Anda di halaman 1dari 8

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common

Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648).  Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh
pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai
saat ini. Di dalam   sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem
hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat
utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak
(due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak  terpisahkan dari
prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah
melembaga  dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga
di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.  

Di  sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau  buruh tidak dilakukan
sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”.
Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah
mengalami perubahan cepat  sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan
internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.  

Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa
diberikan  hak oleh hukum untuk  tidak memberikan keterangan yang akan
memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan
untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses
persidangan( the right to remain silent).
 
Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu
dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari
tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada
”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita
apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang
telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di
dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.

Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan
supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem
hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan
”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah
memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.[5] Bertolak dari
KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi
sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan
karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu
sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut
umum.

Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara
pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi  sistem juri sedangkan di
dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak
persamaan yang mencolok, yaitu  lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan
hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu
kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.

Tafsir hukum  atas Asas Praduga tak bersalah.


Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat
absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable
rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku
surut(non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak,
praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP.  

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum
KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan
di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
 
Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga
tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik
(1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall
have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah.
Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering
ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti,
”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan
sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.

Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah
diberikan oleh Kovenan, yaitu  dengan  merinci luas lingkup atas tafsir hukum  ”hak untuk
dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu: 

1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;


2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan
berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak
dipaksa mengakui perbuatannya.  

Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap
seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh  hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam
konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai
dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa
bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan
terdakwa), harus diartikan sebagai  akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk
dianggap tidak bersalah.  
 

Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara
Belanda dan Perancis.
Di dalam menyikapi asas  praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”,  paradigma
yang menjiwai  penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei)  ternyata lebih
maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP
Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).

HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban


sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities
watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the
criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis,  menegaskan: ”Any person
suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established
(perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan
umum KUHAP).

Namun pada rumusan berikutnya  KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas
hukum tsb, sebagaimana disebutkan:
“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under
the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the
procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of
the person”.
 
Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda,
sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat
dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan
munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]

Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga
tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi  keadilan baik
oleh tersangka/terdakwa maupun oleh  masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak
yang merasa diperlakukan tidak adil. Jika dirunut kepada  asal mula lahirnya konsep praduga
tidak bersalah, maka  konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9]  perlindungan atas hak
dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan  perlindungan
atas  hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs
(korban ).[10]

Konsep praduga tak bersalah  dalam Deklarasi PBB tsb   tidak menempatkan kesetaraan
perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi
berkelanjutan mengenai pentingnya konsep  tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam
pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang  lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal
yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. 
 
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip  ”due process of law”, yang telah lahir dua
ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum
Amerika Serikat (Anglo-saxon),  justru konsep prinsip praduga tak bersalah  sejak awal
kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara
implisit, dari sudut pandang UUD 1945,  prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis”
karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan
tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan  partial trial” terhadap pihak korban
kejahatan.

Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama
menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril
yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak
pidana korupsi, tindak pidana  pencucian uang,  atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan
transnasional.

Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah


Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM
Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”,
dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk
menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain  semata-mata demi dan hanya untuk
kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial
masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan
Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial
bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.

Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan


pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara
Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip
”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas  ”praduga tak bersalah”, dalam konteks
kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan
perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari
paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim
Strafrecht”.   

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb 
di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga
telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan  selama menjalani proses
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada
tingkat banding. Praduga tsb selanjutnya berhenti  seketika pengadilan memutuskan terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan
atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and
impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa  oleh pengadilan
sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan,
dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka
untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang  telah  mengakibatkan
timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.
Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah  putusan
pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun  terdakwa mengajukan upaya hukum,
banding atau kasasi.

Rekonseptualisasi prinsip  praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan
sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta
sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini. 

Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah


diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal
Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi
termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi
saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]
           
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara
lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP
Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi   untuk
mencegah seseorang tersangka  kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali
untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun.  Persyaratan untuk memasuki tahap ini
antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan
ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan 
atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi
penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]   
           
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan  terakhir kepada keadilan
restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan
mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan
oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang
Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban;  Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam
UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Nullum crimen nulla poena sine lege


Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Lex superiori derogat lege inferiori


Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, lihat dalam Pasal 7
UU No. 10 Tahun 2004.

Lex posteriori derogat lege priori


Peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. Pahami juga, lex
prospicit, non respicit.

Lex specialis derogat lege generali


Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum, lihat Pasal 1
KUHP.

Res judicata pro veritate habeteur


Putusan hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya.

Lex dura sed tamen scripta


Undang-undang bersifat memaksa, sehingga tidak dapat diganggu gugat.

Die normatieven kraft des faktischen


Perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normatif, lihat Pasal 28 UU No. 4
Tahun 2004.

Analisis – analisis :

• Nullum crimen nulla poena sine lege


Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya
Bahwa semua kejahatan yang terjadi diIndonesia adalah yang melanggar undang – undang .
karena pernyataan diatas menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang –
undangan yang mengaturnya,
jadi suatu tindak kejahatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila melanggar
undang – undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

• Lex superiori derogat lege priori


Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah , lihat dalam pasal 7
UU No.10 Tahun 2004

• Lex posteriori derogat lege priori


Peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya . pahami juga lex prospicit
, non res cipit.
• Lex specialis derogate lege generali
Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum , lihat Pasal
1 KUHD.

• Res judicata pro veritate habeteur


Putusan hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya

• Lex dura set tamen scripta


Undang – undang bersifat memaksa , sehingga tidak dapat diganggu gugat

• Die normatieven kraft des faktischen


Perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU No.4
tahun 2004

Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut
yaitu, asas legalitas, dan nasionalitas dan territorialitas.
1. Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-
undang yang telah ditetapkan.
2. Asas Nasionalitas
a. Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik hukum pidana Indonesia, mengikuti warga
negaranya kemanapun ia berada.
b. Nasionalitas Pasif
Asas yang menentukan bahawa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap perbuatan-perbutan yang
dilakukan di luar negeri.
3. Asas Territorialitas
perundang-undangan huukum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara,
yang dilakukan setiap orang, baik sebagai warga Negara Walaupun orang asing.

Asas-asas yang Mengikat Pejabat/Aparat Pemerintah antara lain: 1) Asas Kepastian Hukum; 2)
Asas Keseimbangan; 3) Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan Pangreh; 4) Asas
Bertindak Cermat; 5) Asas Motivasi untuk Setiap Putusan; 6) Asas Jangan Mencampuradukkan
Kewenangan; 7) Asas Permainan yang Layak; 8) Asas Keadilan dan Kewajaran; 9) Asas
Menanggapi Pengharapan yang Wajar; 10) Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang
Batal; 11) Asas Perlindungan dan Pandangan Hidup; 12) Asas Kebijaksanaan.

Azas hukum pembelaan diri, pada dasarnya adalah orang


boleh melakukan perbuatan melawan hukum bilamana
tindakannya itu dilakukan dalam rangka pembelaan
diri...
Dalam KUHP pasal 48 berbunyi :" barang siapa
> melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (
> Overmacht ), tidak dipidana ".
>
> Dan pembelaan terpaksa : KUHP pasal 49 berbunyi :"
> Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk
> pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan
> ketika itu yang melawan hukum , terhadap diri
> sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan
> kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri
> maupun orang lain, tidak di pidana."
>
> (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
> langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat
> karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
> dipidana."

Anda mungkin juga menyukai