Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PRAPERADILAN DALAM SISTEM PIDANA DI INDONESIA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu : Annisa Hafizhah S.H.,M.H.

Di Susun Oleh :
Adinda Pramesty Sulistya K.W (239902169)
Bernadetha Desyanna Putri (239902082)
Nurul Azkiyah (239902154)
Putri Nurul Aini (239902101)
Salsa Putri Diandra (239902148)
Yunita Ratna Widyawati (239902037)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Praperadilan Dalam Sistem Pidana di Indonesia” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Annisa Hafizhah, S.H., M.H, pada bidang studi Hukum Acara Pidana. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai proses praperadilan
bagi para pembaca dan juga bagi kami.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Annisa Hafizhah, S.H., M.H .
selaku dosen bidang studi Hukum Acara Pidana yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membagi


sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Medan, 5 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….........2

DAFTAR ISI……………………………………………….…………...….………...3

BAB I PENDAHULUAN……………………………......………...…...…....…........4

1.1 Latar Belakang……………………….....…..……........…………………....…4


1.2 Rumusan Masalah…………………….…..…...…...….....................................5
1.3 Tujuan………………………………………………...…..….......................…5

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..6

2.1 Pengertian Praperadilan………………………………………………….....…6


2.2 Objek Praperadilan………………………….…………………………………7
2.3 Pihak yang berhak Mengajukan PraPeradilan……….………………………...9
2.4 Proses pemeriksaan Praperadilan Peradilan……….…………………………..9
2.5 Putusan Praperadilan………………………………….………………..…….12
2.6 Upaya Hukum Putusan Pra Peradilan……………………….……………….14

BAB III PENUTUP……………………………………..………………………......17

3.1 Kesimpulan……..……………………………..……………………......……17
3.2 Saran……………………………………………….…………………......….17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….………...…….18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam hukum acara pidana Indonesia mengistilahkan asas praduga tak


bersalah. Oleh sebab itu, hak asasi orang harus dihargai. Instansi pra peradilan memberi
kepercayaan lebih untuk pengadilan negeri dalam memeriksa perkara berhubungan
terhadap penggunaan upaya paksa (penggerebekan, penawanan, pemeriksaan,
perampasan) dilakukan penyidik ,penuntut umum. Pra peradilan sedemikian itu berarti
dalam hukum acara pidana, desakan penerapan pra peradilan semakin mengeras dalam
penduduk dituduh melancarkan tindak kejahatan. Akar beragam kejadian semisal
kejadian budi gunawan tanggal 16/2/2015, pidana semasa ini terbentuk memamerkan
maka pra peradilan memperlihatkan wujud pertahanan, tidak sekedar melibat
keseimbangan, memperbedakan tentang keseimbangan HAM. Keterkaitan pengatur
negara membentuk negara indonesia selaku negara hukum berdasarkan pancasila dan
UUD 1945, selaku kontekstual meyakini ajaran mengangkat HAM demi
menyelamatkan kesetaraan penduduk negara di muka hukum demi mengangkat hukum
dan pemerintahan tidak kecuali. Kerapuhan berpokok KUHAP terlihat pendiri hukum
ialah melalaikan hak si pelaku dalam mekanisme kejadian, dari tahap pemeriksaan,
penagihan pada perundingan di muka hakim, kian bertambah mengenaskan lagi
berlimpah sasaran dihinggap, disekap lewat tata cara yang sudah dimuat dalam
perundangan.1

Oleh sebab itu, terutama dalam penggunaan dan pelurusan hukum enggak
lantaran negara atau pembesar sanggup menyelenggarakan dengan kebesaran satu
patokan dapat berkhasiat, tapi patokan dirancang untuk keperluan dan

1
Kusuma, I. M. W. W., & Karma, N. M. S. (2020). Upaya Hukum Praperadilan dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Jurnal Interpretasi Hukum, 1(2), 73-77.

4
menyelenggarakan kubu lesu jadi sentosa. Bukti pendahuluan sebagai penegasan
kepada terdakwa, aparat hukum memastikan tidak memihak. Penyimpangan warga
mencari kebenaran memakai pra peradilan sebagai memperoleh keadilan dan
perlindungan hak, utama menyangkut hak asasi. Pelaksanaan HAM dimuat dalam
UUD 1945 dan dimuat dalam UU NO 8 Tahun 1981 berkaitan dengan KUHAP. UU
memuat tentang mekanisme peradilan pidana dari tahap pemeriksaan, penagihan,
persidangan.2

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana Pengertian Praperadilan?
2. Bagaimana Objek Praperadilan?
3. Bagaimana Pihak yang berhak Mengajukan PraPeradilan?
4. Bagaimana Proses pemeriksaan Praperadilan Peradilan?
5. Bagaimana Putusan Praperadilan?
6. Bagaimana Upaya Hukum Putusan Pra Peradilan?

1.3 TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Pengertian Praperadilan
2. Untuk Mengetahui Objek Praperadilan
3. Untuk Mengetahui Pihak yang berhak Mengajukan PraPeradilan
4. Untuk Mengetahui Proses pemeriksaan Praperadilan Peradilan
5. Untuk Mengetahui Putusan Praperadilan
6. Untuk Mengetahui Upaya Hukum Putusan Pra Peradilan.

2
Plangiten, M. (2013). Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia. Lex Crimen, 2(6).

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Praperadilan

Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya


merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada
setiap Pengadilan Negeri. Sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri
yang ada selama ini. Kalau selama ini, wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri
mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok maka
terhadadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau
penghentianpenuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau tuntuan umum yang
wewenang pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. Menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada pasal
79, 80 dan 81 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini : a.
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79); b. Permintaan untuk memeriksa sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penundaan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umm atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 80); c. Permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akbat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau

6
pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua pengadilan negeri dengan
meyebabkan alasannya (Pasal 81).3

2.2 Objek Praperadilan

Praperadilan sendiri diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”), khususnya Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s/d Pasal 83, Pasal 95 ayat
(2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124. Adapun yang menjadi objek
praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP adalah: Pengadilan
negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Mencermati pertanyaan Anda yang menanyakan mengenai “salah penerapan


hukum” sebagai objek dalam Praperadilan, maka sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP di
atas, “salah penerapan hukum” adalah tidak termasuk sebagai salah satu Objek
Praperadilan. Mengenai “salah penerapan hukum” dalam suatu perkara justru dikenal
dalam Upaya Hukum Permohonan Kasasi (Vide: Pasal 30 ayat [1] UU No 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung jo. Pasal 253 KUHAP).

2.3 Pihak yang berhak Mengajukan PraPeradilan

Yang berhak mengajukan permohonan permintaan pemeriksaan praperadilan


mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau

3
Plangiten, M. (2013). Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia. Lex Crimen, 2(6).

7
mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
antara lain :

a. Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya


Tersangka, keluarganya atau kuasanya berhak mengajukan permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan,
dan atau penggeledahan.
b. Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan Pasal 80 KUHAP
menyebutkan : “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penundaan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya” Menurut Pasal 80 KUHAP,
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
Pasal tersebut memberikan hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan mengajukan permintaan pemeriksaan kepada praperadilan
mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan.4
c. Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan
Jika penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan permintaan pemeriksaan
terhadap penghentian penyidikan maka ini merupakan kebalikannya. Penyidik
diberikan hak untuk pengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya penghentian penuntutan.
d. Tersangka, Ahli Warisnya,atau Kuasanya
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP. Menurut ketentuan
yang dijelaskan dalam Pasal tersebut, tersangka, ahli warisnya, atau penasehat
hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas
alasan :17 ”Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas

4
Muntaha, M. (2017). Pengaturan Praperadilan dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Mimbar
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 29(3), 461-473.

8
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 77. 5
e. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi
Menurut ketentuan Pasal 81.

2.4 Proses pemeriksaan Praperadilan Peradilan

Praperadilan adalah satu kesatuan dan merupakan bagian yang tak tepisahkan
dari Pengadilan Negeri sehingga semua kegiatan dan tatalaksana Praperadilan tidak
terlepas dari struktur dan administrasi yustisial Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan
itu, pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Permohonan Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri 2) Semua permohonan
yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi Negeri yang meliputi wilayah hukum tempat dimana penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan itu dilakukan. atau diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri tempat dimana penyidik atau penuntut umum melakukan
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan berkedudukan. 3) Permohonan
Diregister dalam Perkara Praperadilan.

Setelah panitera menerima permohonan, diregister kedalam perkara


praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke praperadilan dipisahkan
registrasinya dari perkara pidana biasa. Administrasi yustisial praperadilan dibuat
tersendiri terpisah administrasi perkara biasa. Ketua Pengadilan Negeri Segera
Menujuk Hakim dan Panitera. Penunjukan sesegera mungkin hakim nyang akan
memeriksa permohonan, merujuk pada ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf a, yang

5
Darwin, D., Dahlan, D., & Suhaimi, S. (2019). Analisis Yuridis Putusan Praperadilan dalam Perspektif
Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Mercatoria, 12(1), 68-79.

9
menegaskan bahwa dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan, hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang. Agar yang dituntut dalam pasal tersebut dapat
dilaksanankan dengan cepat setelah pencatatan dalam register, panitera memintakan
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk segera menunjuk dan menetapkan hakim dan
panitera yang akan bertindak memeriksa permohonan. Atau kalau Ketua Pengadilan
telah menetapkan satuan tugas yang khusus secara permanen, segera melimpahkan
permintaan itu kepada pejabat satuan tugas tersebut.6

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim


tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada Praperadilan diperiksa dan diputus
oleh hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP yang berbunyi
:21 “praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri
dan dibantu seorang panitera”. Mengenai tata cara pemeriksaan sidang praperadilan,
diatur dalam Pasal 82 KUHAP serta pasal berikutnya. Bertitik tolak dari ketentuan
tersebut, pemeriksaan sidang Praperadilan dapat dirinci sebagai berikut : a. Penetapan
hari sidang 3 hari sesudah diregister Demikian penegasan Pasal 82 ayat (1) huruf a,
yakni 3 hari sesedah diterima permohonan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang. Perhitungan penetapan hari sidang, bukan dari tanggal penunjukan hakim oleh
Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi dihitung dari tanggal penerimaan atau 3 hari dari
tanggal registrasi di kepaniteraan. b. Pada hari penetapan sidang sekaligus hakim
menyampaikan panggilan Tata cara inilah yang sebaiknya ditempuh agar dapat
dipenuhi proses pemeriksaan yang cepat seperti yang ditegaskan dalam Pasal 82 ayat
(2) huruf c,22 yang memerintahkan pemeriksaan tersebut dilakukan dengan acara cepat
dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus menjatuhkan putusannya. Kalau begitu
adalah bijaksana apabila pada saat penetapan hari sidang, sekaligus disampaikan

6
Afandi, F. (2016). Perbandingan Praktik praperadilan dan Pembentukan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan Dalam Peradilan Pidana Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, 28(1), 93-106.

10
panggilan kepada pihak yang bersangkutan, yang menimbulkan terjadinya permintaan
pemeriksaan.7

Selambat – lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan. Begitulah yang


ditegaskan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c,23 tentang pemeriksaan yang dilakukan
dengan acara cepat dan selambat-lambatnya 7 hari hakim sudah menjatuhkan putusan.
Akan tetapi ketentuan ini tidak menjelaskan sejak kapan dihitung masa tenggang yang
7 hari tersebut. Ada dua alternative yang dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk
menentukan masa tenggang tersebut antara lain: Pertama, putusan dijatuhkan 7 hari
dari tanggal penetapan sidang. Berarti hakim sudah mesti menjatuhkan putusan 7 hari
setelah penetapan hari sidang termasuk didalamnya penetapan, pemanggilan,
pemeriksaan sidang dan penjatuhan putusan tentunya. Hal ini dinilai tidak sesuai
dengan asas pemeriksdaan acara cepat karena bukan tidak mungkin jarak antara
penerimaan permintaan pemeriksaan dan penetapan hari sidang bisa memakan waktu
berhari-hari bahkan berminggu- minggu sehingga alternatif ini kurang tepat dan tidak
memenuhi perintah undang- undang. Kedua, putusan dijatuhkan 7 hari dari tanggal
pencatatan. Dalam hal ini hakim mesti menjatuhkan putusan 7 hari dari tanggal
permohonan deregister di kepaniteraan pengadilan. Pelaksanaan yang demikian
berkesesuaian dengan prinsip peradilan cepat.

Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) KUHAP, maka setelah surat permohonan


pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan telah dicatat
dalam Buku Register Perkara Praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, pada
hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan permintaan itu kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang harus segera menunjuk Hakim tunggal dengan dibantu
oleh seorang panitera yang akan memimpin dan memeriksa perkaranya dalam sidang
praperadilan. Dalam putusan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar-dasar dan
alasannya. Selain itu, isi putusan harus pula memuat hal-hal seperti yang ditentukan

7
Amdani, Y. (2015). Implikasi penafsiran undang-undang oleh hakim praperadilan dalam perkara tindak
pidana korupsi. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 27(3), 459-471.

11
dalam Pasal 82 ayat (3) KUHAP, yaitu : 1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu
penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka; 2. Dalam hal
putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; 3. Dalam hal putusan
menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan
dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan sah dan tersangka
tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya. 4. Dalam hal putusan
menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka
dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada
tersangka atau dari siapa benda itu disita.

Menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka terhadap putusan


praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Namun, khusus terhadap putusan
praperadilan yang menetapkan maka atas permintaan penyidik atau penuntut umum
dapat dimintakan putusan akhir kepada Pengadilan Tinggi.(Pasal 83 ayat (2) KUHAP).
Begitu halnya dalam hal Kasasi Putusan praperadilan tidak boleh dimintakan kasasi,
meskipun dalam Pasal 88 KUHAP telah dinyatakan bahwa semua perkara dapat
dimintakan kasasi. Adapun alasannya karena adanya keharusan untuk menyelesaikan
perkara praperadilan secara cepat. Permohonan praperadilan yang dimintakan ke
Pengadilan Negeri kadang dinyatakan gugur oleh hakim.Hal ini berdasarkan ketentuan
Pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa :“Dalam hal suatu perkara sudah
mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan
kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

2.5 Putusan Praperadilan

Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan


untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh

12
penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru ( semua yang tersebut pada
butir 1 sampai dengan 5 ini diatur dalam (pasal 82 ayat (1) KUHAP). Putusan hakim
dalam acara pemeriksaan peraperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 79, pasal 80 dan pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. Isi
putusan selai memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat
hal sebagai berikut: a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka; b. Dalam hal
putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidikan atau penuntutan terhadapa tersangka wajib dilanjutkan; c. Dalam hal
putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabiliasi yang diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. Dalam
hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat
pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.8

Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir. Putusanpengadilan


tersebut merupakan hasil akhir dari suatu jalannya persidanganterhadap suatu kasus
tindak pidana. Putusan pengadilan diambil oleh hakimyang menangani perkara di
pengadilan negeri dimana tempat sidang perkaratindak pidana berlangsung. Dalam
putusan tersebut hakim menyatakanpendapatnya mengenai hal-hal yang menjadi
pertimbangannya dan putusan itu sendiri. Dengan adanya putusan praperadilan atas sah
atau tidaknya penahanan atas diri tersangka tersebut maka kita dapat mengetahui
bagaimana pelaksanaan pemeriksaan praperdilan.Selain itu kita dapat juga menelaah
apakah ada implikasi terhadap diri tersangka atas putusan yang telah dijatuhkan oleh

8
Parikesit, I., & Eko Soponyono, S. (2017). Tinjauan Tentang Objek Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia. Diponegoro Law Journal, 6(1), 1-60.

13
hakim tersebut bahkan kita pun dapat mengetahui kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksaan praperadilan. Dalam praktek kadangkala terjadi suatu praperadilan
diputus setelah melebihi jangka waktu tujuh hari.Namun sayangnya, dalam KUHAP
tidak diatur dan dijelaskan mengenai konsekuensi hukum ataupun sanksi terhadap
hakim yang memutus perkara praperadilan yang terlambat.

Selain itu adanya putusan gugur yang dijatuhkan dalam pemeriksaan Sidang
Praperadilan. Sebelum adanya putusan dari hakim praperadilan, sidang telah gugur.
Hal ini dikarenakan adanya aturan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyatakan
bahwa :“Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai,
maka permintaan tersebut gugur. Selanjutnya Praperadilan mempunyai Undang-
undang yang lemah.Berkaitan dengan keberadaan Pasal 82 ayat (1) huruf d justru dapat
melemahkan keberadaan lembaga praperadilan itu sendiri.Hal itu dikarenakan Pasal 82
ayat (1) huruf d tersebut malah memberikan celah untuk membuat gugurnya
praperadilan sehingga dapat merugikan tersangka.Seharusnya dengan adanya putusan
praperadilan dapat memberikan kepastian hukum terhadap tersangka, tetapi dengan
gugurnya praperadilan justru mengingkari ketentuan hukum yang tidak memberikan
kepastian hukum dalam suatu persidangan.Dengan adanya pemberhentian pemeriksaan
praperadilan karena terbentur pada ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d tersebut secara
tidak langsung dapat merusak citra hukum di kalangan pencari keadilan.9

2.6 Upaya Hukum Putusan Pra Peradilan

Putusan pra peradilan tidak dapat dimin¬takan banding (Pasal 83 ayat (1),
kecuali terhadap putusan yang menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan dan
penuntutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP). Dalam hal ada permohonan banding terhadap
putusan pra peradilan sebagai¬mana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka

9
Abdaud, F. (2018). Upaya Hukum Pascaputusan Praperadilan Dalam Rangka Menegakkan Hukum
Dan Keadilan. Al-'Adl, 11(2), 103-115.

14
permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima. Pengadilan Tinggi memutus
permintaan banding tentang tidak sahnya penghen¬tian penyidikan dan penuntutan
dalam tingkat akhir. Terhadap Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum
kasasi.

Dalam setiap putusan hakim di pengadilan tentunya selalu ada upaya hukum
lanjutan bagi para pihak yang merasa belum puas dengan putusan dari hakim yang
memutus perkara tersebut. Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia
dikenal adanya upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa
terdiri dari banding dan kasasi diatur dalam Bab XVII KUHAP, sedangkan upaya
hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali diatur
dalam Bab XVIII KUHAP. Namun lain halnya dengan putusan pra peradilan tidak
dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat (1), kecuali terhadap putusan yang
menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 83 ayat (2)
KUHAP). Dalam hal ada permohonan banding terhadap putusan pra peradilan
sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut harus
dinyatakan tidak diterima.Pengadilan Tinggi memutus permintaan banding tentang
tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tingkat akhir. Terhadap
Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Selanjutnya, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi.


Alasan tidak dibenarkannya putusan praperadilan dibanding atau kasasi, adalah adanya
keharusan penyelesaian secara cepat dari perkara-perkara praperadilan, yang jika hal
tersebut (upaya hukum) dimungkinkan, maka perkara praperadilan akan berlarutlarut
dan tidak akan diselesasikan secara cepat. Alasan lainnya karena wewenang pengadilan
negeri yang dilakukan dalam praperadilan hanya dimaksudkan sebagai wewenang
pengawasan horisontal dari pengadilan negeri atas upaya paksa yang dilakukan
penyidik atau penuntut umum. Namun praktek, upaya hukum peninjauan kembali
terhadap praperadilan pernah dikabulkan, dalam Putusan Mahkamah Agung No.
4/PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001. Permohonan ini diajukan oleh Ikatan

15
Keluarga Besar Laskar Ampera (IKBLA) Arief Rachman Hakim Eksponen 66
Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy, selaku ketua.10

10
Purba, T. L. D. (2017). Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka. Papua Law
Journal, 1(2), 253-270.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan yang berhubungan dengan
kedudukan praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dapat
dikemukakan sebagai berikut : 1. Praperadilan merupakan bagian dari penegakan
hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh karena itu, konsistensi
terhadap penerapan aturan yang menyangkut praperadilan harus dilaksanakan secara
konsekuen demi menjamin keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum masyarakat. 2.
Indonesia memberi perlindungan hak asasi manusia melalui konstitusinya.
Praperadilan tidak lain bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi
kepada setiap tersangka agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dalam
melakukan penangkapan, penyidikan dan memberi rehabilitasi jika tidak terbukti
melakukan tindak pidana. 3. Pelaksanan praperadilan memerlukan pengawasan agar
tetap konstitusional sesuai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
B. Saran

Bagi pemerintah turut memantau dan memperjuangkan hak-hak tersangka


sehingga terjadinya kesetaraan Hukum dan terwujudnya asas equality before the law.
Bagi penegak Hukum di harapkan selalu menegakkan Hukum berdasarkan Hukum
materiil dan formil yang ada dan berlaku di masyarakat. Bagi masyarakat pra peradilan
dapat bermanfaat untuk menuntut keadilan bilamana penegak Hukum dalam hal ini
penyidik tidak melaksanakan tugasnya berdasarkan SOP.

17
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, I. M. W. W., & Karma, N. M. S. (2020). Upaya Hukum Praperadilan dalam


Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jurnal Interpretasi Hukum, 1(2), 73-77.
Plangiten, M. (2013). Fungsi Dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia. Lex Crimen, 2(6).
Muntaha, M. (2017). Pengaturan Praperadilan dalam Sistem Hukum Pidana di
Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 29(3),
461-473.
Darwin, D., Dahlan, D., & Suhaimi, S. (2019). Analisis Yuridis Putusan Praperadilan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Mercatoria, 12(1), 68-79.
Afandi, F. (2016). Perbandingan Praktik praperadilan dan Pembentukan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan Dalam Peradilan Pidana Indonesia. Mimbar Hukum-
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 28(1), 93-106.
Amdani, Y. (2015). Implikasi penafsiran undang-undang oleh hakim praperadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 27(3), 459-471.
Parikesit, I., & Eko Soponyono, S. (2017). Tinjauan Tentang Objek Praperadilan
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Diponegoro Law Journal, 6(1),
1-60.
Purba, T. L. D. (2017). Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka. Papua
Law Journal, 1(2), 253-270.
Abdaud, F. (2018). Upaya Hukum Pascaputusan Praperadilan Dalam Rangka
Menegakkan Hukum Dan Keadilan. Al-'Adl, 11(2), 103-115.

18

Anda mungkin juga menyukai