Anda di halaman 1dari 23

Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa, Eksekusi dan Hakim Pengawas &

Pengamat (Hawasmat)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu:
Dani Amran Hakim, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Al-Anisa Nasahwa Arisni (2121020132)


Amalia Rosnita (2121020135)
Annisa Bintang Rozali (2121020141)
Aysi Sakhera (2121020155)
Daffa Bintang Pramudya (2121020162)
Dimas Ariadeta (2121020177)
Donico Ramadhan (2121020180)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGERA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa, Eksekusi dan Hakim Pengawas &
Pengamat (Hawasmat)” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dani Amran Hakim, S.H., M.H. Selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Acara Pidana yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
Mata Kuliah yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah


membagi sebagian pengetahuannya sehingga Kami dapat menyelesakan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 26 November 2023

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................3
A. Upaya Hukum Biasa : Perlawanan, Banding, Kasasi ...............................3
B. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali dan kasasi Demi
kepentingan Hukum ..................................................................................9
C. Eksekusi dan Hakim Pengawas dan Pengamat (Hawasmat) ....................10
BAB III PENUTUP ............................................................................................17
A. Kesimpulan ...............................................................................................17
B. Saran .........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena kejahatan selalu hadir dan menyertai perkembangan kehidupan
bermasyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa kejahatan dan tidak ada kejahatan
tanpa masyarakat. Menurut Bernes dan Teerers kejahatan akan selalu hadir dalam
kehidupan masyarakat.1
Untuk mengatasi dan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat, maka perlu dibuat suatu sistem yang disebut dengan sistem
peradilan pidana (criminal justice system).2
Sistem peradilan pidana Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang membagi komponen
sistem peradilan pidana menjadi 4 (empat), yaitu: kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan (LP). Sebelum berlakunya KUHAP,
Pengadilan (hakim) hanya berwenang menyelesaikan perkara dengan
menjatuhkan putusan tanpa ada tanggung jawab dan ikut serta dalam pelaksanaan
putusan. Menurut penjelasan Pasal 324 Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR),
dengan diucapkannya putusan dalam persidangan, maka hakim telah mengakhiri
tugasnya. Hakim tidak dapat melaksanakannya sendiri, tetapi diserahkan kepada
jaksa tanpa ada pengaruh dan pengawasan dari hakim , baik berupa laporan
maupun pertanggung jawaban.
Dibentuknya lembaga hakim wasmat merupakan salah satu upaya
mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara hukum, karena seringnya timbul
kesenjangan antara apa yang diputuskan hakim dengan pelaksanaannya di
lembaga pemasyarakatan (LP). Hal ini menyebabkan berkurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap hukum dan keadilan akibat tidak adanya kepastian sehingga

1
I. Nyoman Nurjaya, Profil Penjahat White Collar, Malang: Universitas Brawijaya, 1989, hlm. 1.
2
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994, hlm. 84-85.

1
dapat menghambat tercapainya tujuan hukum, bahkan dapat mengaburkan fungsi
hukum itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang Dimaksud Upaya Hukum Biasa : Perlawanan, Banding, Kasasi?
2. Apakah Yang Dimaksud Upaya Hukum Luar Biasa : Peninjauan Kembali dan
kasasi Demi kepentingan Hukum?
3. Bagaimana Eksekusi dan Hakim Pengawas dan Pengamat (Hawasmat)?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami Apakah yang Dimaksud Upaya Hukum Biasa : Perlawanan,
Banding, Kasasi?
2. Memahami Apakah Yang Dimaksud Upaya Hukum Luar Biasa : Peninjauan
Kembali dan kasasi Demi kepentingan Hukum?
3. Mengetahui Bagaimana Eksekusi dan Hakim Pengawas dan Pengamat
(Hawasmat)?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Upaya Hukum Biasa : Perlawanan, Banding, Kasasi


Dalam upaya hukum biasa, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa
terdiri dari:
1. Perlawanan
Perlawanan (verzet) sebagai bentuk perlindungan hukum jarang dibahas
dalam memahami perlindungan hukum. Kita sering kali lebih memahami terkait
perlindungan hukum tentang banding dan kasasi, sebagaimana berdasarkan Pasal
1 angka 12 UU No. 8 Tahun 1981, menjelaskan bahwa:
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa upaya hukum tersebut memiliki
unsur-unsur, antara lain yaitu:
a) Hak Terdakwa untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa:
1) Perlawanan
2) Banding
3) Kasasi
b) Hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.

Selanjutnya, perlawanan (verzet), sebagaimana berdasarkan Pasal 156 ayat


(4) UU No. 8 Tahun 1981, mengatur bahwa:
“Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
diterima olah Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan
Tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan
memerintahkan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara
itu.”

3
Berdasarkan Pasal 156 ayat (5) huruf a UU No. 8 Tahun 1981, mengatur
bahwa:
“Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu
empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan
terdakwa, Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan Negeri yang
berwenang.”

Lebih lanjut, perlawanan (verzet) diatur dalam BAB XVI Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Bagian Keenam Acara Pemeriksaan Cepat, Paragraf 2 Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan, mulai dari Pasal 211 sampai
dengan Pasal 216 UU No. 8 Tahun 1981. Berdasarkan Pasal 211 UU No. 8 Tahun
1981 mengatur bahwa:
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara
pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundangundangan lalu lintas jalan.”

Berdasarkan Pasal 212 UU No. 8 Tahun 1981, mengatur bahwa:


“Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara
pemeriksaan, oleh karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat
(1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan selambat-lambatnya pada
kesempatan hari sidang pertama berikutnya.”

Berdasarkan Pasal 213 UU No. 8 Tahun 1981, mengatur bahwa “Terdakwa


dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”.

Dari ketentuan di atas, yang dimaksud dengan upaya hukum perlawanan


(verzet) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara
pelanggaran lalu lintas dan tidak hadir dalam pemeriksaan perkara. Selain itu,
putusan pengadilan berupa pidana perampasan kebebasan, dalam hal ini pidana
penjara.3 Dengan kata lain, perlawanan (verzet) adalah upaya hukum yang
dilakukan oleh terdakwa yang dihukum penjara karena tindak pidana lalu lintas

3
Syahrul Sitorus. (2018). Upaya Hukum dalam Perkara Perdata (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan
Kembali dan Derden Verzet). Hikmah, Sekolah Tinggi Agama Islam Sumatera, 15(1), hlm. 64.

4
dan tidak hadir pada saat diperiksa di pengadilan. Dari uraian di atas, maka
persyaratan upaya hukum berupa perlawanan (verzet), antara lain:
a. Perkara tindak pidana pelanggaran lalu-lintas
b. Terdakwa tidak hadir pada pemeriksaan perkara
c. Pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara
d. Terdakwa mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Negeri yang memutus
perkara tersebut
e. Dengan adanya perlawanan ini, putusan pidana penjara menjadi gugur dan
terdakwa dipanggil untuk diperiksa kembali
f. Jika terdakwa hadir, maka terdakwa akan diperiksa dan dijatuhi sanksi pidana
berupa:
1) Pidana denda, dengan upaya hukum berupa banding ke Pengadilan
Tinggi
2) Pidana penjara, dengan upaya hukum berupa banding ke Pengadilan
Tinggi.
g. Setelah dipanggil, jika terdakwa masih berhalangan hadir, maka hukuman
penjara yang dijatuhkan sangat kuat. Dengan putusan tersebut, terdakwa
dapat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi.

2. Banding
Banding adalah salah satu bentuk upaya hukum yang merupakan hak
terdakwa berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang dimana terdakwa tidak setuju
dengan putusan pengadilan.4 Banding adalah upaya hukum yang dapat diambil
para pihak untuk memeriksa kembali putusan pengadilan di tingkat pertama. 5
Upaya hukum banding juga dapat ditujukan untuk mengoreksi putusan pengadilan
tingkat pertama jika ditemukan kesalahan atau kelalaian dalam memberikan
putusan.6 Tujuan koreksi adalah kembali pada ketentuan hukum dan peraturan
4
Luhut M. P. Pangaribuan. (2002). Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh
Advokat Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali. Jakarta: Djambatan,
hlm. 76.
5
Bilryan Lumempouw. (2013). Hak Terdakwa Melakukan Upaya Hukum dalam Proses Peradilan
Pidana. Lex Crimen: Jurnal Elektronik Bagian Hukum Pidana, Universitas Sam Ratulangi, 2(3), hlm. 188.
6
Janpatar Simamora. (2014). Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
Vonis Bebas. Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 7(1), hlm. 8.

5
perundang-undangan yang sebenarnya sehingga pemeriksaan dan putusan
peradilan di tingkat pertama benar-benar akomodatif dan proporsional
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Selain itu, tujuan dari
upaya hukum banding adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan atau
penyalahgunaan jabatan oleh pengadilan tingkat pertama. Dapat disimpulkan
bahwa upaya hukum banding, yaitu selain mengoreksi kesalahan pada tingkat
pertama, juga melakukan pencegahan dan kesewenang-wenangan serta
penyalahgunaan jabatan serta pengawasan terhadap terwujudnya asas persamaan
di hadapan hukum.8

Adapun dasar hukum dalam upaya hukum banding, antara lain yaitu:
a. BAB XVII Upaya Hukum Biasa, Bagian kesatu Pemeriksaan Tingkat
Banding, mulai dari Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 UU No. 8 Tahun
1981;
b. Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun
2009).

Beberapa poin penting di dalam ketentuan upaya hukum banding, antara lain
yaitu:
a. Putusan pengadilan tingkat pertama, yang bukan merupakan pembebasan dari
dakwaan atau pembebasan dari semua tuntutan hukum, dapat diajukan
banding ke pengadilan tinggi oleh para pihak terkait, sebagaimana
berdasarkan Pasal 67 UU No. 8 Tahun 1981 dan Pasal 26 UU No. 48 Tahun
2009.
b. Pada dasarnya merupakan pemeriksaan ulang atas apa yang telah diperiksa
oleh Pengadilan Negeri. Artinya Pengadilan Negeri memeriksa kembali
semua fakta tersebut sehingga pengadilan tinggi disebut Judex Factie.
c. Merupakan hak terdakwa dan/atau penuntut Umum, dimana:

7
Agus Maksum Mulyohadi. (2015). Disparitas Pidana Putusan Hakim atas Perkara Pidana Anak dalam
Perspektif Perlindungan Hak-Hak Anak (Studi Kasus Pengadilan Negeri Boyolali Tahun 2009 – 2013). Jurnal
Jurisprudence, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 5(2), hlm. 132.
8
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 451.

6
1) Diajukan melalui Panitera Pengadilan Negeri;
2) Pengajuan banding diajukan selambat-lambatnya tujuh hari setelah
putusan dijatuhkan, dalam hal ini Panitera Pengadilan Negeri akan
menolak pengajuan tersebut jika lebih dari tujuh hari, sebagaimana
berdasarkan Pasal 233 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981;
3) Selama perkara belum diputuskan di tingkat banding, pemohon dapat
mencabut permohonannya setiap saat. Dengan pencabutan ini, tidak ada
lagi pengajuan banding.
4) Memori banding maupun kontra memori banding tidak wajib diajukan.
d. Putusan banding (putusan Pengadilan Tinggi) dapat berupa:
1) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri;
2) Mengubah putusan Pengadilan Negeri;
3) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri, dalam hal ini Pengadilan
Tinggi membuat putusan sendiri.
e. Putusan yang dapat diajukan upaya hukum banding meliputi:
1) Pemidanaan
2) Putusan dalam acara pidana lalu lintas berupa pidana penjara,
sebagaimana berdasarkan Pasal 214 ayat (8) UU No. 8 Tahun 1981
3) Penolakan eksepsi yang diajukan Penasehat Hukum.
f. Putusan yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding meliputi;
1) Pembebasan
2) Lepas dari segala tuntutan hukum
3) Sahnya penangkapan
4) Tidak sahnya penangkapan
5) Sahnya penahanan
6) Tidak sahnya penahanan;
7) Sahnya penggeledahan
8) Tidak sahnya penggeledahan
9) Sahnya penyitaan
10) Tidak sahnya penyitaan.
11) Sahnya penghentian penyidikan

7
12) Tidak sahnya penghentian penyidikan
13) Sahnya penghentian penuntutan
14) Tidak sahnya penghentian penuntutan.
15) Putusan dalam acara pidana lalu lintas berupa pidana denda.

3. Kasasi
Kasasi adalah salah satu upaya hukum biasa di tingkat terakhir yang diperiksa
oleh Mahkamah Agung.9 Kata kasasi dikenal dengan istilah “cassation”, dalam
bahasa Belanda “caesei” yang berarti pembatalan putusan pengadilan
sebelumnya.10
Pemeriksaan kasasi dapat diajukan terhadap perkara pidana yang diputuskan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan selain Mahkamah Agung, kecuali terhadap
putusan bebas.11 Kasasi tidak dapat dimohonkan atas putusan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung, artinya putusan kasasi tidak dapat dikasasikan kembali,
sebagai bentuk kepastian hukum terhadap putusan kasasi.12 Yang dimaksud kasasi
adalah pembatalan atau pemecahan.13 Sedangkan maksud dari kasasi adalah agar
putusan terakhir yang bertentangan dengan hukum dapat dibatalkan.14

B. Upaya Hukum Luar Biasa : Peninjauan Kembali dan kasasi Demi


kepentingan Hukum
1. Pemeriksaan Kasasi demi Kepentingan Hukum
Penegak hukum hanya melakukan pemeriksaan kasasi untuk kepentingan
hukum, dalam hal ini kewenangan Jaksa Agung, bukan tersangka maupun
9
Putra Halomoan Hsb. (2015). Tinjauan Yuridis tentang Upaya-Upaya Hukum. Yurisprudentia: Jurnal
Hukum Ekonomi, Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan, 1(1), hlm. 45.
10
Osman Simanjuntak. (1995). Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. Jakarta: Grasindo, hlm. 168.
11
A. Adiwana & Amalia Zakiyatu Faturrahmah. (2016). Argumentasi Penuntut Umum Mengajukan
Kasasi terhadap Putusan Bebas Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Tindak Pidana Perbuatan Merugikan
Pemiutang (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 601K/PID/2013). Verstek, Universitas Sebelas Maret,
5(1), hlm. 7.
12
Enrico Simanjuntak. (2013). Kewenangan Hak Uji Materil pada Mahkamah Agung RI. Jurnal Hukum
dan Peradilan, Mahkamah Agung RI, 2(3), hlm. 353.
13
Prianter Jaya Hairi. (2011). Antara Prinsip Peradilan Sederhana, Cepat dan Berbiaya Ringan dan
Gagasan Pembatasan Perkara Kasasi. Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan
Kesejahteraan, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2(1), hlm. 159.
14
Christian Hadinata Tamusala. (2018). Upaya Hukum Kasasi terhadap Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009. Lex Crimen: Jurnal
Elektronik Bagian Hukum Pidana, Universitas Sam Ratulangi, 7(4), hlm. 110.

8
terpidana.15 Artinya, upaya hukum ini hanya mengatur upaya-upaya yang
dilakukan kejaksaan.

2. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah bentuk upaya hukum luar biasa yang diberikan
kepada pihak yang mencari keadilan.16 Peninjauan kembali diajukan untuk
melawan suatu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya
dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Selaras dengan pandangan
Adami Chazawi, bahwa:17
“Putusan yang dapat dimintakan upaya hukum peninjauan kembali adalah
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, bukan merupakan putusan bebas
atau lepas dari tuntutan hukum, dan pihak yang mengajukan adalah terpidana
atau ahli warisnya.”
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana
yang merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan adalah salah, sehingga terpidana
mengajukan permohonan agar perkaranya dapat ditinjau kembali. Olehnya itu,
berdasarkan Pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981, mengatur bahwa:
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat

15
Rendi Renaldi Mumbunan. (2018). Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa terhadap Putusan Hakim
dalam Perkara Pidana. Lex Crimen: Jurnal Elektronik Bagian Hukum Pidana, Universitas Sam Ratulangi,
7(10), hlm. 43.
16
Ahmad Fauzi. (2014). Analisis Yuridis terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali (PK)
oleh Jaksa dalam Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung
RI, 3(1), hlm. 41.
17
Adami Chazawi. (2010). Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana: Penegakan Hukum
dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 1.

9
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain.
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan.
Adapun peraturan perundang-undangan terkait upaya hukum peninjauan
kembali, antara lain sebagai berikut.
1. Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 UU No. 8 Tahun 1981
2. Pasal 23 UU No. 48 Tahun 2009
3. Pasal 60 sampai dengan Pasal 76 UU No. 3 Tahun 2009.

C. Eksekusi dan Hakim Pengawas dan Pengamat (Hawasmat)


Eksistensi hakim wasmat dalam sistem peradilan pidana Indonesia, awalnya
diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang Undang Pokok Kehakiman Tahun 1970. 18
Ketika KUHAP lahir, hal itu kemudian diatur dalam Pasal 277 yang berbunyi:
1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk
membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas
dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun.

18
Ketentuan tersebut sekarang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

10
Menurut ketentuan di atas, hakim wasmat ialah hakim yang mendapat tugas
khusus mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan
dalam hal pidana perampasan kemerdekaan. Pengawasan ditujukan pada luar diri
hakim , yaitu terhadap jaksa dan petugas LP. Sedangkan pengamatan ditujukan
untuk hakim sendiri dengan meneliti dan menilai hasil kerjanya sendiri berupa
pemidanaan, sebagai bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan datang. Jadi
hakim wasmat mempunyai tugas rangkap, sebagai hakim biasa dan sebagai hakim
wasmat.
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 1985 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat, 19 hakim wasmat
dapat berjumlah lebih dari satu orang pada satu PN, tergantung banyak sedikitnya
jumlah napi yang ada dalam ruang lingkup tugas PN yang bersangkutan. Misalnya
di suatu daerah hukum PN terdapat lebih dari satu LP atau hanya satu LP tetapi
dengan kapasitas penampungan yang besar, maka diperlukan hakim wasmat lebih
dari satu orang. Mengingat SEMA No. 7 Tahun 1985 tidak menentukan secara
pasti jumlah hakim wasmat, maka jumlahnya diserahkan kepada ketua PN. Sebab
menurut Pasal 277 Ayat (1) KUHAP, yang berwenang menunjuk hakim wasmat
adalah KPN, sehingga ia juga berwenang menentukan jumlah hakim wasmat.
Apalagi menurut Pasal 55 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang diberi kewajiban melakukan pengawasan adalah KPN, sehingga
keberadaan hakim wasmat adalah untuk membantu KPN.
Masa jabatan hakim wasmat menurut Pasal 277 Ayat (2) KUHAP paling
lama 2 (dua) tahun. Maksud adanya pembatasan waktu 2 (dua) tahun adalah untuk
memberikan kesempatan pada hakim-hakim lain di PN yang telah memenuhi
syarat, karena tugas ini memiliki manfaat yang besar bagi peningkatan
profesionalisme hakim dalam membuat putusan yang berkeadilan pada masa yang
akan datang. Manfaat yang akan diperoleh tersebut pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
19
Sebelum SEMA No.7 Tahun 1985 terbit, pada tahun 1984 telah dikeluarkan SEMA No. 3 Tahun
1984 tentang Pelaksanaan Hakim Pengawas dan Pengamat. Dalam SEMA No. 3 Tahun 1984, dikirimkan
makalah Ketua MA Adi Andojo yang berjudul “Kedudukan dan Peranan Hakim Pengawas dan Pengamat
menurut KUHAP” untuk mendapatkan masukan terkait pelaksanaan tugas Hakim Pengawas dan Pengamat di
daerah. Data-data yang terkumpul dari PN di seluruh Indonesia nampaknya menjadi bahan untuk menyusun
SEMA No. 7 Tahun 1985.

11
1. Akan menambah pengetahuan dan pengalaman sehingga putusan yang
dijatuhkannya akan bermanfaat bagi pembinaan napi.
2. Mengetahui pengaruh dari putusan yang dijatuhkan terhadap napi.
3. Mengetahui sejauh mana manfaat dari putusan yang dijatuhkan.
4. Akan lebih mengakrabkan hubungan antar penegak hukum.

Berakhirnya masa jabatan hakim wasmat dapat disebabkan hal-hal berikut:


1. Masa jabatannya sebagai hakim atau sebagai hakim wasmat telah berakhir.
2. Meninggal dunia sebelum berakhir masa jabatannya.
3. Pindah tugas ke daerah lain.
4. Diberhentikan dengan tidak hormat sebagai hakim .
5. Secara sukarela mengundurkan diri sebagai hakim/hakim wasmat.

Tujuan Pembentukan Hakim Pengawas dan Pengamat


Dalam sistem peradilan pidana, pemidanaan menempati posisi yang sangat
penting karena memiliki konsekuensi yang luas, baik terhadap pelaku maupun
masyarakat secara luas. Suatu keputusan pidana yang tidak tepat, akan
menimbulkan reaksi yang “kontroversial” karena kebenaran itu sifatnya relatif,
tergantung dari mana cara memandangnya. Persoalan ini sangat kompleks dan
mengandung makna yang sangat mendalam, baik yuridis, sosiologis maupun
filosofis.20 Untuk itu, pembuat KUHAP merasa perlu untuk mewujudkan dan
menghadirkan suatu bentuk baru dalam sejarah hukum di Indonesia berupa
lembaga hakim wasmat guna menunjang tercapainya tujuan hukum dan tujuan
pemidanaan. Dengan adanya hakim wasmat dapat diketahui kelemahan suatu
putusan, untuk selanjutnya diambil langkah-langkah yang perlu demi
perkembangan hukum ke arah terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan dibentuknya lembaga hakim wasmat menurut berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, pada prinsipnya sebagai berikut:
1. Dari Aspek Pengawasan Untuk memastikan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya
20
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hlm. 52.

12
(Pasal 280 Ayat (1) KUHAP). Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut,
hakim wasmat mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pengadilan, dalam hal:
a. Putusan dilaksanakan sesuai bunyi amar putusan yang telah dijatuhkan
majelis hakim, khususnya amar putusan berupa perampasan
kemerdekaan napi.
b. Eksekusi dilaksanakan sesuai peraturan yang ada, antara lain:
1) Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP mengenai pelaksanaan putusan
pengadilan, terutama dalam hal pidana perampasan kemerdekaan.
2) Pasal 54 Ayat (3) dan Pasal 55 Undang Undang Nomor 48 Tahun
2009.
3) Ketentuan-ketentuan lain yang ada dan berlaku dalam LP sepanjang
mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan.

Menurut Bambang Poernomo pengawasan terhadap pelaksanaan putusan


pada hakikatnya dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya putusan hakim.
Namun hal tersebut tidak perlu mengakibatkan hakim lalu menjadi kepala LP,
karena sebenarnya teknis pengawasan itu sudah dapat dilakukan oleh Kepala
Direktorat Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM bersama-sama
kejaksaan setempat.21 Hal serupa dikemukakan A. Hamzah dan Irdan Dahlan
bahwa pengawasan hukum berarti tugas jaksa sebagai pelaksana putusan
hakim akan diawasi oleh hakim, dalam arti hanya untuk menjamin benar-
benar dilaksanakannya putusan dengan baik oleh jaksa dan petugas LP.
Pengawasan ini bukan berarti pengawasan vertikal (dalam arti pengawasan
dari atas ke bawah atau dari atasan ke bawahan), tetapi pengawasan ke
samping atau horizontal dan tidak dilakukan secara fisik melainkan dilakukan
secara administratif.22

2. Dari Aspek Pengamatan

21
Bambang Poernomo, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana dan Beberapa Harapan Dalam Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 80.
22
A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP dan HIR dan Komentar, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984, hlm. 48.

13
Hasil pengamatan yang diperoleh dari perilaku napi atau pembinaan LP serta
pengaruh timbal balik terhadap napi selama menjalani pidana (Pasal 280 Ayat (2)
KUHAP) diharapkan dapat bermanfaat bagi penjatuhan pidana yang tepat pada
masa yang akan datang. Pengamatan lebih ditujukan terhadap hasil kerja
pengadilan sendiri berupa pemidanaan. Hal ini tentu berbeda dengan pengawasan
yang ditujukan pada pihak di luar pengadilan, dalam hal ini adalah kejaksaan dan
LP. Pengamatan dilakukan untuk bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan
datang agar dapat lebih memberikan kemanfaatan, khususnya bagi napi. Oleh
karena itu penelitian dalam rangka pelaksanaan tugas pengamatan dimaksudkan
untuk:
a. Mendapatkan dan mengumpulkan data tentang perilaku napi
b. Mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara perilaku napi dengan pidana
yang dijatuhkan.23

Ketepatan lama tidaknya masa pemidanaan merupakan hal yang sangat


penting terutama dalam hal pembinaan napi, agar pada saat keluar LP seorang
napi sudah dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat pada hukum.
Selain itu ketepatan mengenai masa hukuman juga dimaksudkan untuk
menghindarkan dari hal-hal:
a. Pemborosan biaya, dimana seharusnya waktu yang diperlukan untuk
pembinaan sudah cukup, tetapi berhubung dengan keputusan hakim yang
masih lama masa menjalani pidananya serta belum memenuhi persyaratan
untuk diberikan pelepasan bersyarat, maka hal ini mengakibatkan
bertambahnya beban baik dari segi pembiayaan maupun tenaga yang
seharusnya sudah tidak diperlukan lagi.
b. Adanya kekurangan masa pembinaan terhadap napi, yang mana seharusnya
seorang napi masih terus diberikan pembinaan untuk direhabilitasi namun
pada sisi yang lain masa menjalani hukumannya telah berakhir, sehingga
tidak dapat diberikan pembinaan dengan baik.

23
SEMA No. 7 Tahun 1985, hlm. 3

14
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan yang pertama
merupakan pengawasan horizontal terhadap jaksa dan petugas LP, sedangkan
yang kedua merupakan pengamatan terhadap hasil kerja PN sendiri yang berupa
pemidanaan. Pengawasan ditujukan pada pihak “luar”, sedangkan pengamatan
ditujukan kepada masalah internal PN sendiri sebagai bahan penelitian bagi
pemidanaan yang akan datang. Dalam melakukan pengawasan hakim
menitikberatkan antara lain pada apakah putusan sudah dilaksanakan sesuai asas-
asas perikemanusiaan, apakah cara pembinaan terhadap napi tertentu sudah
dilaksanakan sesuai dengan tujuan pemasyarakatan, yaitu mengembalikan napi
menjadi anggota masyarakat yang baik yang patuh pada hukum. Sementara dalam
mengamati, hakim menitikberatkan pengamatannya pada apakah pidana
(misalnya) 2 tahun bagi pemerkosa sudah tepat atau belum.24

Pelaksanaan Wasmat dan Efektivitasnya dalam Mencegah Penyimpangan


SEMA No. 7 Tahun 1985 mengatur tentang metode dan mekanisme
pengawasan dan pengamatan yang pada intinya dilakukan dengan tata cara yang
praktis dan pragmatis. Hakim wasmat harus mampu mengumpulkan fakta nyata
berdasarkan keadaan riil, jauh dari opini subjektif untuk mencegah timbulnya
kesimpulan yang menyesatkan. Agar dapat memperoleh data yang kongkrit dan
riil, Hakim wasmat harus terjun langsung ke lapangan (checking on the spot)
dengan melihat sendiri kenyataan-kenyataan yang terjadi dan melakukan
pendekatan dari hati ke hati. Menurut Adi Andojo, metoda yang praktis untuk
menginspeksi keadaan LP ialah dengan jalan menyediakan waktu sehari penuh
berada di LP untuk melihat secara langsung dan dari dekat semua kegiatan yang
dilakukan dalam LP. Untuk itu perlu keterbukaan dari semua pihak, termasuk dari
napi sendiri dengan tidak menambah, mengurangi atau menutupi keadaan
senyatanya yang ada pada dirinya agar kesimpulan yang didapat dapat dijadikan
landasan yang akurat dalam membuat putusan di kemudian hari. Adapun

24
Adi Andojo Soetjipto, Kedudukan dan Peranan Hakim Pengawas dan Pengamat Menurut KUHAP,
makalah sebagai lampiran dalam SEMA No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Hakim Pengawas dan
Pengamat, hlm. 3.

15
frekuensi inspeksi mengingat kesibukan dan kekurangan tenaga hakim, maka
sudah cukup dalam waktu satu bulan satu kali.25

BAB III
KESIMPULAN

25
Ibid

16
A. Kesimpulan
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa upaya hukum tersebut memiliki
unsur-unsur, antara lain yaitu:
1) Perlawanan : adalah upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa yang
dihukum penjara karena tindak pidana lalu lintas dan tidak hadir pada saat
diperiksa di pengadilan. Dari uraian di atas, maka persyaratan upaya hukum
berupa perlawanan (verzet).
2) Banding : Banding adalah salah satu bentuk upaya hukum yang merupakan
hak terdakwa berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang dimana terdakwa tidak
setuju dengan putusan pengadilan. Banding adalah upaya hukum yang dapat
diambil para pihak untuk memeriksa kembali putusan pengadilan di tingkat
pertama. Upaya hukum banding juga dapat ditujukan untuk mengoreksi
putusan pengadilan tingkat pertama jika ditemukan kesalahan atau kelalaian
dalam memberikan putusan. Tujuan koreksi adalah kembali pada ketentuan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang sebenarnya sehingga
pemeriksaan dan putusan peradilan di tingkat pertama benar-benar
akomodatif dan proporsional berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3) Kasasi : kasasi dapat diajukan terhadap perkara pidana yang diputuskan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan selain Mahkamah Agung, kecuali terhadap
putusan bebas. Kasasi tidak dapat dimohonkan atas putusan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung, artinya putusan kasasi tidak dapat dikasasikan
kembali, sebagai bentuk kepastian hukum terhadap putusan kasasi. Yang
dimaksud kasasi adalah pembatalan atau pemecahan. Sedangkan maksud dari
kasasi adalah agar putusan terakhir yang bertentangan dengan hukum dapat
dibatalkan.

17
Hakim wasmat ialah hakim yang mendapat tugas khusus mengadakan
pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan dalam hal pidana
perampasan kemerdekaan. Pengawasan ditujukan pada luar diri hakim , yaitu
terhadap jaksa dan petugas LP. Sedangkan pengamatan ditujukan untuk hakim
sendiri dengan meneliti dan menilai hasil kerjanya sendiri berupa pemidanaan,
sebagai bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan datang. Jadi hakim wasmat
mempunyai tugas rangkap, sebagai hakim biasa dan sebagai hakim wasmat.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami selaku
penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk selalu memberi kritik dan
sarannya guna menyempurnakan makalah kami untuk ke-depannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Adiwana & Amalia Zakiyatu Faturrahmah. (2016). Argumentasi Penuntut


Umum Mengajukan Kasasi terhadap Putusan Bebas Pengadilan Negeri
Yogyakarta dalam Tindak Pidana Perbuatan Merugikan Pemiutang (Studi

18
Putusan Mahkamah Agung Nomor 601K/PID/2013). Verstek, Universitas
Sebelas Maret, 5(1), hlm. 1-13.
Adami Chazawi. (2010). Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana:
Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat. Jakarta:
Sinar Grafika.
Adi Andojo Soetjipto, “Kedudukan dan Peranan Hakim Pengawas dan Pengamat
Menurut KUHAP,” lampiran SEMA No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Hakim Pengawas dan Pengamat.
Agus Maksum Mulyohadi. (2015). Disparitas Pidana Putusan Hakim atas Perkara
Pidana Anak dalam Perspektif Perlindungan Hak-Hak Anak (Studi Kasus
Pengadilan Negeri Boyolali Tahun 2009 – 2013). Jurnal Jurisprudence,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 5(2), hlm. 127-136.
Ahmad Fauzi. (2014). Analisis Yuridis terhadap Upaya Hukum Luar Biasa
Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa dalam Sistem Hukum Acara Pidana
Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung RI, 3(1), hlm. 37-
48. doi: http://dx.doi. org/10.25216/jhp.3.1.2014.37-48
Bilryan Lumempouw. (2013). Hak Terdakwa Melakukan Upaya Hukum dalam
Proses Peradilan Pidana. Lex Crimen: Jurnal Elektronik Bagian Hukum
Pidana, Universitas Sam Ratulangi, 2(3), hlm. 185-195.
Hamzah, A. dan Irdan Dahlan. Perbandingan KUHAP dan HIR dan Komentar.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Janpatar Simamora. (2014). Kepastian Hukum Pengajuan Kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum terhadap Vonis Bebas. Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 7(1), hlm. 1-17.
Luhut M. P. Pangaribuan. (2002). Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di
Pengadilan oleh Advokat Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Memori Banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali. Jakarta: Djambatan.

M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:


Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

19
Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1984.

Nurjaya, I. Nyoman. Profil Penjahat White Collar. Malang: Universitas


Brawijaya, 1989.

Osman Simanjuntak. (1995). Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. Jakarta:


Grasindo

Poernomo, Bambang. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem


Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty, 1985.

_____. Pokok-pokok Hukum Acara Pidana dan Beberapa Harapan Dalam


Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni,
1982.

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.


Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, 1994.

Putra Halomoan Hsb. (2015). Tinjauan Yuridis tentang Upaya-Upaya Hukum.


Yurisprudentia: Jurnal Hukum Ekonomi, Institut Agama Islam Negeri
Padangsidimpuan, 1(1), hlm. 42-53.

Rendi Renaldi Mumbunan. (2018). Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa terhadap
Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen: Jurnal Elektronik Bagian
Hukum Pidana, Universitas Sam Ratulangi, 7(10), hlm. 40-47.

Syahrul Sitorus. (2018). Upaya Hukum dalam Perkara Perdata (Verzet, Banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet). Hikmah, Sekolah Tinggi
Agama Islam Sumatera, 15(1), hlm. 63-71.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 7 Tahun 1985 tentang tentang


Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1984, Tanggal 5 Maret 1984,
tentang Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat.

20

Anda mungkin juga menyukai