Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN
PENAHANAN TANPA PROSES HUKUM YANG ADIL

DOSEN PENGAMPU: Dr. ARINI RATNASARI, SKM

DISUSUN OLEH:
ANGIE APRILIA CAROLIN
2330308030025

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
berkatnya kepada kita.Sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini
tepat waktu. Adapun judul yang saya ambil kali ini adalah “Penahanan Tanpa
Proses Hukum Yang Adil”.
Laporan penelitian tentang Penahanan Tanpa Proses Hukum Yang Adil dapat
dikemukan melalui Pendidikan Kewarganegaraan menurut pendapat saya dan
juga di bantu dari berbagai sumber lainnya. Alasan saya mengangkat tema
makalah ini adalah karena dengan adanya makalah ini saya dapat mengetahui
apa saja masalah masalah bangsa yang bisa diantisipasi ataupun diselesaikan
melalui Pendidikan kewarganegaraan.
Saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan rendah hati saya memohon kritik
dan saran yang membangun dari Dosen pengajar serta teman-teman lainnya
untuk dapat menyempurnakan penulisan makalah ini agar berguna bagi saya
khususnya dan yang berkepentingan.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………….………………………………………………...………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………..………………………………………….1
1.1 Latar belakang…………………….……………………………………...…1
1.2 Rumusan masalah………………………………………………………….2
1.3 Tujuan…………………………………………..……………………………….2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………….3
2.1 Pengertian Pertahanan…………………………………………..………3
2.2 System Peradilan Pidana……………………………………..…………4
2.3 System Lembaga Penahanan………………………………………….4
2.4 Solusi……………………………………………………………………..………6
BAB III PENUTUP………………………………………………………………….………..7
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….7
3.2 Saran…………………………………………………………………..…………7
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….……8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Proses Peradilan Pidana (Criminal Process) terhadap Tersangka Pelaku tindak pidana
dimulaipada tahap Pra Adjudikasi ditingkat Kepolisian,Kejaksaan dan Adjusikasi di
Pengadilan serta Post Adjudikasi. Penahanan yang diatur oleh Undang-Undang No. 8 tahun
1981 tentang KUHAP dikenal penahanan rumah, penahanan kotaserta penahanan rumah
tahanan negara, (pasal 22). Penahanan itu sendiri dapat dilakukan oleh Polisi sebagai
penyidik; Jaksa sebagai Penuntut Umum; serta Hakim. Keperluan penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan adalah mencegah Tersangka agar tidak melarikan diri, tidak
menghilangkan barang bukti dan agar Tersangka tidak mengulangi tindak pidana.

Adanya Lembaga Penahanan yang diatur undang-undang sekaligus memberikan diskresi


(discretionary of power) kepada ketiga sub system pengadilan pidana. Masalah yang timbul
dari adanya Lembaga Penahanan didalam praktek, betapa seringnya lembaga ini
“diperdagangkan” oleh ketiga subsistem dengan mengeksploitasi kecemasan Tersangka
atau keluarganya karena kebebasan dan kemerdekaannya dirampas atau sebaliknya ketiga
sub sistem ini dimanfaatkan oleh kepentingan oknum-oknum tertentu dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan materi. Ini bertujuan agar Lembaga Penahanan dapat
mewujudkan suatu Proses Hukum yang adil (Due Process of Law) demi tercapainya suatu
penegakan hukum (Law Enforcement).
Perlindungan bagi setiap warga negara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suatu negara. Begitu juga negara Indonesia yang wajib melindungi setiap warga negaranya
dimanapun berada. Hal ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Alinea ke 4 (empat). Lebih lanjut
perlindungan negara terhadap warga negaranya berlaku dimanapun dia berada di seluruh
penjuru dunia karena perlindungan yang diberikan merupakan salah satu hak warga negara
yang diejewantahkan dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu
dengan adanya perlindungan WNI di manapun dia berada, negara bukan hanya memenuhi
kewajibannya namun juga telah memenuhi hak asasi manusia warga negara tersebut. Pada
dasarnya seseorang yang berada di dalam wilayah suatu negara secara otomatis harus
tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam wilayah negara tersebut.Namun,
meskipun warga negara asing harus tunduk pada ketentuan yang berlaku di negara
tempat ia berada.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
 Apa yang dimaksud dengan penahanan?
 Bagaimana system kerja peradilan pidana?
 Bagaimana system Lembaga penahanan
 Apa solusi yang dapat diberikan dalam masalah ini?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui penyebab ataupun penjeasan dari
penahanan dari hokum tanpa proses yang adil, dan mengetahui bagaimana system system
yang berlaku bekerja.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PERTAHANAN


Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa
penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan ketentutan di atas terlihat bahwa substansi dari pengertian penahanan ialah
menempatkan sesorang di tempat tertentu. Menurut Andi Hamzah penahanan merupakan
salah satu bentuk perampasan kemerdekaan. Hal ini senada dengan pendapat Lamintang
yang mengatakan bahwa Penahanan pada dasarnya adalah suatu tindakan yang membatasi
kebebasan kemerdekaan seseorang. Seseorang di sini bukanlah setiap orang melainkan
orang-orang yang menurut undang-undang dapat dikenakan penahanan. Orang yang
menurut undang-undang dapat dikenakan penahanan berdasarkan pasal di atas ialah
seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa.
Berbeda dengan bentuk perampasan kemerdekaan yang lain yaitu penangkapan yang
hanya dapat dilakukan oleh penyidik saja maka penahanan dapat dilakukan oleh pejabat
yang berwenang dalam setiap jenjang tahapan sistem peradilan pidana. Pada tahap
penyidikan penyidik dapat melakukan penahanan, dalam tahap penuntutan penuntut umum
dapat melakukan penahanan dan tahap pemeriksaan di Pengadilan mulai dari Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi (Pengadilan Banding) dan Mahkamah Agung (Pengadilan Kasasi),
hakim dapat melakukan penahanan yang lamanya telah diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal
29 KUHAP.
Sebagai bentuk perampasan kemerdekaan penahanan seperti halnya penangkapan pada
prinsipnya bertentangan dengan hak kebebasan bergerak yang merupakan hak asasi
manusia yang harus dihormati. Oleh karena itu demi kepentingan umum penahanan dapat
dilakukan dengan persyaratan yang ketat.
Persyaratan yang ketat tersebut dapat dilihat pada alasan untuk melakukan penahanan.
Alasan penahanan yang bersifat subjektif yaitu alasan penahanan yang digantungkan pada
pandangan/penilaian pejabat yang menahan terhadap tersangka atau terdakwa. Alasan ini
diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) di mana pejabat yang berwenang menahan dapat menahan
tersangka/terdakwa apabila menurut penilaiannya si tersangka/terdakwa di kwatirkan
hendak melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta dikuatirkan mengulangi tindak
pidana lagi.

3
KUHP selain mengatur alasan penahanan yang bersifat subjektif, juga mengatur alasan
penahanan yang bersifat objektif dalam Pasal 21 Ayat (4). Alasan penahanan objektif yaitu
alasan penahanan yang didasarkan pada jenis tindak pidana apa yang dapat dikenakan
penahanan. Dari alasan objektif ini jelas bahwa tidak semua tindak pidana dapat dikenakan
penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat dikenakan
penahanan yaitu tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 ke atas serta tindak
pidana sebagaimana disebutkan secara limitatis dalam Pasal 21 Ayat (4) sub d.

2.2 SYSTEM PERADILAN PIDANA


Sistem Peradilan Pidana adalah suatu penger- tian untuk memahami bekerjanya Hukum
Pidana di masyarakat serta bagaimana Hakim menerapkannya. Sistem Peradilan Pidana
mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan dari masyarakat ke Kepolisian, dalam hal
ini Polisi melakukan penyelidikan/penyidikan. Bila ada bukti permulaan yang cukup, maka
Polisi dapat melakukan upaya paksa baik itu penangkapan ataupun penahanan. Selanjutnya,
bilamana pemeriksaan oleh Penyidik dianggap telah cukup, maka berkas perkara berikut
tersangkanya dilimpahkan ke Kejaksaan. Kemu- dian Kejaksaan akan meneliti Berkas
Perkaranya, bila memenuhi persyaratan, Jaksa yang ditunjuk, sebagai penuntut umum akan
membuat surat dakwaan yang selanjutnya diteruskan kepada Hakim untuk diperiksa dan
diadili Dalam pada itu Hakim pun akan meneliti surat dakwaan, bila dakwaan tidak
tepat/tidak memenuhi syarat, Hakim dapat menolak dakwaan, sebaliknya bila semuanya
sudah memenuhi persyaratan maka Hakim akan memeriksa dan memvonis bersalah
tidaknya ter- dakwa. Bila bersalah, ia akan menjalani pidana penjara di Lembaga
Pemasyarakatan.

2.3 SYSTEM LEMBAGA PENAHANAN


Lembaga Penahanan sebagaimana telah diatur dalam KUHAP, sesungguhnya merupakan
salah satu alat penegakan hukum (law enforcement), sebab dengan diadakan penahanan
terhadap seseorang tersangka/terdakwa diharapkan pemer- iksaan atas dirinya dapat
berjalan lancar, karena dengan penahanan itu seorang tersangka/terdakwa akan lebih
mudah diperiksa bila sewaktu-waktu diperlukan, serta sangat kecil kemungkinan barang-
barang bukti yang berkaitan dengan keja- hatan yang dilakukannya itu dimusnahkan. Dilain
pihak dalam kasus-kasus pidana tertentu, pena- hanan terhadap si tersangka/terdakwa lain.
Akan tetapi konstruksi penahanan yang dia- tur di dalam pasal 24 s/d 28 JU No. Tahun 1981
tentang KUHAP didalam prakttek selalu men- imbulkan “masalah”, khususnya bila tersangka
dikenakan penahanan dalam rumah tahanan negara.

4
Waktu penahanan sebanyak 400 hari untuk seluruh proses peradilan pidana, sangat
mungkin “diperdagangkan” baik oleh Polisi sebagai penyidik, Jaksa sebagai Penuntut Umum
maupun Hakim serta Penasehat Hukum ataupun oleh pelapor sendiri.
Kewenangan yang diberikan Undang-Undang ini didukung dengan adanya penangguhan
penahanan sebagaimana diatur oleh pasal 61 KUHAP, yang menyatakan atas permint- aan
tersangka atau terdakwa atau penasehat hu- kumnya dapat dilakukan penangguhan
penahanan atas diri tersangka/terdakwa dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan
orang.
Kewenangan yang diberikan oleh Undang- Undang ditambah dengan kecemasan tersangka/
terdakwa atau keluarganya dapat menjadikan proses peradilan pidana tidak
menggambarkan proses hukum yang adil. Kecemasan atau ketakutan tadi dapat menjadi
pendorong utama Tersangka/Terdakwa atau penasehat Hukumnya untuk berani melakukan
tindakan yang bertentangan dengan hukum. “Kehilangan Kemerdekaan” yang
mengakibatkan tersangka/Terdakwa tidak dapat berkomunikasi dan berhubungan dengan
lingkun- gan sosial masyarakat, terhambatnya usaha bisnis, maupun ketakutan akan
perlakuan sesama tahanan memperbesar kemungkinan untuk mengusahakan dengan jalan
“menyuap” aparat penegak hukum agar ditangguhkan penahanannya. Aparat penegak
hukumpun pasti terlindung dibalik asal 31 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Dalam hal ini
yang mengalami kerugian selalu tersangka/ terdakwa dan tidak sedikit biaya yang harus
dikeluarkan, disamping itu saksi korban mau- pun keluarganya tidak dapat bertindak.
Adanya wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang pada Polisi, Jaksa serta Hakim sulit
bisa kita menerima proses peradilan itu berjalan dengan ajar begitu juga terhadap
putusannya-pun sering menderitakan pencari keadilan an kewibawaan hukum itu sendiri.
Memang disadari bahwa pada akhirnya keten- tuan-ketentuan tentang Lembaga Penahanan
yang diatur didalam KUHAP, dapat tidaknya berjalan sungguh-sungguh, terpulang kepada
karakter oknum Penegak Hukum. Sebab pengertian tentang “adanya bukti permulaan yang
cukup, kepentin- gan penyelidikan/penyidikan atau tidak melari- kan diri, tidak
menghilangkan bukti dan tidak mengulangi tindak pidana” yang dipakai sebagai dasar
penahanan, penangguhan penahanan atau pencabutan penangguhan penahanan lebih
banyak dipengaruhi faktor subjektif dari pelaksanaan oknum Penegak Hukum tersebut.
Didalam praktek ada kalanya seseorang yang belum memiliki bukti permulaan yang cukup
untuk disangka melakukan tindak pidana telah dilakukan penahanan dan ada kalanya
oknum Penegak Hukum dengan menyatakan demi ke- pentingan penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan ataupun agar si tersangka/terdakwa tidak melari- kan diri, tidak
menghilangkan barang bukti atau tidak mengulangi tindak pidana dilakukan pena- hanan.
Akan tetapi dilain pihak tidak jarang pula seseorang tersangka/terdakwa yang telah ditahan
berdasarkan bukti permulaan yang cukup, sede- mikian mudahnya ditangguhkan penahanan
atas dirinya, atau balikan dalam banyak kasus pidana, seseorang yang menurut bukti-bukti
sudah cukup untuk ditahan, tidak ditahan.

5
Mengenai hal itu, Kapolri dalam Surat Keputusannya No. Pol. SKEEP/04/1/1982, tanggal 18
Pebruari 1982 menentukan, bahwa bukti permu- laan yang cukup itu, adalah bukti yang
merupakan keterangan dan data yang terkandung didalam dua di antara :
• Laporan Polisi;
• Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
• Laporan Hasil Penyelidikan;
• Keterangan Saksi/Saksi Ahli; dan
• Barang Bukti;
• Yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana kejahatan.

2.4 SOLUSI
Dari penjelasan dan masalah diatas, adapun solusi solusi yang dapat diberikan:

 Pengadilan memberikan vonis yang tepat pada pelaku kejahatan;


 Pihak berwajib mengusut tuntas sebuah kasus;
 Adanya sanksi yang tegas bagi orang yang melanggar hokum;
 Pihak berwajib menjatuhkan hukuman sesuai dengan Undang-Undang;
 Membuktikan pelaku tersebut melanggar hukum atau tidak;
 Pemberian vonis yang adil bagi para pelaku dan korban;

6
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari masalah ini adalah Hukum dapat ditegakkan secara adil jika petugas
penegak hukum bekerja secara profesional dan tidak memandang bulu ketika melakukan
penegakkan bagi pelaku pelanggar hukum, misalnya memberikan hukuman yang sedikit
kepada seseorang pelanggar hukum yang memilki jabatan tinggi hal seperti inilah yang
membuat hukum berjalan tidak adil oleh karena itu semua pelanggar hukum harus diadili
sesuai dengan peraturan dan pasal yang ada tanpa dikurangi dan dilebihkan.

4.2 SARAN
Dalam masalah ini, adapun saran yang diberikan agar apart hokum dapat bertindak lebih
tegas dan adil agar tidak terjadinya penahanan-penahanan yang tidak adil terhadap pelaku
ataupun korban.

7
DAFTAR PUSTAKA

Thantowi, Jahawir, DKK, Hukum Internasional, Bandung,2006


Abbon Thomas,Penahanan Dan Penangguhan Penahanan Dalam Teori Dan Praktek,
Jakarta,2018

Anda mungkin juga menyukai