Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Studi Hukum Pidana

Volume 2 (2022): 1-10


ISSN 2774-9061 (Media Online)
http://repositori.lshp.or.id/index.php/jurnal

Asas Praduga Tak Bersalah dalam Kebijakan Hukum


Pidana di Indonesia

Vivin Nurviana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
E-mail: viviannurmargaret24@gmail.com

Diterima: 4 Januari 2021 Direvisi: 31 Juli 2021 Disetujui: 29 Maret 2022

Abstrak: Asas hukum praduga tak bersalah adalah asas hukum


yang membuat seseorang memiliki hak sebagai individu hukum
untuk dinyatakan tidak bersalah sampai dengan adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Asas hukum ini
termuat di dalam KUHAP dan UU No. 48 Tahun 2009. Namun,
terjadi perbedaan rumusan, misalnya, pada Pasal 14 Paragraf Dua
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun
1966. Asas praduga tak bersalah dalam kovenan internasional
tersebut mempunyai rumusan “sampai dibuktikan bersalah
menurut hukum”. Hasil telaahnya, lebih jelas adanya rumusan
“sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” pada
KUHAP dan UU No. 48 Tahun 2009 dibandingkan dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966.

Kata Kunci: Asas Praduga Tak Bersalah; Kebijakan Hukum Pidana

1
1. Pendahuluan
Asas praduga tak bersalah merupakan dasar dari
pandangan individualis-liberalis yang mengalami perkembangan
sejak abad ke-19 pertengahan hingga sekarang. Dalam sistem
peradilan pidana, atas dasar sistem common law, asas ini
dijadikan syarat atas praktik yang adil dan jujur (due process of
law).
Asas tersebut termasuk ke dalam asas umum dari hukum
acara. Oleh karena itu, ia meliputi seluruh proses sengketa, baik
pada perkara pidana, perdata, maupun tata usaha negara.
Namun, dalam pengaturannya, asas hukum yang dimaksud
dicantumkan ke dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (lazim disebut “Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana” atau “KUHAP”). Dampaknya, asas praduga tak bersalah
populer pada bidang hukum pidana.
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 (untuk selanjutnya cukup disebut “UU No.
48 Tahun 2009) menentukan, “Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sementara itu, Pasal 14
Paragraf Kedua Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan
Hak Politik Tahun 1966 berbunyi, “Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
bersalah menurut hukum.”
Di penghujung kalimat, 2 (dua) aturan hukum yang
merumuskan asas praduga tak bersalah sebagaimana tersebut di
atas menunjukkan adanya perbedaan penggunaan frasa.
Menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, “... wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap”, sedangkan Pasal 14 Paragraf Kedua Kovenan Internasional

2
mengenai Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966 menentukan, “...
wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah
menurut hukum.”
Berdasarkan adanya perbedaan tersebut di atas, artikel ini
dimaksudkan untuk menguraikan maksud dari penggunaan frasa
“... wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap” dan “... wajib dianggap tidak bersalah
sampai dibuktikan bersalah menurut hukum.” Untuk itu, pertama,
artikel ini akan membahas konsep asas praduga tak bersalah.
Kedua, membahas tafsir hukum atas asas hukum praduga tak
bersalah.
2. Pembahasan
2.1. Konsep Asas Praduga Tak Bersalah
Asas hukum praduga tak bersalah merupakan salah satu
asas hukum umum yang berlaku pada tiap-tiap prosedur
berperkara pidana. Sejatinya, asas hukum ini dapat diaplikasikan
pada seluruh peradilan di Indonesia. Namun, dikarenakan asas
hukum ini disebutkan secara jelas di dalam KUHAP, maka lazim
dikaitkan dalam perkara-perkara pidana1, dengan rumusan
sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.”
Sementara itu, dalam UU No. 48 Tahun 2009, asas praduga
tak bersalah dicantumkan pada Pasal 8 ayat (1):

1
M. Schinggyt Tryan P, Nyoman Serikat P, and Pujiyono, “Tinjauan
Yuridis Terhadap Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Proses
Peradilan Pidana,” Diponegoro Law Journal 5, no. 4 (2016): 5. Lihat juga, Moch
Choirul Rizal, Diktat Hukum Acara Pidana (Kediri: Fakultas Syariah IAIN Kediri,
2021), 6.
3
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Mengenai penerapan asas hukum praduga tak bersalah,
M. Yahya Harahap menjelaskan tersangka harus ditempatkan
pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Yang
bersangkutan harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Artinya,
yang diperiksa adalah manusia. Di sisi yang lain, tindak pidana
yang dilakukan menjadi objek pemeriksaan, sehingga ke arah
kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan.
Dengan demikian, tersangka harus dianggap tidak bersalah sesuai
dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan
pengadilan yang telah berkekuatan tetap.2
Menurut Andi Hamzah, asas praduga tidak bersalah atau
yang dikenal juga dengan istilah presumption of innocent tidak
dapat diartikan secara letterlijk (apa yang tertulis). Kalau asas
tersebut hanya diartikan demikian, maka tugas kepolisian tidak
akan dapat berjalan.3 Hal ini mengingat persepsi kepolisian
setelah adanya hasil penyelidikan adalah menyangka seseorang
telah melakukan tindak pidana. Tentu, dengan batasan yang telah
ditentukan oleh undang-undang, misalnya, ada bukti yang cukup.
2.2. Telaah Perbedaan Redaksi pada Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik
Sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap atas suatu perkara pidana yang diperiksa, tersangka

2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP: Penyidikan Dan Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 134.
3
Aru, “Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan Secara
Letterlijk,” Hukumonline.Com, last modified 2006, accessed May 30, 2020,
https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-praduga-tak-bersalah-tidak-
bisa-diartikan-secara-iletterlijki-hol15745. Lihat juga, Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 14–15.
4
atau terdakwa memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah. Hak
ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang absolut, karena bukan
sesuatu yang nonderogable rights sebagaimana, misalnya, hak
hidup yang melekat atau hak agar tidak adanya penuntutan atas
hukum yang retroaktif. Walaupun UUD NRI Tahun 1945 tidak
mengatur asas hukum ini, namun dapat dijumpai pengaturannya
dalam KUHAP dan UU No. 48 Tahun 2009.
Perumusan frasa terkait asas hukum praduga tak bersalah
di dalam KUHAP dan UU No. 48 Tahun 2009 mempunyai
perbedaan dengan perumusan pada Pasal 14 Paragraf Kedua
Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Hak Politik Tahun
1966. Rumusan singkatnya adalah sebagai berikut:
“Everyone charged with criminal offence shall
have the right to be presumed innocent untill
proved guilty according to law.”
Kovenan di atas tidak menyatakan terkait keharusan
menganggap tidak bersalahnya seseorang sampai dapat
dibuktikan berdasarkan hukum. Kata yang digunakan adalah
“hukum”, bukan “undang-undang”. Selain kemudian juga tidak
ada penegasan terkait permasalahan putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang dijadikan batasan toleransi
seseorang hingga dapat dikatakan bersalah.
Terkait membuktikan seseorang yang memiliki kesalahan
berdasar pada common law system, sering dinyatakan dengan
istilah “proven guilty beyond reasonable doubt (terbukti bersalah
tanpa keraguan)”. Artinya, pernyataan bersalah tersebut
berdasar pada bukti yang kuat atau tidak dapat diragukan lagi. Hal
ini jelas berbeda dengan di Indonesia yang menganut civil law
system yang menggunakan kalimat “dinyatakan bersalah atas
dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
untuk menjustifikasi bahwa subjek hukum telah bersalah
menurut hukum.
Demi menghindari perbedaan penafsiran tersebut,
Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Hak Politik Tahun
1966 memperinci ruang lingkup atas penafsiran hukum terhadap
5
konsep “hak untuk dianggap tidak bersalah”. Hal yang dimaksud
dibagi ke dalam 8 (delapan) hak, yaitu: (1) hak diberitahu jenis
kejahatannya; (2) hak diberi waktu menyiapkan pembelaan serta
konsultasi kepada penasehat hukum; (3) hak untuk diadili tanpa
adanya penundaan; (4) hak untuk diadili dengan dihadirkannya
pihak yang berkaitan; (5) hak diberi pendampingan penasihat
hukum apabila pihak yang berkaitan dianggap kurang mampu; (6)
hak memeriksa serta diperiksa saksi-saksi dari lawan dengan
pihak terkait; (7) hak mendapatkan orang yang dapat
menerjemahkan bila perlu; dan (8) hak untuk tidak dipaksa
mengakui perbuatannya atau tidak memberi pernyataan yang
dapat merugikan dirinya sendiri.4 Artinya, asas praduga tak
bersalah mulai berlaku sepanjang tersangka ataupun terdakwa
dipenuhi hak-haknya seperti pembagian pada kovenan di atas.
Sementara itu, di dalam kebijakan hukum pidana di
Indonesia, ketentuan mengenai putusan berkekuatan hukum
tetap atau umum diistilahkan juga dengan “inkracht van
gewijsde”, yang tentu berhubungan dengan perkara pidana,
dapat dijumpai dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2010:5
“Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak
diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh undang-undang tentang hukum
acara pidana;

4
Aru, “Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan Secara
Letterlijk.”
5
Phalita Gatra, “Konsep Hak Asasi Manusia Yang Digunakan Di
Indonesia,” Hukumonline.Com, last modified 2019, accessed June 18, 2020,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/konsep-hak-asasi-manusia-yang-
digunakan-di-indonesia-lt58e0c8234493e.
6
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak
diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh
undang-undang tentang hukum acara pidana;
3. putusan kasasi.”
“Yang dimaksud dengan “pengadilan” adalah
pengadilan di lingkungan peradilan umum atau
pengadilan di lingkungan peradilan militer yang
memutus perkara pidana.”
Di sisi yang lain, putusan yang termasuk mempunyai
kekuatan hukum tetap, antara lain: (1) putusan pengadilan negeri
yang diterima kedua pihak yang menghadapi persoalan; (2)
putusan perihal perdamaian; (3) putusan verstek yang selanjutnya
tidak ada pengajuan verzet maupun banding; (4) putusan
pengadilan tinggi yang diterima kedua pihak dan tidak ada
permohonan kasasi; dan/atau putusan mahkamah agung dalam
kasasi.6
Berdasarkan pada pengertian “putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap” di atas, relatif cukup jelas dan
sistematis untuk memberikan telaah atas maksud implementasi
asas praduga tak bersalah dalam praktik peradilan pidana di
Indonesia. Di sisi yang lain, apabila melihat rumusan singkat asas
hukum praduga tak bersalah dalam Kovenan Internasional
mengenai Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966, potensi terjadinya
perbedaan penafsiran dalam praktik relatif tidak dapat dihindari,
karena hanya menyebut “untill proved guilty according to law
(sampai dibuktikan bersalah menurut hukum)” yang diperinci
kemudian dengan 8 (delapan) hak. Keadaan demikian justru
menyebabkan adanya ketidakpastian hukum bagi tersangka atau
terdakwa.

6
Pengadilan Negeri Kuningan, “Eksekusi Putusan Yang Berkekuatan
Hukum Tetap (Inkracht),” Pengadilan Negeri Kuningan, accessed June 18, 2020,
http://www.pn-kuningan.go.id/hal-eksekusi-putusan-yang-berkekuatan-
hukum-tetap-inkracht.html.
7
3. Kesimpulan
Asas hukum praduga tak bersalah adalah asas hukum yang
membuat seseorang memiliki hak sebagai individu hukum untuk
dinyatakan tidak bersalah sampai dengan adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Asas hukum ini
termuat di dalam KUHAP dan UU No. 48 Tahun 2009.
Namun, terjadi perbedaan rumusan, misalnya, pada Pasal
14 Paragraf Dua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak
Politik Tahun 1966. Asas praduga tak bersalah dalam kovenan
internasional tersebut mempunyai rumusan “sampai dibuktikan
bersalah menurut hukum”. Hasil telaahnya, lebih jelas adanya
rumusan “sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” pada
KUHAP dan UU No. 48 Tahun 2009 dibandingkan dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966.

Referensi
Aru. “Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan Secara
Letterlijk.” Hukumonline.Com. Last modified 2006.
Accessed May 30, 2020.
https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-praduga-
tak-bersalah-tidak-bisa-diartikan-secara-iletterlijki-
hol15745.
Gatra, Phalita. “Konsep Hak Asasi Manusia Yang Digunakan Di
Indonesia.” Hukumonline.Com. Last modified 2019.
Accessed June 18, 2020.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/konsep-hak-
asasi-manusia-yang-digunakan-di-indonesia-
lt58e0c8234493e.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP: Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar

8
Grafika, 2015.
P, M. Schinggyt Tryan, Nyoman Serikat P, and Pujiyono. “Tinjauan
Yuridis Terhadap Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah
Dalam Proses Peradilan Pidana.” Diponegoro Law Journal
5, no. 4 (2016).
Pengadilan Negeri Kuningan. “Eksekusi Putusan Yang
Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht).” Pengadilan Negeri
Kuningan. Accessed June 18, 2020. http://www.pn-
kuningan.go.id/hal-eksekusi-putusan-yang-berkekuatan-
hukum-tetap-inkracht.html.
Rizal, Moch Choirul. Diktat Hukum Acara Pidana. Kediri: Fakultas
Syariah IAIN Kediri, 2021.

9
10

Anda mungkin juga menyukai