Anda di halaman 1dari 7

Ujian Tengah Semester Genap 2019 – 2020

Mata Ujian : Hukum Acara Pidana


KP : A
Topik : Asas-asas Hukum Acara Pidana
Nama : Jonathan Jason Wilianto
NRP : 120118136

Ada banyak hal yang dibahas di dalam Hukum Acara Pidana secara keseluruhan. Dan tentu
saja dalam hal ini tidak pernah bisa terpisahkan dari Asas-asas / Prinsip-prinsip Hukum Acara
Pidana yang mendasari penyelenggaraan dari Hukum Acara Pidana itu sendiri. Asas-asas di dalam
Hukum Acara Pidana merupakan hal yang sangat penting. Selain karena asas-asas ini merupakan
dasar dalam pembentukan Hukum Acara Pidana, asas-asas ini juga menunjukkan apakah dalam
pelaksanaan Hukum Acara Pidana tersebut sudah memberikan perlindungan terhadap hak-hak
yang dimiliki tersangka dan terdakwa di dalam proses peradilan. Asas-asas ini juga sangat penting
karena dalam pelaksanaannya, Asas-asas Hukum Acara Pidana ini dijadikan sebagai dasar untuk
mengukur apakah tindakan yang dilakukan oleh para penegak hukum dalam melaksanakan Hukum
Acara Pidana sudah sesuai dengan ketentuan atau tidak. Asas-asas hukum harus ada dalam setiap
aturan hukum, tidak terkecuali Hukum Acara Pidana. Jika asas-asas hukum tidak ada dalam sebuah
aturan hukum maka aturan tersebut akan sulit untuk dimengerti bahkan mungkin tidak akan bisa
dimengerti. Oleh karena itu di dalam paper ini akan membahas mengenai Asas-asas Hukum Acara
Pidana yang memiliki 9 (sembilan) asas atau prinsip yang merupakan dasar dalam pembentukan
Hukum Acara Pidana. Asas-asas itu meliputi:

1. ASAS PERADILAN CEPAT, SEDERHANA, DAN BIAYA RINGAN

Dasar hukum dari asas ini dapat kita lihat di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.” ‘Sederhana’ di sini berarti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan
dengan cara efisien dan efektif. Sedangkan ‘biaya ringan’ artinya biaya perkara haruslah yang
dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Dan ‘cepat’ dimaksud dengan ‘segera’. Peradilan cepat
sangat diperlukan terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan

1
hakim. Selain di dalam UU Nomor 48 Tahun 2009, mengenai berlakunya asas ini sebenarnya juga
sudah diatur di dalam HIR. Mengenai asas ini juga dapat kita lihat perwujudannya di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada beberapa pasal yang dapat dikategorikan
sebagai perwujudan dari asas ini. Misalnya dapat kita lihat dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi: “Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya
dapat diajukan kepada penuntut umum.” Dalam ayat tersebut ada kata “segera” yang memiliki
pengertian bahwa tersangka mempunyai hak secara cepat untuk mendapatkan pemeriksanaan yang
selanjutnya diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan pemeriksanaan di pengadilan.

2. ASAS PRADUGA TAK BERSALAH (PRESUMPTION OF INNOCENCE)

Asas ini menghendaki agar setiap orang yang terlibat atau berada di dalam suatu perkara
pidana harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya tersebut. Penjelasan mengenai asas praduga tak bersalah ini diatur di dalam Pasal 8
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970. Selain itu, asas praduga
tak bersalah ini dapat kita lihat penjelasannya dalam Penjelasan Umum KUHAP butir (3) huruf
(c) yang berbunyi demikian: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Menurut Prof. Muhammad Yahya Harahap, S.H., seorang pakar hukum di Indonesia, asas
praduga tak bersalah ini, apabila ditinjau dari segi teknis penyidikan, dinamakan ‘Prinsip
Akusator.’ Dikatakan akusator karena dalam hal ini menempatkan kedudukan dari tersangka atau
terdakwa di dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subyek dan bukan sebagai obyek
pemeriksaan. Itulah sebabnya tersangka maupun terdakwa wajib didudukkan serta diperlakukan
dalam kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat harga diri. Karena tersangka dan
terdakwa diperlakukan sebagai subyek, maka yang menjadi obyek pemeriksaan, dalam prinsip
akusator ini, adalah kesalahannya (Tindak Pidananya). Kesalahan yang dilakukan oleh tersangka
ataupun terdakwa tadi itulah yang dijadikan sebagai arah dari pemeriksaan dilaksanakan.

3. ASAS OPPORTUNITAS

Asas opportunitas ini memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk menuntut
atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat, terhadap seseorang atau korporasi yang telah

2
mewujudkan delik demi kepentingan umum. Sehingga di dalam asas ini penuntut umum tidak
diwajibkan untuk menuntut seseorang apabila penuntutannya tersebut akan merugikan
kepentingan umum. Dalam prakteknya, istilah asas opportunitas ini disebut dengan istilah
“deponering”. Sehingga asas opportunitas ini pada intinya berarti seseorang tidak dapat dituntut
oleh jaksa karena alasan dan pertimbangan demi Kepentingan Umum jadi dalam hal ini dideponer
(dikesampingkan). Asas ini menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena pada dasarnya asas
ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas. Hal tersebut berarti demi kepentinan umum,
maka asas legalitas tersebut dikecualikan. Oleh karena itu kriteria yang digunakan sebagai
pedoman asas opportunitas ini adalah kepentingan umum yaitu negara dan masyarakat, bukan
kepentingan pribadi. Itulah sebabnya asas ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Artinya
adalah asas ini hanya berlaku jika kepentingan umum benar-benar dirugikan.

4. ASAS PEMERIKSAAN PENGADILAN TERBUKA UNTUK UMUM

Makna dari asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum ini adalah menghendaki
adanya bentuk transparansi atau keterbukaan dalam Sidang Peradilan Pidana. Dasar hukum dari
asas ini diatur di dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Untuk keperluan pemeriksaan
hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Melalui rumusan yang terdapat dalam Pasal
153 ayat (3) tersebut kita bisa memaknai bahwa ada beberapa perkara dalam Hukum Pidana yang
mendapat pengecualian persidangan yang dibuka untuk umum. Perkara pertama adalah perkara
kesusilaan, sedangkan perkara kedua ialah yang terdakwanya adalah anak-anak. Apabila perkara
yang berkaitan dengan kesusilaan atau yang terdakwanya adalah anak-anak tersebut tetap
dilakukan persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum
seperti yang sudah diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Tidak dipenuhinya
ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Oleh karena
itu konsekuensi hukum jika perkara yang berkaitan dengan kesusilaan atau yang terdakwanya
adalah anak-anak tersebut tetap dibuka untuk umum adalah putusan batal demi hukum.

5. ASAS SEMUA ORANG DIPERLAKUKAN SAMA DALAM HUKUM / TIDAK


MEMBEDA-BEDAKAN ORANG

Asas semua orang diperlakukan sama dalam hukum (equality before the law) merupakan
sebuah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di hadapan hukum dengan tidak

3
membedakan berbagai latar belakang meliputi latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik,
agama, golongan, dan lain sebagainya. Asas ini memiliki makna bahwa di depan pengadilan
kedudukan semua orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama. Pada intinya, asas ini
berbicara apabila seseorang terbukti bersalah maka harus dihukum, sedangkan jika terbukti tidak
bersalah, maka harus dibebaskan. Dan apabila seseorang terbukti bersalah dan harus dihukum
maka hukuman yang diberikan kepadanya haruslah hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang
dibuat olehnya. Mengenai asas ini dapat dilihat dasar hukumnya dalam Penjelasan Umum butir 3
a KUHAP yang menyatakan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.” Mengenai asas ini juga terdapat di dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi
demikian: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

6. ASAS PERADILAN/KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA

Mengenai asas peradilan atau Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini dengan tegas
dinyatakan di dalam KUHAP sebagai salah satu asas yang mengatur perlindungan terhadap
keluhuran harkat serta martabat manusia. Di dalam Pasal 1 angka (9) KUHAP mengatur mengenai
asas ini yang berbunyi: “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Penyelenggaraan asas peradilan ini, menurut UUD 1945 dilaksanakan oleh Kekuasaan
Kehakiman. Hal ini dengan tegas diatur di dalam Pasal 24 UUD 1945. Dasar hukum mengenai
asas ini diatur lebih lanjut di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.”

7. ASAS TERSANGKA/TERDAKWA BERHAK MENDAPATKAN BANTUAN


HUKUM

Mengenai asas tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum ini diatur di
dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP jo. Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009. Bantuan
hukum disini yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokat

4
atau pengacara. Bantuan hukum ini dianggap penting bagi pihak terdakwa atau tersangka sebab
dengan didampingi oleh seorang advokat atau pengacara, maka seorang tersangka atau terdakwa
dapat mendapatkan penjelasan mengenai hak-haknya secara independen. Di dalam ketentuan
hukum juga diatur apabila diancam hukuman mati atau pidana penjara di atas 5 (lima) tahun, maka
seorang tersangka atau terdakwa wajib diberikan bantuan hukum dengan didampingi oleh seorang
advokat atau pengacara. Asas ini bukan hanya berlaku di Indonesia saja, tetapi berlaku secara
universal di negara-negara demokrasi dan beradab. Dasar hukumnya terdapat di dalam The
International Covenant on Civil and Political Rights Article 14 Sub 3d.

8. ASAS GANTI RUGI DAN REHABILITASI

Asas ganti rugi dan rehabilitasi ini adalah asas apabila ada seseorang yang ditangkap,
ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan Undang-Undang dan atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan
rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum
tersebut apabila dilanggar, dituntut, dipidana, dan/atau dikenakan hukuman administrasi. Dalam
hal ini tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut Undang-Undang atau
kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Asas ini diatur secara rinci
di dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 97 KUHAP jo. Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.
Selain itu dasar hukum mengenai ketentuan asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum
KUHAP butir 3 d.

9. ASAS PEMERIKSAAN HAKIM YANG LANGSUNG DAN LISAN

Asas ini memiliki makna bahwa dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan
itu dilaksanakan secara langsung dan lisan. Berbeda dengan Acara Perdata yang memungkinkan
tergugat dapat diwakilkan melalui kuasanya. Pengertian ‘lisan’ di sini berarti tidak tertulis (bukan
antara hakim dan terdakwa). Ketentuan mengenai asas ini diatur di dalam Pasal 154 dan 155
KUHAP. Selain itu, asas ini juga diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Tujuan
utama dari asas ini adalah agar pemeriksaan dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Karena
dengan dilakukan pemeriksaan secara lisan dan langsung dapat memberikan kesempatan kepada
pemeriksa (hakim) untuk lebih cermat dan teliti bukan hanya dari keterangannya, tetapi bisa
meneliti dari skiap dan cara mereka dalam memberikan keterangan. Oleh karena itu asas ini juga

5
memberikan pengertian bahwa tidak boleh ada pemeriksaan in absentia (tidak dihadiri terdakwa),
kecuali apabila ditentukan lain atau dalam Tindak Pidana Khusus.

KESIMPULAN

Pada prinsipnya, Hukum Acara Pidana dapat dikatakan sebagai ‘hukum proses pidana.’
Dalam menjalankan tuntutan ada beberapa asas yang diperhatikan, yaitu Asas Peradilan Cepat,
Sederhana, dan Biaya Ringan, Asas Praduga Tak Bersalah, Asas Opportunitas, Asas Pemeriksaan
Pengadilan Terbuka Untuk Umum, Asas Semua Orang Diperlakukan Sama Dalam Hukum, Asas
Peradilan, Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum, Asas Ganti Rugi
dan Rehabilitasi, dan Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan. Seluruh asas ini
bertujuan agar tercapainya tujuan Hukum Acara Pidana, yaitu untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil (kebenaran dari suatu perkara pidana) dengan cara menerapkan ketentuan
Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA (SELAIN UNDANG-UNDANG)

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan


Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, Modul Pengantar Hukum Acara Pidana.

Diktat Hukum Acara Pidana Universitas Surabaya

CONTOH KASUS

Berikut ini merupakan contoh kasus (Judul artikel: “Jadi Korban Salah Tangkap, Empat
Pengamen Minta Ganti Rugi Rp 746 Juta”) yang berkaitan dengan salah satu Asas Hukum
Acara Pidana, tepatnya berkenaan dengan Asas ke-8 (delapan), yaitu Asas Ganti Rugi dan
Rehabilitasi. Dalam kasus ini merupakan kesalahan penegak hukum dalam menangkap pelaku dan
akibatnya fatal sehingga korban salah tangkap meminta ganti rugi karena sudah menerima
perlakuan kasar serta harus mendekam di dalam penjara anak di Tangerang untuk beberapa waktu
lamanya.

6
ARTIKEL (WEBSITE): https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/17/13164101/jadi-
korban-salah-tangkap-empat-pengamen-minta-ganti-rugi-rp-746-juta?page=all

ISI ARTIKEL: JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuntut
kerugian dari Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI karena salah
menangkap orang dalam kasus pembunuhan. Mereka yang jadi korban salah tangkap adalah empat
orang pengamen yang saat itu masih di bawah umur. Semua berawal ketika empat orang pengamen
bernama Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16) ditangkap Jatanras Polda Metro Jaya
pada 2013. Mereka ditahan karena dituduh melakukan pembunuhan di kolong jembatan samping
kali Cipulir, Jakarta Selatan. Dalam prosesnya, polisi dituduh melakukan kekerasan terhadap
empat orang anak ini agar mau mengaku melakukan pembunuhan. Mereka akhirnya terpaksa
mengaku dan kasus itu naik ke Kejaksaan hingga akhirnya di sidangkan di Pengadilan. Mereka
kemudian divonis hakim bersalah dan harus mendekam di penjara anak Tanggerang. Belakang,
keempat anak ini dinyatakan tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Mereka
dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131
PK/Pid.Sus/2016. Mereka bebas pada tahun 2013. Selang tiga tahun kemudian. LBH Jakarta
kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut. "Berhak ganti kerugian karena
kan ditangkap, ditahan padahal mereka kan nggak bersalah. Selama ini harusnya bisa kerja, gara -
gara dipidana nggak kerja kan. Hal hal seperti ini yang dituntut," kata kata kuasa hukum keempat
anak tersebut, bernama Oky Wiratama yang juga anggota LBH saat ditemui di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2019). Kerugian yang dituntut pihak mereka sebesar Rp 186.600.000
untuk per anak. Biaya itu meliputi total kehilangan penghasilan sampai biaya makan selama
dipenjara. Dengan demikian, total untuk keempatnya sebesar Rp 746.400.000. Tidak hanya
tuntuan secara materi, pihaknya juga meminta pihak Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI
untuk mengakui semua kesalahanya karena salah menangkap orang dan melakukan tindak
intimidasi. "Selama ini ditahan dia nggak sekolah dan lain-lain, itu yang harus dituntut. Dan pihak
kepolisian harus menyatakan bahwa memang harus mengakui kalau mereka salah tangkap, gak
fair dong," ucap dia. Hingga pukul 12.20 WIB, sidang praperadilan dengan agenda pembacaan
permohonan belum dimulai karena pihak termohon, yakni Kejaksaan Tinggi DKI belum hadir.

Anda mungkin juga menyukai