Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pengertian Hukum Acara Pidana


Hukum Pidana materiil termuat sebagian besar dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP - Wetboek van Stafrecht voor Indonesia.
Staatsblad 1915 - 732 jis 1917 - 497, 645 yang berlaku tanggal 1 Januari 1918),
dan sebagian lain tersebar dalarn berbagai perundang undangan baik yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Hukum Pidana materiil yang berlaku di negara kita, seperti juga yang
berlaku di negeri Belanda, dikuasai oleh pembagian peristiwa pidana dalam
bentuk kejahatan dan pelanggaran. Pembagi an ini sebagai akibat dari
perbedaan antara delik hukum (rechtsdelict: untuk menunjuk kepada
kejahatan) dan delik undangundang (wetsdelict: untuk menunjuk kepada
pelanggaran).
Pembagian atas kejahatan dan pelanggaran oleh Pembentuk Undang-
Undang telah mematahkan atas pertanyaan atau keraguraguan "apakah suatu
perkara dapat dikenai hukuman termasuk bagian kejahatan atau bagian
pelanggaran"; dengan menggolongkan kejahatan dalam Buku II dengan
Kejahatan (misdrijven), dalam Buku III dengan Pelanggaran (overtredingen).
Terhadap peristiwa pidana dalam perundang-undangan khusus yang diancam
dengan hukuman, selalu dipertegas oleh Pembentuk Undang-Undang,
kualifikasi sebagai kejahatan atau sebagai pelanggaran.
Apabila dalarn perbuatan seorang tertentu menurut peraturan Hukum
Pidana merupakan peristiwa pidana yang diancam dengan pidana, maka
terjadilah gangguan keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hubungan
demikian, Hukum Pidana materiil yang dilanggar itu haruslah ditegakkan atau
dipertahankan.
Guna pelaksanaan penegakan Hukum Pidana materiil, maka diperlukan
peraturan hukum lain, di samping Hukum Pidana materiil, Peraturan hukum

1
yang dimaksud inilah yang disebut Hukum Pidana Fornial atau Hukum
Acara Pidana.
Negara Republik Indonesia kini telah memiliki dan memberlakukan
Hukum Acara Pidana yang bersifat nasional, yang bernama Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tertanggal 31 Desember 1981; undangundang tersebut lebih populer dengan
nama KUHP.

2. Sifat Hukum Publik pada Hukum Acara Pidana


Hukum Acara Pidana sangat berlainan dengan Hukum Acara Perdata.
Pada Hukum Acara Perdata adalah pertikaian mengenai kepentingan-
kepentingan khusus. Misalnya, orang yang merasa haknya dilanggar oleh
orang lain, maka orang yang melanggar hak tersebut dapat ditarik ke muka
pengadilan sebagai tergugat. Na; mun tidak semua pelanggaran hak
keperdataan oleh pihak pihak yang bersangkutan ditarik ke muka pengadilan.
Tidak jarang mereka menyelesaikannya dengan musyawarah dan mufakat
atau dengan perdamaian.
Pada Hukum Acara Pidana, sebaliknya pertikaian mengenai kepentingan
umum atau kepentingan masyarakat. Suatu perbuatan tertentu yang menurut
Hukum Pidana merupakan suatu peristiwa pidana yang diancam dengan
pidana adalah hak badan pemerintah untuk menuntut seseorang guna
diperiksa dan kemudian diadili untuk memperoleh hukuman pidana.
Misalnqa dalam peristiwa pencurian atau penggelapan, maka orang yang
menjadi korban pencurian atau penggelapan merasa berkepentingan atas
dituntutnya si pencuri atau orang yang menggelapkan barangnya. la akan
merasa lega apabila si pelanggar hukum itu mendapatkan hukuman yang
setimpal. Namun terhadap pelanggaran hukum dan undang-undang, ditunjuk
penuntut umum untuk menegakkan Hukum Pidana materiil. Hanya untuk
beberapa hal yang khusus, yaitu delik aduan, penuntut umum hanya dapat
menuntut sesudah diajukan pengaduan pihak yang berkepentingan.

2
Dalam menjalankan Hukurn Acara Pidana dalam praktek, pada
hakikatnya ada dua kepentingan yang harus diperhatikan. yakni :
a. kepentingan masyarakat atau umum, bahwa si pelanggar terhadap suatu
peraturan hukum pidana harus mendapatkan hukuman yang setimpal
dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat atau umum;
b. kepentingan individu yang dituntut, bahwa seorang yang dituntut harus
diperlakukan secara adil, secara layak sebagai manusia; artinya ia harus
dilindungi akan hak-hak asasinya sebagai manusia dalam keseimbangan
dengan kepentingan masyarakat atau umum tadi.
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana baru, lebih -memberikan jaminan
dan penghormatan terhadap harkat dan martabat rnanusia yang dalam hal ini
mempunyai sifat universal, dan karena itu. terdapat perbedaan yang
mendasar antara KUHAP dan HIR.

3. Sifat Inkisitor dan Akusator


Sifat akusator ialah asas. bahwa dalam Hukum Acara Pidana, pendakwa
(penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya,
melakukan "pertarungan." (rechtsstrijd) di muka hakim yang tidak berpihak.
Berlawanan dengan asas akusator adalah asas inkisitor. Dalam asas ini
hakirn sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri
bertindak sebagai orang yang mendakwa. Orang yang mendakwa dan hakim
disatukan dalam satu orang. Dalam acara akusator terdapat 3 "subjek acara"
(prosessubjccten) yaitu: orang yang mendakwa, terdakwa dan hakim.
Sedangkan dalam acara inkisitor hanya terdapat dua orang yaitu: terdakwa
dan hakim. Sebenarnya dalam acara yang terakhir, terdakwa bukan lagi
subjek acara, bukan pendukung hak. Dalam teori, ia berhadap an dengan
hakim sebagai pihak yang sama haknya, tetapi di dalam praktek ia dibuat
sebagai objek pemeriksaan hakim. Hakiin tidak bertindak sebagai pihak
ketiga yang tidak berpihak.
Di negeri Belanda sebelum tahun 1921, Hukum Acara Pidana ya
sebagian bersifat akusator dan sebagian bersifat inkisitor. Pada

3
pemeriksaan yang bersifat inkisitor, tersangka bukan sebagai pi hak
melainkan sebagai objek, yang tidak mempunyai hak. la tidak mempunyai
hak untuk dibantu oleh penasihat hukum, ia tidak mempunyai hak untuk
memanggil saksi. Penyidikan bersifat rahasia, terhadap tersangka, hakim
komisaris yang memeriksa tidak perlu memberitahukan lebih dari apa yang
dipandang layak olehnya.
Tetapi keadaan itu berubah dengan Hukurn Acara tahun 1921 yang
memberikan sifat akusator dalam pem.eriksaan pendahuluan; kepada
tersangka diberikan hak-hak sebanyak mungkin sepanjang dapat
disesuaikan dengan syarat-syarat pemeriksaan kehakiman yang semestinya.
Dalam Hukum Acara tahun 1921, dalam. pemeriksaan pendahuluan,
tersangka dapat meminta bantuan hukum seorang penasihat hukum',
walaupun ia berada dalam tahanan, kecuali hakim komisaris memandang
ada alasan yang penting. Penasihat hukum dapat menghadiri segala tanya
jawab yang dilakukan antara hakim komisaris dan tersangka serta saksi-
saksi. Penyidikan tidak bersifat rahasia,- dan tersangka dapat memanggil
saksisaksi.
Di Inggris, kelompok sistem Anglosaksen, para petugas dalam
menjalankan proses pemeriksaan perkara pidana, lebih memperlihatkan
penonjolan pada jaminan kepentingan hukum perorangan dan hak-hak asasi
manusia. Perumusan ketentuan Hukum Acara Pidana mencerminkan sendi-
sendi hukum berdasarkan Habeas Corpus dan Rule of Law. Spektrum Hukum
Acara Pidana dalam sistem Anglosaksen dengan jelas mengatur pemeriksaan
dan keputusan perkara pidana berlandaskan due process model, dan men-
jalankan kegiatan proses perkara pidana bersifat akusator, yang memandang
tersangka dan terdakwa sebagai salah satu subjek dalam proses perkara
pidana.
Hak-hak dan jaminan hukum seseorang dalam proses pidana mulai
terkenal di Inggris dalam artikel 39 Magna Charta tahun 1215 dan diperluas
lebih lanjut dalaln penerapan hukum yang terkenal due process of law. Raja

4
James I memperkenalkan untuk pertama kali di Amerika dalam nJmusan
piagam "Charter of Virginia I" tahun 1709. '
Di Amerika Serikat, yang menganut sistem juri, tidak berlaku sistem
akusator murni. Hakiln mengumpulkan bukti-bukti, kemudian memberikan
komentar atas bukti-bukti tersebut. Dengan demikian, ia dapat memanfa3tkan
pengalaman dan kecakapannya membantu jari untuk menemukan putusan
yang tepat. Apahila hakim melaksanakan hak prerogatifnya unhlk memberikan
komentar, ia telah meninggalkan peranannya sebagai wasit (referee) dan
penilaiannya terhadap bukti-bukti dapat menjadi pengaruh besar bagi juri
karena jurimenghormati posisi hakim.
Di Indonesia sebelum berlakunya KL'IIAP, jadi sebelum tahun 1981,
yang berlaku Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan Reglemlen Indonesia
yang diperbaharui atau Het Heraiene In landsch Reglement (Staatsblad Tahun
1941 Nomor 44) bentuk proses Hukum Acara Pidana sebagian bersifat
akusator dan sebagian bersifat inkisitor. Pemeriksaan pendahuluan bersifat
inkisitor, tersangka diperlakukan sebagai objek pemeriksaan. Tersangka tidak
ada hak untuk meminta bantuan seorang penasihat hukum, tidak mempunyai
hak untuk memanggil atau meminta didatangkan saksi yang bersifat
meringankan. Pemeriksaan pendahuluan bersifat rahasia, dan tertutup. Hak
meminta bantuan penasihat ukum baru diberikan pada waktu pemeriksaan di
persidangan pengadilan.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tenfang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara dan UndangUndang Nomor 15
Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik
Indonesia, kedudukan tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan tidak
berubah, ia tetap menjadi objek pemeriksaan pengusutan. Jadi, keadaan
pemeriksaan pendahuluan pada masa HIR berlaku seperti keadaan
pemeriksaan pendahuluan di negeri Belanda sebelum lahirnya Undang-
Undang Hukum Acara tahun 1921.
Dalam pemeriksaan yang bersifat rahasia dan tertutup, tersangka menjadi
objek pemeriksaan pengusutan dan tersangka tidak diberikan hak-hak

5
sebagaimana layaknya sebagai orang yang masih dalam dugaan atau sangkaan
bersalah melakukan tindak pidana, sehingga prinsip presumption of innocent
sebagai asas dalam Hukum Acara Pidana yang memberikan jaminan seseorang
untuk berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya di
muka persidangan, tidak diterapkan dalam pemeriksaan pendahuluan
pengusutan. Oleh karena itu, sistem HIR menganut sistem inkisitor.
Kelahiran KUHAP membawa angin baru yang merupakan bentuk formal dari
usaha manusia Indonesia mengubah wajah masyarakat Indonesia menjadi lebih
berperikemanusiaan. Dua kepentin
gan yang dipadukan dan diselaraskan, yakni kepentingan tersangka/terdakwa
sebagai individu dengan perlindungan hak-hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat dengan perlindungan pada ketentraman dan bebas dari gangguan
kejahatan bagi semua orang warga masyarakat.
KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 mengalami
perubahan yang mendasar dalam s±stem peradilan yang tidak duumpai dalam HIR.
Perubahan mendasar ini mempengaruhi sistem penyidikan.
Di bidang penyidikan, penibahan mendasar itu terlihat antara lain sebagai
berikut :
a. Sistem peradilan pidana mengutamakan perlindungan hak asasi manusia, dalam
hal ini masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya, yang dalarn
bidang penyidikan dinyatakan antara lain dengan jaminan hak-hak tersangka
dan perlakuan secara layak sebagai subjek acara.
Sebagai konsekuensiperlindungan terhadap harkat dan mar tabat manusia,
bersumber pada asas "praduga tak bersalah" adalah sewajarnya tersangka atau
terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib mendapat hak-haknya, antara
lain: hak segera mendapatkan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.
Sesuai dengan asas praduga tak bersalah, maka beban pembuk tian terletak
pada penuntut umum yang mengajukan dakwaan. Oleh karena itu, penuntut
umum wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat-alat bukti sah,
yang diperkenankan oleh KUHAP (pasal 184).

6
b. Sesuai dengan fungsi dan wewenang serta tanggung jawab masing-masing
bidang, KUHAP mengadakan spesialisasi, deferensiasi dan
kompartemensasi, serta jenis pelaksanaan dan pembagian tugas antara
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam pelaksanaan penegakan hukum.
b.1. Kedudukan 'Kepolisian sebagai penyidik tunggal yang mandiri yang
berkewajiban mengadakan koordinasi penyidik pegawai negeri sipil
dengan memberikan pengawasan, petunjuk, dan bantuan.
b.2. Kedudukan Kejaksaan sebagai penuntut umum yang dalam KUHAP
diatur wewenang penuntut umum. Dikatakan Kejaksaan merupakan
suatu kesatuan, karena ia terdiri atas pejabat-pejabat yang tersusun
secan hierarki dari bawah sampai ke atas, sedemikian rupa bahwa
pejabat lingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah kepada
pejabat bawahan di dalam melaksanakan tugas jabatan mereka.
b.3. Kedudukan hakim sebagai pejabat peradilan negara diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili. Kekeuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas, dari campur
tangan pihak-pihak di luar kekuasaan Kehakiman.
Hanya batas dan isi dari kebebasan itu dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan politik, ekonomi, dan sebagainya.
c. Lembaga Bantuan Hukum merupakan kebutuhan praktek Kehadiran
bantuan hukum dalam proses pidana adalah salah satu prinsip dari negara
hukum, yang dalarrl taraf pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan
menentukan untuk keperluan menyiapkan pembetaan tersangka, tenztama
sejak ia ditangkap dan atau ditahan. Pengalaman menunjulckan bahwa
sekalipun tersangka dalam proses pidana adalah seorang ahli hukum yang
cakap dan terampil, tetapi jika secara pribadi "kena" perkara pidana, mau
tak mau ia membutuhkan bantuan hukum dari penasihat hukum.
Hakim sebagai penjabat negara yang tidak memihak, dengan
wewenangnya mengadili sengketa hukum dengan berlandas kan hukum,
undang-undang, dan keadilan. Pemeriksaan tingkat pengadilan dapat
dikontrol oleh umum. Pemeriksaan tingkat ini bersifat akusator.

7
d. Di samping jaminan dan hak-hak tersangka, terdakwa dan ter pidana
tersebut di atas, KUHAP masih memberikan hak kepada tersangka,
terdakwa, dan terpidana yakni hak menuntut ganti kerugian dan hak
memperoleh rehabilitasi.
Itulah gambaran dari KUHAP kita, yang bilamana dibanding dengan
Hukum Acara Pidana di lain negara mempunyai kedukan yang sejajar, oleh
karena di dalamnya mengandung prinsip-prinsip yang bersifat universal.
Atas dasar beberapa hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa rumusan Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut :
Dasar filsafat: Landasan pemikiran Hukum Acara Pidana (KUHAP) ialah:
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar
Haluan Negara.
Dasar konstitusional : Menertibkan badan-badan penegak hukum sesuai dengan
fungsi dan wewenang masing-masing dan dibagi menjadi tahap
penyidikan, tahap penun tutan, tahap pemeriksaan sidang
pengadilan, dan tahap pelaksanaan hukuman.
Dasar operasional: Diterapkan prinsip universal, yakni :
1. asas praduga tak bersalah
2. sistem inkisitor lunak dan akusator dalam tingkat
pemeriksaan; .
3. tersangka sejak ditangkap, dan ditahan berhak
mendapatkan bantuan hukum dan menghubungi penasihat
hukum serta menghubungi keluarga dan rohaniwan;
4. asas persamaan dalam hukum
5. asas ganti kerugian dan rehabilitasi;
6. asas pembatasan waktu dalam penangkapan dan
penahanan serta penjenisan penahanan;
7. asas upa.ya hukum yang biasa maupun yang luar biasa
8. asas bantuan hukum;
9. asas pengawasan dalam pelaksanaan putusan.

8
4. Sumber Hukum Acara Pidana
Sumber yang terpenting dari Hukum Acara Pidana Positif ialah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang disahkan pada tanggal 31
Desember 1981 dan diundangkan pada tanggal itu juga, termuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, dan mulai
berlaku pada tanggal 31 Desember 1981 dengan menggantikan Het Herziene
Inlandasch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951, Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81 beserta seniua
peraturan pelaksanaannya.
Di samping KUHAP sebagai sumber pokok, masih terdapat sumber
hukum acara lain yang tersebar dalam beberapa perundang-undangan,
seperti :
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316).
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kepolisian Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 245, Tambahan Lernbaran Negara Nomor 2289)
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kejaksaan (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomar 245, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2298)
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tattlbahan Lembaran Negara
Nomor 2951).
5. Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3316).
6. Beberapa perundang-undangan yang memuat ketentuan-ketentuan khusus
acara pidana, seperti :

9
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2958).
b. Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 27).
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 101)
d. Perundang-undangan lain yang memuat ketentuan khusus acara pidana.
Selain kedua hal tersebut, masih ada sumber Hukum Acara Pidana merupakan
putusan Mahkamah Agung, sebagai yurisprudensi tetap.

5. Sendi-sendi Universal dalam KUHAP


Sendi-sendi universal merupakan asas-asas yang menjadi dasar bagi hukum
acara pidana terlepas dari sistem hukum dari negara yang bersangkutan.
Negara, Eropa kontinental yang menganut sistem hukum civil (civil law),
negara Anglosaksen yang menganut sistem hukum adat (common law),
Indonesia yang menganuf sistem hukum adat dan negara-negara lainnya
dengan sistem yan lain pula, semuanya menerapkan asas universal dalam
hukum acara pidananya masing-masing.
a. Pengakuan dan perlindungan manusia
Mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang
tercermin dalam hukum acara pWana KUHAP, ialah :
1) Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas ini
disebut dalam pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970 dan Penjelasari Umum
angka 3 huruf c, yang berbunyi : "Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap."

10
2) Asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukurn
dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. Asas ini disebut
dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf a, juga disebut dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan pasal 14 dari The
International Convenent on Civil and Political Rights.
Oleh karena itu KUHAP tidak mengenal adanya forum privilegiatum,
yang berarti terdakwa berdasarkan kedudukan atau pangkatnya harus
menghadap kepada hakim yang lebih tinggi daripada menurut ketentuan-
ketentuan biasa dari peraturan susunan kehakiman.
Pengadilan juga tidak membedakan warna kulit (ras), agama atau
keyakinan, kaya atau miskin dan lain sebagainya. Semua orang adalah
sama di muka hukum.
3) Asas diberitahu dakwaaan dan dasar hukum dakwaan ke pada
tersangka, sejak ia ditangkap atau ditahan, dan hak menghubungi
penasihat hukum.
Asas ini disebut dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf 9. Asas ini
berkaitan dengan pasal 21 KUHAP, yang meletakkan dasar dapat atau
tidaknya tersangka atau terdakwa dikenakan penahanan, sedangkan
dengan pasal 16 KLIHAP, yang meletakkan dasar wewenang
penangkapan.
4) Asas diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum yang
semata-mata guna mempersiapkan pembelaanya. Asas ini disebut
dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf f. sesuai dengan sila
Perikemanusiaan yang adil dan beradab, maka seorang tersangka harus
diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan selama
belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah. Karena itu
untuk kepentingan pembelaannya, maka tersangka harus diberikan
kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum guna persiapan
pembelaannya.

11
b. Asas legalitas penguasa/pemerintah cq aparatur negara yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal adanya dua asas dalam
penuntutan, yakni asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legali tas,
berarti bahwa penuntut umum wajib melakukan pelluntutan suatu tindak
pidana. Asas oportunitas, berarti penuntut umum tidak wajib melakukan
penuntutan suatu tindak pidana, jika me nurut pertimbangannya alcan
merugikan kepentingan umum. "
Arti "asas legalitas" dalam Hukum Acara Pidana tidak sama dengan
pengertian "asas legalitas" dalam Hukurn Pidana Materiil yang dalam
Ilmu Hukum disebut nullum delictum nulla poenasine praeviu lege
puenali. Ungkapan ini berasal unri seorarig sar7ana hukum pidana
Jerman, bernama Anselm von Feuerbach (1775--; 1833) dalam bukunya
Lehrbuch des peinlichen Rechts, 1801.
Asas nullum detictum tersebut kemudian dimasukkan WE dalam pasal
8 dari Declaration du droit de 1'homme et du citoyen dan dalam pasal 4
Code Penal.
Berkenaan dengan asas legalitas dalam bidang penuntutan ini maka
segala tindakan kepolisian yaitu : penangkapan, pemahan penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan surat dan tindakan-tindakan lainnya hanus
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pebat yang diberi wewenang
oleh undang-undang dan dalam hal rta dengan cara yang diatur menurut
undang-undang.
1) Asas perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang.
Asas ini disebutkan dalam pasal 7 UU No. 14 Thn. 1970 dan
Penjelasan Umum angka 3 huruf b sebagai berikut, "Penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang dan hanya dalarn hai dan dengan cara yang diatur
dengan undang-undang."

12
Undang-undang yang dimaksud ini ialah KUHAP.
2) Asas ganti kerugian dan rehabilitasi
Asas ganti kerugian dan rehabilitasi disebut dalam pasal 9 UU No. 14
Thn. 1970 dan Penjelasan Umum angka 3 huruf d, yang selengkapnya
berbunyi sebagai berikut : Kepada seorang yang ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja
atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut
dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman
administrasi.
Asas tersebut kemudian menjelma menjadi rumusan dalam KiJHAP
dalam bentuk: Bab X tentang Wewenang Pengadilan untuk mengadili,
Bagian kesatu: tentang Praperadilan, dari pasal 77-$3 dan Bab XI1
tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, bagian kesatu tentang Ganti
Kerugian dari pasal 95-96, Bagian kedua teniang Rehabilitasi dari pasal
97.
c. Asas terjaminnya peradilan bebas
Asas peradilan bebas ini disebut dalam UUD 1945 dalam pasal 24
dan 25 berikut penjelasannya. Penjelasan atas pasal 24, 25 ber. bunyi
sebagai berikut: "Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu harus
diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukannya para
hakim."
Rumusan pasal 24 dan 25 Tahun 1945, kemudian akan menjadi UU
No. 14 Thn. 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
kehakiman. Dalam kaitannya dengan "peradilan bebas" maka penulis
mengetengahkan salah satu pasainya, yakni pasal 4 ayat (3) yang
berbunyi, "Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-

13
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
yang tersebut dalam UUD."
Yang dimaksudkan pada kalimat terakhir ini ialah apa yang disebut
oleh pasal 14 UUD yang berbunyi, "Presiden memberi grasi, I amnesti,
abolisi dan rehabilitasi."
Jadi apa yang dirumuskan di atas memuat asas-asas lain yakni :
- asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan;
- asas peradilan jujur dan tidak memihak.
1) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Asas ini disebutkan dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Thn. 1970, yang
berbunyi, "Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan."
2) Asas peradilan jujur dan tidak memihak
Maksud dari asas ini, agar penegak hukum dan keadilan dalam
menjalankan tugasnya berlaku seadil-adilnya dan tidak berat sebelah.
Supaya keadilan dijalankan seobjektifobjektifnya diadakan beberapa
ketentuan yang memberikan jaminan tersebut, antara lain :
a. Diwajibkan supaya pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka
untuk umum oleh sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali
apabila undang-undang menentukan lain.
b. Diwajibkan kepada hakim yang masih terikat dalarri hubungan
kekeluargaan tertentu dengan terdakwa, ketua, hakim anggota lain,
jalcsa dan panitera dalam suatu perkara terteritu untuk
mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu. Hak itu disebut hak
ingkar.
c. Pemberian bantuan hukum kepada tersangka terutama semenjak
seseorang dikenakan penangkapan dan atau penahanan.
d. Diadakannya kemungkinan untuk mengganti kerugi an serta
rehabilitasi seseorang yang ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

14
3) Asas hadirnya terdakwa dalam sidang
Asas ini disebut dalam Penjelasan Umum Maksud asas ini dalam
kaitannya bahwa pemeriksaan oleh penyidik maupun oleh hakim pidana,
dilakukan secara langsung dan dengan lisan. Dalain beracara pidana
tidak diadakan sistem perwakilan ataupun kuasa, seperti dalam beracara
perdata di muka pengadilan. Demikian pula pem bacaan putusan hakim,
selalu dihadiri terdakwa untuk mendengar bunyi putusan secara
langsung.
Pengecualian dalam hukum acara pidana khusus, seperti Undang-
Undang Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi dau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak
Pidana Korupsi, di perkenankan proses pemeriksaan hakim tanpa
kehadiran terdakwa. Pemeriksaan sernacam ini dikenal dengan nama
peradilan "in absentia".
4) Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
Asas ini disebut dalam pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 1910 dan dalam
Penjelasan umum angka 3 huruf i, yang berbunyi sebagai berikut,
"Sidang pemeriksaan pengadilan adilah terbuka untuk umum, kecuali
dalam hal yang diatt dalam undang-undang."
Apabila asas sidang pemeriksaan pengadilan tidak dijalankan, maka
mempunyai akibat batalnya putusan menurut hukum.
Pengecualian atas asas ini ialah dalam sidang pemeriksaan yang
menyangkut kesusilaan, misalnya perkara zinah, dan perkara yang
terdakwanya adalah anak-anak di bawah umur. Maka dalam hal demikian
pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup, akan tetapi dalam pembacaan
putusan selalu dinyatakan persidangan terbuka untuk umum.
Dalam KUHAP asas tersebut dirumuskan dalam pasal 153 ayat (3) dm
ayat (4).
d. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan
Dalam UU No. 14 Thn. 1970, Bab VI tentang Pelaksanaan Putusan
Pengadilan, disebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam

15
perkara pidana dilakukan oleh jaksa (pasal 33 ayat 1) dan pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan uleh Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan (ayat 2). Ayat (4) memberikan
ketegasan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan
supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap dipelihara.
Dalam bab XX tentang Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan
Pengadilan, pasal 277-283, hakim sebagai pengawas dan pengamat
merupakan lembaga baru yang tidak terdapat dalam HIR.
Lembaga ini dikenal juga di Portugal, Italia, Jerman Barat, dan Brazilia. Di
negeri Belanda baru dimulai dengan Executie rechter (hakim pelaksana).
Dengan adanya Hawasmat diharapkan kesenjangan (gap antara putusan
dan pelaksanaan pidaria di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kenyataan di
luar dapat dijembatani, jika narapidana dipekerjakan. Bagi hakim, hakim akan
mengikuti evaluasi narapidana dalam lembaga dan dapat aktif memberikan pen
dapatnya dalam pelepasan bersyarat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan
tercapai." Di lain pihak dengan pengalaman sebagai Hawasmat, hakim dalam
memberikan putusan yang akan datang akan lebih mendekati keadilan, yang
dilandasi oleh perikemanusiaan.

16
PENYERAHAN PERKARA KEPADA PENGADILAN

1 Perkara Sudah Lengkap


Apabila penuntut umum berpendapat, bahwa hasil pemeriksaan penyidik sudah
lengkap, artinya sudah terkumpul bahan-bahan keterangan dan alat-alat bukti kepada
pengadilan guna menjatuhkan hukuman pidana kepada tersangka maka penuntut
umum segera menyerahkan perkaranya kepada Pengadilan Negeri yang berwenang.
Hal cukup atau tidaknya bahan-bahan keterangan dan alat bukti tersebut harus
dipertimbangkan oleh penuntut umum secara objektif dengan mengingat kepentingan
masyarakat dan berdasarkan kebenaran sejati (materiil).
Apabila penutut umum berpendapat bahwa kecukupan bahan keterangan dan alat
bukti tidak terdapat atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum, maka penuntut umum menuangkan dalam surat ketetapan (pasal
140 ayat (2) huruf a). Dengan demikian. penuntut umum berarti tidak melakukan
penuntutan di muka pengadilan. Dan apabila tersangka ditahan, penuntut umum
wajib segera melakukan tindakan membebaskan tersangka tersebut (pasal 140 ayat
(3)).
Pasal 140 ayat (2) menyebutkan tiga alasan. penuntut umum mengambil
tindakan tersebut. yakni:
1. Tidak terdapat cukup bukti.
Dengan ketidak cukupan bukti yang memberatkan tersangka, berarti tidak cukup
meyakinkan hakim bahwa tersangka diduga melakukan tindak pidana yang
didakwakan.
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. Dengan perkataan
lain, peristiwa tersebut merupakan perkara perdata atau perkara lain; selain
tindak pidana, misalnya perkara tata usaha negara.
3. Perkara ditutup demi hukum.
Hal ini berkaitan dengan buku I bab VIII, tentang hapusnya Hak Penuntutan,
dari pasal 76, 77, dan 78 KUH Pidana.

17
Pasal 140 tidak punya wewenang penuntut umum, akan tetapi mewajibkan ia
untuk menghentikan penuntutannya dan dengan demikian ia tidak melimpahkan
perkaranya ke pengadilan (pasal 14 huruf h, jo pasal 140 ayat (2) huruf a).
2 Tiga Cara Penyerahan Perkara
Kewenangan penuntut umum untuk menyerahkan atau melimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dilandasi oleh pasal 14 huruf e. jo pasal 140 ayat
(2). Penyerahan dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni:
1. dalam acara pemeriksaan biasa;
2. dalam acara pemeriksaan singkat;
3. dalam acara pemeriksaan cepat.
2.1 Acara pemeriksaan biasa
Cara penyerahan, ini disebutkan dalam pasal 140 ayat (1) jo 143 ayat (1),
penuntut umum melakukan tindak pidana ke pengadilan, disertai surat dakwaan,
supaya perkaranya diajukan dalam sidang pengadilan untuk diperiksa selanjutnya.
Surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani berisi :
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan, yaitu perbuatan-perbuatan yang didakwakan sesuai dengan bunyi
peraturan hukum pidana yang mengancam perbuatan-perbuatan itu dengan
hukuman pidana;
c. menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (pasal 143 ayat (2)).
Apabila pada waktu penyerahan perkara terdakwa sudah ditahan, maka penuntut
umum dapat menuntut agar penahanannya diteruskan. Pejabat pada tiap-tiap
tingkatan pemeriksaan. Berdasarkan pasal 29, berwenang untuk memperpanjang
penahanan. Namun atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut
umum atau hakim, sesuai dengan wewenang masing-masing, dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan (pasal 31 ayat (1)). Sebaliknya, karena jabatan
penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut

18
penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) di atas (pasal 31 ayat (2).
2.2 Acara pemeriksaan singkat (summier)
Cara penyerahan ini disebutkan dalam pasal 203 ayat (1) apabila penuntut umum
berpendapat bahwa perkaranya mudah dalam penerapan pembuktian dan hukumnya,
serta sifatnya sederhana dan perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan pasal 205. Dalam acara pemeriksaan singkat, penuntut umum dapat
mengajukan perkaranya langsung di depan hakim sidang. Biasanya hakim-hakim
telah menyediakan hari sidang tetap pada hari-hari tertentu (roldag).
Dalam pemeriksaan singkat, penuntut umum tidak membuat surat dakwaan
secara tertulis tetapi ia memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada
terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya, dengan menerangkan
waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan
ini sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat (3) huruf a. l dan 1.2).
Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan
pemeriksaan tambahan dalam waktu 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut
penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan maka hakim
memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan secara biasa . (pasal
203 ayat (3) huruf b.).
2.3 Acara pemeriksaan cepat
KUHAP membagi acara pemeriksaan cepat menjadi dua bagian yakni :
1. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan (pasal 205 - 210);
2. Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan (pasal 211-216).
Yang dimaksud tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana
penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya
tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Yang dimaksudkan pelanggaran
lalu lintas jalan ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-
undangan lalu lintas jalan.
Dalam perkara tindak pidana ringan penyidik atas kuasa penuntut umum
menghadapkan terdakwa, barang bukti, saksi dan ahli dan atau juru bahasa ke sidang
pengadilan (pasal 205 ayat (2)). Dalam acara ini pengadilan mengadili dengan hakim

19
tunggal dalam tingkat pertama dan tingkat akhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan terdakwa dapat meminta pemeriksaan banding, sedang
penuntut umum tidak menghadiri sidang (pasal 205). Para saksi tidak disumpah, ke-
cuali jika dianggap perlu oleh hakim (pasal 208).
Dalam perkara pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik hanya mengirimkan catatan-
catatan dan selanjutnya bersama dengan berkasnya dikirimkan ke pengadilan selambat-
lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama (pasal 212). Terdakwa dalam sidang
ini dapat menunjuk wakilnya (pasa1213).
Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir, perkara diputus dengan verstek (tanpa
hadirnya terdakwa) dan perlawanan dapat diajukan dalam waktu tujuh hari setelah
putusan diucapkan oleh hakim. Jika putusan setelah mengajukan perlawanan tetap
berupa pidana, sedang sebelumnya terdakwa tidak hadir telah dijatuhi pidana
perampasan kemerdekaan, maka terhadap putusan tersebut terdakwa dapat
mengajukan banding (pasal 214 ayat (8)). Terhadap keadaan demikian. penuntut
umum tidak perlu membuat kontra memori karena tidak ada ketentuan yang mengatur
ini.

20
TINDAKAN PERMULAAN DARI KETUA DAN HAKIM PENGADILAN
NEGERI

1. Kompetensi
Dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Bab I pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas :
mengadakan penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang .
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang, Hukum Acara
Pidana, Bab XV pasal 137 disebutkan bahwa penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa rnelakukan suatu tindak
pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang
berwenang mengadili.
Dari kedua ketentuan di atas mengandung asas tentang ke kuasaan mengadili
atau juga disebut kompetensi. Mengenai kompetensi atau hak kekuasaan
mengadili ini dibedakan antara :
1. Kompetensi mutlak atau absolute competentie atau juga disebut attributie van
rechtsmaeht
Yaitu mengenai kekuasaan mengadili yang diberikan oleh pembentuk undang-
undang pada satu jenis pengadilan tertentu; kekuasaan mutlak menjawab
pertanyaan “Apakah satu perkara masuk hak kekuasaan Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Agama adalah mengenai kompetensi mutlak antara hakim
Pengadilan Negeri dan hakim Pengadilan Agama.”
2. Kompetensi relatif atau relatieve competentie atau juga disebut distributie
van rechtsmacht atau kekuasaan nisbi Yaitu mengenai kekuasaan antara dua
pengadilan yang sejenis berhubung dengan daerah hukum masing-masing.
Kekuasaan relatif menjawab pertanyaan Pengadilan Negeri mana yang berhak
mengadili satu perkara.” Misalnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau
Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
1.1. Kompetensi mutlak
Hak kekuasaan mengadili dalam perkara dalam perkara pidana pada tingkat
pertama ialah; 1. Pengadilan Negeri, 2. Pengadilan tentara.

21
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hakim tahu akan hukumnya.
1.2 Kompetensi relatif
Apabila sudah terang bahwa berhubung dengan kompetensi relatif Pengadilan
Negeri yang harus mengadili perkaranya, penuntut umum harus memikirkan apakah
tidak Pengadilan Negeri lain yang berkuasa mengadili berhubung dengan daerah hukum
masing-masing? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikaji ketentuan dalam
pasa184, 85, 86, 87 dan 88.
Dalam Bab X tentang Wewenang Pengadilan untuk mengadili, bagian kedua
mengenai Pengadilan Negeri, terdiri atas pasal 84 sampai pasal 86, dan bagian ketiga
mengenai Pengadilan Tinggi, terdiri atas pasal 87 serta bagian keempat mengenai
Mahkamah Agung terdiri atas pasal 88.
Untuk lebih jelasnya, dikutip ketentuan pasal 84 dan seterusnya sebagai berikut:
Pasal 84 ayat (1): Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara
mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
Ayat (2): Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan
Negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam
daerah tindak pidana itu dilakukan.
Ayat (3): Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam
daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu
masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
Ayat (4): Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut
pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai
Pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan
ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
Pasal 85: Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu Pengadilan Negeri
untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan atau Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan

22
kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk Pengadilan
Negeri lain daripada yang tersebut dalam pasal 84 untuk mengadili perkara
yang dimaksud;
Pasal 86 : Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang davat
diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang berwenang mengadilinya
Pasal 87: Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh
Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Pasal 88: Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang
dimintakan kasasi.
Meskipun tidak dinyatakan dengan tegas dalam pasal 84, bahwa Pengadilan
Negeri pada tingkat pertama berwenang mengadili tindak pidana, namun dari
pasal 87 dan 88 dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri adalah pengadilan
tingkat pertama, sedang Pengadilan Tinggi merupakan hakim banding dan Mah -
kamah Agung merupakan hakim kasasi untuk segala perkara pidana.
Pasal 85 merupakan pengecualian dari kompetensi relatif, oleh karena
menurut pasal 85 bilamana keadaan daerah tidak mengizinkan maka atas usul
Kejaksaan Negeri atau Ketua Pengadilan yang bersangkutan, Mahkamah Agung
mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk
Pengadilan Negeri lain yang disebutkan dalam pasal 84. Jadi, Pengadilan Negeri
yang ditetapkan atau ditunjuk merupakan pengadilan yang definitif berkuasa
mengadili suatu perkara pidana.
Kemudian, pasal 84 juga merupakan pengecualian dari kompetensi relatif
karena semua tindak pidana yang dilakukan di luar negeri yang berwenang
mengadili hanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang ditunjuk oleh pembentuk
undang-undang. Hukum Pidana di Indonesia dalam hubungan ini mengikuti asas
personalitas aktif dan asas personalitas pasif.
2. Sengketa Wewenang Mengadili
Dalam Bab XVI bagian kedua tentang sengketa wewenang mengadili, terdiri
atas pasal 147 sampai pasal 151 dan dalam pasal 150 - 151 diatur sengketa
wewenang mengadili, yaitu :

23
a. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas
perkara yang sama;
b. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara yang sama,
Maka Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua
Pengadilan Negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya (pasal 151
ayat 1).
Tetapi jika sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan dari dua daerah
hukum Pengadilan Tinggi yang berlainan, maka Mahkamah Agung memutus pada
tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari
lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua Pengadilan Negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum
Pengadilan Tinggi yang berlainan;
c. antara dua Pengadilan Tinggi atau lebih (pasal 151 ayat 2).
Apabila suatu pekara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan akan tetapi Ketua
Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara yang bersangkutan tidak termasuk
wewenang -pengadilan yang dipimpinnya tetapi termasuk wewenang Pengadilan
Negeri lain yang dianggap lebih berwenang mengadili, maka ia membuat surat
penetapan (pasal 148 ayat 1). Kemudian, surat pelimpahan tersebut diserahkan
kembali kepada penuntut umum, dan Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
melimpahkannya kepada Kejaksaan Negeri yang tercantum dalam surat penetapan
(pasal 148 ayat 2).
Penuntut umum dalam hubungan ini dapat mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima
penetapan dan Pengadilan Negeri dalam waktu tujuh hari setelah menerima
keberatan penuntut umum meneruskan perlawanan itu kepada Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Tinggi setelah menerima perlawanan itu harus memutuskan dalam waktu
empat hari, baik menguatkan perlawanan atau menolak perlawanan (pasal 149 ayat 1,
2, 3, 4).

24
Dalam kaitan dengan perlawanan ini, apakah terdakwa dapat mengajukan
keberatan yan sama seperti penuntut umum, tidak dijelaskan oleh KUHAF.
3. Pemanggilan Terdakwa dan Saksi
Apabila pengadilan berpendapatan bahwa surat pelimpahan perkara dan
perkaranya termasuk wewenangnya maka ketua pengadilan menunjuk hakim untuk
menyidangkan perkara tersebut, kemudian hakim yang bersangkutan menetapkan hari
sidang (pasal 152 ayat 1). Dalam penetapan hari sidang, hakim sekaligus meme-
rintahkan kepada penuntut umum agar memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di
siding pengadilan (pasal 152 ayat 2). Dalam kaitannya dengan perintah hakim tersebut,
maka penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa.
Dalam pasal 145 dan 146 menetapkan syarat-syarat sahnya surat panggilan kepada
terdakwa maupun saksi-saksi; tiap surat panggilan harus memuat: tanggal. Hari serta
jam sidang dan dalam kedudukan sebagai apa ia dipanggil. Surat panggilan harus
diterima yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
a. Jika terdakwa ditahan, surat panggilan disampaikan di :
1. alamat tempat tinggal atau
2. tempat kediaman terakhir dalam hal alamat tempat tinggal tidak diketahui, atau
3. melalui kepala desa, jika ia tidak ada di alamat tempat tinggal maupun tempat
kediaman terakhir;
4. bila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal surat
panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang
bersangkutan.
b. Jika terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Negara, surat panggilan disampaikan
kepada pejabat Rutan.
Tiap penerunaan wajib dilakukan dengan tanda terima.
Sebelum sampai pada bab lain, perlu diketahui bahwa surat dakwaan untuk
terdakwa disampaikan saat bersamaan penuntut umum menyerahkan atau
melimpahkan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan ke Pengadilan Negeri
yang berwenang, ia menerima turunan surat pelimpahan dan surat dakwaan (pasal 143
ayat 4).

25
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

1. Tatatertib Sidang bagi Sidang Orang Dewasa


Beranjak dari ketentuan pasal 217 KUHAP, persidangan dipimpin oleh hakim
ketua yang memimpin pemeriksaan dan memelihara tatatertib persidangan. Segala
perintah hakim ketua dengan tujuan memelihara tatatertib persidangan, wajib dituruti
dengan segera dan cermat.
Sebelum sidang dimulai panitera, penuntut umum penasihat hukum dan
pengunjung duduk di tempat masing-masing. Pada saat hakim memasuki ruang
maupun meninggalkan ruang sidang, pejabat protokol mempersilakan yang hadir
dalam ruang sidang untuk berdiri dan menghormati hakim. Ruang sidang ditata
menurut ketentuan pasa1 230 ayat (3).
Dalam ruang sidang, setiap pengunjung wajib menunjukkan sikap hormat kepada
pengadilan dan selama sidang berlangsung, pengunjung sidang harus duduk dengan
sopan dan tertib di tempat duduk masing-masing; keluar atau masuk ruang sidang
wajib menghormat pada hakim; pengunjung wajib ikut memelihara leetertiban dalam
sidang; pengambilan foto rekaman suara atau rekaman TV harus seizin terlebih dulu
dari hakim ketua sidang; untuk tidak menganggu jalannya sidang, pengunjung dilarang
merokok, makan, minum, membaca surat kabar atau lain tindakan yang mengganggu
sidang. Untuk keamanan, siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam,
bahan peledak atau alat dan benda yang dapat membahayakan keamanan sidang, dan
barang-barang itu dapat dititipkan di bagian keamanan pengadilan.
2. Tatatertib Sidang bagi Sidang Anak
Sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu oleh
ketua Pengadilan Negeri dapat dilakukan dengan hakim majelis. Pemeriksaan
dilakukan dengan pintu tertutup sedang pada pengucapan putusan dilakukan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Hakim, penuntut umum, penasihat hukum bersidang tanpa toga, dan
pemeriksaan dengan dihadiri oleh orang tua, wali atau orang tua asuh.

26
Untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, hakim dapat minta bantuan
kepada Bimbingan Masyarakat Departemen Kehakiman untuk membuat laporan
sosial anak yang bersangkutan
3. Membaca Surat Dakwaan dan Hak Perlawanan
Setelah hakim ketua dan para anggota duduk di tempat masing-masing,
persidangan dimulai dengan pembukaan oleh hakim ketua dan pernyataan bahwa
persidangan terbuka untuk umum (geopenden openbaar verklaard). Kemudian
hakim ketua menyuruh memanggil terdakwa supaya diajukan dalam persidangan.
Terdakwa dibawa masuk dalam persidangan oleh petugas Kejaksaan dalam
keadaan bebas, artinya tidak diborgol, setelah itu terdakwa diperintahkan untuk
duduk ditempatnya.
Kemudian hakim ketua menanyakan kepada terdakwa mengenai identitasnya
meliputi, nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, dengan maksud memperoleh
kebenaran apakah benar terdakwa tersebut sebagai orang yang didakwa, bukan
orang lain, dan supaya memperhatikan segala sesuatu yang ia dengar dalam
sidang (pasal 155 ayat 1 sub a). Selanjutnya, hakim ketua mempersilakan
penuntut umum membacakan surat dakwaan. Hakim ketua kemudian menanyakan
kepada terdakwa apakah ia sudah mengerti benar-benar isi dakwaan itu, dan
apabila ia belum mengerti, penuntut umum dipersilakan menjelaskannya. Dalam
praktek, hakim ketua juga memberikan penjelasan ulang atas keterangan penuntut
umum, agar dimengerti dan difahami isi surat dakwaan tersebut (pasal 155 ayat 1
sub b).
Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas wewenang
pengadilan untuk mengadili atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan (pasal 156 ayat 1). Terhadap keberatan terdakwa,
penuntut umum diberi kesempatan memberikan pendapatnya dan terakhir hakim
mernberikan keputusan atas keberatan tersebut, dapat diterima atau sebaliknya tidak
dapat diterima atau baru diputus setelah selesai pemeriksaan maka sidang dilanjutkan
(ayat 2). Atas putusan sela itu, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
perlawanan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri.

27
Perlawanan terdakwa atau penasihat hukum mengenai kompetensi mutlak atau
relatif dapat diajukan tersendiri dan perlawanan yang lain dapat diajukan bersama-
sama terdakwa yang mengajukan permintaan banding (pasal 156 ayat 4,5 sub a).
Pengadilan Tinggi dalam waktu empat belas hari sejak menerima perkara
memutuskan perlawanan itu diterima atau tidak. Apabila Pengadilan Tinggi menerima
perlawanan, ia membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan menunjuk Pengadilan
Negeri yang berwenang. Selanjutnya, Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan
keputusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dan kepada Pengadilan
Negeri yang sernula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara untuk diteruskan kepada Kejaksaan Negeri yang telah melimpahkan perkara
itu (ayat 5 sub b). Hakim ketua sidang karena jabatan walaupun tidak ada perlawanan
setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan
dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang (pasal 156 ayat 7).
4. Mendengar Keterangan Saksi
Sistem yang dianut oleh KUHAP dalam mendengar keterangan saksi dalam
sidang ialah hakim mendengar mereka satu per satu secara tanya jawab atau secara
menyuruh menceritakan sesuatu hal. Setelah selesai keterangan saksi, kepada terdakwa
diberikan hak untuk mengemukakan pendapat tentang kesaksian tarsebut. Dan,
terdakwa juga berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim. Hak
terdakwa tersebut berkaitan dengan kepentingannya untuk pembelaan (pleidooi).
Penasihat hukum mempunyai kesempatan yang sama seperti terdakwa sendiri (pasal
160 ayat 1)
Mendengar keterangan lsaksi lebih ahulu dari mendengar keterangan terdakwa
dilandasi oleh pasal 160. Dan apabila dihubungkan dengan pasal 65 dan pasal 116 ayat
(3), jelas terdakwa diletakkan dalam kedudukan yang menguntungkan walaupun pada
akhirnya apabila saksi-saksi memberikan keterangan yang memberatkan terdakwa
dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Keadaan yang menguntungkan ini selanjutnya dimungkinkan dalam rapat
musyawarah hakim majelis dalam mengambil putusan. yaitu: Dalam hal musyawarah
hakim majelis tidak terdapat mufakat bulat atau putusan yang diambil dengan suara

28
terbanyak tidak diperoleh maka putusan yang diambil adalah dipilih pendapat hakim
yang paling menguntungkan “ (pasal 182 ayat (6) huruf b).
Penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua
sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan umum, terdakwa dan
penasihat hukum mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa. Hakim ketua
harus memperhatikan dan menyimak segala tanya jawab itu dan berkuasa atas dasar
pasal 164 ayat (3) untuk menolak pertanyaan mereka, dengan diberikan alasan apabila
pertanyaan yang diajukan tidak ada kaitannya dengan perkara, ataupun yang ia anggap
tidak seharusnya diperbolehkan atau tidak pantas atau tidak relevan. Untuk
memperoleh kebenaran tentang suatu hal, hakim, dan penuntut umum, maupun
terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling
menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing
pasal 165 ayat 41.
Hakim ketua melarang diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat
kepada saksi maupun terdakwa (pasal 166). Juga pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
sugestif tidak diperkenankan untuk diajukan. Contoh pertanyaan yang, bersifat
menjerat (strikvragen) sebagai berikut: Dalam suatu kasus pencurian yang dilakukan
pada malam hari di rumah saksi korban, tiada penerangan apa pun hingga keadaan
gelap gulita. Maka apabila ditanyakan kepada saksi korban: “Apakah terdakwa yang
duduk di sebelah itu , yang mencuri?” Pertanyaan demikian bersifat menjerat, sebab
saksi korban tidak mengetahui siapa pencurinya secara pasti. karena keadaan gelap
gulita.
Contoh pertanyaan bersifat sugestif: Dalam kasus penadahan, terdakwa menerangkan
bahwa ia telah menjual sepeda hasil curian kepada si B, kemudian diperlihatkan uang
hasil penjualan itu kepadanya, dan apabila dipertanyakan kepadanya: “Apakah uang ini
hasil penjualan sepeda?” maka pertanyaan demikian adalah sugestif, yang memberikan
dorongan kepada saksi untuk menjawab sesuai dengan kehendak penanya.
Menjadi. saksi adalah kewajiban hukum, karena itu saksi yang dipanggil
menghadap sidang wajib hadir, dan apabila ia tidak hadir tanpa alasan yang sah,
sedang pemanggilan sudah patut dan sah maka hakim ketua dapat tnemerintahkan
supaya saksi tersebut dipanggil dengan pengawalan oleh polisi (pasal 159). Tiap-tiap

29
saksi yang hadir dicegah untuk saling berhubungan satu dengan lainnya sebelum
memberikan keterangan di sidang (pasal 159 ayat 1).
Terhadap keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan yang diberikan di
muka penyidik, hakim ketua sidang mengingatkan tentang hal itu kepada saksi, serta
diminta menjelaskan mengenai perbedaan itu (pasal 163), dengan diberi nasihat agar
jangan sampai melanggar sumpah palsu (pasal 242 KUH Pidana). Kepada saksi yang
telah selesai memberikan keterangan di sidang, apabila sudah tidak diperlukan lagi
keterangannya dapat minta izin hakim ketua untuk meninggalkan ruang sidang, kecuali
ia harus tetap hadir di sidang (pasal 167) atau atas permintaan penuntut umum,
terdakwa maupun penasihat hukum, agar saksi yang tidak mereka kehendaki
dikeluarkan dari ruang sidang, dan saksi lainnya didengar di sidang tanpa hadirnya
saksi yang dikeluarkan itu (pasal 172 ayat 1), atau hakim karena jabatan dapat
bertindak sama seperti tersebut pada ayat (1) (pasal 172 ayat 2).
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai sesuatu hal
tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta kepada terdakwa keluar dari ruang
sidang, tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak baleh diteruskan sebelum kepada
terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak hadir (Pasal 173).
Sistem di negara Anglosaksen, dalam mendengar keterangan saksi, pada
prinsipnya hanya terdakwa dan penuntut umum yang berhak mengajukan pertanyaan
kepada saksi, dan hakim hanya mendengar saja.
4.1 Sumpah atau janji
Para saksi sebelum memberikan keterangan, wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan
yang sebenarnya tidak lain daripada yang sebenarnya. Untuk tatacara penyumpahan
atau janji maupun lafalnya, dapat diperiksa pada Bab XI. Wajib sumpah atau janji itu
dapat diberikan setelah saksi atau saksi ahli selesai memberikan keterangannya (pasal
160 ayat 3, 4).
Karena itu, penyumpahan atau janji ada dua macam, yaitu:
1. penyumpahan/janji dilakukan sebelum saksi memberikan keterangan; cara ini
disebut secara promissoris, artinya secara sanggup akan berbicara benar;

30
2. penyumpahan/janji dilakukan setelah selesai saksi memberikan keterangan; cara
ini disebut secara assertoris, artiya menetapkan kebenaran pembicaraan yang telah
lalu, atau sumpah confirmatoir.
Dalam praktek di Indonesia dipergunakan sitem penyumpahan promissoris, sedang di
negeri Belanda, pada Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara dan tanah
jajahannya dipakai sistem assertoris.
Dalam acara pemeriksaan cepat, saksi biasanya tidak disumpah atau janji, kecuali
jika hakim menganggap perlu (pasal 208); demikian juga dalam Landgerechts
Reglement pasal 12 ayat (2) dan pasal 13, dipergunakan sistem tengah-tengah, yaitu
biasanya saksi tidak disumpah. Jika perlu, hakim dapat memerintahkan supaya saksi
menguatkan keterangannya dengan sumpah. Apabila saksi tidak mau disumpah, ia
disumpah secara promissoris, dan baru kemudian memberikan keterangan.
Dalam pasal 161 disebutkan bahwa hal saksi atau saksi ahli tanpa alasan yang sah
menolak untuk bersumpah atau berjanji maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan. Sanksi terhadap hat ini dapat dikenakan penyanderaan di Rumah Tahanan
Negara paling lama 14 hari.
Dari pasal itu dapat disimpulkan bahwa sistem KUHAP mengenal adanya
keterangan saksi yang disumpah dan keterangan saksi yang tidak disumpah. Perihal
kekuatan pembuktian (bewijstkracht), dalam pasal 185 ayat (7) dinyatakan bahwa ke-
terangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Dalam memberikan penghargaan atas peuilaian kedua keterangan saksi itu, hakim
bebas atau leluasa memberikan penghargaan lebih tinggi kepada keterangan saksi yang
disertai dengan sumpah daripada keterangan saksi yang tidak disumpah.
Ada aturan untuk suatu keadaan seseorang menyatakan keberatan untuk
disumpah. Peraturan itu termuat dalam Staatsblad 1920 Nomor 69 tentang
Eedsregeling. Pada prinsipnya apabila ada peraturan dalam undang-undang yang
mewajibkan orang disumpah atau yang memberi akibat hukum kepada keadaan
penyumpahan maka orang itu wajib mengangkat sumpah (pasal 4), akan tetapi pasal 5

31
memperkenankan mereka yang menganut suatu agama yang melarang penyumpahan,
mengganti sumpah dengan mengucapkan janji.
4.2 Sumpah palsu
Ketentuan pasal 174 mengatur hal seorang saksi memberi keterangan di sidang
dan disangka palsu. Peristiwa semacam itu lazim dinamakan sumpah palsu. Dalam hal
ini hakim ketua sidang memberi peringatan dengan sungguh-sungguh kepada saksi su-
paya memberikan keterangan yang sebenarnya, dengan ancaman pidana apabila ia
tetap pada keterangan yang disangka palsu itu, ada kemungkinan ia menarik
keterangan palsu itu (pasal 174 ayat 1). Bila ia tetap tidak menarik keterangan palsu itu
maka hakim ketua sidang karena jabatan atau atas permintaan penuntut umum atau
terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya
dituntut perkara dengan dakwaan palsu (pasal 242 KUHP). Selanjutnya, panitera
segera membuat berita acara sidang yang memuat keterangan saksi dengan
menyebutkan alasan persangkaan palsu (pasal 174 ayat 3). Kemudian hakim ketua
menangguhkan sidang yang semula, sampai perkara sumpah palsu itu selesai (pasal
174 ayat 4).
4.3 Syarat-syarat menjadi saksi
Siapa yang dapat didengar sebagai saksi diperlukan beberapa syarat. Pada
prinsipnya. setiap orang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, ia lihat dan
ia alami sendiri (pasal 1 butir 26). Syarat-syarat untuk menjadi saksi harus dipenuhi
agar dalam memberikan keterangan diperoleh keterangaa yang tidak dipaksakan dan
tidak memihak.
Tujuan Hukum Acara Pidana ialah mencari kebenaran materiil. Dalam mencari
kebenaran materiil itu, maka tatacara peradilan haruslah by the fair trial, artinya tidak
boleh dilakukan dengan paksaan terhadap saksi dalam memberikan keterangan agar
sesuai dengan kehendak penuntut umum atau hakim. Dari hakikat pasal 166 bahwa
kepada saksi atau kepada terdakwa dilarang mengajukan pertanyaan yang menjerat
(strikvragen) dan atau pertanyaan bernada “sugestif”, yaitu pertanyaan yang disusun
sedemikian rupa hingga sudah terkandung suatu penetapan seolah-olah mengenai
beberapa hal yang sudah diakui kebenarannya oleh saksi atau oleh terdakwa.

32
Kemudian, asas bahwa setiap orang apabila dipanggil sidang wajib menghadap
untuk memberikan keterangannya dan bilamana kewajiban itu tidak dipenuhi, diancam
dengan sanksi pidana (pasal 152 ayat 2).
Terhadap asas bahwa setiap orang dapat bertindak sebagai saksi .(pasal 1 butir ke-
26), dan karenanya wajib memberikan keterangan, ada pembatasan-pembatasannya,
yakni:
1. Ada segolongan orang yang dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi.
Mereka dapat dibedakan antara mereka yang dianggap tidak mampu secara mutlak
dan mereka yang dianggap tidak mampu secara relatif.
a. Mereka yang tidak mampu secara mutlak (pasal 168). Golongan ini tidak dapat
didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri (verschoningsrecht) :
1. keluarga sedarah dan semenda pada garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama;
2. saudara sekandung dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat
ketiga;
3. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa (pasal 168).
Namun dalam hal mereka tersebut di atas menghendaki untuk memberikan
keterangan, dan penuntut umurn serta terdakwa secara tegas menyetujuinya, dapat
disumpah dan bertindak sebagai saksi (pasal 169 ayat 1). Walaupun tidak ada
persetujuan dari terdakwa, penuntut umum dan golongan orang-orang yang
dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi, mereka dapat memberi keterangan
tanpa sumpah.
b. Mereka yang tidak mampu secara relatif.
1. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya
baik kembali. Mereka yang terakhir ini disebut psikopat (pasal 171).

33
2. Ada segolongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari
kewajiban untuk memberi keterangan. Mereka boleh mengundurkan diri dari
kesaksian karena mereka memiliki hak ingkar atau verschoningsreeht (pasal
170) ialah: Mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia. Mereka dapat dibebaskan dari kewajiban
memberi keterangan sebagai saksi tentang hal yang dipercayakan kepadanya.
Misalnya: dokter, penasihat hukum, notaris.
Penggolongan seperti tersebut di atas, sekedar pembagian secara sistematis saja,
sebab pada golongan 1 sub a Nomor 2 dan 3 dapat digolongkan dalam golongan
2.
5. Mendengar Keterangan Ahli
Dalam Bab I pasal 1 butir 28 diatur tentang pengertian keterangan saksi ahli,
yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.”
Segala aturan bagi saksi, berlaku juga bagi ahli. Perbedaan antara saksi dan
saksi ahli ialah :
1. Pada saksi, keterangan yang diberikan mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya,
sedang pada ahli keterangan yang diberikan atas dasar keahlian khusus yang
ia miliki tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana;
2. Lafal bagi saksi berbunyi : . . .”Saya bersumpah bahwa saya akan
menerangkan yang benar tak lain daripada yang sebenarnya.” Sedangkan lafal
bagi ahli berbunyi: . . . . . .” Saya bersumpah bahwa saya akan
memberikan pendapat tentang soal-soal yang dikemukakan menurut
pengetahuan saya sebaik-baiknya.

34
6. Mendengar Keterangan Terdakwa
Setelah para saksi dan ahli didengar keterangannya maka tiba giliran
terdakwa untuk memberi keterangan di sidang.
Sesudah hakim ketua minta penuntut umum membacakan surat dakwaan,
hakim ketua menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah mengerti isi dakwaan
itu dan apakah jawabannya (pasal 155 ayat (2) sub a dan sub b). Dalam praktek
selama HIR dan hingga kini tetap dilanjutkan diberi arti demikian, kepada ter-
dakwa ditanyakan apakah ia mengaku atau memungkiri kesalahannya dan
kemudian terdakwa diberi kesempatan untuk mengutarakan segala sesuatu yang
ingin ia kemukakan. Biasanya untuk mengutarakan pendapatnya ada kesulitan
pada terdakwa oleh karena itu dalam praktek hakim mengatakan pertanyaan-
pertanyaan agar terdakwa dapat mengalirkan uraian mengenai masalahnya
menurut pandangan terdakwa.
Menurut ketentuan sistem KUHAP dalam praktek mengharuskan
pemeriksaan atau mendengarkan keterangan saksi, baru kemudian mendengarkan
keterangan terdakwa. Sistem yang dianut KUHAP sebenarnya sama dengan
sistem yang dianut oleh HIR; ternyata dalam pasal 289 HIR disebutkan bahwa
hakim harus mulai dengan mendengarkan keterangan saksi dan kemudian setelah
para saksi selesai, barulah terdakwa didengar keterangan nya secara tanya jawab.
Dalam praktek pada zaman HIR terdakwa didengar lebih dulu daripada saksi.
Apabila terdakwa tidak mau rnenjawab pertanyaan atau menolak untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua hanya
menganjurkan agar ia menjawab dan setelah itu sidang dilanjutkan (pasal 175).
Tidak ada sanksi yang dijatuhkan oleh hakim ketua kepada terdakwa tersebut.
Dalam hal terdakwa bertingkah laku tidak tidak patut sehingga mengganggu
tertib sidang. maka hakim ketua menegurnya. dan jika teguran tidak diindahkan,
terdakwa diperintahkan supaya dikeluarkan dari ruang sidang, dan pemeriksaan
dilanjutkan tanpa kehadiran terdakwa (pasal 176 ayat 1).
Apabila terdakwa atau saksi bisu atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim
ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul dengan
terdakwa atau saksi (pasal 178 ayat 1). Jika terdakwa bisu dan atau tuli tetapi dapat

35
menulis maka tanya jawab dilakukan dengan tulisan (pasal 178 ayat 2). Dalam hal
terdakwa atau saksi tidak memahami bahasa Indonesia maka hakim ketua mengangkat
seorang juru bahasa yang bersumpah akan menerjemahkan semua hal dengan benar
(pasal 177), Selanjutnya, lihat juga Bab V tentang kedudukan terdakwa.
7. Barang Bukti
Selain saksi, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan.
Dalam pasal 181 hakim ketua sidang wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang bukti tersebut
dengan memperlihatkan kepadanya, dengan memperlihatkan maksud dari pasal 45.
Jika dianggap perlu. hakim ketua sidang memperlihatkan barang bukti kepada saksi
dengan membacakan berita acara mengenai barang bukti tersebut (pasal 181).
Apabila terdakwa atau saksi mengenal barang bukti yang diperlihatkan
kepadanya. hakim ketua sidang akan menanyakan segala sesuatu yang berkenaan
dengan barang bukti tersebut.
8. Pengakhiran Pemeriksaan Sidang
Setelah mendengarkan keterangan para saksi dan terdakwa serta dihubungkan
dengan barang bukti selesai sebagaimana diuraikan di atas, maka hakim ketua
mempersilakan penuntut umum untuk mengajukan requisitoir (tuntutan akhir).
Requisitoir harus tertulis dan dibacakan dalam sidang. Kepada terdakwa dan penasihat
hukum diberikan kesempatan pula untuk mengajukan pembelaan (pleidooi) (pasal
182). Sering terjadi penuntut umum minta kesempatan memberikan replik dan kepada
terdakwa atau penasihat hukum diberikan kesempatan yang sama guna mengajukan
duplik. Sampai akhirnya, baik penuntut urnum maupun terdakwa atau penasihat
hukum tidak mengajukan apa-apa lagi. Perlu dicatat bahwa. kesempatan yang terakhir
selalu diberikan kepada terdakwa ataupun penasihat hukumnya. Kemudian hakim
menyatakan pemeriksaan sudah dianggap selesai dan sidang ditutup dengan ketentuan
dapat dibuka sekali lagi, baik atas wewenangnya ataupun atas permintaan penuntut
umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasan-alasannya
(pasal 182 ayat 2).
Setelah terdakwa, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin dipersilakan
keluar dari ruang sidang, dengan penetapan persidangan untuk membacakan bunyi

36
putusan pada sidang berikutnya, dan sidang kemudian ditutup. Selanjutnya, majelis
mengadakan permusyawaratan.
9. Berbagai Kewajiban dan Larangan Hakim Pidana dalam Beracara
Tugas hakim pidana tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, UU Nomor 4 tahun 2004 PN tidak diperbolehkan menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kuran jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya
(pasal 16 ayat 1).
- Dalam mengadili perkara, hakim harus berdasarkan hukum dengan tidak
membedakan orang (pasal 5 ayat 1) serta dalam memeriksa dan memutus suatu
perka:a pidana harus dihadiri terdakwa, kecuali apabila undang-undang
menentukan lain (pasal 18 ayat 1).
- Sebagai penegak hukum dan keadilan hakim pidana wajib menggali dan mengikuti
serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta dalam
mempertimbangkan berat atau ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa.
- Jika seorang hakirn pidana dalam proses perkara yang diperiksa dan diadili olehnya
masih ada ikatan/hubungan sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan
ketua atau salah satu anggota majelis, jaksa, penasihat hukum atau panitera, ia
wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara yang bersangkutan (pasal.29
UU No. 4 tahun 2004 jo pasal 157 ayat 1 KUHAP, disebut hak ingkar);
- Jika ketua majelis, hakim anggota atau jaksa, panitera masih terikat dalam
hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan terdakwa,
ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan.
- Jika perkara pidana tersebut diputus dengan susunan hakim dimana salah satu
masih ada ikatan atau hubungan keluarga demikian seperti pada pasal 157 ayat (1)
dan (2) KUHAP maka putusan yang demikian wajib diulang lagi dengan susunan
hakim yang lain (pasal 157 ayat 3 KUHAP);
- Dalam hal seorang hakim mengadili suatu perkara yang ia sendiri mempunyai
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung maka hakim yang bersangkutan

37
wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri atau atas permintaan penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum (pasal 220 ayat (1), (2) KUHAP);
- Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang
tentang keyakinan rnengenai salah atau tidaknya terdakwa (pasal 158 KUHAP);
- Bilamana dipandang perlu, hakim di sidang atas kehendak sendiri atau atas
permintaan terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberikan penjelasan
tentang hukum yang berlaku (pasal 221).
- Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
c. pengusaha;
d. menjadi penasihat hokum.

38
SISTEM PEMBUKTIAN

1. Pengertian
Sistem pembuktian dan alat-alat bukti (Bab XVII) merupakan dua bagian yang
sangat penting dalam keseluruhan proses pemeriksaan perkara pidana. Kewajiban
hakim pidana dalam menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna
memperoleh kebenaran sejati terhadap:
a. perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti menurut pemeriksaan
persidangan;
b. apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang
didakwakan kepadanya;
c. tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu;
d. hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan yang
mudah.
Wiroyono Prodjodikoro menyatakan bahwa kebenaran itu biasanya hanya mengenai
keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau. Oleh karena kebenaran atas
keadaan pada masa lampau, maka sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenaran
masa lampau, tidak mungkin dicapai. Maka Hukum Acara Pidana hanya dapat
menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian
antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati.
Menelusuri kebenaran sejati sangat luas aspeknya, oleh karena dalam KUHAP ada
beberapa tahapan dalam mencari kebenaran sejati, yakni melalui penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan sidang.
2. Sistem Pembuktian
Ada beberapa teori atau sistem pembuktian, yakni:
- Sistem pembuktian keyakinan belaka (bloot gemoed lijke overtuiging, conviction
intime);
- Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positi (positief wettelijke
bewijs theorie);

39
- Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke
bewijs theorie);
- Sistem keyakinan atas alasan logis (beredeneerde overtuiging, conviction
raisonnee).
2.1 Sistem pembuktian keyakinan belaka
Aliran ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan
menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan dan kesan hakim yang bersifat
subjektif . Menurut aliran ini sudah dianggap cukup bahwa hakim mendasarkan
terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu
peraturan. Dalam sistem ini, hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan
apakah keadaan harus dianggap telah terbukti. Karena itu, aliran ini disebut conviction
intime atau bloot gemoedelijke overtuiging). Dasar pertimbangannya menggunakan
pikiran secara logika dengan memakai silogisme: premis mayor, premis minor dan
memperoleh konklusi, sebagai hasil penarikan pikiran dan logika. Sistem pemidanaan
tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah dalam perundang-undangan.
Kelemahan sistem ini terlalu banyak memberi kepercayaan kepada hakim, kepada
kesan-kesan perseorangan sehingga sulit diperoleh pengawasan. Praktek peradilan juri
di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan banyak mengakibatkan
putusan bebas yang sangat aneh.
2.2 Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
Aliran ini dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
berhadapan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan belaka. Aliran ini disebut
positief wettelijke bewijs theorie. Dalam sistem ini, undang-undang menetapkan alat-
alat
bukti mana yang dapat dipakai, oleh hakim, cara bagaimana hakim mempergunakan
alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti itu sedemikian rupa. Jika
alat-alat bukti ini sudah dipakai secara yang ditetapkan oleh undang-undang maka
hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun hakim mungkin
berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.
Sebaliknya jika tidak dapat dipenuhi cara-cara mempergunakan alat-alat bukti
yang telah ditetapkan oleh undang-undang maka hakim mesti menetapkan keadaan

40
tidak terbukti. meskipun mungkin hakim berkeyakinan bahwa keadaan itu benar-benar
terjadi. Maka dikesampingkanlah sama sekali keyakinan hakim tentang terbukti atau
tidaknya sesuatu hal.
D. Simon menceritakan bahwa sistem positief wettelijk di benua Eropa dipakai pada
waktu masih berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat inkisitor. Peraturan itu
menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka. dalam hal ini hakim hanya
merupakan suatu alat perlengkapan saja. Kelemahan sistem ini tidak memberikan
kepercayaan kepada ketepatan kesan-kesan perseorangan dari hakim yang
bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan hakim didasarkan
atas kebenaran.
2.3 dan 2.4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan sistem
keyakinan atas alasan logis
Ada dua sistem lagi yang berada di tengah-tengah, yakni ad. 2.3 sistem
pembuktian menurut undang undang secara negatif dan ad. 2.4 sistem keyakinan atas
alasan logis. Terdapat persamaan dan perbedaan antara dua sistem tersebut. yakni:
a. Hal yang sama: Hakim baru diwajibkan menghukum orang apabila ia yakin bahwa
perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan lagi bahwa keyakinan
harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian
buah pikiran (logika).
b. Hal yang berbeda: pada sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif
menghendaki alasan-alasan yang disebutkan itu hanya yang disebut oleh undang-
undang sebagai alat bukti (we ttelijke bewijsmiddelen). Tidak memperbolehkan
menggunakan alat bukti lain yang tidak disebut dalam undangundang dan tentang
cara mempergunakan alat bukti (bewijsvoering) hakim terikat kepada ketentuan
undang-undang. Kata “negatif” dipakai oleh karena adanya alat-alat bukti
disebutkan dalam undang undang dan cara mempergunakan disebut juga dalam
undang-undang. Hal ini belum berarti hakim mesti menjatuhkan hukuman. Ini
bergantung pada keyakinan hakim atas kebenaran.
Pada sistem keyakinan atas alasan logis, hakim dalam memakai dan menyebutkan
alasan-alasan untuk mengambil putusan; tidak terikat pada penyebutan alat-alat
bukti dan cara-cara mempergunakan alat-alat bukti dalam undang-undang. me-

41
lainkan hakim leluasa untuk memakai alat-alat bukti lain asal saja semua dengan
dasar alasan yang tepat menurut logika.as
3. KUHAP dalam Sistem Pembuktian
Pasal 183 KUHAP berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Apa yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP ialah:
a. sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah;
b. dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa
1. tindak pidana telah terjadi; dan
2. terdakwa bersalah melakukannya.
Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, memberikan limitatif pada alat bukti
yang minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian.
Kata “alat bukti yang sah” menunjuk kepada alat-alat bukti yang diakui oleh
undang-undang, cq KUHAP, sehingga alat-alat bukti diluar KUHAP tidak dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah:
l. Keterangan saksi, 2. keterangan ahli. 3 surat, 4. petunjuk, 5. keterangan
terdakwa, dan sebagai hal yang umum yang disebut notoir feit tidak perlu
dibuktikan. Jadi, pasal 184 menetapkan adanya dua alat bukti minimum misalnya:
keterangan saksi dan keterangan ahli, atau keterangan saksi dan surat atau kombi -
nasi dua alat bukti sah lainnya.
Dalam sitem negatief wettelijk ada dua hal yang merupakan syarat, yakni:
a. wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh
undang-undang;
b. negatief, oleh karena dengan alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-
undang saja belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti
sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.

42
Dengan demikian, antara alat-alat bukti dengan keyakinan hakim diharuskan
adanya hubungan kausal (sebab akibat).
Jadi, pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan
yang ditetapkan oleh undang-undang dan keyakinan hakim bahwa tindak pidana
telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya. Karena itu diajukan 4
(empat) alat bukti atau lima alat bukti, akan tetapi hakim tidak yakin bahwa suatu
tindak pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya maka hakim
pidana akan membebaskan terdakwa atau akan melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum (vrijspraak of ontslagen van alle rechtsvervolging). KUHAP
menganut sistem negatief wettelijk atau teori negatif wettelijk (negatief wettelijke
bewijs theorie), terdapat dalam pasal 183. Asas negatif wettelijk tercermin pula
secara nyata pada pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa berdasarkan “keterangan
terdakwa” saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jadi, satu
alat bukti kurang cukup untuk menghukum terdakwa karena alat bukti tidak
lengkap (onvoldoende bewijs).
Walaupun hakim yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, tetapi keyakinan hakim ini hanya dilandasi oleh salah
satu alat bukti yang berupa keterangan terdakwa maka terdakwa tidak dapat
dihukum, karena akan melanggar asas dari minimum bukti yang diminta oleh
undangundang (leer van het minimum bewijs) sebagaimana termuat dalam pasal
183.
Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian negatif
menurut undang-undang (negatief wettelijk) dari HIR sebaiknya dipertahankan
berdasarkan dua alasan.
1. memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim
terpaksa memidana seseorang, sedang hakim tidak yakin akan kesalahan
terdakwa.

43
2. berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh
hakim dalam melakukan peradilan.
D. Simon menyatakan bahwa dalam sistem atau teori pembuktian negatif
menurut undang-undang (negatief wettelijk) ini, pemidanaan didasarkan pada
pembuktian yang berganda (dubbelen grondslag), yaitu pada peraturan undang-
undang dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan
hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.
Balam praktek, Wiryono Prodjodikoro menceritakan pengalamannya sebagai
hakim, seringkali kejadian hakim mulai dengan menentukan keyakinannya
tentang terbukti atau tidaknya suatu kejadian dan baru kalau hakim yakin betul
bahwa terdakwa bersalah, maka diusahakan supaya ada alat-alat bukti yang
mencukupi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang agar dapat menjadi
dasar keyakinan itu. Praktek ini kiranya tidak ada jeleknya dan sebetulnya sesuai
dengan sifat manusia yang lebih cepat mengetahui perasaan daripada pikirannya
sedang keyakinan adalah lebih mendekati perasaan daripada pikiran.

44
ALAT-ALAT BUKTI DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN

1. Alat-alat Bukti
Pada bagian lalu telah diuraikan tentang tatacara mempergunakan alat-alat
bukti, dan pada bab ini diuraikan tentang alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian.
Dalam pasal 184 ditetapkan sebagai alat bukti yang sah, ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Hal yang secara umum sudah diketahui (notoir feit) tidak perlu dibuktikan (pasal
184 ayat 2).
2. Kekuatan Pembuktian
2.1 Keterangan saksi
Dapat atau tidaknya seorang saksi dipercaya bergantung dari banyak hal yang
harus diperhatikan oleh hakim. Pasal 185 ayat 6 menyebutkan : Dalam menilai
keterangan seorang saksi, hakim hanxs sungguh-sungguh memperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat atau tidaknya keterangan itu dipercaya.
Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut maka setiap saksi harus
dinilai mengenai cara hidup serta segala sesuatunya yang pada umumnya dapat
mempengaruhi cara hidup dan kesusilaan, seperti adat istiadat, martabat dan lain-lain,
dapatlah dibayangkan hal itu tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu dalam hal
ini diberikan kebebasan kepada hakim untuk menilainya.

45
Dalam setiap kesaksian harus disebut alasan saksi untuk memberikan
keterangan itu (pasal 185 ayat (6) sub c) atau dengan kata lain: segala sebab
pengetahuan saksi. Jadi saksi harus memberi keterangan tentang sebab-
musababnya ia mengetahui, melihat, mengalami peristiwa itu. Misalnya saksi A
memberikan keterangan bahwa ia melihat jual beli itu. Hal demikian kurang
cukup, ia harus memberi keterangan penjelasan, mengapa ia melihat jual beli itu,
misalnya karena jual beli itu dilakukan di rumahnya dan ia yang membuat
perjanjian itu. Suatu keterangan saksi yang tidak disertai sebab-musababnya atau
alasan pengetahuannya, harus dianggap sebagai alat bukti yang tidak sempurna.
Kemudian dalam pasal 185 ayat (5) ditegaskan bahwa pendapat maupun
rekaan yang diperoleh dari hasil pikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
Jadi. suatu rekaan pendapat dari hasil akal (ratio concludendi) tidak dianggap
sebagai keterangan saksi.
Keterangan saksi yang dinyatakan di muka sidang mengenai apa yang ia
lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat 1).
Bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga?
Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi
perjanjian jual beli di rumah A. Kesaksian demikian adalah disebut testimonium
de auditu. Pada dasarnya, kesaksian demikian tidak dapat diartikan sebagai ke -
terangan saksi (eks pasal 185 ayat 1 di atas) tetapi dapat dinilai sebagai tambahan alat
bukti, asal dipenuhi pasal 185 ayat (7).
Saksi-saksi yang memberikan keterangan di muka sidang harus disumpah
sehingga mempunyai nilai sebagai alat bukti. Apabila keterangan dari seorang saksi
yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan satu dan lainnya. tidak merupakan alat
bukti. namun bilamana keterangan saksi tidak disumpah itu sesuai dengan keterangan
saksi yang disumpah, keterangan ini dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti
yang sah (pasal 185 ayat 7).
Akhirnya, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hukuman kepada terdakwa
hanya berdasarkan satu saksi saja (unus testis nullus testis) oleh karena dianggap
sebagai bukti yang tidak cukup (pasal 185 ayat 2), artinya kekuatan pembuktian
dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim. Ketentuan pasal 185 ayat

46
(2) dianggap tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (pasal
185 ayat 3).
Sering terjadi bahwa dalam satu peristiwa dibutuhkan beberapa orang saksi dalam
arti bahwa seorang saksi dengan saksi lain pengetahuannya berbeda-beda atau seorang
saksi hanya mengetahui satu facet dari seluruh kejadian, hingga perlu adanya beberapa
orang saksi untuk didengar keterangannya. Jadi, penilaian terhadap beberapa orang
saksi yang masingmasing berdiri sendiri dan terpisah seorang dengan yang, lain
tentang pelbagai peristiwa untuk membuktikan suatu peristiwa diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim.
Dalam KUHAP tidak diatur mengenai kejadian bilamana seorang saksi setelah
didengar keterangannya oleh penyidik kemudian meninggal dunia atau karena suatu
sebab yang sah tidak dapat hadir dalam persidangan sehingga berita acara itu
dibacakan saja. Biasanya dalam praktek, saksi dalam memberikan keterangan di muka
penyidik tidak disumpah. Karena demikian maka pertimbangan mengenai nilai
kesaksian diserahkan kepada hakim.
2.2 Keterangan ahli
Dari keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, hakim dapat
minta bantuan seorang ahli, dalam praktek sering disebut sebagai saksi ahli (expertis,
deskundigen). Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang
yang memiliki , keahlian khusus dan objektif dengan maksud membuat terang suatu
perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal.
Sebagai asas dalam peradilan, hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang
diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang tidak mengaturnya. la harus
menemukan hukum itu. Hal itu bukan berarti hakim dianggap tahu segalanya atau
dianggap sebagai manusia serba tahu, karena itu ia membutuhkan dan menggunakan
keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu
hal yang menyangkut perkara yang ditanganinya: Misalnya mengenai kebakaran,
hakixn membutuhkan pengetahuan tentang kelistrikan maka dipanggillah saksi ahli
listrik dan seterusnya. Contoh lain: sebuah waduk pecah atau jembatan runtuh maka
dalam kaitan ini dibutuhkan keterangan ahli beton bertulang.

47
Mengenai saksi ahli diatur dalam pasal 160 ayat (4) yang menetapkan bilamana
pengadilan menganggap perlu, seorang ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ahli
itu selesai memberikan keterangan, dan dalam pasal 161 ayat (2) ditentukan saksi ahli
yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
yang sah tetapi hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim.
Siapa atau apa yang disebut sebagai ahli tidak diberi penjelasan oleh KUHAP,
sehingga dengan demikian tentang ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh
pengetahuan atau keahliannya yang khusus tetapi ditentukan oleh karena panggilan
pengadilan yang wajib dipenuhi. Oleh karena itu, seorang ahli yang disidik oleh
penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara, bila merasa dirinya tidak mem-
punyai keahlian khusus wajib mengundurkan diri. Dalam praktek di negara kita.
pendidikan formal yang menjadi ukurannya, seharusnya perlu ditambahkan syarat
pengalaman dalam salah satu bidang.
Dalam pasal 1 butir 28, diberi pengertian umum tentang keterangan ahli yang
menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 menyebutkan
pengertian keterangan ahli dalam proses pemeriksaan sidang yaitu apa yang dinyatakan
oleh seorang ahli dalam siding.
Keterangan ahli dalam pasal 1 butir 28 dan pasal 186 menimbulkan persoalan, jika
dihubungkan dengan penjelasan pasal 133 ayat (2) Yang berbunyi: “ Keterangan
yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan
keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.”
Menurut penulis, keterangan ahli kedokteran kehakiman atau keterangan yang
dimaksud dalam pasal 133 diberikan dalam proses penyidikan. Jadi bukan dalam
sidang, sehingga keterangan, dokter bukan ahli kehakiman dapat dianggap sebagai alat
bukti “surat” (pasal 184 sub c), sedang apabila keterangan dokter bukan ahli
kehakiman diberikan dalam sidang, harus dianggap sebagai alat bukti “keterangan
saksi” (pasal 184 sub a).

48
Apabila dibandingkan keterangan saksi dan keterangan ahli, maka ada perbedaan
antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Saksi memberi keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia alami, ia
dengar, ia lihat, ia rasakan dengan alat panca inderanya, sedangkan ahli memberi
keterangan mengenai penghargaan dari hal-hal yang sudah ada dan mengambil
kesimpulan mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa;
2. Pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis yang tidak di kenal pada
ahli, sehingga dengan keterangan seorang ahli saja. hakim membangun
keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain;
3. Saksi dapat memberi keterangan dengan lisan dan ahli dapat memberi keterangan
lisan maupun tulisan.
4. Hakim bebas menilai keterangan saksi dan hakim tidak wajib turut kepada
pendapat, kesimpulan dan saksi ahli bilamana bertentangan dengan keyakinan
hakim;
5. Kedua alat bukti: saksi dan ahli digunakan hakim dalam mengejar dan mencari
kebenaran sejati.
2.3 Surat
Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum tidak terdapat pengertian tentang apa surat
itu; Menurut Pitlo, suatu surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti
menerjemahkan suatu isi pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini di
atas kertas, karton kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah
tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari huruf Cina, tanda stenografi
atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Tidak termasuk dalam kata surat adalah
foto dan peta; barang-barang ini tidak memuat tanda bacaan.
Seseorang menerima sejumlah uang atau barang, baru merasa dirinya aman jika ia
memberi suatu tanda terima. Orang yang memberi tanda terima itu harus mengerti
bahwa tulisan atau surat tanda terima itu kemudian hari dapat dipergunakan terhadap
dirinya sebagai bukti bahwa ia benar telah menerima uang atau barang itu.
Pada asasnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau memberatkan bagi orang
yang menulisnya atau si pembuat. Pengecualian terhadap asas ini terdapat dalam pasal
7 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatakan “Hakim adalah bebas

49
untuk kepentingan masing-masing akan memberi kekuatan bukti sedemikain rupa
kepada pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya dalam
tiap-tiap kejadian khusus harus diberikannya.” Ketentuan ini juga terdapat dalam pasal
167 HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa pemegangan buku itu
menguntungkan pembuatnya.
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibagi dalam dua golongan: Akte dan surat-
surat lain bukan Akte. Sedangkan Ate dapat dibagi dalam dua: 1. Akte otentik dan 2.
akte di bawah tangan.
Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar
dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja untuk pembuktian.
Keharusan tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai Akte ternyata dari
pasal 18,69 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dengan demikian, karcis
kereta api, tiket resi dan lain-lain bukan termasuk Akte.
Akte otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pengawai umum yang berwenang untuk
itu di tempat Akte itu dibuat (pasal 1868 BW, pasal 165 HIR atau pasal 285 Rbg.).
Akte-akte lainnya yang bukan otentik dinamakan Akte di bawah tangan.
Menurut pasal 1868 BW tersebut ada dua macam akte otentik, yakni: suatu Akte
yang dibuat oleh dan suatu Akte yang dibuat di hadapan pegawai umum yang ditunjuk
oleh undang-undang. Contoh: Laporan rapat perseroan dengan dihadiri oleh semua
anggota persero adalah Akte otentik yang dibuat oleh notaris. Berita acara sidang dan
berita acara pemanggilan saksi adalah akte otentik yang dibuat oleh panitera
pengganti, Juru sita pengadilan. Contoh akte yang dibuat dihadapan notaris: dua
pihak menghadap notaris; menerangkan bahwa mereka telah mengadakan perjanjian
(misalnya jual beli, hutang pihutang dan lainnya) dan minta kepada notaris agar
perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte. Akte demikian adalah akte otentik yang
dibuat di hadapan notaris. Surat kelahiran adalah akte otentik yang dibuat oleh
Catatan Sipil.
Akte di bawah tangan ialah akte yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
pihak-pihak tanpa bantuan dari pegawai umum yang berwenang untuk itu (S. 1867
Nomor 29 untuk Jawa dan Madura. dan untuk luar Jawa dan Madura diatur pasal 286

50
- 305 Rbg). Termasuk pengertian surat di bawah tangan menurut pasal 1 S. 1867 No.
29 (dan 286 Rbg, pasal 1874 BW) ialah akte di bawah tangan, surat-surat, daftar
(register) catatan mengenai rumah tinggal dan surat-surat lain yang dibuat tanpa
bantuan pegawai umum yang berwenang
Akte di bawah tangan dapat dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau
pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan yang
diadakan oleh undang-undang. Pembubuhan pernyataan oleh notaris atau pegawai
lainnya seperti tersebut di atas disebut “legalisasi” yang berarti pengesahan. Pejabat-
pejabat lain yang berwenang memberi legalisasi adalah: hakim. Bupati Kepala
Daerah, Walikota (Ordonansi tahun 1916 Nomor 46):
Disamakan dengan tanda tangan adalah cap jempol yang dibubuhi pernyataan
yang bertanggal oleh notaris, hakim,,Bupati Kepala Daerah, Walikota, yang
menyatakan bahwa pejabat tersebut kenal kepada pembubuh cap jempol tersebut atau
orang tersebut telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akte telah dijelaskan kepada
orang tersebut dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di hadapan
pejabat tadi. Akte tersebut kemudian harus dibukukan dalam buku khusus yang
disediakan guna keperluan itu (Ordonansi tahun 1916 Nomor 46).
Dalam akte otentik tidak menjadi persoalan mengenai tanda tangan, tetapi dalam
akte di bawah tangan, pemeriksaan tentang benar atau tidaknya akte yang
bersangkutan yang telah ditandatangani oleh yang bersangkutan merupakan masalah
pokok. Apabila tanda itu disangkal maka perlu diperiksa kebenaran tanda tangan
tersebut.
Surat sebagai alat bukti disebutkan dalam pasal 184 dan diatur dalam pasal 187.
Lengkapnya pasal 187 berbunyi
“Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c. dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu;

51
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian suatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi
daripadanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
2.4 Petunjuk
Pengertian petunjuk diatur dalam pasal 188 ayat (1) adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
2.5 Keterangan terdakwa
Kelahiran RUU Hukum Acara Pidana nasional yang berlandaskan dan dijiwai oleh
Pancasila dan UUD 1945. memang sudah lama dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Ada kesepakatan bahwa Hukum Acara Pidana ini untuk menegakkan
ketertiban umum tetapi sekaiigus juga melindungi hak asasi manusia tiap-tiap individu.
Dalam kaitannya dengan keterangan terdakwa dalam perumusan pasal 52 dan 117
tidak dapat dilepaskan dari prinsip hukum diterapkannya asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence), baik dalam pemeriksaan penyidikan maupun dalam
pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh karena itu, keterangan terdakwa di muka penyidik
dan hakim dilandasi oleh kebebasan memberi keterangan (pasa152) yang berbunyi
sebagai berikut :
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim.
Pengertian kebebasan memberi keterangan dalam penjelasan pasal demi pasal diberikan
sebagai berikut:
“Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang
sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh

52
karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau
terdakwa.”
Dalam pasal 117 KUHAP disebutkan: “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada
penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal
117 memberikan ketegasan kepada pasal 52, yang harus diartikan bahwa tersangka
ataupun saksi dalam pemeriksaan penyidik memberikan keterangan secara bebas.
Kemudian, keterangan terdakwa sebagai alat bukti disebut dalam pasal 184 sub e
dan juga disebut dalam pasal 188, tentang kadar keterangan terdakwa adalah sama
dengan keterangan tersangka di muka penyidik (pasal 52 jo pasal 117), artinya terdakwa
memberikan keterangan secara bebas.
Bilamana pasal 189 ayat (1) ini dibandingkan dengan pasal 1 butir 27, yang
memberikan batasan tentang keterangan saksi bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti
berupa keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, ia alami sendiri. Jadi kedua pasal tersebut ada persamaan wajib memberi
keterangan yaitu keterangan dari apa yang sesungguhnya terjadi (de materieele
waarheid).
Selain itu keterangan terdakwa dapat berisi:
1. pembenaran seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebut dalam surat dakwaan;
2. penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan dalam surat
dakwaan.
Yang menjadi masalah ialah bagaimana jika terdakwa mencabut
keterangannya dahulu yang dibuat di muka penyidik dan bagaimana penilaian
terhadap keterangan terdakwa? Menurut penulis, hakim dalam menghadapi
masalah ini harus berprinsip pada keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yaitu
apa yang ia nyatakan dalam persidangan. Pencabutan keterangan terdakwa atas
keterangannya di muka penyidik harus dibuktikan adanya paksaan dan atau
tekanan. Kedua alasan itu disebut di daklam penjelasan pasal demi pasal tidak
limitatif, tetapi jika ada alasan lain yang tepat dan masuk akal (aannemelijk)
misalnya salah faham dalam pengertian suatu hal maka pencabutan itu dapat
diterima baik.

53
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asal keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (pasal
189 ayat 2).
KUHAP memberi penegasan bahwa keterangan terdakwa di muka sidang
hanya merupakan bukti bagi dirinya sendiri, dan tidak bagi kawan terdakwa
(mede beklaagde) (pasal 189 ayat 3). Dalam praktek sering terjadi bahwa
terdakwa menyeret kawannya menjadi mede beklaagde, hanya karena balas
dendam atau alasan lain.
Berkanaan dengan penerapan alat-alat bukti yang bermacam-macam itu.
KUHAP memberikan tekanan bahwa keterangan dari terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan kesalahan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain
(pasal 189 ayat 4). Ketentuan ini, memberikan penegasan bahwa KUHP menganut
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke
bewijstheorie).
Oleh karena itu, satu alat bukti misalnya berujud keterangan terdakwa baik itu
mengandung pembenaran seluruhnya atau sebagian dari perbuatan yang
didakwakan ataupun penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan bukti sempurna untuk menjatuhkan hukuman pidana.
Demikian juga, tidak seorang pun dapat dikenakan hukuman pidana hanya
didasarkan atas persangkaan belaka.

PUTUSAN PENGADILAN

54
1. Musyawarah
Pada Bab XV tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan pada sub 8 perihal
Pengakhiran Pemeriksaan Sidang, setelah ditutup dan selanjutnya majelis mengadakan
permusyawaratan. Permusyawaratan hakim ini diletakkan atas dasar bahwa susunan
pengadilan merupakan kolegial. Dalam pasal 17 Undang-Undang tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 14 tahun 2004, menetapkan
bahwa semua pengadilan memeriksa dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya
tiga orang hakim. kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
Kemudian pelaksanaan atas asas Musyawarah Hakim ini dirumuskan dalam pasal
182 ayat (3), (4), (5), (6), (7) KUHAP.
Prodesur musyawarah majelis dapat dituturkan sebagai berikut: “Cara
musyawarah majelis untuk mengambil putusan pada asasnya dengan mufakat bulat.
Tetapi jika mufakat bulat tidak dapat tercapai, diambil suara terbanyak dan jika juga
tidak dapat tercapai suara terbanyak maka diambil pendapat yang paling
menguntungkan terdakwa.”
Pelaksanaan musyawarah itu dilandasi oleh aturan yang ditetapkan dalam
KUHAP yakni:
1. Dasar musyawarah ialah surat dakwaan dan segala sesuatu atau yang terbukti
dalam pemeriksaan sidang (pasal 182 ayat 4 jo pasal 144)
2. Hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda
sampai hakim yang tertua dan terakhir pada hakim ketua majelis.
Jawaban atas pertanyaan itu untuk memperoleh pendapat yang disertai
pertimbangan dan alasan tentang hal:
a. perbuatan apa yang sudah terang terbukti karena pemeriksaan;
b. sudah teranglah orang yang didakwa itu salah tentang perbuatan itu;
c. kejahatan apa yang telah terjadi karena hal itu;
d. hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada terdakwa yang setimpal dengan
perbuatan itu (pasal 182 ayat 5).

55
3. Putusan musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika
setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlakulah
ketentuan sebagai berikut:
a. putusan diambil dengan suara terbanyak mutlak (volstrekte meerderheid van
stemmen);
b. jika ketentuan tersebut dalam huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang
dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa
(pasal 182 ayat 6).
Dalam hal apa bisa diambil sebagaimana ketentuan huruf b yaitu bilamana salah satu
hakim mogok memberikan suara (bijstaking van stemmen) atau alasan lainnya.
4. Semua pelaksanaan pengambilan putusan di atas (ad. 3) dicatat dalam buku
himpunan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut
sifatnya rahasia (pasal 182 ayat 7).
Setelah permusyawaratan majelis selesai, sidang dibuka kembali dan dinyatakan
terbuka untuk umum. Hakim ketua masih perlu menanyakan kepada penuntut umum
dan terdakwa serta penasihat hukum, apakah masih ada hal-hal yang perlu dikemuka-
kan lagi. dan setelah kesempatan terakhir itu tidak ada yang mempergunakan, hakim
ketua membacakan putusan. Putusan selalu diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum kemudian seketika itu putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera (pasal
195 jo pasal 200).
Apabila putusan berujud pemidanaan, hakim ketua majelis wajib memberitahukan
kepada terdakwa tentang segala sesuatu yang menjadi haknya yaitu:
a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh undang-undang: Hak ini lazim
disebut hak pikir-pikir;
c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditetapkan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima
putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditetapkan oleh undang-undang, dalam hal ia menolak putusan;

56
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang
waktu yang ditetapkan oleh undang-undang (pasal 196 ayat 3).
Apabila putusan bukan pemidanaan maka wajib segera memberikan perintah
supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan (pasal 199 ayat 2).
Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya segera setelah putusan diucapkan (pasal 2.26 ayat 1). Salinan surat putusan
itu diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya diberikan permintaan (ayat 2). Pihak ketiga yang berkepentingan hanya
boleh diberikan salinan surat putusan dengan izin ketua pengadilan (ayat 3).
2. Menyusun Surat Putusan Pengadilan
2.1 Isi putusan pengadilan
Ada tiga macam putusan pengadilan:
- putusan bebas;
- putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
- putusan pemidanaan.
Pengertian putusan pengadilan diatur dalam Bab I, pasal I butir 11, yang
berbunyi: “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.”
2.1.1 Putusan bebas (vrijspraak)
Putusan bebas diatur dalam pasal 191 ayat (1) yang berbunyi: “Jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
maka terdakwa diputus bebas.”
Ketentuan pasal 191 (1) sama isinya dengan pasal 31,3 HIR: yang berbunyi:
“Jika Pengadilan Negeri berpendapat bahwa kesalahan orang yang dituduh tidak
terang maka orang itu dibebaskan;
Naskah rumusan Engelbrecht dalam pasal 313 HIR berbunyi: “Indien de Idndraad
bevindt, dat de schuld van den beklaagde niet bewezen is, wordt deze
vrijgesproken;. . . . “

57
Penjelasan atas pasal 191 ayat (1), menyebutkan yang dimaksud dengan
“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah
tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti yang sah.
Menurut Wiryono Prodjodikoroo' o' , ketiadaan bukti ini ada dua macam :
ke-l: Ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minimum
yaitu adanya pengakuan terdakwa saja atau adanya satu petunjuk saja, tidak
dikuatkan oleh alat bukti lain:
Ke-2: Minimum pembuktian yang ditetapkan undang-undang telah dipenuhi,
misalnya sudah ada dua orang saksi atau dua penunjukan ataa lebih tetapi
hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Hal ini masih ada satu kemungkinan yang dapat ditambahkan, bukan dari segi
ketiadaan alat bukti, tetapi dari segi lain yakni “kesalahan” atau schuld, yang
mempunyai pengettian bertalian dengan pertanggungjawaban pidana (toereke-
ningsvatbaarheid). Bila unsur schuld dalam bentuk dolus atau culpa tidak dapat
dibuktikan, berarti pada terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa harus
dibebaskan.
Sebagai kelengkapan ketentuan pasal 191 ayat (1) KUHAP (dalam RUU
pasal 184), tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan KUHAP yang
mengandung penafsiran otentik serta historis.
Menurut penulis, oleh karena makna istilah bebas dalam pasal 191 ayat (1) dan
pasal 244 serta pasal 67 (dalam RUU pasal 64) mempunyai makna yang sama
maka harus ditafsirkan sama pula. Dalam KUHAP tidak dikenal adanya istilah
bebas murni dan tidak murni, yang dikenal hanya satu istilah yakni putusan bebas.
Tetapi doktrin dan yurisprudensi dikenal istilah bebas tidak murni atau bebas
terselubung (zuivere vrijspraak dan onzuivere vrijspraak, verkapte vrijspraak).
Contoh putusan bebas (M.A. tanggal 4 Februari 1976 No. SS K/Kr/1974,)
unsur “niat” tidak dapat dibuktikan. “Permohonan banding jaksa terhadap putusan
mengenai tuduhan II Subsider berdasarkan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Drt
1951 seharusnya tidak diterima oleh Pengadilan Tinggi disebabkan putusan

58
Pengadilan Negeri adalah putusan “bebas murni” yaitu karena unsur “niat” untuk
memiliki barang-barang tidak dapat dibuktikan oleh Pengadilan Negeri.
2.1.2 Putusan lepas dari segala tun tutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntuan hukum diatur dalam pasal 191 ayat (2),
yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Pasal 191 (2) sama isinya dengan pasal 314 ayat (1) H1R yang berbunyi:
“Jika Pengadilan Negeri menimbang bahwa perbuatan yang menyebabkan orang
dituduh ditarik ke muka hakim betul terang, akan tetapi tiada menjadikan
kejahatan atau pelanggaran maka Pengadilan Negeri melepaskan orang yang
dituduh itu dari segala tuntutan hukum karena perkara itu.
Menurut Malikoel Adil, pembebasan yang tidak menurut pasal 313 HIR
(pasal 191 ayat 2 KUHAP), dinamakan pembebasan yang tidak sebenarnya
(onzuivere vrijspraa)'. Pembebasan ini dipakai dalam dua arti, yakni:
a. Dalam arti luas: di dalamnya juga termasuk pembebasan yang sebenarnya
merupakan pelepasan dari tuntutan, tetapi karena telah disebut pembebasan,
dinamakan pelepasan dari tuntutan yang bersifat tertutup.
Pembebasan yang hakikatnya pelepasan dari segala tuntutan (ontslag van alle
rechtsvervolging), dipakai :
1. Bila perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana, yang di
dalamnya termasuk:
- bila perbuatan yang didakwakan tidak mengandung segala unsur yang
dikehendaki oleh undang-undang misalnya dalam pembunuhan (eks
pasal 338 KUHP) tidak disebut unsur “sengaja” dalam surat dakwaan;
- bila perbuatan itu kehilangan sifat melawan hukum perbuatan misalnya
bila, perbuatan dilakukan untuk membela diri menurut syarat-syarat
undang-undang (noodweer pasal 48 KUHP);
2. Bila terdakwa, walaupun perbuatan yang didakwakan merupakan tindak
pidana, tetapi tidak dapat dipersalahkan kepadanya, di dalamnya termasuk:

59
- Hal-hal yang merupakan kekuasaan relatif tidak dapat diatasi ( relatieve
overmacht), lihat Jonkers;
- Keadaan badaniah yang tidak memungkinkan bertanggung jawab atas
perbuatan (ontrekeningsvatbaarheid)
b. Dalam arti sempit: Dalam hal ini jika hakim berpendapat bahwa unsur-unsur
dari tindak pidana tidak terbukti, akan tetapi pendapatnya keliru karena salah
catu unsur diartikan salah, salah karena tidak sesuai dengan kehendak
undang-undang. Jadi hakim tersebut menggunakan kriteria subjektif sebagai
manusia pribadi yang tidak sesuai dengan kriteria objektif yang harus dituruti.
Misalnya, salah mengartikan arti “aliran listrik” dalam surat dakwaan, karena
kata “barang” dalam unsur pasal 362 KUHP, secara objektif mengandung juga
pengertian “aliran listrik”.
Dalam arti sempit, lazim disebut sebagai verkapte ontslag van
rechtsvervolging.
2.1.3 Putusan pemidanaan (schuldig oordelen)
Putusan pemidanaan diatur dalam pasal 191 ayat (3) yang berbunyi sebagai
berikut:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Ketentuan pasal 191 ayat (3) sama isinya dengan pasal 315 ayat (1) HIR yang
berbunyi: “Jika Pengadilan Negeri menimbang bahwa orang yang dituduh itu
salah maka Pengadilan Negeri harus menjatuhkan padanya hukuman yang
ditetapkan untuk perbuatan itu, biarpun ternyata pemeriksaan persidangan
menyatakan bahwa kejadian itu hanya pelanggaran; tentang hal ini hendaklah
diperhatikan peraturan pada pasa1 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut Moeljatno dan Roeslan Saleh, yang memisahkan antara pengertian
perbuatan pidana dari pertanggungjawaban pidana, mempunyai konsekuensi lain
jika dibandingkan dengan pengertian yang tidak mengandung ide pemisahan.
Pandangan lazim, yang tradisional dalam pengertian perbuatan pidana dicakup
isinya, sifat dari perbuatan yang dilarang dan kesalahan terdakwa. maka
konsekuensinya ialah melakukan perbuatan pidana tentu dipidana.

60
Menurut Roeslan Saleh, dua aspek atau segi dari hukum pidana yaitu
menentukan:
1. apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau tidak;
2. apakah orang yang melakukan perbuatan dapat dipertangungjawabkan atau
tidak.
Dua aspek tersebut jangan dicampur adukkan karena memiliki sifat berlainan:
Adanya perbuatan pidana didasarkan atas asas: tidak ada perbuatan pidana jika
sebelumnya tidak dinyatakan sebagai demikian oleh suatu ketentuan undang-
undang, sedangkan bertanggung jawab berdasarkan atas asas : tidak dipidana jika
tiada kesalahan.
Untuk menjawab pertanyaan “Apakah perbuatan seseorang rnerupakan
perbuatan pidana atau tidak”, perlu dilakukan penelitian dari dua segi, yakni:
1. segi formal: Apakah perbuatan itu cocok pada rumusan delik tertentu sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam oleh peraturan undang-undang, misalnya
pencurian, pasal 362 KUHP;
2. segi materiil: Apakah perbuatan itu oleh masyarakat dipandang tidak patut
dilakukan atau sebagai perbuatan yang mempunyai sifat melawan hukum.
Pandangan dalam ilmu hukum disebut pandangan formal tentang sifat melawan
liukum perbuatan. dan yang kedua disebut pandangan materiil sifat melawan hukum
perbuatan.
Untuk menjawab pertanyaan “Apakah orang yang melakukan perbuatan dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak”, harus diperhatikan dua hal:
1. keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan;
2. hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Menurut
rumusan Simon, “Sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena
perbuatannya tadi”. Dua hal itu terjalin erat satu dengan lainnya dan dinamakan
kesalahan.
Pandangan pertama dalam ilmu hukum merupakan soal yang lazim dinamakan
masalah kemampuan bertanggung jawab; dan hal kedua merupakan masalah:
kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf; sehingga mampu bertanggung jawab,
mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan

61
unsur kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
demikian urutannya dan yang satu bergantung pada yang lain, serta yang disebut
kemudian bergantung pada yang disebutkan lebih dahulu.
2.2 Barang bukti
Tentang barang bukti diatur dalam pasal 194 ayat (1), (2) dan (3), yang
menentukan bahwa dalam putusan yang mengandung: pemidanaan, pelepasan dari
segala tuntutan hukum dan pembebasan, hakim akan memerintahkan bahwa barang-
barang itu dikembalikan kepada orang yang namanya disebutkan dalam surat putusan,
kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atu dirusakkan sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
Dalam ayat (2) ditentukan pengecualian atas barang bukti tersebut dalam ayat (1),
jika ada alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti itu diserahkan
segera sesudah sidang selesai. Penetapan penyerahan barang bukti itu, misalnya sangat
perlu untuk mencari nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian dan lain-lainnya.
Penyerahan barang bukti itu dapat dilakukan meskipun putusan belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, tetapi harus disertai dengan syarat tertentu, antara lain: barang
tersebut setiap waktu dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh (ayat 3).
Dalam pasal 194 tersebut tidak disebutkan penyerahan itu kepada siapa, kepada
orang yang memegang, orang yang menguasai atau kepada orang yang berhak, kecuali
yang dirampas.
Pada hakikatnya dalam hal penyerahan barang bukti ini, hakim pidana telah
memasuki bidang kekuasaan hakim perdata. Dalam hal penyerahan barang bukti ini
harus dilihat dan diteliti kasus per kasus. Pada prinsipnya, barang bukti yang
diserahkan kembali kepada orang yang namanya disebut dalam putusan sebagai orang
yang paling berhak (de meeste aanspraak). Misalnya dalam pencurian (pasal 362
KUHP). barang hasil curian diserahkan kembali kepada pemilik barang tersebut.
Dalam hal penipuan (pasal 378 KUHP), barang hasil penipuan diserahkan kepada
pemilik barang itu: Pada penggelapan (pasal 372 KUHP) barang hasil penggelapan
diserahkan kembali kepada pemegang barang yang terakhir. Alasannya ialah bahwa
pada pencurian maupun penipuan. barang itu “terlepas” dari tangan pemiliknya

62
dilakukan dengan tindakan yang melawan hukum; sedang pada penggelapan, barang
itu “terlepas” dari tangan pemilik dengan kerelaan pemilik. Terhadap putusan
pengembalian kepada yang paling berhak ini. para pihak masih leluasa mengajukan
soal siapa yang paling berhak kepada hakim perdata.
2.3 Bentuk formal putusan pengadilan
Dalam pasal 197 ayat (1) diatur tentang bentuk formal putusan pengadilan yang
mengandung pemidanaan dan dalam pasal 199 tentang bentuk formal putusan
pengadilan vang mengandung bukan pemidanaan. Dalam ayat (2) 197, ditentukan
bahwa putusan yang berisi pemidanaan yang tidak memenuhi syarat-syarat ayat (1)
huruf a, b, c, d, e, f, h, j , k, dan 1. pasal 197 mengakibatkan putusan batal demi
hukum. Selanjutnya, dalam pasal 199 ayat (1) ditentukan untuk surat putusan bukan
pemidanaan harus memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 197 ayat
(1) kecuali huruf e, f, dan h; juga pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; serta perintah supaya terdakwa
segera dibebaskan jika ia ditahan; kemudian ketentuan yang dimaksud dalam pasal
197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal 199 ini.
Putusan pemidanaan harus memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa;

63
g. hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letak
kepalsuan itu jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan
dan nama panitera.
Kemudian dalam pasal 200, dikatakan bahwa surat putusan ditandatangani, oleh
hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan.
Dalam menyusun surat putusan, bagian yang terpenting ialah bagian
pertimbangan hukum huruf d pasal 197 ayat (1), yang mengalirkan pikiran hakim ke
arah bunyi putusan. Putusan harus disusun secara rapi karena putusan selain
mengenai pelaksanaan dari suatu peraturan hukum pidana, Juga mengenai pelaksana-
an dari suatu peraturan hukum pidana, juga mengenai hak-hak asasi terdakwa, hak-
hak yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Terutama bila suatu putusan
pemidanaan sangat menyentuh dasar hak kemerdekaan perseorangan dan dirasakan
oleh terpidana maupun keluarganya, tidak hanya selama menjalani hukuman akan
tetapi kemudian setelah terpidana ke luar dari Lembaga Pemasyarakatan.
2.4 Catatan berita acara sidang
Pasal 202 mengatur tentang catatan berita acara sidang yang dibuat oleh
panitera, yang merupakan dokumen otentik lain di samping surat putusan
pengadilan. Berita acara sidang ini biasanya ditandatangani oleh ketua majelis
dan panitera sidang.
lsi berita acara sidang memuat segala kejadian pemeriksaan di sidang juga
memuat keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa. Di samping
berita acara sidang, ada juga berita acara pemeriksaan saksi dan terdakwa.

64
UPAYA HUKUM

Dalam KUHAP dikenal dua macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII, terdiri
atas pasal 233 sampai pasal 258 dan upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab
XVIII, terdiri atas pasal 259 sampai pasal 269 Upaya hukum biasa terdiri atas
Bagian kesatu pemeriksaan tingkat banding dari pasal 233 sampai dengan pasal
243 dan Bagian kedua pemeriksaan untuk kasasi dari pasal 244 sampai pasal 258.
Upaya hukum luar biasa terdiri atas Bagian kesatu pemeriksaan tingkat kasasi

65
demi kepentingan hukum dari pasal 259 sampai pasal 2(2 dan Bagian kedua pe -
ninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dari pasal 263 sampai pasal 269.
Dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 butir 12 diatur tentang pengertian
upaya hukum yang berbunyi; “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut
umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan penin jauan
kembali dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
1. Upaya Hukum Baasa
Upaya hukum biasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pemeriksaan
tingkat banding dan pemeriksaan untuk kasasi:
1.1 Pemeriksaan tingkat banding
1.1.1 Asas banding
“Atas semua putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan
pembebasan dari tuduhan dapat dimintakan banding kecuali apabila undang-
undang menentukan lain.” Sebagai pelaksanaan pasal tersebut maka acara
banding diatur dalam Bagian kedua Bab XVII.
Dalam Bab VI tentang tersangka dan terdakwa. pasal 67 menentukan hak
terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pemeriksaan tingkat banding atau
putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, ketentuan pasal 67 tersebut
ditunjuk oleh pagal 233 ayat (1), mengenai permintaan banding oleh terdakwa
atau penuntut umum.
Perkataan “kecuali” dalam pasal 67, menunjuk kepada tiga hal yang tidak
boleh dibanding yaitu:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukum;
3. putusan pengadilan dalam acara cepat.

66
Terhadap putusan butir (1) dan butir (3) tidak merupakan masalah karena kedua
putusan itu langsung harus dimintakan kasasi. Bagaimana pendapat Mahkamah
Agung terhadap putusan bebas tercermin dalam putusan Mahkamah Agung
tanggal 29 Desember 1983 No. 275 K/Pid/1983 dikenal dengan perkara Raden
Sonson Natalegawa, Mahkamah Agung menyatakan antara lain sebagai berikut :
“Bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan pasal, 67 KUHAP yang
menyatakan terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi, dan pasal 233
ayat (2) KUHAP bahwa hanya permintaan banding bukan merupakan putusan
bebas yang boleh diterima oleh panitera Pengadilan Negeri.”
“Bahwa seharusnya terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri, jaksa langsung mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung
karena Mahkamah Agung mempunyai tugas pembinaan dan menjaga agar hukum
dan undangundang diterapkan secara adil, yang berarti demi melaksanakan tugas
itu, suatu putusan bebas mutlak tidak dapat dibanding masih dapat dimohonkan
kasasi ke Mahkamah Agung.
Terhadap pengecualian itu yakni “putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum” tidak boleh dibanding, dan
dihubungkan dengan materi pasal 191 ayat (2) yang menetapkan kualifikasi putusan
lepas dari segala tuntutan hukum jika perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran).
Yang menimbulkan masalah ialah apa yang dimaksud dengan “kurang tepatnya
penerapan hukum” itu (butir 3). Dalam buku Petunjuk Pelaksanaan KUHAP
mengenai hal ini diberikan petunjuk pemecahannya.
Pengertian “kurang tepatnya penerapan hukum” tercakup dalarn pengertian
“pelanggaran hukum”, jadi merupakan soal hukum rechtswestie atau rechtsvraag,
bukan “fakta atau kenyataan.” Karena itu. masalah hukum menjadi salah satu alasan
kasasi (lihat pasal 253 ayat (1) sub a). Dengan dikaitkan pada ketentuan pasal 244
yang menyebut hak terdakwa atau penuntut umum untuk minta kasasi terhadap
putusan perkara pidana tingkat akhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung,
kecuali putusan bebas, maka harus diartikan bahwa “terhadap semua putusan lepas
dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding, melainkan

67
hanya boleh dimohonkan kasasi”. Permintaan banding berdasarkan pasal 233 ayat (1)
dan (2). terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum harus dianggap sebagai
tidak memenuhi syarat yang diminta oleh pasal 67 dan harus ditolak oleh panitera
Pengadilan Negeri, dengan kewajiban memberi keterangan kepada penuntut umum
mengenai haknya untuk mengajukan permohonan kasasi.
Karena itu pembentuk undang-undang berpendapat bahwa ketentuan pasal 67
sangat memperhatikan hak asasi terdakwa karena lebih membatasi permintaan
banding apabila putusan bebas dan lepas dari tuntutan hukum yang menyangkut
kurang tepatnya penerapan hukum. Misalnya : Hakim telah menyatakan perbuatan
yang dituduhkan terhadap terdakwa itu telah terbukti tetapi menilai bahwa perbuatan
itu bukan tindak pidana (karena bukan kejahatan ataupun pelanggaran), padahal
perbuatan yang telah dinyatakan terbukti itu sesungguhnya merupakan tindak pidana.
Putusan hakim itu jelas merupakan kesalahan/kekeliruan/ kurang tepatnya penerapan,
dan menurut pasal 191 ayat (2) justru tidak bisa dimintakan banding.
Sebagai contoh di atas dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman masih kabur
karena tidak konkret. Akan lebih jelas ialah arrest HR dan putusan Mahkamah Agung,
masing-masing dalam menilai putusan hakim tingkat pertama mengenai kekeliruan
penafsiran kata stoppen dan kata “barang”, sebagaimana telah diuraikan di bagian
putusan lepas dari segala tuntutan hukum Bab XVIII.

1.1.2 Acara pemeriksaan banding


Acara pemeriksaan banding diatur dalam pasal 233 sampai pasa1 243, sebagai
berikut:
a. Tenggang waktu mengajukan banding, yaitu 7 (tujuh) hari setelah putusan
dijatuhkan atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (pasal 233 ayat
(2)). Lewat tenggang waktu tersebut, tanpa diajukan permintaan banding oleh yang
bersangkutan. dianggap menerima putusan (pasal 234 ayat (1));
b. Panitera mencatat tentang permintaan banding dan waktu permintaan itu diajukan.
Dalam penjelasan atas pasal 233 ayat (2) ditegaskan bahwa panitera dilarang
menerima permintaan banding perkara yang tidak dapat dihanding atau permintaan
banding yang diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir. Jadi,

68
panitera mempunyai hak menolak permohonan banding yang tidak memenuhi sya-
rat yang ditentukan pasal 67 dengan kewajiban memberitahukan hak untuk kasasi.
c. Sebagai bukti penerimaan banding dan penolakan banding, panitera harus
memberikan akte penerimaan permintaan banding, atau akte penolakan
permintaan banding yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon serta
diketahui oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan Tembusan diberikan
kepada pemohon (pasal 233 ayat (3)).
d. Pencabutan banding selama perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi,
dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak
boleh diajukan lagi (pasal 235 ayat (1)).
e. Perneriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh sekurang-kurangnya 3
orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan Negeri
yang terdiri atas berita acara pemeriksaan penyidik serta surat yang timbul di
sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan Pengadilan Negeri
(pasal 238).
Dengan adanya ketentuan ini, Pengadilan Tinggi tidak diperkenankan lagi
untuk memeriksa perkara-perkara biasa secara singkat dengan hakim tunggal,
kecuali tindak pidana ringan.
f. Dalam pasal 240 diatur, jika Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa dalam
pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum
acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap maka Pengadilan Tinggi
dengan suatu keputusan dapat memerintahkan Pengadilan Negeri untuk
memperbaiki hal itu, atau Pengadilan Tinggi melakukannya sendiri (ayat 1).
Arti “keputusan” di sini adalah putusan sela (tussen vonnis).
Oleh ayat 2 ditentukan, jika perlu Pengadilan Tinggi dengan keputusan
(putusan sela. penulis) dapat membatalkan penetapan dari Pengadilan Negeri
sebelum putusan Pengadilan Tinggi dijatuhkan (pasal 240 ayat (2)). Arti
“penetapan Pengadilan Negeri” di sini adalah penetapan tentang acara
pemeriksaan dan bukan putusan Pengadilan Negeri.
Putusan ialah yang berupa putusan akhir (eind vonnis).
g. Dalam pasal 241 diatur mengenai isi putusan Pengadilan Tinggi, yaitu :

69
a. menguatkan putusan Pengadilan tinggi;
b. mengubah/memperbaiki putusan Pengadilan Negeri;
c. membatalkan putusan Pengadilan Negeri.
h. Kemudian dalam pasal 243 diatur tentang tugas administrasi pengadilan, yang
harus dilakukan oleh Kepaniteraan seperti pengiriman berkas kepada Pengadilan
Negeri yang memutus pada tingkat pertama, pencatatan registrasi isi putusan,
pemberitahuan kepada pihak yang mengajukan permintaan banding serta ketentuan
lainnya (ayat 1, 2. 3).
1.2 Pemeriksaan untuk kasasi
Kasasi sebagai lembaga hukum dilahirkan di Prancis. Perkataan kasasi di negeri
itu disebut cassation, berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau
memecahkan.
Seperti diketahui, peradilan di Indonesia menganut sistern kasasi, lazim disebut
“sistem kontinental” yang berasal dari Prancis. Tujuan dari kasasi, bahwa Mahkamah
Agung sebagai pengadilan kasasi adalah membina keseragaman dalam penerapan
hukum dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara
RI diterapkan secara tepat dan adil.

1.2.1 Asas kasasi


Bahwa acara kasasi diatur dalam pasal 244 disebut hak terdakwa atau
penuntut umum untuk minta kasasi terhadap putusan perkara pidana pada tingkat
akhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Perkataan akhir dari pasal 244 yaitu putusan bebas tidak dapat dimintakan
kasasi. Namun dalam praktek peradilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan
kasasi.
Menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan “bebas” yang oleh kebutuhan
praktek dapat dimintakan kasasi. Dalam praktek dikenal adanya putusan “bebas
murni” dan putusan “bebas tidak murni” serta “bebas terselubung atau
tersembunyi” dan “bebas dengan alasan pertimbangan kegunaan” sejalan dengan

70
perkembangan ilmu pengetahuan hukum. Dikatakan putusan bebas yang tidak
tunduk pada pemeriksaan kasasi disebut ”bebas murni” (zuive vrijspraak). Alasan
bahwa pembebasan tersebut tidak murni, juga tidak terdapat keberatan-keberatan
bahwa pembebasan termaksud didasarkan atas tafsiran yang kurang benar atau
kurang tepat.
Dari putusan Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa “bebas
murni” bukan :
a. pelepasan dari tuntuan hukum, atau
b. bebas karena penafsiran kurang tepat atau kurang benar.
Da1am doktrin ad. a disebut ontslag van rechtavervolging, dan ad. b, disebut
bedekte atau verdcapte vrijspraak.
Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan “bebas tidak murni”. Suatu
“pembebasan tidak murni” (vrijspraak) ialah suatu putusan yang bunyinya bebas
(vrijspraak) tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum
(ontslag van rechtsvervolging) yang disebut juga lepas dari segala tuntutan
hukum terselubung betekte ontslag van rechtsvervolging). Jadi bebas tidak murni
sama dengan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung.
Bemmelen memberikan rumusan tentang “bebas tidak murni” yaitu jika
hakim berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam surat
tuduhan tidak terbukti dan oleh karena itu terdakwa dibebaskan, sebab hakim
melihat dalam surat tuduhan lebih banyak daripada yang ada dan juga lebih
banyak daripada yang perlu dimuat di dalamnya.
Masalah lain yang timbul berkenaan dengan redaksi pasal 244, bila dihubungkan
dengan pasal 233, pada ketentuan pasal 233 disebutkan kata “atau yang khusus
dikuasakan untuk itu” di antara kata “oleh terdakwa” dan kata “atau penuntut
umum”,
1.2.2 Acara pemeriksaan kasasi
Acara pemeriksaan kasasi dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Alasan kasasi dalam ketentuan pasal 253 ayat (1) yaitu :
(a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya.

71
(b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang.
(c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Alasan-alasan tersebut dalam ketentuan pasal 253 ayat (1) diberikan dalam
ungkapan pertanyaan, sebaiknya diberikan dalam ungkapan negatif sehingga
rnenjadi ungkapan sebagai berikut :
Alasan kasasi dalam pasal 253 ayat (1) yaitu :
(a) Tidak diterapkan atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya peraturan
hukum;
(b) Tidak dilaksanakan cara mengadili menurut ketentuan undang-undang;
(c) Melampaui batas wewenangnya.
Dalam hubungan dengan alasan-alasan yang disebutkan dalam pasa1 253
ayat.(1) KUHAP adalah penting dikemukakan ketentuan pasal 52 UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Mahkamah
Agung “tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi,
melainkan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.” Hal ini berarti bahwa
apabila alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon itu ditolak, Mahkamah Agung
secara jabatan dapat membatalkan putusan itu atas alasan lain.
Ketentuan pasai 32 UU No. 14 Tahun 1985 tidak ditentukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sehingga alasan-alasan yang disebut dalam
pasal 253 ayat (1) K-UHAP adalah alasan limitatif, artinya tidak ada alasan lain
dalam pemeriksaan kasasi bagi perkara pidana kecuali yang disebut dalam pasal
253 ayat (1) di atas. Ketentuan pasal 52 UU Nomor 14 Tahun 1985 dapat
diterapkan dalam sengketa tata usaha negara dan dalam perkara perdata.
b. Terdakwa dan atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain dari
Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas (pasal 244 jo 67) lihat
uraian di muka (asas kasasi)
c. Tenggang waktu permohonan kasasi yaitu 14 (empat belas) hari setelah
putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada

72
terdakwa (pasal 245 ayat (1)). Apabila tenggang waktu sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) pasal 244 tersebut telah lewat, tanpa diaju kan
permohonan kasasi oleh yang bersangkutan maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan (pasal 246 ayat (1)); atau apabila dalam tenggang
waktu sebagaimana dirnaksudkan ayat (1) pasal 246 pemohon kasasi
terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk permohonan
kasasi itu gugur (pasal 246 ayat (2)).
d. Selanjutnya apabila pemohon kasasi mengajukan permohonan kasasi maka
permohonan tersebut dicatat oleh panitera dalam sebuah surat keterangan
yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon dan dicatat dalam register
yang dilampirkan dalam berkas perkara (245 ayat (2)).
e. Dalam hubungan ini, Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik
diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum atau kedua-duanya sekaligus,
panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain (pasal 245 ayat (3)).
f. Setelah oleh pasal 245 ayat (1) ditetapkan jangka waktu untuk mengajukan
permohonan kasasi itu ditetapkan 14 (empat belas) hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa, maka
oleh pasal 248 ayat (1) ditetapkan waktu menyampaikan permohonan itu atau
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kemudian; pemohon kasasi harus
mengajukan “alasan-alasan” permohonan kasasi. Jika hal itu dilalaikan maka
permohonan kasasi dianggap gugur (pasal 248 ayat (1) jo ayat (4).
Jadi, memori kasasi atau risalah kasasi yang memuat alasan-alasan kasasi
yang diajukan pada waktunya (tijdip) merupakan syarat mutlak bagi dilakukannya
pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung, sebagai suatu “pembuka pintu”
pemeriksaan kasasi, sebab jika pemohon melalaikan dalam waktu empat belas
hari memasukkan risalahnya maka permohonan kasasi harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
Lain halnya orang yang menyatakan banding, cukup menyatakan
kehendaknya saja untuk naik banding dan tidak ada kewajiban memasukkan
memori atau risalah banding. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung dianggap

73
cukup jika pemohon kasasi itu menulis suatu kalimat saja, misalnya cukuplah ia
menyatakan “tidak puas” dengan putusan yang dimohonkan kasasi itu.
g. Selama perkara 'permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung,
permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah
dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi (pasal
247 ayat (1)). Pencabutan permohonan kasasi dapat dilakukan sebelum
perkara dikirimkan ke Mahkamah Agung (pasal 247 ayat (2)). Pada
prinsipnya, permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali saja (pasal
247 ayat (4)).
h. Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera
disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan
kontra memori. Dalam tenggang waktu 14 hari, panitera menyampaikan
kontra memori kepada pihak lainnya yang menyebabkan memori semula
(pasa1248 ayat (5) dan (7)).
i. Satu hal yang baru diatur dalam KUHAP yang dahulu tidak diatur ialah
tambahan dalam memori kasasi dan kontra memori kasasi. Jika salah satu
pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori
kasasi atau dalam kontra memori kasasi, kepadanya diberi kesempatan untuk
mengajukan tambahan dalam tenggang waktu dimaksud pasal 248 ayat (1)
ialah 14 hari. Tambahan tersebut diserahkan kepada panitera pengadilan.
Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah tenggang waktu tersebut
ayat (1) permohonan kasasi selengkapnya oleh panitera disampaikan kepada
Mahkamah Agung (pasal 249).
j. Materi baru lain dalam memori kasasi diatur dalam pasal, 248 ayat (2), bila
panitera Pangadilan Negeri dalam hal terdakwa sebagai pemohon kasasi
kurang memahami hukum, maka ada kewajiban membuatkan memori
kasasinya. Bagi yang kurang memahami hukum diberikan kriteria :
1. bukan sarjana hukum; dan
2. bukan pengacara praktek.

74
k. Kemudian dalam pasal 250 dan 257 diatur mengenai hal yang harus
dilaksanakan oleh panitera Mahkamah Agung setelah menerima berkas
perkara, ialah sebagai berikut :
- mencatat dalam buku registrasi surat, buku registrasi perkara dan kartu
penunjuk;
- Buku registrasi itu wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh
panitera pada setiap hari kerja dan diketahui oleh Ketua Mahkamah Agung
karena jabatannya atau wakil ketua atau hakim anggota yang ditunjuk.
- Panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang
aslinya disampaikan kepada panitera.
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
- Setelah putusan dijatuhkan salinan putusan dikirimkan kepada ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan, salinan putusan serta berkas
perkara dikirimkan kepada pengadilan yang memutus dalam tingkat per-
tarna dalam waktu 7 hari (pasal 257).
1. Pemeriksaan permohonan kasasi diterima, Mahkamah Agung memeriksa
apakah permohonan tersebut telah memenuhi ketentuan pasal 245, 246, dan
247 mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau
mengabulkan permohonan kasasi (254).
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi, sebagaimana
dimaksudkan oleh pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal ini berlaku ketentuan pasal
255, yakni :
(1) Dalam hal peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya maka Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
(2) Dalam hal cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang. Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan
yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai
bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung

75
dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat
yang lain.
(3) Dalam hal pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang
mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan
atau hakim lain mengadili perkara tersebut (pasa1255).
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVII, meliputi Bagian Kesatu,
pemeriksaan tingkat kasasi demi hukum dan Bagian Kedua, peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.1 Kasasi demi Kepentingan Hukum
2.1.1 Asas kasasi demi kepentingan hukum
Dalam sistem peradilan di Indonesia, umumnya dianut di mana-mana, berlaku
suatu asas bahwa suatu putusan yang sudah berkekuatan mutlak tidak bisa diubah
lagi.
Apabila suatu perkara yang sudah diputus dengan putusan yang berkekuatan
mutlak akan diajukan lagi ke pengadilan maka tuntutan Penuntut Umum atau
gugatan baru dalam perkara perdata dapat ditangkis dengan eksepsi tentang sudah
adanya putusan yang berkekuatan mutlak itu. Eksepsi itu didasarkan pada asas
nebis in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap suatu kasus
yang sama antara dua pihak yang sama pula.

2.1.2 Acara pemeriksaan kasasi demi hukum


Pemeriksaan kasasi demi hukum dapat diajukan sebagai terobosan terhadap
putusan yang telah mempunyai kekuatan mutlak. Maksud kasasi demi hukum
diajukan agar hukum diterapkan secara benar sehingga ada kesatuan dalam peradilan.
Mengenai permohonan kasasi demi hukum, merupakan wewenang Jaksa Agung
yang dapat diajukan hanya satu kali terhadap semua putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain, selain daripada Mahkamah
Agung (pasa1259 ayat (1)).

76
Putusan kasasi demi hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan
(pasal 259 ayat (2)). Kata “tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan” harus
diartikan bahwa terhadap si terhukum sebagaimana ditetapkan dalam putusan yang
sudah mempunyai kekuatan mutlak yang dimohonkan pemeriksaan kasasi demi
hukum itu, tidak mengubah kedudukan si terhukum yang bersangkutan.
Alasan-alasan permohonan kasasi demi kepentingan hukum dalam pasal 260
ayat (1) dan penjelasannya tidak disebutkan, demikian juga dalam Pedoman
Pelaksanaan KUHAP, sehingga dalam praktek hal tersebut diserahkan kepada
kebijaksanaan Jaksa Agung. Menurut Subekti, pemeriksaan kasasi demi kepentingan
hukum dimaksudkan “memancing” suatu pendapat dari hakim kasasi inengenai
masalah hukum dengan maksud supaya putusan yang diperoleh menjadi teladan bagi
putusan yang akan datang. Pada asasnya, putusan hakim kasasi yang demikian tidak
membawa perubahan pada kedudukan para pihak kecuali apabila Mahkamah Agung
berkenan memberikan suatu “effect” (akibat) kepada para pihak.
Kasasi demi kepentingan hukum tidak terikat jangka waktu. Kasasi demi
kepentingan hukum diajukan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah
Agung melalui panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara pada tingkat
pertama, disertai risaiah yang memuat alasan. Risalah oleh panitera segera
disampaikan kepada pihak yang berkepentingan (pasal 260). Salinan putusan kasasi
demi hukum disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang
bersangkutan disertai berkas (pasal 261). Ketentuan kasasi demi kepentingan
hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berlaku pula bagi pu-
tusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer (pasal 262).
2.2 Peninjauan kembali putusan
2.2.1 Asas peninjauan kembali putusan
Dalam sistem peradilan di Indonesia, dan umumnya dianut di mana-mana,
berlaku asas bahwa suatu putusan yang sudah berkekuatan mutlak tidak bisa
diubah lagi. Dalam praktek, asas ini dapat diterobos dengan jalan peninjauan
kembali (herziening) untuk putusan pidana dan request civial untuk putusan
perdata.
2.2.2 Acara pemeriksaan peninjauan kembali (PK)

77
a. Peninjauan kembali dapat diajukan atas dasar alasan sebagai mana ditentukan
oleh pasal 263 ayat (2), yaitu :
1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain;
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata. Alasan yang disebut pasal 263 ayat (1)
bersifat limitatif.
b. Kemudian dalam ayat (3) pasal 263 dinyatakan bahwa atas dasar alasan yang
sama sebagaimana terbukti pada ayat (2) terhadap suatu putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali,
apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Mengenai ketentuan tersebut, yaitu tidak diikuti pemidanaan telah
berkembang ialah apabila dijatuhi tindakan dapat dimintakan penanjauan
kembali.
c. Adapun yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuaii
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah terpidana atau
ahli warisnya (pasal 263 ayat (1)).
d. Tata cara PK diatur dalam pasal 264 sebagai berikut :
- Permintaan PK diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus
perkaranya pada tingkat pertama;

78
- Permintaan PK oleh panitera ditulis dalam surat keterangan yang
ditandatangani panitera serta pemohon, dicatat dalam daftar dan
dilampirkan pada berkas perkara;
- Permohonan PK tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu;
- Pemohon PK adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera
pada waktu menerima permintaan PK wajib menanyakan apa alasan yang
mengajukan permintaan PK tersebut dan untuk itu panitera membuatkan
surat peninjauan kembali;
- Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan PK beserta berkas
kepada Mahkamah Agung, disertai penjelasan (jo Pedoman Pelaksanaan
KUHAP).
e. Kemudian dalam pasal 265 diatur hal-hal yang perlu dilakukan oleh ketua
Pengadilan Negeri setelah menerima PK yaitu :
- Menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan
PK, untuk memeriksa apakah permintaan PK itu memenuhi alasan sebagai
dimaksud dalam pasal 263 ayat (2);
- Dalam pemeriksaan itu jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya;
- Berita acara pemeriksaan ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon,
panitera, dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat
yang ditandatangani oleh hakim dan panitera;
- Ketua pengadilan melanjutkan permintaan PK yang dilampiri berkas
semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada
Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada
pemohon dan jaksa.
- Dalam hal perkara yang dimintakan PK itu adalah putusan pengadilan
banding maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan
berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan pada
pengadilan banding yang bersangkutan;
- Adapun yang dinilai apakah permohonan PK tersebut memenuhi syarat-
syarat yang tersebut dalam pasal 263 ayat (2).

79
Dalam pada itu, apabila pendapat-tersebut berdasarkan penilaian kebenaran
materiil dan formal maka itu akan menjadi bahan bagi Mahkamah Agung
dalam memberikan putusan (pasal 265 jo. Pedoman Pelaksanaan KUHAP).
f. Pemeriksaan di tingkat Mahkamah Agung, setelah menerima permohonan PK,
hal tersebut diatur dalam pasal 265. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat :
1. PK tidak memenuhi ketentuan pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung
menyatakan bahwa permintaan PK tidak dapat diterima dengan disertai alasan
(pasal 266 ayat (1));
2. PK memenuhi syarat pasal 263 ayat (2) dan dapat diperiksa dan berlaku
prosedur sebagai disebut dalam pasal 266 ayat (2) yaitu :
a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak pernlintaan PK dengan penetapan bahwa
putusan yang dimintakan PK itu tetap berlaku disertai pertimbangannya;
b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang yang dimintakan PK itu dan
menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
c. Pidana yang dijatuhkan dalam PK tidak boleh melebihi pidana yang
telah dijatuhkan dalam putusan semula;
g. Pasal 267 KUHAP mengatur tentang pengiriman salinan putusan Mahkamah
Agung, yaitu dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan dijatuhkan, putusan
serta berkas dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan PK.
h. Peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan itu, dan permintaan PK hanya dapat
dilakukan satu kali saja. Bilama permintaan PK sudah diterima Mahkamah
Agung dan sementara itu pemohon PK meninggal dunia, permintaan PK
diteruskan atau tidak diserahkan kepada ahli warisnya.

80
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

1. Kekuatan Putusan Pengadilan


Dalam KUHAP dan HIR tidak diatur tentang pengertian kekuatan putusan
pengadilan. Dalam pasal 180 HIR hanya disebut bahwa adanya suatu putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Demikian pula dalam
pasal 270 KUHAP, disebutkan : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mem -

81
peroleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera
mengirimkan salinan surat, putusan kepadanya”.
Dalam kedua ketentuan itu menyebutkan adanya putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap dapat dijalankan oleh jaksa, artinya untuk melaksanakan
isi putusan pengadilan itu dapat diminta bantuan alat-alat negara. Pelaksanaan
putusan pengadilan pidana dijalankan oleh jaksa, sedang pelaksa naan putusan
pengadilan perdata, dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan mutlak berarti
sudah ditutup kemungkinan untuk pemeriksaan kembali putusan itu dengan jalan
upaya hukum biasa. Akan tetapi masih dimungkinkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan mutlak diterobos dengan jalan upaya hukum luar biasa.
Ada tiga macam kekuatan putusan pengadilan :
1. Dalam pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), diatur tentang
luas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, yakni
terhadap soal yang dituntut adalah sama, dan tuntutan didasarkan atas alasan
yang sama serta diajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam
hubungan yang sama, maka terhadap hal-hal demikian tidak boleh diajukan lagi
kepada pengadilan. Asas ini disebut asas nebis in idem. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) asas nebis in idem dimuat dalam pasal 76,
yang melarang untuk menuntut dua kali karena perbuatan terhadap dirinya telah
diadili dengan putusan yang telah menjadi tetap. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan tetap
putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Istilah Res judicata pro
veritate habitur, artinya putusan yang mempunyai kekuatan tetap dengan
sendirinya mempunyai kekuatan mengikat.
2. Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan tetap atau pasti dan seperti
halnya dengan akte otentik lainnya memberikan kekuatan bukti sempurna
tentang apa yang dimuat di dalamnya (pasal 1870 BW), baik terhadap pihak-
pihak maupun terhadap ahli warisnya. Bukti perlawanan diizinkan (pasal 1918
BW). Pasal 1918 BW berbunyi : “suatu putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan mutlak, dengan putusan itu seseorang telah dijatuhi hukuman karena

82
kejahatan atau pelanggaran, dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai
suatu bukti tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya”. Pasal 1918 BW memberikan pengaturan, bahwa
putusan hakim pidana mempunyai kekuatan bukti sempurna, sampai ada bukti
sebaliknya.
3. Putusan pengadilan mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga, sebagai
pula akte mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga. Seberapa jauh
kekuatan bukti itu, terserah kepada kebijaksanaan hakim, sehingga putusan itu
terhadap pihak ketiga mempunyai arti sebagai persangkaan.
Di samping itu pula, putusan yang telah mempunyai kekuatan mutlak, yang
tidak bisa diubah lagi, mempunyai kekuatan executorial (kekuatan untuk
dijalankan) yaitu kekuatan yang memaksa, yang berarti apa yang telah
ditetapkan sebagai putusan dapat dijalankan dengan bantuan alat-alat Negara.
2. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Dalam KUHAP Bab IV tentang penyidik dan penuntut umum, Bagian Ketiga
tentang Penuntut Umum, pasal 14 huruf j diatur wewenang penuntut umum, yaitu :
“melaksanakan penetapan hakim”. Sejalan dengan itu, sesuai dengan pasal 270,
jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dan untuk melaksanakan putusan panitera mengirimkan salinan surat
keputusan kepadanya (jo pasal 2 UU No. 15/1961).
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan perlu diperhatikan apabila terdakwa
mohon penangguhan menjalankan putusan selama 14 hari, dalam tempo tersebut
terpidana berniat akan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Jika hal itu
betul, permohonan grasi diajukan dalam tenggang tersebut, maka hal menjalankan
putusan pengadilan ditangguhkan sehingga mendapat putusan dari Presiden tentang
permohonan grasi (pasal 196 ayat (3) sub c).
Di samping itu, harus diperhatikan pula bentuk-bentuk putusan Pengadilan
Negeri, misalnya seperti tersebut dalam pasal 191. Demikian juga harus
diperhatikan pula salah satu tindakan hakim (mastragelan) dalam memutus perkara
pasal 45 KUHP.
Selanjunya, hukuman-hukuman terdiri atas :

83
a. Hukuman pokok :
1. Hukuman mati;
2. Hukuman penjara;
3. Hukuman kurungan;
4. Hukuman denda.
b. Hukuman tambahan :
1. Pencabutan beberapa hak tertentu;
2. Perampasan barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
2.1 Hukuman mati
Dalam pasal 271 diatur tentang pidana mati yang dalam pelaksanaannya
dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan undang-undang. Sebenarnya
mengenai pelaksanaan hukuman mati sudah diatur dalam pasal 11 KUHP yaitu
dijalankan dengan mengikat leher terpidana dengan sebuah tali pada tiang
gantungan kemudian papan di bawah kakinya dijatuhkan.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia dikeluarkan suatu peraturan
Osamu Gunrei No. 1 tahun 1942 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati
adalah dengan jalan menembak mati terpidana. Dengan Undang-Undang Federal
(Pemerintah Belanda) pada tanggal 21 Agustus 1945, Staatsblad tahun 1945 No.
123, yang berlaku pada tanggal 25 Agustus 1945, dalam satusatunya pasal
menentukan :
(1) Menyimpang dari apa yang tentang hal ini ditentukan dalam undang-undang
lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil, sepanjang tidak
ditentukan lain oleh Gubernur, Jenderal, dilakukan secara menembak mati
dengan peluru (met de kogel).
(2) Mengenai cara menjalankan hukuman mati ini sedapat mungkin diturut aturan-
aturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal guna melaksanakan pasal 8
Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer Indonesia (Wetboek van Militair
Strafrecht voorlndonesia).
Menurut Wiryono Prodjodikoro, bahwa S. 1945 No. 123 dapat dianggap tidak
bermaksud mengubah pasal 11 KUHP dari Hindia Belanda, melainkan hanya

84
mengatakan bahwa untuk sementara waktu berhubung dengan keadaan istimewa,
hukuman mati akan dijalankan cara menembak mati, dan lagi Staatsblad tersebut
tidak hanya mengenai pasal 11 KUHP.
Dalam Gestichten Reglement (Peraturan tentang Rumah-rumah Penjara)
Staatsblad tahun 1917 No. 708, terpidana dengan pidana mati harus diizinkan
bertemu dengan guru agama atau pendeta. Pidana mati tidak boleh dijalankan pada
hari Minggu atau Hari Raya Nasional atau keagamaan.
Dalam Undang-Undang Grasi No. 3 tahun 1950 (LN No. 40 tahun 1950), pasal
2 ayat (3) antara lain ditetapkan : “. . . . Hukuman mati tidak dapat dijalankan
sebelum keputusan Presiden sampai pada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam
pasal 8 ayat (3) atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan ke-
hakiman ......”
Dalam melaksanakan hukuman mati, pengawasan dalam mengeksekusi tidak
dilakukan pengadilan (dalam hal ini hakim pengawas/pengamat) tetapi
dilaksanakan oleh jaksa secara tuntas sampai terpidana selesai ditembak mati.
Menurut Han Bing Siong, sejak tanggal 29 September 1958, pidana mati
seharusnya dilaksanakan dengan cara menggantung menurut pasal 11 WvS
tersebut.
Pelaksanaan pidana mati ditunda, karena :
1. Terpidana menjadi gila;
2. Terpidana (wanita) menjadi hamil.
Dalam hal ini, pelaksanaan pidana mati akan dijalankan. apabila yang gila sudah
sembuh dan yang hamil sudah melahirkan anak.
Pelaksanaan pidana mati terhadap terpidana, tidak dapat dijalankan sebelum
Presiden diheri kesempatan dan akan memutuskan apakah kepadanya akan diberi
grasi atau tidak.
2.2 Hukuman penjara dan hukuman kurungan
Dalam pasal 272 ditentukan, jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan
kemudian dipidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan
terdahulu. maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang
dijatuhkan lebih dahulu, mulai dengan pidana yang paling berat.

85
2.3 Hukuman denda
Mengenai pelaksanaan putusan berupa hukuman denda diatur dalam pasal 273
ayat (1), yaitu jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana
diberi jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam pu-
tusan acara pemeriksaan cepat yang harus dilunasi seketika.
Dalam ayat (2) pasal tersebut, jangka waktu dapat diperpanjang paling lama
satu bulan. Pada lazimnya jika hukuman denda dijatuhkan, diberikan hukuman
penggantinya berupa hukuman kurungan, artinya bilamana terpidana hanya dapat
melunasi hukuman denda separuh denda, maka sisanya diganti dengan hukuman
kurungan. Misalnya : Hukuman denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
subsider hukuman kurungan selama 3 bulan.
2.4 Perampasan barang bukti
Dalam eksekusi barang rampasan, ada dua kemungkinan, yakni :
1. Barang-barang yang hendak dirampas telah disita;
2. Barang-barang yang hendak dirampas dalam keadaan tidak disita.
Terhadap barang-barang dalam angka (1), barang-barang yang hendak dirampas
telah dilakukan penyitaan. maka proses selanjutnya dilakukan dengan penjualan
secara lelang dan hasil penjualannya disetor ke kas negara.
Sedang terhadap barang-barang dalam angka (2), dalam praktek lazimnya
dapat menimbulkan berbagai masalah karena hakim harus membuat taksiran dari
harga-harga barang yang tidak diserahkan dan sejumlah uang tidak dibayarkan,
maka perampasan diganti dengan kurungan (pasal 273 ayat (3) jo pasal 41 ayat (1))
KUHP.
Selain itu barang bukti dapat juga diputus untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi (pasal 46 ayat (2)) KUHAP.
Pelaksanaan dilakukan dengan suatu berita acara pemusnahan atau perusakan.
3. Biaya Perkara
Dalam pasal 197 ayat (1) disebutkan biaya perkara (gerechts kosten). Siapa
pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka biaya perkara dibebankan
kepada negara.

86
Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan
dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat-syarat tertentu, biaya perkara
dibebankan kepada negara (pasal 222).
Dalam pasal 275 diatur, apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu
perkara, maka biaya perkara dibebankan kepada mereka bersama-sama secara
berimbang.
Termasuk biaya perkara ialah biaya untuk saksi dan saksi ahli yang telah hadir
guna memenuhi panggilan sidang dalam rangka memberikan keterangan kesaksian
(pasal 229).
4. Hukuman Penggantian Biaya Ganti Kerugian
Dalam pasal 274 diatur tentang hukuman penggantian biaya ganti kerugian
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 99, sebagai akibat penggabungan perkara
perdata kepada perkara pidana, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara
putusan perdata. Jika hal itu dihubungkan dengan pasal 83 KUHP, hak menjalankan
pidana hilang (terhapus) jika terpidana mati, maka hukuman penggantian biaya
ganti kerugian ditagih kepada ahli warisnya.

PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN


PENGADILAN

Hakim pengawas dan pengamat ditunjuk untuk waktu dua tahun. Maksud
pengawasan, adalah selain hakim akan mengetahui sampai di mana putusan
pengadilan itu, hasil baik atau buruk pada diri narapidana yang bersangkutan, juga
penting bagi penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada
umumnya.

87
Di Jerman misalnya mengenal 2 waktu, ialah tahun 1953 dan tahun 1969,
mengintrodusir lembaga hukum yang mengawasi eksekusi dari putusan yang
dijatuhkan terhadap juveniles. Dikatakan di situ bahwa hakim bekerja sama dengan
Direkturdirektur Pemasyarakatan mengenai soal-soal yang merupakan
implementasi dari putusan yang bersangkutan dan kemudian mengambil putusan
yang berhubungan dengan, administrasi tentang putusan hakim mengenai juveniles,
seperti memberikan conditional release dan pengawasan terhadap conditionally
sentences atau terhadap pelanggaran yang conditionally released.
Pada tahun dikeluarkannya perundang-undangan di Jerman dengan
terbentuknya kamar pada pengadilan-pengadilan yang bersangkutan dengan
eksekusi putusan-putusan terhadap pelanggar hukum yang telah dewasa, hakim dari
pengadilan-pengadilan tersebut mempunyai yurisdiksi terhadap tempat-tempat
hukuman pemasyarakatan tempat pelanggar dewasa tersebut menjalani
hukumannya. Pengadilan inilah yang memiliki wewenang untuk mengambil
putusan-putusan, seperti parole unconditional release terhadap pelanggar-
pelanggar hukum tersebut, dan sebagai tambahan, mereka melaksanakan legal
control terhadap administrasi narapidana atas permintaan dari terhukum.
Perundang-undangan di Indonesia telah memberikan kepada hakim tugas
pengawasan atas eksekusi hukuman. Dengan demikian, ia berhubungan dengan
lembaga lembaga pemasyarakatan yang asasnya diletakkan dalam UU No.14 tahun
2004.
Dalam KUHAP mengenai pokok pelaksanaan pengamatan dan pengawasan
diatur dalam pasal 277 sampai pasal 283 dilaksanakan sebagai berikut :
a. Di tiap pengadilan ada hakim yang khusus diberi tugas membantu ketua dalam
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang
menjatuhkan perampasan kemerdekaan (pasal 277 ayat (1)). Dan untuk jabatan
itu hakim pengawas dan pengamat untuk paling lama dua tahun (pasal 277 ayat
(2))..
b. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang
ditandatangani olehnya, kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana kepada
pengadilan, yang memutus perkara pada tingkat pertama (pasal 278).

88
c. Panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. Register ini
wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan
untuk diketahui ditandatangani oleh hakim pengawas dan pengamat (pasal 279).
d. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh
kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pengamatan tersebut dipergunakan sebagai bahan penelitian demi ketetapan
yang bermanfaat bagi pemidanaan yang diperoleh dari perilaku narapidana atau
pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap
narapidana selama menjalani pidananya.
Pengamatan tetap dilaksanakan setelah narapidana selesai menjalani pidana
(pasal 280).
e. Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, Kepala Lembaga
Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu
tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim
tersebut (pasal 281). Informasi tersebut dituangkan dalam bentuk yang sudah
ditentukan.
Demi pendayagunaan pengamatan hakim pengawas dan pengamat dapat
membicarakan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara
pembinaan narapidana. Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan kepada
Ketua Pengadilan secara berkala (pasal 282 dan 283).
Kemudian diatur administrasi dan registrasi agar ada keseragaman serta
pengisian buku registrasi sebagaimana diatur dalam pasal 277 sampai dengan pasal
282.

89

Anda mungkin juga menyukai