Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM ACARA PERADILAN


“Pra-peradilan”

Disusun oleh :

1. Riyan Hidayatulloh
2. Al ghifari al muhdar

Dosen Pengampu: Tsabit latif

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA (UNUSIA)
JAKARTA

2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, pemberi petunjuk pada kebenaran dan jalan yang lurus.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar Shallalahu Alaihi wa
Sallam. Syukur Alhamdulillah kami masih diberi kesempatan untuk dapat
menyelesaikan dan menghadirkan makalah Hukum Acara Pidana dengan judul
pra-peradilan.

Kami memahami bahwa dalam makalah ini masih banyak ditemui banyak
kekurangan dan banyak hal yang harus diperbaiki. Maka dari itu, kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun agar dapat
menjadi bahan evaluasi kami dalam menyusun makalah sehingga dikemudian hari
dapat tercipta makalah yang lebih baik lagi.

2
BAB 1

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Pada dasarnya penegakan hukum merupakan upaya yang secara sengaja dilakukan untuk
mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan dan kedamaian dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu telah sesuai dengan tujuan
pembangunan nasional Indonesia yaitu untuk mencapai suatu kedaan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual yang
berdasarkan Pancasila dan UUD1945.. Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara hukum
telah menjamin segala warga negaranya bersamaaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlakdari
Bangsa Indonesia. Hal itu dikarenakan Negara Indonesia adalah negara yangberdasarkan
atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penyelenggaraankekuasaan
haruslah bertumpu atas sendi-sendi negara hukum dan demokrasi. Rasa aman yang
diberikan oleh pemerintah tidak hanya ditujukan bagi rakyatmereka yang benar saja, akan
tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan ataupunbagi mereka yang diduga
melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri mereka.
Seseorang yang melakukan kesalahan, dalam hal inimelakukan tindak pidana di dalam
Negara Indonesia yang berlandaskan hukum, makasudah sepantasnya untuk diproses
secara hukum yang berlaku di Negara Indonesiapula. Proses yang berlaku untuk menahan
seorang tersangka ataupun terdakwa harussesuai prosedur yang berlaku.
Prosedur yang berlaku tidak boleh bertentangan dan melanggar hak asasimanusia.
Prosedur harus bisa memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasimanusia
khususnya hak kemerdekaan. Di dalam Praperadilan, pejabat yangmelakukan penahanan
atas diri tersangka ataupun terdakwa baik polisi maupun jaksaharus bisa membuktikan
bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum(illegal) atau tegasnya benar-
benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.Hal ini untuk menjamin bahwa
perampasan ataupun pembatasan kemerdekaanterhadap seorang tersangka ataupun
terdakwa itu benar-benar telah memenuh ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan
untuk tidak melangar hak asasimanusia.

b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian praperadilan?
2. Apa tujuan praperadilan?
3. Bagaimanakah proses pemeriksaan Praperadilan?
4. Alasan atau dasar permohonan pra-peradilan
c. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian Praperadilan.
2. Untuk menskripsikan tujuan pra peradilan.
3. Untuk mendeskripsikan proses pemeriksaan Praperadilan.
4. Untuk mendeskripsikan Alasan atau dasar permohonan pra-peradilan.

3
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PRA PERADILAN

Pra artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan


sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam
itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan.
Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge
d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain
menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan
pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.

Misalnya penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu
kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi
(misalnya perkata tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian)
ataukah tidak. Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun
wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah
penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan
atau penuntutan sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah
tidak.

Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris ( hakim yang


memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan
hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai
kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸penahanan,
penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.[4] Menurut
KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim
komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu
penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.

Selain itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan


terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama
terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan

4
pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di
Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia
dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu.
Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan
apakah suatu perkata cukup alas an untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah
tidak. Kalau cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat
pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas
an, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.

Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’
Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang
ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-
petunjuk jaksa[5].

Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan


pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak
melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya
yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu
perkara cukup alas an ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang
pengadilan.

Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa


penuntut umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan
tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal
kedua hal itu sangat penting dan merupakan salahsatu asas dasar hak asasi
manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah
merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.

Hakim komisaris di negeri Belanda dapat selalu minta agar terdakwa dihadapkan
kepadanya walaupun terdakwa diluar kehendaknya. Ia dapat meminta terdakwa

5
dibawa kepadanya. Jika perlu untuk kepentingan pemeriksaan yang mendesak
meminta dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat juga memeriksa saksi-
saksi dan ahli-ahli. Oleh karena itu, menurut Van Bemmelen hakim komisaris itu
memerlukan pengetahuan yang luas disamping pengetahuan yuridisnya seperti
bagaimana memeriksa saksi dan terdakwa. Diperlukan pengetahuan psikologis
untuk semua itu.

Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan


dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang
pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut.

a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan


atau penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan,
adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal
yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang
panitera.

Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok sebagai berikut.

c. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu


penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka,
keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya
d. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
e. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya
penagkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka atau pihak

6
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.

Dalam penjelasan undang-undang, hanya pasal 80 yang diberi komentar, yaitu


bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran
melalui sarana pengawasan secara horizontal. Sebenarnya pasal 80 kuhap itu
kurang tepat dalam perumusannya, karena yang dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
ialah penyidik, atau penuntut umum atau pihak ketiga. Menurut pendapat penulis,
sesuai pula dengan jiwa penjelasan pasal tersebut maka penyidik dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu
penuntutan, dan sebaliknya penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jadi
penuntut umum tidak secara langsung memerintahkan kepada penyidik untuk
meneruskan suatu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Daalam
hal ini ketentuan menyatakan bahwa pada setiap penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik diberitahukan kepada penuntut umum tidak mempunyai arti banyak.

Bagaimana hakim praperadilan itu diangkat dan untuk berapa lama pengangkatan
itu tidak dijelaskan dalam undang-undang. Pasal 78 kuhap hanya menyatakan
bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Di negeri Belanda hakim
komisaris diangkat untuk masa jabatan dua tahun. atas prmohonan mereka,
mereka segera dapat diangkat kembali. Diitentukan juga bahwa mereka harus
berpengalaman dalam perkara pidana, misalnya pernah bekerja dibagian pidana
dipengadilan itu. Hakim komisaris itu diadakan untuk menjamin objektifitas
sehingga mereka dilarang mengambil bagian dalam pemeriksaan akhir (pasal 268
Ned.Sv.) dalam kuhap tidak ada larangan semacam itu bagi seorang hakim
praperadilan.

B. ACARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

7
Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu
penghentian [enyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang
penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan
(Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.

1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang


ditunjuk menetapkan hari sidang.
2. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan
atau penanhanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak
sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada bentda yang disita yang tidak
termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka
atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
4. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperailan belum
selesai maka permintaan tersebut gugur.
5. Putusan praperadilan pada tingkat poenyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada
tingkat pemeriksaan oleh penutut umu, jika untuk itu diajukan permintaan
baru (semua yang tersebut dalam butir satu sampai dengan butir lima ini
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal
tersebut dimuka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82
ayat (2) KUHAP).
7. Selain daripada yang tersebut dalam butir enam, putusan hakim itu
memuat pula:

8
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum
pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka.
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau pentuntutan
terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumlan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian, penyidikan atau penuntutan adalah
sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya.
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada dan
tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dari siapa benda itu disita.

C. KEDUDUKAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana wewenang


Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan
serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan
memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka
Praperadilan berwenang untuk:

1. Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan


menentukan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2. Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3. Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;

9
4. Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian,
dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu
disita.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa


kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan
wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak
berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda
dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak mengenal
penuntut umum. Kedudukan lembaga Praperadilan dalam hubungan ini dapat
disamakan dengan kedudukan hakim Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan
oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai wewenang khusus dan terbatas yakni
mengadili perkara tindak pidana ekonomi semata-mata, dan mempunyai acara
yang agak menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Pemeriksaan
dan pengadilan tindak pidana ekonomi diatur dalam undang-undang tersendiri, hal
ini juga dapat dilakukan dengan lembaga Praperadilan, tetapi pembuat Undang-
undang telah mengaturnya dalam KUHAP. Tetapi meskipun demikian
hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja, memeriksa dan memutus
perkara tindakan melawan hukum yang khusus.

Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-


tindakan pidana ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak
berlaku. Dapat juga dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat
dibanding (atau dikasasikan) kecuali dalam hal putusan yang menetapkan
penghentian penyidikan dan pengusutan adalah tidak sah. Baik Pasal ini maupun
Pasal lain di KUHAP tidak menjelaskan apakah pemeriksaan ditingkat banding ini
juga harus mematuhi proses yang singkat seperti proses Praperadilan, dan tidak
jelas pula bagaimana harus dilakukan terhadap tersangka yang sudah dibebaskan
oleh penyidik atau penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan
kembali. Kedudukan hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah
sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti
kedua-duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam

10
memeriksa dan memutus perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim
Praperadilan adalah hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu
berlaku juga baginya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya kita juga dapat melihat lembaga
Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa (buitengewon rechts middel)
bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

D. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PRAPERADILAN


MENURUT KUHAP

Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sangat erat


hubungannya dengan jenis pemeriksaan yang ingin diminta kepada
praperadilan itu sendiri. Dengan demikian maka pihak yang berhak
mengajukan permohonan praperadilan dikelompokkan menurut alasan yang
menjadi dasar diajukannya permintaan pemeriksaan praperadilan dan
sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan permintaan.

1) Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79


KUHAP, pihak Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi
kuasa oleh tersangka) berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
2) Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP
memberikan hak kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan
mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP bahwa


yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Hak untuk mengajukan pemeriksaan
praperadilan kepada penuntut umum dalam hal penghentian penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik, pada hakekatnya telah sesuai dengan

11
prinsip pengawasan yang diinginkan dalam KUHAP. Selain adanya
pengawasan secara vertikal yang dilaksanakan oleh atas dari instansi yang
bersangkutan, ada pula pengawasan secara horisontal, dari sesama aparat
penegak hukum. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, tidak
dijelaskan secara eksplisit oleh KUHAP. Secara umum, pihak ketiga yang
berkepentingan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana adalah saksi yang
menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan sehingga dalam hal ini
maka saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan kepada praperadilan.

3) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak


ketiga yang berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian
penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Bila dibandingkan
dengan penghentian penyidikan, maka disini terjadi pengawasan secara
timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum diberikan hak
untuk mengawasi penyidik, sedangkan dalam penghentian penuntutan,
penyidik yang diberi hak untuk mengawasi penuntut umum. Di dalam
KUHAP, telah diatur pengawasn berlapis dengan jalan memberikan hak
kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum. Dengan demikian, jikalau sekiranya penyidik tidak
menanggapi penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum,
maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum kepada praperadilan.
4) Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP
menyebutkan bahwa tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat
mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan:
1) Penangkapan atau penahanan tidak sah;
2) Penggeladahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah;

12
3) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yangditerpkan, yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
4) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan Berdasarkan
ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dan
rehabilitasi karena sahnya penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum.

Jika praperadilan memutuskan bahwa penghentian penuntutan itu sah, maka hal
tersebut menjadi dasar bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada praperadilan.

5) Tersangka Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada


tersangka untuk mengajukan rehabilitasi kepada praperadilan atas
alasan sebagai berikut:
1) Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang;
2) Kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang
perkaranya tidak diteruskan ke pengadilan.

E. FUNGSI PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Lembaga Praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981


Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara peraturan itu
sendiri lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman guna menggantikan produk
perundang-undangan zaman kolonial yakni Herziene Indlansch Reglement (HIR)
atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) dengan produk Indonesia
merdeka. HIR atau RIB itu dinilai sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi
manusia, karena tidak membatasi masa penahanan tersangka/terdakwa dan setiap
kali dapat diperpanjang untuk tiga puluh hari lamanya serta tidak diberikannya

13
kesempatan untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pemeriksaan
pendahuluan oleh Penyidik sangat dirasakan sebagai tidak menghormati hak-hak
Tersangka[6]

Tujuan utama dari Praperadilan sangat erat dengan dilaksanakannya pengawasan


dalam suatu proses pidana. Proses ini haruslah mendapatkan perhatian dan tempat
yang khusus, karena tanpa suatu pengawasan yang ketat tidak mustahil hak asasi
manusia akan ditindas oleh kekuasaan. Selama hal ini tidak terhindarkan, pihak
polisi yang banyak tersangkut dalam Praperadilan. Harus diakui banyak hal
tindakan-tindakan oknum-oknum polisi membuat masyarakat menjadi prihatin,
tindakan yang memakai upaya paksa dan penyiksaan dalam memperoleh
pengakuan dan barang bukti dari tersangka. KUHAP mengatur wewenang
penyidikan diberikan sepenuhnya kepada Kepolisian, maka pengawasan atas
tindakan-tindakan penegak hukum ini harus diadakan ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang. Praperadilan melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri (Pasal
77 KUHAP). Dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Negeri dibantu oleh seorang panitera. Adapun tugas-tugasnya meliputi:

• Memeriksa sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan (Pasal 79 KUHAP).

• Memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 80


KUHAP).[7]

• Memeriksa permohonan ganti-rugi atau rehabilitasi akibat tidak sahnya


penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal
81 KUHAP).

Berdasarkan tugas-tugas tersebut tercermin bahwa Praperadilan mengemban


fungsi pengawasan atau kontrol terhadap tindakan penyidikan dan penuntutan.
Yaitu pengawasan oleh hakim Praperadilan terhadap Polisi dan terhadap Jaksa.
Pengawasan ini termasuk pengawasan horisontal, merupakan kontrol dari instansi
yang sejajar dan tidak hierarkis dalam jajarannya. Dengan Lembaga Praperadilan
maka hukum acara pidana memiliki fungsi pengawasan baik terhadap perilaku
warga masyarakat maupun terhadap perilaku para penegak hukum yang berperan

14
dalam proses bekerjanya secara pidana. Oleh karena itu Praperadilan
dimaksudkan sebagai pengawasan horisontal oleh Hakim Pengadilan Negeri
terhadap pelaksanaan tugas Penyidik dan Penuntut Umum, terutama menyangkut
pelaksanaan upaya paksa. Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris
peradilan, bukan pula wasit yang mengadili sengketa hukum. Hakim dalam
Praperadilan dipinjam karena diperlukan suatu fungsionaris netral untuk
mengontrol penangkapan dan penahanan itu. Jelaslah bahwa prosedur
Praperadilan mengganti atau mengalihkan tugas pengawasan terhadap
penangkapan dan penahanan serta penghentian penyidikan dan penuntutan dari
Kepala-kepala Kejaksaan atau Kepala-kepala Kepolisian kepada Hakim
Pengadilan Negeri yang berkedudukan netral.

F. RUANG LINGKUP PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP


adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal
78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang
pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu
Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan,
dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-
undang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Nasution. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3S.

Ervan Saropie. 2009. Lembaga Hakim Literatur. Fakultas Hukum Universitas

Indonesia.

Hamzah Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.

M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: PT. Sinar Grafika.

Oemar Seno Adji. 1980. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.

Ratna Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta:

CV. Akademika Presindo.

[1] Ervan Saropie, Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas


Indonesia, 2009.

[2] Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 1988.

[3] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


(Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 1.

[4] Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 88.

[5] Lintong Oloan Siahaan. Jalannya Peradilan Prancis LEbih Cepat dari
Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1981, hlm. 92-94.

16
[6] Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: CV.
Akademika Presindo, 1986), hal. 75

[7] 39Darwan Prinst (b), S.H., Praperadilan dan Perkembangannya di dalam


praktik, cet. 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2

17

Anda mungkin juga menyukai