Anda di halaman 1dari 22

TUNTUTAN HAK DAN SURAT KUASA

(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Bantuan Hukum dan Advokasi)

Dosen Pengampu : Ahmad Burhanuddin, S.H.I, M.H.I

Disusun Oleh : Kelompok 1

Kelas/Smt : Muamalah D/6

Ana Feberta 1821030222

Efrizal 1821030311

Indah Meiliana 1821030259

Tifanny Ourellia 1821030245

Yudha Tama Almu’min 1821030282

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT sebab karena limpahan rahmat serta anugerah
dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan judul “Tuntutan Hak dan
Surat Kuasa”.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu tercurahkan untuk junjungan nabi agung kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita
semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam
yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Selanjutnya, kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya
selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat menyadari, bahwa makalah yang
telah dibuat ini masih memiliki banyak kekurangan.

Kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga
rampungnya makalah ini.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami berharap supaya makalah yang telah
dibuat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Bandar Lampung, 12 Mei 2021

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Tuntutan Hak ................................................................................................................ 3


B. Surat Kuasa .................................................................................................................. 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 18
B. Saran ............................................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan
menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Timbulnya hukum karena manusia
hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat
dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban
itu. Dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur
bagaimana caranya orang mengajukan perkara ke pengadilan, bagaimana caranya pihak
yang terserang kepentingannya mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak
terhadap pihak-pihak yang berperkara sekaligus mengurus perkara tersebut dengan adil,
bagaimana cara melaksanakan putusan hakim, yang ke semuanya bertujuan agar hak dan
kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata materiil itu dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
Dengan demikian, bagi orang yang merasa hak perdatanya dilanggar, tidak boleh
diselesaikan dengan cara menghakimi sendiri (eiginrichting), tapi ia dapat menyampaikan
perkaranya ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan tuntutan hak (gugatan) terhadap
pihak yang dianggap merugikannya, agar memperoleh penyelesaian sebagaimana
mestinya. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum
yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan menghakimi diri sendiri
(eigenrichting). Tuntutan hak ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu permohonan
dan gugatan.
Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada perjanjian
yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan,
di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang demikian kompleks
sering dilakukan dengan surat kuasa. Pengertian surat kuasa secara umum, dapat dirujuk
dari Pasal 1792 KUHPerdata, yang menyatakan: pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya
untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Menurut KUHPerdata
pemberian kuasa dibagi menjadi kuasa umum dan kuasa khusus.
Pemberian surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam KUHPerdata
tersebut, salah satunya adalah pemberian Surat Kuasa Pembebanan Hak Tanggungan. Di
1
mana sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak
Tanggungan) tersebut, maka Surat Kuasa tersebut dikenal sebagai Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tuntutan hak?
2. Apa yang dimaksud dengan surat kuasa?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang tuntutan hak
2. Untuk mengetahui tentang surat kuasa

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tuntutan Hak
Tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”, ada dua macam, yaitu tuntutan hak yang
mengandung sengketa, yang disebut gugatan, di mana terdapat sekurang-kurangnya dua
pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan,
dimana hanya terdapat satu pihak saja.

Lazimnya peradilan dibagi menjadi peradilan volunter (voluntaire juristicie), yang


sering juga disebut “peradilan sukarela” atau peradilan “ yang tidak sesungguhnya” dan
peradilan contentious (contentieuse jurisdictie) atau peradilan “sesungguhnya”. Tuntutan
hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam
peradilan volunter, sedangkan gugatan termasuk peradilan contentious.1

Istilah “suka rela” kiranya kurang tepat, karena peradilan contentious pun sifatnya
suka rela juga. Bukankah terserah kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan
tuntutan haknya, baik berupa permohonan atau gugatan ke pengadilan atau tidak?
Diajukannya tidaknya tuntutan hak ke pengadilan sepenuhnya terserah kepada pihak yang
berkepentingan. Perbedaan “peradilan sesungguhnya” dan “tidak sesungguhnya”
disebabkan karena hakim dalam peradilan yang tidak sesungguhnya lebih merupakan
perbuatan dibidang administratif, sehingga putusannya merupakan suatu penetapan (Pasal
236 HIR, 227 Rbg).

Sering tidak mudah membedakan antara peradilan volunter dan contentious. Pada
umumnya orang berpendapat bahwa yang termasuk peradilan volunter ialah semua perkara
yang oleh undang-undang ditentukan harus diajukan dengan permohonan, sedang
selebihnya termasuk peradilan contentious.

Menurut yurisprudensi HR (Hoge Raad) maka azas terbuka dan pintu terbuka serta
bahwa putusan harus memuat alasan-alasan hanya berlaku bagi peradilan contentious dan
bukan lagi pengadilan volunter.

1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm 3-4
3
HIR membedakan antara tuntutan perdata (Pasal 118 HIR, 142 Rbg) yang lebih
dikenal dengan gugatan, dan permohonan. Contoh tuntutan hak yang merupakan
permohonan antara lain ialah permohonan penetapan pengampu (Pasal 229 HIR, 263 Rbg),
permohonan pemisahan boedel atau harta (pasal 263a HIR).

Dari apa yang telah di uraikan di atas dapat dikatakan bahwa obyek dari pada ilmu
pengetahuan hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan
perantaraan kekuasaan negara.

Perantaraan negara dalam mempertahankan hukum materiil perdata itu terjadi


dengan peradilan. Yang dimaksudkan dengan peradilan di sini ialah pelaksanaan hukum
dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang
berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun
dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah
“eigenrichting”.2

Tuntutan hak sebagaimana telah di terangkan adalah tindakan yang bertujuan


memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
“eigenrichting”. Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan
akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan
hukum, maka oleh karena itu, ia mengajukan tuntutan haknya ke pengadilan.

Kiranya sudah selayaknya apabila disyaratkan adanya kepentingan untuk


mengajukan tuntutan hak. Seseorang yang tidak menderita kerugian mengajukan tuntutan
hak, tidak mempunyai kepentingan. Sudah wajar kalau tuntutannya itu tidak diterima oleh
pengadilan. Akan tetapi tidak setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan
tuntutan hak.

Sebagai misal; A hutang uang kepada B, setelah jangka waktu yang telah ditetapkan
lewat, A tidak mau melunasi hutangnya. Kemudian C (kakak B) yang bertanggung jawab
atas adiknya dan merasa wajib membelanya, tanpa mendapat kuasa dari B, menggugat A
agar melunasi hutangnya kepada B. tidak dapat disangkal bahwa C mempunyai

2
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan
apakah kemanfaatannya bagi kita bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011),
hlm.179
4
kepentingan. Akan tetapi kepentingannya itu kurang cukup untuk timbulnya hak guna
menuntut baginya agar dapat diterima oleh Pengadilan untuk diperiksa.

Jadi setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak
semaunya ke Pengadilan. Jika dibiarkan setiap orang mengajukan tuntutan hak, dapat
dibayangkan bahwa Pengadilan akan kebanjiran tuntutan hak. Untuk mencegah agar setiap
orang tidak asal saja mengajukan tuntutan hak ke Pengadilan yang akan menyulitkan
Pengadilan, maka hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum
sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak.

Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup
merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna
diperiksa point d’intert, point d’action ini tidak berarti bahwa tuntutan hak yang ada
kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan. Hal itu masih tergantung pada
pembuktian. Baru jika tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu hak, pasti akan
dikabulkan. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 7 Juli 1971 No. 294 K/Sip/1971
mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan
hukum.3

Tuntutan hak yang dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 ayat (1) Rbg) disebutkan
sebagai tuntutan hak perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang
mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan tertulis
(Pasal 118 ayat (1) HIR, 142 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 ayat (1) Rbg).

HIR dan Rbg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tentang
persyaratan mengenai isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya. Bagi kepentingan para
pencari keadilan kekurangan ini di atasi oleh adanya Pasal 119 HIR (Pasal 143 Rbg), yang
memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan
kepada pihak penggugat dalam pengajuan gugatannya. Dengan demikian hendak dicegah
pengajuan gugatan-gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.

Jadi Mahkamah Agung menyamakan tuntutan hak “tidak jelas” dengan yang “tidak
sempurna”. dengan jelas maka dapat diartikan bahwa yang dimaksud tuntutan hak disini

3
Yurisprudensi Jawa Barat Tahun 1969-1972, (Universitas Padjadjaran Bandung: Lembaga Penelitian
Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum, Februari 1974), hlm.99

5
adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut dengan istilah
gugatan. Pasal 120 HIR mengatur tentang tuntutan hak dapat diajukan secara lisan, jadi
dengan demikian tuntutan hak diistilahkan dengan gugatan dapat diajukan secara tertulis
maupun secara lisan.

Selain itu tuntutan hak juga dapat diajukan dalam bentuk Permohonan.
Perbedaannya terletak, apabila seseorang mengajukan gugatan sudah barang tentu minimal
2 orang (dua pihak) yang saling berselisih (konflik atau bersengketa), sedangkan
mengingat bentuk dari surat Permohonan itu sendiri, maka terlihat jelas tidak ada yang
disengketakan, karena pada dasarnya yang mengajukan permohonan itu adalah seorang
saja yaitu Pemohon.

Tuntutan hak dibedakan menjadi dua macam yaitu, permohonan dan gugatan
1. Permohonan
a) Pengertian permohonan
Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon tersebut, maka hakim akan
memberi suatu penetapan.4 Permohonan tersebut bersifat reflektif, yaitu hanya demi
kepentingan pihaknya sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Landasan hukum permohonan merujuk pada Undang-undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 25 dan untuk badan peradilan agama
ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (3).
Proses pemeriksaan di Pengadilan dilakukan secara exparte yang bersifat
sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti surat
atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau
ketetapan (beschiking decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang
dijatuhkan pengadilan dalam gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa
yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis.
b) Ciri-ciri dari permohonan (voluntair) sebagai berikut:5

4
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan. Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan, Cctakan kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 28
5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan ke lima belas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),
hlm.116
6
1) For the benefit of one party only
For the benefit of one party only yaitu masalah yang diajukan bersifat
kepentingan sepihak semata atau benar-benar murni untuk menyelesaikan
kepentingan pemohon tentang sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan
kepastian hukum, misalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan
tindakan tertentu. Apa yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan
dengan hak dan kepentingan lain.

2) Withaout disputes of defferences with another party


Permasalahan yang dimohon penyelesaian kepada pengadilan negeri,
pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (withaout disputes of
defferences with another party). Berdasarkan ukuran ini tidak dibenarkan
mengajukan permohonan tentang penyelesaian sengketa hak atau pemilikan
maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.

3) Bersifat ex parte
Bersifat ex parte atau tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik
sebagai lawan. Bahwa benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex
parte. Permohonan untuk kepentingan sepihak atau yang terlibat dalam
permasalahan hukum yang diajukan dalam kasus itu, hanya satu pihak.

4) Para pihak disebut Pemohon dan Termohon.

c) Unsur-unsur permohonan
1) Identitas pemohon
Dalam identitas pemohon dicantumkan lengkap seperti nama beserta bin/
bintinya, tempat tanggal lahir, umur, agama, pendidikan, kewarganegaraan,
tempat tinggal, dan lain-lain.

2) Posita/ fundamental petendi/ dasar permohonan


Tidak serumit dalam gugatan contentiosa cukup memuat dan menjelaskan
hubungan hukum antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang
dipersoalkan.

3) Petitum
Pemohon meminta agar dictum penetapan pengadilan membuat
pertanyaan dengan kata-kata menyatakan bahwa pemohon adalah orang yang
berkepentingan atas masalah yang dimohon. Petitum tidak boleh melibatkan
7
pihak lain atas masalah yang dimohon tidak boleh memuat petitum
condemnatoir (mengandung hukum). Permohonan petitum harus dirinci satu
persatu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan pengadilan
kepadanya.

d) Hal-hal yang harus dirumuskan dalam gugatan


1) Ditujukan kepada pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif gugatan, secara
formal harus ditujukan dan dialamatkan kepada pengadilan sesuai dengan
kompetensi relatif yang sesuai dalam Pasal 118 HIR:
“(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
(2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu
dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari
tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu sama lain
dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka
penggugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang
yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang utama itu,
kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasal 6 dari reglemen tentang
aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (R.O.).

(3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal
sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan
itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat
atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang
gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di
daerah hukum siapa terletak barang itu.

(4) Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,
maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada ketua
pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang
dipilih itu.”

Apabila gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif:

8
 Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formal, karena gugatan
disampaikan dan dialamatkan kepada pengadilan yang berada di luar
wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.
 Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
2) Diberi tanggal
Ketentuan undang-undang tidak menyebut gugatan harus mencantumkan
tanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti, Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menyatakan6:

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
di tempat akta itu dibuat” maupun Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang menyatakan7:

“Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang


ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan
tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan


pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari
seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang
menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan
bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di
hadapan pejabat yang bersangkutan.

Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut dengan undang-undang


dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan
termaksud.” tidak menyebutkan tentang pencantuman tanggal pada akta
tersebut, namun demi menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan
penandatanganan surat gugatan sebaiknya dicantumkan tanggal. Hal ini terkait

6
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
7
Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
9
apabila suatu saat ada permasalahan tentang penandatanganan gugatan yang
berhubungan dengan tanggal maka bisa segera terselesaikan.

3) Ditanda tangani penggugat atau kuasa


Penandatanganan gugatan dengan jelas disebut sebagai syarat formal
suatu gugatan dalam Pasal 118 ayat 1 HIR yang menyatakan8:

“(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.”

Apabila seseorang penggugat tidak mampu melakukan penandatanganan,


maka tanda tangan bisa digantikan dengan cap jempol. Menurut St. 1919-776
cap jempol atau cap ibu jari tangan bisa disamakan dengan tanda tangan
(Handtekening), akan tetapi agar benar-benar sah sebagai tanda tangan harus
dipenuhi syarat yaitu cap jempol tersebut harus dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang (camat, hakim, atau panitera).

Apabila hakim menemukan cap jempol yang belum dilegalisir dalam surat
gugatan, maka9:

 Hakim menyatakan gugatan cacat formal, atas alasan cap jempol tidak
dilegalisir.
 Hakim memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk melegalisir
dahulu.

2. Gugatan
a) Pengertian gugatan
Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dimana sekurang-
kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Gugatan termasuk dalam
lingkup peradilan sesungguhnya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999), tugas dan

8
Pasal 118 ayat 1 HIR
9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 53
10
wewenang peradilan selain menerima gugatan voluntair namun juga menyelesaikan
gugatan contentious.

b) Ciri-ciri gugatan contentious diantaranya


1) Masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa antara
seseorang atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum yang lain.
2) Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.

3) Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini.

4) Para pihak disebut penggugat dan tergugat.

Ciri khas dari gugatan adalah bersifat resiproksitif (terjadi secara berbalasan),
tergugat kemungkinan besar akan membalas kembali gugatan dari penggugat.

c) Bentuk gugatan
1) Bentuk Lisan

Pasal 120 HIR/144 R.Bg menyatakan bilamana penggugat tidak dapat


menulis, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada ketua Pengadilan.
Ketua Pengadilan tersebut membuat catatan atau menyuruh membuat catatan
tentang gugatan itu. Dan dalam R.Bg menyatakan bahwa gugatan secara lisan,
tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan.10

Tujuan memberikan kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan, untuk


membuka kesempatan kepada para rakyat pencari keadilan yang buta aksara
membela dan mempertahankan hak-haknya. Menghadapi kasus yang seperti ini
fungsi pengadilan untuk memberikan bantuan sebagaimana yang digariskan
dalam pasal 119 HIR atau pasal 143 ayat 1 R.Bg jo. Pasal 58 ayat 2 UU No. 7
Tahun 1989. Dalam memberi bantuan memformulasikan gugat lisan yang
disampaikan, ketua pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan
yang dikehendaki penggugat. 11

Untuk menghindari hal di atas, maka hakim atau pegawai pengadilan


yang ditunjuk oleh ketua pengadilan dalam merumuskan gugatan lisan dalam

10
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet.II, 2005), hal. 13
11
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Edisi
II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 188
11
bentuk surat gugatan dapat melaksanakan langkah-langkah berikut, yaitu:
mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar tuntutan yang diminta oleh
penggugat, kemudian merumuskan dalam surat gugatan yang mudah dipahami;
gugatan yang telah dirumuskan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan
kepada penggugat, apakah segala hal yang menjadi sengketa dan tuntutan telah
sesuai dengan kehendak penggugat; apabila sudah sesuai dengan kehendak
penggugat, maka surat gugatan itu ditandatangani oleh hakim atau pegawai
pengadilan yang merumuskan gugatan tersebut.12

2) Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa:
“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.”13

Mengenai gugatan tertulis selain dijelaskan dalam HIR, juga dijelaskan


dalam R.Bg pasal 142 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Gugatan-gugatan
perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri
dilakukan oleh penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut
ketentuan-ketentuan dalam pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang
ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua
pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat, atau
jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.” 14

Menurut kedua pasal di atas, gugatan perdata harus dimasukkan kepada


Pengadilan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau
kuasanya.

d) Unsur-unsur gugatan

12
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al hikmah, 2000), hal. 24
13
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 2004), hal. 241
14
ibid., hal. 191
12
1) Identitas Para Pihak
Penyebutan identitas dalam gugatan merupakan syarat formal keabsahan
gugatan. Gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak
menyebutkan identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap
tidak ada. Identitas para pihak yang disebut dalam gugatan di antaranya adalah:
nama lengkap, umur, agama, pekerjaan, alamat atau tempat tinggal.

2) Posita
Posita atau fundamental petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan
(Grondslag Van De Lis). 15 Posita berisi tentang keadaan atau peristiwa dan
penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan
gugatan.
Mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perumusan posita ada dua
teori:
 Substantierings Theorie
Dalam teori ini dinyatakan, suatu gugatan tidak cukup hanya
menyebutkan dasar hukum yang menjadi tuntutan, tetapi harus disebutkan
pula kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang
menjadi dasar gugatan itu dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut (Feitelijke Gronden). Misalnya: bagi penggugat yang menuntut
suatu benda miliknya, selain menyebutkan sebagai pemilik, ia juga
diharuskan untuk membuktikan atau menyebutkan asal-usul pemilikan
benda tersebut, misalnya karena membeli, warisan dan sebagainya.

 Individualiserings Theorie
Sedangkan dalam teori yang kedua ini disebutkan, suatu gugatan
cukup disebutkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang
menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan
(Rechts Gronden), tanpa harus menyebutkan dasar atau sejarah terjadinya
hubungan tersebut, karena hal ini dapat dikemukakan dalam sidang-sidang
yang akan datang dan disertai dengan pembuktian. Misalnya, bagi
penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, ia cukup menyebutkan

15
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal. 35
13
sebagai pemilik, sedangkan pembuktian atau penyebutan asal-usul benda
tersebut bisa dilakukan dalam sidang di pengadilan.

Dalam pelaksanaannya kedua teori tersebut tidak bisa dipisah dan


berdiri sendiri-sendiri. Sehubungan dengan itu, posita yang dianggap
lengkap memenuhi syarat, memuat dua unsur yaitu: 1) Dasar hukum
memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara
penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan antara
penggugat dan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa. 2)
Dasar fakta memuat penjelasan pernyataan mengenai fakta atau peristiwa
yang berkaitan langsung dengan atau berhubungan hukum yang terjadi
antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak
tergugat dan penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar
hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.

3) Petitum
Syarat formulasi gugatan yang lain adalah petitum. Petitum adalah tuntutan
yang diminta oleh penggugat agar dikabulkan oleh hakim. Bagian ini berisi pokok
tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam
akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat
yang dibebankan kepada tergugat.

B. Surat Kuasa
Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya
mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan
keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat
pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.

Surat kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu kuasa yang diberikan
secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis. Surat kuasa secara lisan diatur
dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain
dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan
secara lisan namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan, tentu saja hal tersebut
akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti
autentik.

14
Di samping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa
maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan mengenai apa
yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi
pihak yang merasa dirugikan.

Surat kuasa secara tertulis ini sifat pelimpahannya dapat dilakukan secara umum dan
dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. 16 Adapun pembuatan Surat Kuasa
ini dapat dilakukan secara di bawah tangan atau dilakukan di depan notaris. Dalam hal-hal
tertentu adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai pemberian kuasa ini
dilakukan di depan notaris atau menjadi suatu akte yang autentik. Dengan dibuatnya kuasa
di depan notaris tersebut selain mempunyai kekuatan bukti yang sempurna juga pihak
pemberi kausa tidak mudah untuk mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima
kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa
diberikan di bawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu
caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis
Hakim yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima
kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan notaris maka pencabutannya
tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepada notaris dan tembusannya kepada
penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus
dilakukan dengan suatu gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ini jarang terjadi karena
si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan menghadapi satu masalah lagi di
samping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya tersebut. Maka diharapkan
dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam suatu surat
kuasa.

Dengan demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi
pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut
terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat
melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.

Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima
kuasa secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima
kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.

16
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 yang ditujukan kepada PPAT seluruh
Indonesia
15
Dari ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata, dikenal dua jenis surat kuasa, yaitu:
1) Surat Kuasa Umum
Surat pemberian kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa,
kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796
KUHPerdata). Misalnya melakukan tindakan pengurusan, penghunian atau
pemeliharaan seperti membayar rekening listrik, telfon dan rekening air atau
tindakan lain yang merupakan tindakan pemilikan sementara terhadap sebuah rumah
atau lebih yang terletak di kota tertentu atau jalan tertentu.
2) Surat Kuasa Khusus
Surat kuasa ini hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih; oleh
karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas
perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk
mengalihkan hak atas barang bergerak atau tidak bergerak, memasang Hipotek atau
membebankan Hak Tanggungan, melakukan suatu perdamaian atau perbuatan lain
yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.17

Dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal
apa yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan
Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:18
1. Nama para pihak, subjek (identitas)
2. Pokok Sengketa atau obyek sengketa
3. Nama Pengadilan
4. Apa berlaku juga untuk banding/kasasi

Contoh surat kuasa:

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Pekerjaan :

17
Djaja S.Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal. 5
18
Ali Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang,
(Jakarta: Ikahi, 2000), Cet. I
16
Alamat : ;untuk selanjutnya
sebagai Pemberi Kuasa.

Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini,
menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :

Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang bertindak baik bersama-sama atau sendiri-sendiri; untuk selanjutnya sebagai
Penerima Kuasa.

KHUSUS:

Untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai .(Penggugat)..... lawan ...(nama)..... yang
beralamat sebagai Tergugat di .......mengenai (perkara apa) ......., di Pengadilan Negeri ....

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-
badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi
dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan
perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus
dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala
sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.

Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi
serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang
ditetapkan dalam undang-undang.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”. Tuntutan hak dibedakan
menjadi dua macam yaitu, permohonan dan gugatan.
Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon tersebut, maka hakim akan
memberi suatu penetapan. Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa
dimana sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat.
Dari ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata, dikenal dua jenis surat kuasa, yaitu Surat
Kuasa Umum dan Surat Kuasa Khusus. Surat pemberian kuasa yang diberikan secara
umum meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan
pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal
1796 KUHPerdata). Sedangkan Surat Kuasa Khusus ini hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih; oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan
dengan tegas perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk
mengalihkan hak atas barang bergerak atau tidak bergerak, memasang Hipotek atau
membebankan Hak Tanggungan, melakukan suatu perdamaian atau perbuatan lain yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.
Dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa
yang harus dimuat dalam suatu surat kuasa (khusus) namun dalam Pembuatan Surat kuasa
(khusus) sekurang-kurangnya harus memuat: (1) Nama para pihak, subjek (identitas); (2)
Pokok Sengketa atau obyek sengketa; (3) Nama Pengadilan; dan (4) Apa berlaku juga
untuk banding/kasasi

B. Saran
Dari makalah yang kami paparkan mengenai materi Tuntutan Hak dan Surat Kuasa,
tentunya masih banyak kekurangannya, karena kurangnya pengetahuan dan referensi yang
adanya hubungannya dengan judul makalah ini penulis berharap para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis. Semoga makalah ini
berguna bagi para pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan. Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cctakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika

Harahap, M. Yahya. 2015. Hukum Acara Perdata, Cetakan ke lima belas. Jakarta: Sinar
Grafika

Meliala, Djaja S. 2008. Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Bandung: Nuansa Aulia

Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty

Rambe, Ropaun. 2004. Hukum Acara Perdata Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. III

19

Anda mungkin juga menyukai