Anda di halaman 1dari 6

PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA

Secara umum hukum pidana dibagi menjadi dua,  hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang perbuatan apa yang disebut
dengan perbuatan pidana, kesalahan dan ancaman pidananya. Sedangkan Hukum
Pidana Formil merupakan sekumpulan aturan yang mengatur tentang tata cara atau
aturan main (rule of the games) guna menegakkan Hukum Pidana Materiil.

Wirjono Prodjodikoro 
Mengungkapkan  hukum acara pidana:

“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu
merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
harus bertindak jika terjadi pelanggaran.

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA DAN PENJELASAN SINGKAT :


1. Asas diferensiasi fungsional:
Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah
antara satu dengan yang lain.

2. Asas legalitas: Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum


acara pidana adalah sesuatu yang berbeda. Dalam hukum pidana,
asas legalitas dapat diartikan “tidak ada suatu perbuatan yang dapat
dipidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya (nullum delictum
nulla poena sine lege poenali). Namun, dalam hukum acara pidana,
asas legalitas memiliki makna setiap Penuntut Umum wajib segera
mungkin menuntut setiap perkara.
3. Asas lex scripta: Asas ini berarti hukum acara pidana yang
mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada
harus tertulis. Selain itu, asas ini juga mengajarkan bahwa aturan
dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.

Selain ketiga asas tersebut di atas, terdapat asas asas lain yang diatur
dalam KUHAP Indonesia sebagai berikut:
1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Beberapa referensi dalam KUHAP yang mengatur tentang Asas
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan antara lain
Pasal 50 ayat (1):
“Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat,
sederhana, dan biaya ringan yang menyebutkan
“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan
dalam acara cepat.”
2. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap,
salah tahan, dan salah tuntut (remedy and rehabilitation).
Tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut
ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa
alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya
atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan.

3. Asas oportunitas.
Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum
tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan
merugikan kepentingan umum.  Ketentuan pengesampingan ini
diatur dalam Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
yang menyebutkan: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara
berdasarkan kepentingan umum.”

4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum.


Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu
menghendaki adanya bentuk transparansi atau keterbukaan dalam
sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3)
KUHAP, yaitu: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali
dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.

5. Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity


before the law).
Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the
law) adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di
muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial,
ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya.
Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a
KUHAP dan Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan : Butir 3 a KUHAP
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”
Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009: “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

6. Praduga tak bersalah (presumption of innocence).


Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap
bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah
serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat
dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai
berikut : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

7. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap.


Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk
menyatakan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena
jabatannya yang bersifat tetap.

8. Asas Akusator.
Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan
tersangka/terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap
tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas yang dianut KUHAP
yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan
kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan.
Terdapat dalam Pasal 52 KUHAP : “Dalam pemeriksaan pada
tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
atau hakim.”

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan.


Dasar hukum mengenai asas ini  diatur dalam Pasal 154, 155
KUHAP, dan seterusnya. Dari “asas langsung” tersebut yang
dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari putusan
hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu
putusan verstek atau in absentia.

10 Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum.


Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa
tersangka dan terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas
ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan hukum yang
dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari
seorang advokat/pengacara. Dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP :
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang
tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.” 
 

TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA

memiliki 5 tujuan, yaitu:

1.      “Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka dan terdakwa);

2.      Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan;

3.      Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana;

4.      Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum;

5.      Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.”

hukum acara pidana pada dasarnya memiliki tiga tujuan utama

1.      Mencari dan Menemukan Kebenaran

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan terhadap suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan
guna menetukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

2.   Memperoleh Putusan Hakim

untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak haruslah melalui suatu proses
penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan. Dengan kata lain, hanya putusan
Hakimlah yang bisa menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak.
3. Melaksanakan Putusan Hakim

Setelah seseorang dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman berdasarkan


putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan
tersebut haruslah dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a, pejabat yang
diberi wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan (Hakim) adalah Jaksa.

SIFAT HUKUM ACARA PIDANA

1.      Ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa (dwingen recht).


Karena bersifat memaksa, negara tetap melakukan peninda kan terhadap pelakunya.
Dalam hal ini dapat dikatakan Hukum Acara Pidana tidak bergantung pada pribadi-
pribadi, apakah mau dilakukan penindakan atau tidak, terkecuali terhadap Tindak
Pidana Aduan (Klacht-Delict).

2.    Sifat Hukum Acara Pidana mempunyai dimensi perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM).
Konsekuensi logis dari Negara Hukum (Rechtstaat), Hukum Acara Pidana juga
bersifat melindungi kepentingan dari hak-hak orang yang dituntut
(tersangka/terdakwa). Sebagai contoh, keharusan didampingi oleh penasihat hukum
mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan sebagaimana ketentuan
Pasal 54-62 KUHAP.

KESIMPULAN

1.     Pengertian Hukum Acara Pidana

serangkaian peraturan yang mengatur tentang seluruh proses dan prosedur dalam
beracara pada sistem peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan, pengambilan putusan oleh hakim, upaya
hukum yang dapat ditempuh pasca adanya putusan pengadilan, yang terbagi
menjadi upaya hukum biasa dan luar biasa, hingga pada klimaksnya yaitu
pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan.

2.     Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan utama hukum acara pidana adalah mencari kebenaran materiil, kebenaran
yang selengkap-lengkapnya melalui seperangkat ketentuan yang harus diterapkan
guna menjatuhkan pidana bagi orang yang dapat dipersalahkan menurut hukum.
Melalui tujuan ini, terkandung pula tujuan diterapkannya KUHAP guna menjaga hak
tersangka dan terdakwa, untuk menghindari penghukuman terhadap orang yang
tidak layak dipersalahkan.

Anda mungkin juga menyukai