Anda di halaman 1dari 14

KELOMPOK 4 HUKUM PIDANA DAN ACARA PIDANA :

DEBI RUMENTA SITORUS


[ 203020204019 ]
ANRI SAGITA SIBAGARIANG
[203010204010]
ERMI MARIA SIHOMBING
[203030204054]
RIKA AULIA
[203020204018]
LION NANDA MURYA SALLOM
[203020204013]
RENOLD APRILANDO SIMAMORA
[203020204034]
MONIKA
[203020204020]
WINA ANJELINA
[203020204047]
NININ ANDERINI
[203030204035]

MATA KULIAH :
HUKUM PIDANA DAN ACARA PIDANA
DOSEN PENGAJAR :
Sakman,S.Pd,M.Pd
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Hukum Islam Kelompok 4 ini tepat pada
waktunya.Sekiranya dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga penulis.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Sakman,S.Pd,M.Pd makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hukum Pidana dan
Acara Pidana bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG………………………………………………………………………………
1.2 TUJUAN…………………………………………………………………………………………….
1.3 RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH PENGATURAN PRAPERADILAN DIDALAM KUHP…………………………………..
2.2 KEWENANGAN LEMBAGA PRAPERADILAN DI INDONESIA…………………………………..
2.3 ACARA PEMERIKSAAN PRAPERADILAN…………………………………………………............
2.4 KONSEP HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN DIDALAM RANCANGAN KUHP SEBAGAI
PENGGANTI LEMBAGA PRAPERADILAN……………………………………………………………...
2.5 GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI…………………………………………………………...
2.6 PERMASALAHAN DALAM PRAPERADILAN………………………………………………………

BAB III PENUTUP


3.1 KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………..
3.2 SARAN…………………………………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


A. Latar Belakang
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang terhadap pasal 1 butir 10 KUHAP yang berisikan:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
- Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan.
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

Sudah jelas disini bahwa praperadilan antara lain merupakan suatu jaminan bagi setiap orang
yang menjadi korban kelalaian ataupun kesengajaan dari sikap tindak penegak hukum.
Seandainya penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya dalam penangkapan dan
penahanan tersebut melanggar ketentuan yang berlaku, maka tersangka berhak mengajukan
praperadilan.

Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan adalah yang khas, spesifik dan
mempunyai karakter sendiri. Sesuai dalam Pasal 77 KUHAP yaitu:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penanahan penghentian penyidikan atau penghentian


penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan

Dengan demikian, persoalan praperadilan telah menjadi wewenang Pengadilan Negeri seperti
kewenangan yang lainnya dalam memeriksa dan memutuskan perkara pidana dan perdata.
Hanya saja dan perlu perhatian, bahwa macam proses acara praperadilan bukanlah sebagian dari
tugas memeriksa dan memutuskan (mengadili) perkara tindak pidananya itu sendiri, sehingga
putusan praperadilan bukanlah merupakan tugas dan fungsi untuk menangani suatu tindak pidana
(pokok) yang berupa memeriksa dan memutus perkara tindak pidana yang berdiri sendiri sebagai
putusan akhir.
1.2 Tujuan
Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:

*Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan


*Sah atau tidaknya penghentian penyi¬dikan atau penghentian penuntutan
*Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP)
*Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP)

1.3 Rumusan Masalah


1. Hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus
permohonan praperadilan?
2. Apa sajakah yang menjadi dasar pertimbangan dalam hal terjadinya penghentian penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik?
3. Apakah ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang praperadilan perlu direvisi ? jika dilihat
dari perkembangan hukum di zaman sekarang dan banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak dalam
proses praperadilan?
4. Bagaimana perlindungan hak-hak bagi korban atau tersangka jika terjadi kecurangan yang
dilakukan pihak penyidik dalam hal penyidikan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pengaturan Praperadilan Didalam KUHP

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), maka hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia diatur dalam H.I.R (Het Herziene
Inlandsch Reglement) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, yang merupakan produk hukum dimasa
penjajahan Belanda, tentu saja aturan dalam H.I.R tersebut dibuat untuk kepentingan penjajah, dan
belum banyak diperhatikan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) Kelemahan-kelemahan ketentuan
Hukum Acara Pidana yang diatur dalam H.I.R antara lain belum adanya ketentuan yang tegas
membatasi kewenangan pejabat yang melakukan pemeriksaan pendahuluan seperti dalam hal
tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain sebagainya. Indonesia sebagai
negara hukum yang menghormati HAM, serta menjamin kesetaraan warganegaranya di depan hukum
dan pemerintahan, dituntut untuk memiliki hukum acara pidana yang mencerminkan kebijakan
nasional Indonesia, yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
proses penegakan hukum pidana, baik untuk Tersangka maupun pejabat setiap tingkatan
pemeriksaan.

Pada tanggal 31 Desember 1981 secara resmi diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, sehingga sejak saat itu berlaku KUHAP di seluruh Indonesia, dan
diberikan masa peralihan selama 2 (dua) tahun dan untuk acara pidana yang bersifat khusus diatur
dalam undang-undang tersendiri, oleh karena itu sejak 31 Desember 1983, ketentuan dalam KUHAP
efektif berlaku dalam penanganan perkara pidana umum. Beberapa hal baru yang diatur dalam
KUHAP tersebut antara lain hak-hak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum pada semua tingkat
pemeriksaan, penggabungan perkara perdata dan pidana dalam hal ganti rugi, pengawasan
pelaksanaan putusan hakim, dan pra peradilan; KUHAP sebagai suatu sistem peradilan pidana
mengatur tata cara menegakkan hukum pidana dengan memberikan kewenangan kepada 4 (empat)
unsur penegak hukum, yaitu unsur dari kekuasaan untuk melakukan penyidikan, unsur dari kekuasaan
untuk melakukan penuntutan, unsur dari kekuasaan untuk mengadili dan unsur dari kekuasaan untuk
melaksanakan putusan.Demi melaksanakan kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang
telah memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan
upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan, tindakan hukum tersebut
membatasi bahkan bertentangan dengan hak-hak Tersangka, oleh karena itu pemberian kewenangan
tersebut harus diatur secara terperinci untuk mencegah penyalahgunaan dan tindakan sewenang-
wenang dari penyidik dan atau penuntut umum.

Pengaturan upaya paksa dalam KUHAP secara limitatif tersebut, diharapkan akan dapat
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Namun demikian untuk
lebih menjamin perlindungan hak asasi manusia, atas kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
wewenang upaya paksa tersebut, disamping adanya pengaturan upaya paksa secara limitatif, maka di
dalam KUHAP dibentuk lembaga Praperadilan.
2.2 Kewenangan Lembaga Praperadilan Di Indonesia

Praperadilan diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981. Menurut Pasal
1 butir 10 KUHAP Praperadilan dimaknai sebagai salah satu wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tentang:
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan di ajukan ke pengadilan.
Pembahasan mengenai wewenang Praperadilan di dalam BAB X KUHAP tentang Wewenang
Pengadilan untuk mengadili tepatnya di Pasal 77 yang berbunyi:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Penjelasan pasal 77 menyatakan “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”
Untuk lebih memperjelas wewenang Praperadilan, M. Yahya Harahap (2013:5) membahas secara
rinci ketentuan Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP sebagai berikut:

1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan


Wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan, Memeriksa dan memutus
sah atau tidaknya Penangkapan dan Penahahan.

Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan dan penahanan, dapat meminta kepada
Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya.
Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada Praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang
dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP atau penahanan yang
dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24.

2. Memeriksa sah atau tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan

Pada bagian penyidikan dan penuntutan, baik penyidik maupun penuntut umum berwenang
menghentikan pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Mengenai alasan penghentian yaitu hasil
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang
pengadilan atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau
pelanggaran tindak pidana. akan tetapi tidak menutup kemungkinan penghentian penyidikan atau
penuntutan sama sekali tidak beralasan. Untuk itu terhadap penghentian penyidikan, undang-undang
memberi hak kepada Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan
pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut.
Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Praperadilan.
3. Memeriksa Tuntutan Ganti Rugi

Pasal 95 mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka, keluarganya atau
Penasihat hukumnya kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan
alasan:
Karena penangkapan dan penahanan yang tidak sah,
Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-
undang,
Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.

4. Memeriksa Permintaan Rehabilitasi

Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka,
keluarganya atau Penasihat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang
ditentukan oleh undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan di sidang pengadilan.

2.3 Acara Pemeriksaan Praperadilan

Menurut pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana),
praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang tentang:

-sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
-sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan;
-permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan adalah sebagai berikut:

-Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh
tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
(pasal 79 KUHAP).
-Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat
diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (PASAL 80 KUHAP).
-Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (pasal 81
KUHAP).

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu
oleh seorang panitera (pasal 78 ayat [2] KUHAP).
Acara pemeriksaan praperadilan dijelaskan dalam pasal 82 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut:

dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi
akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar
keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah
menjatuhkan putusannya;
dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan
mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan
pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
Pemeriksaan sah atau tidaknya Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3 merupakan salah satu
lingkup wewenang praperadilan. Pihak penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan (praperadilan) tentang sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan. Permintaan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya (pasal 1 angka 10 huruf b jo. pasal 78 KUHAP).

2.4 Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan Didalam Rancangan KUHP Sebagai Pengganti Lembaga
Praperadilan

Dalam RUU KUHAP terdapat lembaga pengganti praperadilan yang disebut dengan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana sebelumnya disebut dengan hakim komisaris. Model Hakim Pemeriksa
Pendahuluan mengambil model pengawasan yang menjadi tradisi sistem peradilan Eropa
Kontinental.18 Hakim Pemeriksa Pendahuluan di Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses
hukum acara pidana serta menjalankan atau melaksanakan hukum pidana materill khususnya
pelaksanaan wewenang pihak eksekutif, dalam hal ini pihak penyidik dan penuntut umum.

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU KUHAP memiliki wewenang lebih luas dan lebih
lengkap dibandingkan dengan lembaga praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Menurut Pasal 1 ke-7 RUU KUHAP, Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah pejabat yang
diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan
dalam KUHAP. Dalam Penjelasan RUU KUHAP, Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan
menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya.
Penjelasan RUU KUHAP juga menyebutkan bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan pada dasarnya
merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain
pihak. Hal yang diatur dalam pasal 1 ayat 7 RUU KUHAP dipertegas lagi dalam pasal 111 yaitu
bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki kewenangan yaitu menetapkan dan memutuskan
antara lain:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, atau penyadapan
b. pembatalan atau penangguhan penahanan
c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak
memberatkan diri sendiri
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti
e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah
atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah

f.tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara
g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah
h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas
i. layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.

Dengan melihat wewenang tersebut nampak bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki
kewenangan yang sangat luas dan penggunaan wewenangnya berdasarkan pada inisiatif sendiri.19 Hal
tersebut menunjukkan bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki tanggung jawab yang sangat
besar pada tahap pemeriksaan pendahuluan perkara pidana. Selain itu dalam menjalankan wewenangnya
tanpa adanya suatu pengawasan. Tidak ada suatu lembaga yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap kewenangannya. Berbeda dengan praperadilan yang mendapatkan pengawasaan dari publik
sebagai sarana pengawasan umum yang bersumber dari salah satu asas dalam hukum.

2.5 Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi

Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua
pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang
bersangkutan.

(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan.

Pasal 96
(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan Iengkap semua hal yang
dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
Pasal 97
(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh
hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

2.6 Permasalahan Dalam Praperadilan

Lembaga Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP berwenang melakukan
fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa. Akan tetapi dalam praktiknya Lembaga Praperadilan ini
masih banyak kelemahan. Hasil riset yang dilakukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang
dilakukan di 4 (empat) wilayah di Indonesia menunjukkan soal itu, diantaranya mengenai pembatasan
waktu persidangan yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP, ternyata dalam praktiknya sekitar 80%
persidangan perkara Praperadilan lewat waktu, sekitar 60% mencapai hampir satu bulan, dan sisanya
mencapai sekitar 2 mingguan, sebagaimana diungkapkan Anggara, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan
ICJR dalam pembukaan FGD dengan Tema “Melihat Kembali Posisi Praperadilan dalam Sistem
Peradilan di Indonesia”. FGD ini diselenggarakan pada Rabu 16 Mei 2012 di Hotel Morrissey-Jakarta,
dengan tujuan untuk menggali informasi, wawasan, dan pengalaman para praktisi hukum khususnya para
Hakim Pengadilan Negeri dalam melakukan praktik Praperadilan, serta untuk mendapat masukkan dan
rekomendasi apakah mekanisme Praperadilan masih efektif dalam menjamin hak-hak Tersangka.

Lembaga Praperadilan masih menyisakan masalah serius, baik dalam pengaturannya ataupun
praktiknya. Pengaturan mengenai Praperadilan dalam KUHAP belum cukup rinci dan jelas. Dari
pengalaman Hakim Kurnia Yani Darmono, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kediri, menggambarkan
bahwa Lembaga Praperadilan memang banyak kelamahan. Menurutnya “kelemahan yang utama adalah
sistem hukumnya. Hukum Acara dalam pemeriksaan Praperadilan tidak diatur secara jelas dalam
KUHAP, maka dalam praktiknya yang digunakan asas-asas hukum perdata”. Selain itu menurutnya aspek
sumber daya manusia juga perlu diperkuat. Ia menyatakan bahwa “tidak ada secara khusus pelatihan
untuk diangkat sebagai Hakim Praperadilan, Perkara Praperadilan diserahkan sepenuhnya kepada
kewenangan Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk salah satu Hakim dalam menangani perkara
Praperadilan”.
Lain lagi dengan Hakim Sutaji, Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat, ia menyoroti bahwa
problem lembaga Praperadilan lebih pada budaya dan struktur hukum yang perlu diperbaiki, sedangkan
substansi atau peraturan yang ada sudah cukup. Menurutnya “pengaturan Praperadilan dalam KUHAP
hanya perlu diperkuat mengingat terlalu banyak peraturan-peraturan kita yang belum dilaksanakan secara
konsekuen. Seperti mengenai SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) “seharusnya sebelum
melakukan penyidikan harus ada SPDP. Dari situ awalnya melakukan tindakan paksa, akan tetapi yang
jadi masalah Penyidik sering melakukan tindakan paksa tanpa adanya SPDP” lanjutnya. “Pasal 38
KUHAP mengenai penyitaan yang harus dilakukan atas ijin pengadilan, ternyata apabila diteliti di Jakarta
(Polres, Polda, Mabes) misalnya, surat ijin/persetujuan justru hanya dianggap sebagai pelengkap berkas
bukan karena adanya proses upaya paksa. Aparat Penegak Hukum lebih memandang proses perkara
sebagai proses administrasi bukan upaya penegakkan hukum”.

FGD ini juga dihadiri oleh Herlina Manurung (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur), Abdul
Haris Semendawai (Ketua LPSK), Sriyana (Kepala Divisi Pemantauan Komnas HAM), dan Para Peneliti
ICJR, yang difasilitasi oleh Wahyudi Djafar.

Pengalaman LPSK selama ini, banyak pula seseorang yang berstatus Tersangka dalam satu
perkara yang membuat pengaduan kepada LPSK karena menjadi korban penyiksaan dari Aparat Penegak
Hukum (Penyidik) dalam suatu pemeriksaan perkara. Penyidik seringkali menggunakan parktik yang
sewenang-wenang dengan melakukan penyiksaan untuk memaksa para Tersangka mengaku terhadap
suatu perbuatan, yang belum tentu juga dilakukannya. “Apakah Praperadilan dapat menjangkau kasus
seperti ini sebagai alat menguji tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum?”
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Abdul Haris Semendawai dalam diskusi. Meskipun pengaturan
Praperadilan dalam KUHAP masih jauh dari sempurna, akan tetapi yang perlu ditekankan adalah
bagaimana KUHAP bisa dipahami dan ditafsirkan secara menyeluruh, ujar Sutaji menanggapi pertanyaan
tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Putusan-putusan Hakim Praperadilan pasca dikeluarkannya putusan Praperadilan oleh Hakim


Sarpin No 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah beragam. Tidak semua hakim mengikuti putusan tersebut
untuk dijadikan yurisprudensi dan tidak sedikit pula yang mengikutinya. Adapun Hakim yang menolak
pengajuan permohonan mengenai Praperadilan berpendapat bahwa aspek tersangka bukan merupakan
kewenangan daripada Lembaga praperadilan untuk menanganinya, sebab apa-apa saja yang menjadi
kewenangan Praperadilan telah tertera secara eksplisit di dalam Pasal 77 KUHAP. Dan mengenai sah atau
tidaknya penetapan status tersangka bukan merupakan kewenangan daripada Lembaga Praperadilan untuk
memeriksanya. Dari segi permohonan praperadilan dengan klasifikasi perkara sah atau tidaknya
penetapan tersangka mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelumnya keluarnya putusan
praperadilan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

2. Adapun implikasi hukum yang terlihat dari keberagaman putusan-putusan praperadilan yang
lahir setelah putusan Hakim Sarpin adalah terjadinya ketidakpastian hukum dan merugikan bagi para
pencari keadilan. Sebab dikabulkannya atau ditolaknya permohonan Praperadilan tersebut bersifat
subjektif, artinya tergantung Hakim yang memutusnya apakah sependapat dengan putusan Hakim Sarpin
atau tidak mengenai penetapan status tersangka di dalam objek Praperadilan. Hal tersebut sama sekali
tidak mencerminkan tujuan daripada hukum itu sendiri yang diharapkan oleh masyarakat yaitu untuk
memperoleh keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun dengan dikeluarkannya putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai penambahan aspek sah atau tidaknya status tersangka menjadi objek
praperadilan nantinya berdampak kepada lamanya proses peradilan dan juga secara otomatis menambah
kewenangan daripada hakim praperadilan untuk menangani perkara mengenai sah atau tidaknya
penetapan tersangka.

3.2 Saran

Dalam hal ini penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai pelebaran objek
daripada praperadilan yaitu dengan menambahkan aspek sah atau tidaknya status tersangka ke dalam
wewenang praperadilan, maka praperadilan dengan permohonan tersebut boleh dilakukan, mengingat
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Terkait dengan masih berbeda pendapat di
kalangan hakim mengenai hal ini, hendaknya sudah dapat terjawab melalui putusan Mahkamah Konstitusi
ini yang kemudian mengatur mengenai sah atau tidaknya penetapan status tersangka sebagai objek
daripada praperadilan. Sebab, perbedaan penafisran oleh hakim yang putusannya cenderung bersifat
subjektif dapat merugikan masyarakat sebagai pencari keadilan, dengan tidak mendapatkan kepastian
hukum sebagaimana tujuan hukum itu sendiri.

2. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,hendaknya mendorong


revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal
77, agar menjadi suatu acuan pasti bagi hakim dalam mengambil keputusan yang mencerminkan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiah, Ratna Nurul. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: Akademika Pressindo C.V., 1986

Anwar, H.A.K. Moch., dkk. Praperadilan. Bandung: Alumni, 1984.

Praperadilan. Jakarta: Indhill, 1990.

Atmassasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensionalisme dan Abolisionisme.


Bandung: PT.Bina Citra, 1996.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisis dan Evakuasi Hakim tentang Wewenang Kepolisian dan
Kejaksaan di Bidang Penyidikan. Jakarta: 2001.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2008.

Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2008.

Harahap, M. Yahya. Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: PT. PT. Sinar Grafika, 2010.

Anda mungkin juga menyukai