Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 1

Nama Mahasiswa : HERAWANTO BAGAS WICAKSONO

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043549155

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4203/Hukum Pidana

Kode/Nama UPBJJ : 21/JAKARTA

Masa Ujian : 2023/2024 Ganjil (2023.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban :

a. Teori dasar mengikat hukum


internasional
Kekuatan mengikat hukum
internasional adalah keinginan
suatu negara
untuk tunduk pada HI atas
kehendak negara itu sendiri,
"Selbst limitation theorie"
atau Self limitation theory.
Tokoh aliran ini adalah
George Jellineck, yang
meletakkan dasar bahwa
negaralah yang merupakan
sumber segala hukum, dan
hukum internasional itu
mengikat karena negara itu
tunduk pada hukum
internasionalatas kemauan
sendiri.Aliran ini menyandarkan
pada falsafah Hegel
yang mempunyai pengaruh
sangat kuat di Jerman.(Mochtar
Kusumaatmadja,
1989, 44) . Hukum internasional
bukan suatu yang lebih tinggi
yang mempunyai
kekuatan mengikat di luar
kemauan negara. Kelemahan dari
teori-teori ini ialah
bahwa mereka tidak dapat
menerangkan dengan
memuaskan bagaimana
caranya hukum internasional
yang tergantung dari
kehendak negara dapat
mengikat suatu negara. Muncul
pertanyaan bagaimana jika suatu
negara secara
sepihak membatalkan niatnya
untuk terikat pada hukum
internasional, sehingga
tidak mempunyai kekuatan
mengikat lagi, masih patutkah
dinamakan hukum?
Teori ini tidak dapat menjawab
pertanyaan mengapa suatu negara
baru, sejak
menjadi bagian dalam
masyarakat internasional sudah
terikat oleh hukum
internasional, terlepas dari mau
atau tidak tunduk pada
hukum internasional.
Begitu juga mengenai hukum
kebiasaan internasional belum
terjawab dalam
teori ini. Berbagai kelemahan dan
keberatan dari aliran tersebut
dicoba diatasi
oleh aliran lain dari teori
kehendak negara yang
menyandarkan kekuatan
1. Hukum pidana materil adalah hukum pidana yang mengatur norma perbuatan yang
dilarang, diperitahkan, dan diharuskan oleh undang-undang pidana yang disertai
dengan sanksi pidana bagi barang siapa yang melakukan perbuatan pidana termasuk
semua unsur delik yang ada dalam rumusan pasal pidana. Secara sempit objek dari
hukum pidana formil adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan
hukum pidana formil adalah hukum pidana yang mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan dari hukum pidana material, kapan dan bagaimana serta dengan cara
apa pengenaan pidana tersebut dapat dilaksanakan, hokum pidana formil berperan
dalam menegakkan hukum pidana material atau yang secara sempit kita kenal
dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun contoh
dari sebuah peristiwa yang menggambarkan pengertian dari hukum pidana material
misalnya A melakukan tindak pidana pencurian, jadi berdasarkan perbuatan yang
dilakukannya A telah memenuhi perbuatan pencurian sebagaimana yang dirumuskan
dalam pasal 363 KUHP. Sedangkan contoh peristiwa yang menggambarkan
pengertian dari hukum pidana formil misalnya seorang polisi melakukan
penangkapan kepada seorang pelaku pencurian, penangkapan yang dilakukan
merupakan contoh dari pelaksanaan hukum acara pidana sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP.

2. Fungsi preventif adalah fungsi pencegahan yang dilakukan sebelum terjadinya suatu
kejahatan. Tindakan preventif ini dilakukan dengan cara mencegah secara langsung
terhadap kondisi-kondisi yang secara nyata dapat berpotensi menjadi permasalahan
sosial dan tindakan kejahatan. Tindakan Preventif sendiri dilaksanakan oleh fungsi
Sabhara dan Intelijen Polri. Pada bagian ini, fungsi-fungsi kepolisian tersebut bekerja
agar dapat mencegah terjadinya tindakan kejahatan yang bisa membahayakan
keamanan dan ketertiban masyarakat.

Adapun contoh Fungsi preventif misalnya antara lain:

a. Polisi mengajak masyarakat untuk bekerja sama melindungi anak-anak disekitar


lingkungan mereka.

b. Mengajak masyarakat untuk berkoordinasi jika melihat terjadinya tindak pidana


kesusilaan terhadap anak agar segera melapor kepada pihak yang berwenang.

c. Polisi memberikan penyuluhan-penyuluhan serta mengajak orang tua untuk lebih


memperhatikan anak-anaknya.

Dilakukannya berbagai upaya preventif ini ditujukan agar masyarakat dapat


membantu Polisi secara langsung untuk mencegah terjadinya tindak pidana
kesusilaan terhadap anak. Upaya preventif ini diharapkan dapat menekan tingginya
angka tindak pidana kesusilaan terhadap anak yang terjadi setiap waktu.

Fungsi represif adalah upaya yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan,


penindakan atau upaya hukum. Upaya represif yang dilakukan adalah dengan melalui
penyelidikan, penangkapan, penyidikan, hingga sampai pada peradilan yang
kemudian diputuskan oleh hakim. Upaya represif mendasarkan pada bukti awal yang
ada, melakukan penangkapan dan diteruskan pada langkah penyidikan dengan
menghubungkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bila bukti itu telah cukup maka
perkara dilimpahkan ke Kejaksaan.

Contohnya adalah misalnya pengendalian represif adalah pemberian sanksi pada


orang yang melakukan pelanggaran.

3. Dalam kaitannya dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan
kepada undang undang pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi
menjadi tiga yaitu:

a) Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-
undang;
b) Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
c) Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.

Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin, tidak dikenal pepatah ini;
jugaasas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam : Tijdschrift v.
Strafrecht dalam halaman 337 dikatakan bahwa di zaman Romawi itu dikenal
kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang
tidak disebut dalam Undang-Undang.

Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah crimina stellionatus,
yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan
berupa apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima di
Eropa Barat dalam abad
Pertengahan, sebagaimana halnya kita dalam jaman penjajahan, meresipier hukum
Belanda)maka pengertian tentang crimina extra ordinaria ini diterima pula oleh raja-
raja yang berkuasa.Dan dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan
kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang
menurut kehendak dan kebutuhan raja sendiri. Sebagai puncak reaksi terhadap sistim
absolutisme raja-raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime,
maka di situlah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih
dahulu (Prof. Moeljatno mempergunakan istilah wet) perbuatan-perbuatan yang
dapat dipidana, agar warga lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan
perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois” (1748,
dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama tama dapat diketemukan
pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam undang-undang adalah
dalam pasal 8 “Declaration des Droits de l’homme et du citoyen” (1789), semacam
undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi
Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu
peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari
peraturan tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis, di
bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di Belanda
karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van
Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan kemudian karena adanya asas konkordansi,
antara Nederland Indie (Indonesia) dan Nederland, masuklah ke dalam pasal 1
Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut dikemukakan
sehubungan dengan teori vom psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan
supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan
bukan saja tentang macam perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga
tentang macam pidana yang dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang
yang akan melakukan perbuatan yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah
mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu
dilakukan. Dengan demikian, dalam hatinya, lalu terdapat suatu kesadaran atau
tekanan untuk tidak berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan tadi tetap
dilakukan, maka apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana
tersebut,dapat dianggap pelaku telah menyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach
mengenai pidanaialah pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori
pembalasan (retribution).

Contohnya adalah kasus yang dialami presenter televisi Raffi Ahmad. Dalam hal ini
Narkoba Jenis baru Akan Dimasukkan dalam UU Narkotika disebutkan bahwa barang
bukti zat narkoba yang ditemukan dalam kasus Raffi belum terdaftar dalam Lampiran
UU Narkotika. Karena alasan itu, akhirnya Raffi dibebaskan. Mengenai langkah BNN
yang akhirnya membebaskan Raffi, hal ini erat kaitannya dengan salah satu asas
hukum pidana, yakni asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

“Suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dulu
dalam suatu ketentuan perundang-undangan.”

Sumber Referensi :- HKUM4203-https://www.mkri.id/index.php?


page=web.Berita&id=12921

Anda mungkin juga menyukai