan, yaitu: membuat
pedoman penahanan pra persidangan dan juga menyediakan “semacam” hukum acara
yang dapat digunakan untuk memeriksa permohonan pra peradilan sepanjang terkait
dengan penahanan pra persidangan.

ICJR berharap hasil ataupun output dari riset ini dapat berguna dan digunakan
oleh para pihak yang berkepentingan, khususnya oleh Pengadilan. Kami berharap riset
ini dapat membawa perubahan yang cukup berarti untuk mengefektifkan kembali
lembaga Praperadilan untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal
untuk menjaga hak – hak asasi manusia khususnya dari penahanan yang dilakukan
secara sewenang – wenang.

5
2.2 TUJUAN PRAPERADILAN.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum.
Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah,
prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana
dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling
koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan prinsip peradilan
terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 – 56).
Pemuatan prinsip-prinsip hukum (the principle of law) tersebut dalam
KUHAP tidak lain untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia yang
telah digariskan baik dalam landasan konstitusional (baca: UUD 1945) maupun
dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan perlindungan hak asasi
dalam wilayah/ konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1
Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan
hukum.” Demikian juga secara jelas ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “setiap orang tidak boleh
ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-
wenang.”
KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap orang,
berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak dibenarkan karena
merupakan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya Harahap (2002: 3)
mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat:

1. Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan


pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.

2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap


tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan
dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.

Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan pengurangan,


pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka. Maka tindakan itu harus
dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur hukum yang benar.
Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-
undang merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang
menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk menegakkan hukum,
keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.” Esensi dari
praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional
dengan ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan

6
hukum. Tujuan/ maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban
yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan tersangka
bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara
pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi. Hukum memberi
sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan. Secara
detil Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan “lembaga peradilan sebagai
pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka
selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-benar
tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-undang.”
Undang-undang telah memberi otoritas (kewenangan) kepada pejabat penyidik
untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Jika dalam pelaksanan tugas dan
kewenangan itu melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka
lembaga praperadilan yang akan menilai dari pada tindakan pejabat tersebut apakah
di luar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah diberikan kepadanya.
Praperadilan layaknya sebuah institusi yang menguji, menilai, mencari benar/ salah,
sah atau tidak tindakan pejabat yang melakukan upaya paksa terhadap tersangka.
Kententuan hukum kewenangan praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10,
praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang tentang:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan penuntut atau penyidik demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Hal yang ditegaskan Pasal 1 butir 10 KUHAP tentang yang dapat di-praperadilankan
diatur lebih rinci pada Pasal 77 KUHAP yang menegaskan “Pengadilan Negeri
berwenang untuk memeriksa dan memutuskan. Sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang:

1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau


penghentian penuntutan.
2. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Pada lampiran Keputusan-Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01. PW. 07.


03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP
ditegaskan antara lain:

1. Sah tidaknya penangkapan, penahan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyimpangan perkara untuk
kepentingan umum dan Jaksa Agung).
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77)
3. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat 1
7
dan ayat 3).
4. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan
atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-
undang karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2).
5. Perminataan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke
Pengadilan Negeri.

Selain itu, Yahya Harahap (2002b: 5 – 8) juga mengemukakan secara rinci


wewenang praperadilan yang disesuaikan dengan ketentuan KUHAP (Pasal 1 butir
10, Pasal 77, Pasal 95, Pasal 97) sebagai berikut:

1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan
dan penahanan.
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
3. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
4. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
5. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.

Dalam KUHAP penerapan upaya paksa, yang menimbulkan permasalahan hukum


dan multipersepsi dalam penerapan diantaranya:

1. Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi


praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan
penangkapan dan penahanan yang undue process atau orang yang ditahan
atau diatangkap salah orang (eror in persona).
2. b. Sedang tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap
berada dalam luar yurisdiksi praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan
atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:

1) Dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari KPN
(Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP).
2) Dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus
meminta persetujuan KPN (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 2
KUHAP) (Harahap, 2002b: 7)

Dalam kaitannya dengan hal di atas, oleh karena adanya intervensi


pengadilan dalam memberi izin atas tindakan upaya paksa dalam penggeledahan dan
penyitaan. Maka tak pelak lagi/ mustahil bagi pengadilan untuk menilai tindakan
upaya paksa penggeledahan dan/ atau penyitaan yang telah dilakukan oleh pejabat
bersangkutan, sebab pengadilan sudah memberinya izin, yang dianggap sebagai
tindakan intervensi dan keterlibatan Pengadilan Negeri dalam tindakan upaya paksa.
Namun Yahya Harahap (ibid) memberi komentar atas pendapat tersebut,
bahwa memungkinkan terjadinya penyimpangan di luar batas surat izin yang
diberikan KPN. Terhadap penggeledahan dan penyitaanpun dapat diajukan ke forum
8
praperadilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang
berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:

1. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN
mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya.
2. Dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat
persetujuan dari KPN, tetap dapat diajukan ke forum praperadilan, dengan
lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni:

1) Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau persetujuan


yang dikeluarkan oleh KPN tentang hal itu.
2) Yang dapat dinilai oleh praperadilan, terbatas pada masalah
pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti
apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak.

Alasan lain yang mendukung tindakan penyitaan termasuk yurisdiksi


praperadilan berkenaan dengan penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak
ketiga, dan barang itu tidak termasuk alat atau barang bukti. Kehadiran yang seperti
ini, pemilik barang harus diberi hak untuk mengajukan ketidakabsahan penyitaan
kepada praperadilan.

9
2.3 PIHAK-PIHAK YANG DAPAT DIAJUKAN
PRAPERADILAN.

Pihak-pihak yang bisa diajukan dalam Praperadilan selaku termohon, juga ditentukan
secara limitatif dalam KUHAP. Pihak-pihak tersebut antara lain adalah :
1) Penyidik
Penyidik adalah salah satu pihak yang bisa diajukan dalam Praperadilan
selaku termohon, alasan penyidik dapat diajukan dalam Praperadilan antara
lain :
a. Tidak sahnya penangkapan dan/atau penahanan;
b. Tidak sahnya penghentian penyidikan; Ada benda yang disita,
yang tidak termasuk alat pembuktian;
c. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap tidak sahnya
penangkapan atau penahanan;
d. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap sahnya penghentian
penyidikan.
2) Penuntut umum
Penuntut umum juga termasuk salah satu pihak yang bisa diajukan dalam
Praperadilan selaku termohon, alasan penuntut umum dapat diajukan dalam
Praperadilan antara lain :
a. Tidak sahnya penahanan;
b. Tidak sahnya penghentian penuntutan;
c. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap tidak sahnya
penahanan;
d. Ganti rugi dan/atau rehabilitasi terhadap sahnya penghentian
penuntutan.

Lembaga Praperadilan sejak semula dimaksudkan sebagai sarana hukum yang


dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan baik oleh tersangka, korban, penyidik,
penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan. Pada hakekatnya wewenang
Lembaga Praperadilan “terkunci” dalam lima alasan, yaitu: sah atau tidaknya upaya paksa,
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, memeriksa
tuntutan ganti rugi (berupa salah tangkap, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan),
memeriksa permintaan rehabilitasi, dan sah atau tidaknya tindakan penyitaan.

Dalam hukum acara pidana terdapat beberapa asas, adapun kaitan dengan
diskresi atas penahanan tersangka dipergunakan asas, yaitu:

a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan atau diskriminasi, yang asas ini biasa disebut
equality before the law;

b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan


berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan
10
hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur oleh UU, atau yang biasa disebut
principle of legality;

c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap. Asas ini biasanya disebut asas praduga tak bersalah atau
presumption of innocent; dan

d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa


alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi
sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja
atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum ini dilanggar, dituntut,
dipidana dan atau dikenakan hukuman.

Agar hukum berkembang dan dapat berhubungan dengan bangsa lain sebagai
sesama masyarakat hukum, perlu dipelihara dan dikembangkan asas-asas dan konsep
hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang universal

11
2.4. PIHAK-PIHAK YANG DIBERI WEWENANG UNTUK
MENGAJUKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

Wewenang Praperadilan sendiri diatur dalam KUHAP, khususnya dalam BAB X yang
mengatur tentang Wewenang Pengadilan Dalam Mengadili khususnya dari Pasal 77 sampai
dengan Pasal 83 dan BAB XII mengenai Ganti Rugi dan Rehabilitasi. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 77 KUHAP, disebutkan bahwa Praperadilan hanya merupakan tambahan
wewenang yang diberikan kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan, dan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Melihat Pasal 77 butir a, jelas bahwa dalam pemeriksaan praperadilan, pengadilan


negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
penangkapan dan atau penahanan, serta sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan. Kondisi ini menyebabkan hakim praperadilan hanya berwenang
untuk memeriksa dan memutus hal-hal tersebut saja. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal79
KUHAP, adalah:
a. Mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan tersangka, keluarga, dan
kuasanya.
b. Mengenai sah atau tidaknya penahanan, tersangka, terdakwa, keluarga dan
kuasanya.

Mengenai permohonan Praperadilan terhadap pemeriksaan sah atau tidaknya


penghentian penyidikan atau penuntutan, pihak-pihak yang diberi wewenang untuk
mengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP,
adalah:

a. Mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan:


(1) Penuntut Umum;
(2) Pihak ketiga yang berkepentingan.

b. Mengenai sah atau tidaknya penghentian penuntutan:


(1) Penyidik;
(2)Pihak ketiga yang berkepentingan.

Mengenai permohonan Praperadilan terhadap permintaan ganti rugi dan/atau


rehabilitasi, pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan permohonan
Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 81 KUHAP adalah tersangka, terdakwa
dan pihak ketiga yang berkepentingan. Mengenai permohonan Praperadilan karena
adanya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, pihak-pihak yang diberi
wewenang untuk mengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP adalah tersangka, terdakwa dan pihak ketiga.
12
2.5. SYARAT-SYARAT PRAPERADILAN

Ada empat kriteria yang harus digunakan hakim praperadilan dalam


menentukan sah atau tidak sahnya penahanan:

1. Apakah penahanan didasarkan pada tujuan yang telah ditentukan KUHAP?


Pasal 20 KUHAP, menentukan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan
“untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan”. Dengan demikian, dalam rangka penyidikan, suatu tindakan
penahanan dilakukan dalam rangka “mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya” (Pasal 1 angka 2 KUHAP).
Berdasarkan hal ini, maka ketika “bukti yang membuat terang tindak pidana
dapat dikumpulkan tanpa penahanan” dan/atau “tersangka tindak pidana
dapat ditemukan tanpa penahanan”, maka penahanan tidak lagi diperlukan.

2. Apakah penahanan memiliki dasar (hukum) dalam undang-undang yang


berlaku, terutama dasar hukum kewenangan pejabat yang melakukan
penahanan tersebut ?
Selain itu, sesuai dengan teori tentang kewenangan dan ketentuan Pasal 3
KUHAP, yang mengharuskan pengaturan acara pidana hanya berdasar pada
undang-undang, maka kewenangan melakukan penahanan hanya dapat
timbul sepanjang telah diberikan oleh undang-undang. Dalam penyidikan,
pada dasarnya penahanan merupakan kewenangan penyidik Polri (Pasal 6
ayat (1) huruf a jo Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP). Sementara itu,
penyidik pegawai negeri sipil lainnya (Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP)
umumnya tidak diberikan kewenangan penahanan. Namun demikian,
dengan ketentuan yang bersifat khusus (lex specialis), ketentuan umum ini
disimpangi, sehingga penyidik kejaksaan yang terakhir berdasarkan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan penyidik KPK berdasarkan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mempunyai kewenangan melakukan
penahanan.

Khusus berkenaan dengan kewenangan penahanan oleh penyidik KPK


dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kewenangan melakukan
penanahanan secara langsung (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30
tahun 2002) dan kewenangan penahanan secara tidak langsung, yaitu
melalui bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait (Pasal 12 huruf i
Undang-Undang No. 30 tahun 2002).Kewenangan melakukan penahanan
secara langsung penyidik KPK, merupakan bagian dari kewenangan
lembaga itu yang merupakan rembesan dari segala kewenangan yang
berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur
dalam KUHAP. Kewenangan ini hanya dapat dilakukan terhadap
tersangkayang disangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
13
No. 20 tahun 2001 (Pasal 39 ayat (1) Undang- Undang No. 30 tahun 2002).
3. Apakah terdapat alasan melakukan penahanan, baik alasan subyektif
(Pasal 21 ayat (1) KUHAP) maupun alasan obyektif (Pasal 21 ayat (4)
KUHAP)?
Alasan subyektif melakukan penahanan adalah dalam hal adanya
kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang
bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Hanya saja, seperti istilahnya
(alasan subyektif), dalam praktek hukum umumnya alasan ini dipandang
ada tanpa ukuran-ukuran yang objektif. Dengan demikian, tanpa kriteria
objektif dalam menentukan alasan subyektif penahanan maka telah
mengubah prinsip penahanan menjadi: “arrested is principle, and non
arrested is exception.” Alasan subyektif penahanan menjadi konkretisasi
dari“discretionary power” yang terkadang sewenang-wenang, yang bukan
tidak mungkin dijadikan modus pemerasan oleh oknum tertentu.
Sebenarnya, permasalahan penahan ini berpangkal tolak dari kekeliruan
dalam melakukan penafsiran Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Pasal ini
menetukan: Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.
4. Apakah penahanan dilakukan menurut prosedur atau tata cara yang
ditentukan dalam KUHAP?
Dalam hal ini, surat perintah dari penyidik menjadi mutlak. Dalam surat
perintah tersebut, harus disebutkan identitas tersangka, alasan dilakukannya
penahanan,uraian singkat tentang sangkaan tindak pidananya, dan tempat
dilakukannya penahanan (dalam hal dilakukan penahanan rumah tahanan
negara). Selain itu, sebenarnya surat perintah penahanan juga harus memuat
jangka waktu dilakukannya penahanan tersebut, yang masih dalam batas
limitatif yang ditentukan undang-undang.

Turunan surat perintah ini diserahkan kepada keluarga pesakitan.Ada


baiknya, jika dalam pemeriksaan sebelumnya tersangka didampingi satu
atau lebih penasihat hukum, turunan surat perintah penahanan juga
diserahkan kepada penasihat hukumnya. Sebagai kelengkapannya adalah
surat perintah/tugas melakukan penahanan dan Berita Acara penahanan.
Pengabaian atas prosedur penahanan ini dapat berakibat tidak sahnya
tindakan tersebut.

14
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa memeriksa, untuk menjamin agar
ketentuan dalam KUHAP dapat terlaksana dengan baik, maka di dalam KUHAP
diatur Lembaga Praperadilan. Lembaga ini berkaitan langsung dengan perlindungan
hak individu yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara
horizontal. Praperadilan upaya pencarian keadilan atas penahanan tersangka masih
jauh dari apa yang diharapkan, karena hakim Praperadilan bersifat tunggal
sehingga dapat mengesampingkan apa yang menjadi dasar-dasar pertimbangan dan
bukti-bukti yang ada. Namun ada satu kasus praperadilan yang sama diajukan
dalam tahun yang berbeda memiliki putusan hakim praperadilan yang berbeda,
ditahun 2014 satu kasus praperadilan ditolak oleh hakim praperadilan namun dalam
tahun 2015 kasus praperadilan diajukan kembali dan dapat diterima oleh hakim
praperadilan dan diputusin kracht di tahun 2015. Hal ini dapat diperhatikan bahwa
putusan hakim yang berbeda dalam kasus yang sama dalam kasus praperadilan dapat
terjadi karena adanya perbedaan penafsiran yang terdapat dalam hakim
praperadilan. Dalam hal ini, sering ditemukan upaya hukum melalui Praperadilan
yang diajukan oleh tersangka/keluarga tersangka ditolak oleh hakim Praperadilan.
Praperadilan harus tetap dipertahankan dengan hakim yang tidak bersifat tunggal,
kedepannya Praperadilan harus bersifat hakim yang terdiri dari hakim karier,
akademisi, dan praktisi sehingga diharapkan oleh para pencari keadilan untuk
tersangka/keluarga tersangka secara benar-benar terwujud melalui putusan-putusan
hakim secara objektif.

15
DAFTAR PUSTAKA

1.
Prof. Dr. jur. Andi Hamzah (2019). “Hukum Acara Pidana Indonesia” Jakarta, Penerbit
Sinar Grafika.
2.
Plangiten, Maesa. "Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan di Indonesia." Lex Crimen 2.6 (2013).
3.
Purba, Tumian Lian Daya. "Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi
Tersangka." Papua Law Journal 1.2 (2017): 253-270.
4.
Afandi, Fachrizal. "Perbandingan Praktik praperadilan dan Pembentukan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan Dalam Peradilan Pidana Indonesia." Mimbar Hukum-Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada 28.1 (2016): 93-106.
5.
Djanggih, Hardianto, and Yusuf Saefudin. "Pertimbangan Hakim Pada Putusan
Praperadilan: Studi Putusan Nomor: 09/PID. PRA/2016/PN. Lwk Tentang Penghentian
Penyidikan Tindak Pidana Politik Uang." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 17.3 (2017):
413-425.
6.
Hutasuhut, Rio Ramadhan, and Aryo Fadlian. "Praperadilan Atas Penetapan Tersangka
Diluar Ketentuan Kuhap." Jurnal Ilmiah Living Law 13.2 (2021): 91-99.

16

Anda mungkin juga menyukai