Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HUKUM PIDANA

penyertaan dalam tindak pidana

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA


JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYAH

Disusun oleh :

Riyan hidayatulloh
(2015004)

Sarippudin
(2015017)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang
terjadi di masyarakat kita. Dalam beracara, hakim menjatuhkan pidana atas suatu perkara.
Hakim mendasarkan putusannya selain pada undang – undang juga mempertimbangkan
tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai
ancaman pada barang-barang siapa yang melanggar larangan
tersebut,wadah tidak pidana ialah undang-undang,baik berbentuk kodefikasi yakni KUHP
dan diluar kodefikasi yang tersear luas dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana
Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan
bersama oeleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut
Alleen dader. Sehubungan dengan Ajaran Penyertaan Pidana, Simmon juga berpendapat
bahwa unsur-unsur strafbaar feit sebagai een daaddader complex.” Artinya bahwa suatu
perbuatan pidana meliputi suatu perbuatan ‘yang mencakup perbuatan-perbuatan yang
beraneka-ragam yang dapat diatur dan ditetapkan sebelumnya, kemudian unsur kesalahan
yang juga berbagai corak serta “peran maing-masing pelaku yang bertingkat-tingkat.Dalam
makalah ini kami menjelaskan beberapa bahasan tentang bagaimana Penyetaan Tindak
Pidana untuk mengetahui lebih jelas siapa-siapa dan bagaimana pertanggungjawabannya
yang harus dijatuhi hukuman kompilasi terjadi perbuatan penyertaan dalam hukum kejahatan.

 Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan penyertaan hukum pidana ?
 Bagaimana sifat-sifat dari penyertaan tindak pidana ?
 Apa saja bentuk penyertaan tindak pidana ?
 Tujuan
 Untuk mengetahui apa itu penyertaan hukum pidana.
 Untuk mengetahui bagaimana sifat-sifat dari penyertaan tindak pidana.
 Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk penyertaan tindak pidana.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Penyertaan Tindak Pidana

Penyertaan menurut KUHP. Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan di bagi menjadi dua pembagian besar, yaitu:
 Pasal 55
 Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum:
ke-1: mereka melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
ke-2: mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaaan kekuasaan atau
martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan kesempatan,
sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
 Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatanperbuatan yang
oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibatakibatnya dapat diperhatikan.
 Pasal 56
Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum:
ke-1 : mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu dilakukan.
ke-2: mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana yaitu yang melakukan
perbuatan (plegen, dader), yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke
dader), yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader), yang membujuk supaya
perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker), yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn,
medeplichtige).
 Sifat Penyertaan Pidana
 Sifat dari Penyertaan itu :
(1) Sebagai dasar memperluas dapat dipidanannya orang (Simons, van Hattum, Hazewinkel
Suringa)
– Persoalan pertanggungjawaban pidana
– Delik yang tidak sempurna
(2) Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan (Pompe, Mulyatno, Roeslan
Saleh)
– Bentuk khusus tindak pidana
– Suatu delik yang bentuknya istimewa.

Menurut Prof. Mulyanto, sesuai dengan pandangan individu karena yang diprimairkan adalah
“hal dapat dipidanannya seseorang”; pandangan yang kedua sesuai dengan pandangan bahasa
Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan” Dan dalam pandangan pertama tidak
dikenal dalam hukum adat.
 Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:
 Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta
melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing-masing peserta dinilai
sendiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
 Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang
menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban dari peserta yang
satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang
lain juga.
 Bentuk-Bentuk Penyertaan Tindak Pidana
1. Pelaku (Pleger)

Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik
dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.
a. Orang yang bertanggung jawab (peradilan Indonesia).
b. Orang yang mempumyai kekuasaan /kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang
terlarang, tetapi membiarkan keadaan yang dilarang berlangsung , (peradilan
Belanda).
c. Orang yang berkewajiban mengakhiri keadaan terlarang (pompe); Pengertian
pembuat menurut pakar:
d. Tiap orang yang melakukan /menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik
(MvT), Pompe, Hazewinkel Suringa, Van Hattum, Mulyatno);
e. Orang yang melakukan sesuai dengan rumusan delik (pembuat materiil), mereka
yang tersebut dalam Pasal 55 KUHP hanya disamakan saja dengan pembuat (HR,
Simons, Van Hamel, Jonkers).
Kedudukan pleger dalam pasal 55 KUHP: Janggal karena pelaku bertanggung jawab
atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat dipahami:
1. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger
masuk di dalamnya (Hazewinkel Suringa).
2. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat
(Pompe).
2. Orang Yang Menyuruhlakukan (Doenpleger)
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain,
sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada dua pihak,
yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak
langsung (manus domina/auvtor intellectualis).

Unsur-unsur pada doenpleger adalah:


a. Alat yang dipakai adalah manusia;
b. Alat yang dipakai berbuat;
c. Alat yang dipakai tidsk dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat
dipertanggung jawabkan, adalah:
a. Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44);
b. Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48);
c. Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2));
d. Bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik;
e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan
yang bersangkutan.
Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap mengacu
pada Pasal 45 dan Pasal 47 No. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
3. Orang yang Turut Serta (Medepleger)
Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut
mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak
pidana adalah sama.
Turut mengerjakan sesuatu,yaitu:
a. Mereka memenuhi semua rumusan delik
b. Salah satu memenuhi rumusan delik
c. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
Syarat adanya medepleger,antara lain:
a. Ada kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja umtuk bekerja
sama dan ditunjukan kepada hal yang dilarang undang-undang
b. Ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik yang
bersangkutan
Kerja sama secara sadar:
a. Adanya pengertian antar peserta atau suatu perbuatan yang dilakukan
b. Untuk bekerja sama
c. Ditunjukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang.
Kerja sama/pelaksanaan bersama secara fisik: kerja sama yang erat dan langsung atas suatu
perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.

Pengajuan ( uitlokker)
Pengajuan adalah orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana
dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif,
yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
kekerasan ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan
(pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP).
Penganjuran (uitloker) mirip dengan menyuruh lakukan (doen plegen), yaitu melalui
perbuatan orang lain sebagai perantara.
Namun perbedaan terletak pada:
a. Pada penganjuran, menggerakan dengan sarana-sarana tertentu (limitasi) yang
tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan
menggerakannya dengan sarana yang tidak ditentukan.
b. Pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam
menyuruhkan pembuat maretiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam
menyuruhkan pembuat maretiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pergerakan menurut doktrin, antara lain:
a. Penggerakan yang sampai taraf percobaan (Uitloking bij poging).
b. Penggerakan di mana perbuatan pelaku hanya samapai pada taraf percobaan saja.
c. Penggerakan yang gagal (mislucke uitloking)
d. Pelaku tadinya tergerak untuk melakukan delik, namun kemudian mengurungkan niat
tersebut.
e. Penggerakan tanpa akibat (zonder gevold gebleiben uitlokking).
f. Pelaku sama sekali tidak tergerak untuk melakukan delik.
Syarat pengenjuran yang dapat dipidana, antara lain:
a. Ada kesengajan menggerakan orang lain.
b. Menggerakan dengan saran/ upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP.
c. Putusan kehendakn membuat materiilditimbulkan karena upaya-upaya tersebut.
d. Pembuat materiil melakukan/mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan.
e. Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap
dipidana berdasarkan pasal 163 KUHP.
f. Pembantuan (medeplichtige)
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis:

a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak


disebuatkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medepleger (turut serta), namun
pembedaannya terletak pada:
b. Pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedangkan pada
turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
c. Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja
sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang
yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan
mempunyai tujuan sendiri.
d. Pembantuan dalam pelanggarantidak di pidana (pasal 60 KUHP), sedangkan turut
serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
e. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan
dikurangkan seperti sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
f. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi
kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaannya pada niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiil sudah
ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak
melakukan kejahatan pada pembantu materiil ditimbulkan oleh si penganjur.
Pertanggungjawaban Pembantu
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku,
pembantu di pidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancama
maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan pengecualian:
a. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana:
b. Membantu merampas kemedekaan (pasal 33 ayat (4)) dengan cara member tempat
untuk perampasan kemerdekaan.
c. Membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (pasal 415).
d. Meniadakan surat-surat penting (417).
e. Pembantu pidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak pidana:
f. Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (pasal 231 ayat (3)).
g. Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (pasal 349).
Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatannya (pasal 57
ayat (3)) dan pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada
pertanggungjawaban pembuat.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau
orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengen melakukakan masing-masing perbuatan
sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP.
Penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat
terdiri dari pelaku, yang menyuruh melakukan, yang turut serta, dan penganjur. Sedangkan
pembantu ada dua jenis yaitu pembantu saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan
dilakukan.
Bentuk-bentuk penyertaan secara rinci yaitu:
a. Dua orang atau lebih bersama-sama melakukan tindak pidana.
b. Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan tindak pidana.
c. Ada yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana.
d. Ada yang menggerakkan dan digerakkan melakukan tindak pidana.
e. Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-
komisaris yang turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu..
f. Ada petindak da nada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA

Maramis, Frans.2013.Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada.

Prasetyo, Teguh. 2018. Hukum Pidana. Depok. Rajawali Press.

Sambulele, Aknes Susanty. 2013. “Tanggungjawan Pelaku Penyertaan dalam Tindak Pidana
Pasal (55 dan 56)”. Jurnal Lex Crimen. Vol. 2. No. 7
Aknes Susanty Sambulele, “Tanggungjawan Pelaku Penyertaan dalam Tindak Pidana Pasal
(55 dan 56)”, Jurnal Lex Crimen. Vol. 2, No. 7, hlm . 87.
Ibid. Hlm. 87.

[3] Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2013), hlm 214.

[4] Teguh prasetyo, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2018), hlm. 203-213.

Anda mungkin juga menyukai