Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN UMUM

A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami pokok-pokok persoalan atau sengketa-sengketa dalam
hukum perdata

B. Tujuan Instruksional Khusus :


Setelah mempelajari Bab I ini, mahasiswa mampu menjelaskan pengertian hukum acara
perdata, sumber hukum acara perdata, sejarah hukum acara perdata dan asas-asas hukum
acara perdata.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Manusia sebagai makhluk hidup bermasyarakat mempunyai kebutuhan hidup yang
beraneka ragam. Kebutuhan hidup tersebut dapat terpenuhi jika diadakan hubngan antara satu
sama lain. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban seperti ini telah diatur dalam
peraturan hukum yang disebut hubungan hukum. Hukum perdata mengatur hak dan
kewajiban orang-orang yang mengadakan hubungan hukum, Peraturan hukum perdata
meliputi peraturan hukum tertulis seperti peraturan perundang-undangan, KUH Perdata (BW,
KUH Dagang (WvK), Undang-undang perkawinan dan peraturan tidak tertulis berupa hukum
adat dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Semua peraturan hukum yang memuat hak
dan kewajian disebut hukum material (substantive law) atau lazim disebut hukum perdata
saja.
Dalam hubungan hukum yang terjadi mungkin timbul keadaan bahwa salah satu pihak
tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak yang lain, sehingga pihak yang lain dirugikan
haknya.Untuk mempertahankan hak dan memenuhi kewajiban seperti yang diatur dalam
hukum perdata, orang tidak boleh bertindak semaunya sendiri atau menghakimi sendiri.
Mengenai tindakan menghakimi sendiri ini ada tiga pendapat, ada yang mengatakan
bahwa tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Bonevel Feure).
Alasannya bahwa oleh karena hukum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk
memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan-
tindakan di luar upaya-upaya tersebut, yang dapat dianggap sebagai tindakan menghakimi
sendiri dilarang. Pendapat ini bolehlah ditinggalkan. Menurut pendapat kedua, tindakan
menghakimi sendiri pada asasnya dibolehkan atau dibenarkan dengan pengertian bahwa yang
melakukannya dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (Cleveringa). Pada
hakekatnya disini pun tindakan menghakimi sendiri tetap tidak dapat dibenarkan, karena
apabila dilakukan ada akibat hukumnya, yaitu dianggap telah melakukan perbuatan melawan
hukum, sehingga terikat untuk membayar ganti kerugian. Pendapat ketiga mengatakan bahwa
tindakan mnghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila peraturan
yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakanan menghakimi sendiri itu secara
tidak tertulis dibenarkan (Rulten) (Sodikno Mertokusumo, 2000: 2-3).
Tuntutan hak seperti yang telah diuraikan diatas sebagai tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hukum yang diperoleh pengadilan untuk
mencegah”eigenrichiting”, ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa
yang disebut gugatan dimana sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa yang disebut perohonan dimana hanya terdapat satu pihak saja.
Apabila para pihak yang bersagkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya
secara damai dan minta penyelesaian kepada hakim maka cara penyelesaian sengketa
pengadilan diatur dalam Hukum Acara Perdata (Civil Procedural Law). Peradilan dalam
hukum acara perdata dibagi menjadi peradilan volunter (voluntaire jurisdictie) yang sering
juga disebut “peradilan suka rela” atau peradilan yang tidak sesungguhnya dan peradilan
contentieus (contentieuse jurisdictie) atau peradilan “sesungguhnya”. Tuntutan hak yang
merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam peradilan
volunter, sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain
hukum acara perdata peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materil. Lebih kongkretnya hukum acara perdata mengatur
tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan
pelaksanaan dari putusannya.
Hukum acara perdata diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum materiil perdata.
Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti
halnya hukum perdata materiil namun melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan
kaidah hukum materiil perdata atau melindungi hak perseorangan.
Dari banyak literatur yang ada, maka kita akan menemui berbagai macam definisi
hukum acara perdata ini dari para ahli (sarjana) yang satu sama lain merumuskan berbeda-
beda namun pada prinspnya mengandung tujuan yang sama Wirjono Projodikoro (1975: 13)
mengemukakan :
bahwa hukum acara adalah rangkaian perturan-peraturan yang mengatur cara
bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaiamana pengadilan
harus bgentindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.
Sudikno Mertokusumo, (2000: 2) menyatakan :
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.
Abdul Manan berpendapat :
bahwa hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara
mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan
diri dari gugatan penguggat, bagaimana para hakim bertindak dan bagaimana hakim
memutuskan perkara dan melaksanakan putusan .
Abdul Kadir Muhammad (2000: 15) menyatakan :
Bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Soepomo menyatakan bahwa :
Hukum Acara Perdata yaitu berdasarkan tugas hakim untuk mempertahankan tata
hukum perdata(BW) dan mempertahankan apa yang telah ditetapkan oleh undang-
undang.
Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata menyatakan :
bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditegakkannya dan dipertahankannya hukum perdata
materiil.
Sifat hukum acara perdata adalah memaksa dan mengatur, kongkretnya sebagai
berikut :
a. “Memaksa” maksudnya mengikat para pihak yang berperkara dan ketentuan-ketentuan
yang ada dalam peraturan hukum acara perdata harus dipenuhi, contoh :
- gugatan harus diajukan di tempat atau domisili tergugat
- Jangka waktu untuk mengajukan permohonan banding adalah 14 hari setelah
putusan hakim diterima para pihak, dll
b. “Mengatur” maksudnya peraturan-peraturan dalam hukum acara perdatadapat
dikesampingkan para pihak, contoh dalam hal pembuktian.

2. Sejarah Hukum Acara Perdata


HIR (Herziene Inlandsch Reglement) sebenarnya berasal dari IR (Inlandsch Reglement)
yang termuat dalam Stb 1849 No 16. HIR merupakan salah satu sumber Hukum Acara
Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara kita hingga kini.
IR pertama kali diundangan tanggal 5 April 1848 (Stb 1848 No 16). Hukum acara
perdata yang digunakan di pengadilan Gubernemen bagi golongan Bumiputera untuk kota-
kota besar di Jawa adalah RV (hukum acara bagi golongan Eropa). Untuk luar kota-kota
besar Jawa digunakan beberapa pasal dalam Stb 1819 No 20.
Pada tahun 1846 Ketua Mahkamah Agung (Hooggrerechtshof) Mr H.L Wichers tidak
setuju hukum acara perdata bagi golongan Eropa digunakan untuk golongan Bumiputera
tanpa berdasarkan perintah undang-undang. Gubenur Jendral J.J Rochussen menugaskan
Wichers membuat rancnangan Reglement tentang Administrasi Polisi dan hukum acara
perdata dan Pidana Bagi Bumiputera.
Tahun 1847 rancangan selesai dibuat tetapi JJ Rochussen mengajukan keberatan yaitu :
 Pasal 432 ayat (2) :membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara perdata untuk
golongan Bumiputera menggunakan hukum acara perdata uyang diperuntukkan untuk
golongan Eropa.
 Rancangan itu terlalu sederhana karena tidak dimasukkannya lembaga-lembaga
intervensi, kumulasi gugatan, penjaminan dan rekes civil .
Tanggal 5 April 1848 setelah melakukan perubahan dan penambahan maka rancangan
itu ditetapkan dengan nama Inlandsch Reglement (IR) yang ditetapakan dengan Stb 1848 No
16 dan disahkan dengan firman Raja tanggal 29 September 1849 dengan Stb 1849 No 63.
Tahun 1927 diberlakukan RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) yaitu hukum
acara bagi golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura. Sebelumnya berlaku peraturan
tentang susunan Kehakiman dan kebijaksanaan Pengadilan (Stb 1847 No 23).
Tahun 1941 terjadi perubahan nama IR menjadi HIR (Herzeine Indlansch
Reglement)dengan Stb 1941-44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada saat ini dengan
Pasal 1 UUD 1945 yang telah diamandemen, HIR dan RBg masih berlaku sampai saat ini.

3. Sumber Hukum Acara Perdata


Sumber hukum acara perdata yang sekarang masih berlaku di negara Indonesia masih
belum terkodifikasi, sehingga masih tersebar dalam berbagai peraturan-peraturan perundang-
undangan, baik produk kolonial belanda maupun produk lokal nasional Indonesia. Berbagai
macam peraturan perundang-undangan yang memuat hukum acara perdata tersebut, akan
disebutkan satu persatu, berikut ini yang merupakan sumber hukum acara perdata atau tempat
dimana dapat ditemukan peraturan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia yaitu HIR
dan RBg.
HIR (Het Herzine Indonesische Reglement) diatur dalam Stb. 1848 No 16, Stb.1941 No
44, merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah pulau jawa dan madura.
Ketentuan hukum acara perdata dalam HIR dituangkan dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal
245 serta beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372 sampai dengan Pasal 394, sebab
rangkaian pasal-pasal yang terakhir ini mengatur hal-hal yang berkenaan dengan Hukum
Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.
RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewsten) yang diatur dalam Stb 1927 No 227
adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar pulau Jawa dan Madura. dengan
demikian peraturan hukum acara perdata bersifat dualistik. RBg terdiri dari 5 (lima) bab yang
memuat 723 pasal. Bab I,III,IV dan V yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan
acara pidana tidak berlaku lagi dengan adanya UU Darurat No 1 Tahun 1951.
Selain yang tersebut diatas, sumber hukum acara perdata juga ditemukan dalam :
a. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering)
b. KUH Perdata buku ke IV tentang pembktian dan daluarsa (pasal 1865-1945)
c. UU No 20 1947 tentang peradilan Ulangan Jawa dan Madura
d. UU Darurat No 1 TH 1951
e. UU No 4/2004 Kekuasaan kehakiman
f. UU No 1 Tahun 1974
g. UU no 14 Tahun 1985 Jo UU no 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
h. UU No 2 tahun 1986 Jo UU No 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
i. UU No 7 Tahun 1989 Jo UU no 3 Tahun 2006 Tentnag Peradilan Agama
j. Perjanjian Internasional.
k. Yurisprudensi.
l. Doktrin.
m. Perma (Peraturan Mahkamah Agung).
4. Asas- asas Hukum Acara Perdata
Untuk menerapkan hukum acara dengan baik, maka perlu diketahui azas-azasnya.
Azas-azas tersebut adalah :
a.Hakim bersifat menunggu
Azas ini mengandung arti, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya kepada yang berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak
akan diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak
ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein
richter, nemo judex sine actor). Jadi, yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak
yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang
diajukan kepadanya (Sudikno Mertokusumo, 1998: 10).
b. Hakim bersifat pasif
Hakim dalam memeriksa perkara bersikap pasif ,artinya ruang lingkup atau luas
pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada azasnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan kata lain Hakim
tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau
mengurangi pokok gugatan para pihak. Hakim hanya diperbolehkan aktif dalam hal-
hal tertntu, yaitu:
1) Memimpin sidang
Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin
jalannya persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib
pemeriksaan, juga Hakim berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta ia
yang memutus perkara yang disengketakan.Sifat kedudukan Hakim yang aktif
sesuai dengan sistim yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain;
 pemeriksaan persidangan secara langsung
 proses beracara secara lisan
 Mendamaikan kedua belah pihak
2) Mendamaikan para pihak
Azas mendamaikan para pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan
dan tuntutan ajaran moral. Sekedar penegasan bahwa usaha mendamaikan sedapat
mungkin diperankan Hakim secara aktif, sebab bagaimana pun adilnya suatu
putusan namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.Apalagi
dalam perkara perceraian, usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan
sehingga sifatnya imperatif artinya hakim harus berupaya secara optimal untuk
bagaimana perceraian antara kedua belah pihak tidak terjadi.
3) Hakim aktif memberi petunjuk kepada para pihak yang berperkara tentang upaya
hukum dalam suatu putusan
Banyak di antara para pencari keadilan yang tidak mampu dalam segala hal.
Awam dalam hukum mengakibatkan ia harus bergulat sendiri di hadapan sidang,
menghadapi para pencari keadilan semacam ini sangat memerlukan bantuan dan
nasehat pengadilan. Mereka buta bagaimana cara yang tepat mempergunakan hak
melakukan upaya banding atau kasasi dan tidak mampu merumuskan alas an-
alasan memori banding dan memori kasasi. Disinilah peran hakim untuk memberi
petunjuk dan upaya-upaya hukum kepada para pihak yang berperkara tentang
upaya hukum dalam suatu putusan
c. Ultra petita partium
Artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut
atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut
oleh penggugat. tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi
dari tuntutan gugatan. Landasanya adalah pasal 178 ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3
R.Bg..
Pasal 178 ayat 3 HIR menyatakan : “Ia (Hakim) tidak diizinkan menjatuhkan
keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan daripada yang digugat”.
Pasal 189 ayat 3 R.Bg menyatakan “Hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-
hal yang tidak dimohon atau memberiklan lebih dari yang dimohon”.
d. Persidangan terbuka untuk umum (Openbaar)
Yang dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap
orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya
pemeriksaan perkara. Tujuan azas ini adalah:
1. Untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, yakni dengan
meletakan peradilan dibawah penguasaan umum
2. Untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia dalam bidang
peradilan
3. Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan
pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Azas ini dijumpai dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No 4
Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 179
ayat (1), 317 HIR dan pasal 190 R.Bg. Kecuali dalam perkara perceraiaan. Akan
tetapi walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan tertutup untuk umum dalam
perkara perceraian, namun putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang terbuka
untuk umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka
untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta
mengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan persidangan
terbuka untuk umum, akan tetapi di dalanm berita acara persidangan dicatat bahwa
persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan
tetap sah.
e. Mendengarkan kedua belah pihak
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama,
tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang
berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya
atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah
pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alteram partem artinya Hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar,
bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Selain pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970,
dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan
pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg.
f. Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk
mengadili. Karena dengan adanya alasan-alasan maka putusan mempunyai wibawa,
dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut yurisprudensi suatu
putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan
pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya putusan tersebut.
g. Berperkara dikenakan biaya
Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk
membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo)
dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya perkara, dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah yang diketahui
oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.
Dasar hukumnya adalah pasal 237 HIR “Orang-orang yang demikian, yang
sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara, akan tetapi tidak mampu
membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”.
Demikian pula yang terdapat dalam Pasal 273 R.Bg. “penggugat atau tergugat yang
tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya yang meliputi;
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
2. Biaya saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah
3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
4. Biaya pemanggilan para pihak yang berperkara
5. Biaya pelaksanaan putusan, dan sebagainya.
h. Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa
Artinya, setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat kata-kata ini,
yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.
Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum
sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi dan tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial (daya memaksa). Dasarnya adalah UU No. 14 Tahun 1970.
i. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan maksudnya adalah:
1) Sederhana, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau
dengan kata lain suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu
jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum
acara itu sendiri.
2) Cepat, menunjuk kepada jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang,
cepat penyelesaian berita acaranya sampai penandatanganan putusan dan
pelaksanaan putusannya itu.
3) Biaya ringan, biaya perkara pada pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh
masyarakat pencari keadilan.
Selain asas-asas dalam hukum acara perdata juga terdapat beberapa prinsip yang harus
dipahami antara lain :
1) Dalam Hukum Acara Perdata inisiatif untuk berperkara diberikan kepada pihak
penggugat dan tergugat( Pihak-pihak tersebut dapat berupa orang perorangan
maupun badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan).
2) Dalam Hukum Acara Perdata yang menjadi jaminan adalah Harta Benda
3) Dalam Hukum Acara Perdata pada awal pengadilan sebelum terjadinya jawab
menjawab hakim wajib untuk menawarkan perdamaian kepada pihak-pihak yang
berperkara, hal ini merupakan kewajiban bagi hakim
4) Dalam Hukum Acara Perdata Hakim bersifat Pasif jika dibandingkan dengan
Hukum Acara TUN lebih-lebih jika dibandingkan Hukum Acara Pidana
5) Dalam Hukum Acara Perdata Hakim dilarang mengabulkan gugatan melebihi dari
apa yang dituntut( Pasal 178 HIR/ 189 RBG)
6) Dalam Hukum Acara Perdata mengenal adanya pemberian Surat Kuasa, meskipun
hal ini bukan merupakan suatu kewajiban akan tetapi dalam prakteknya hampir 80%
surat kuasa ini dipakai. Adapun hal demikian dianjurkan karena pada dasarnya
pihak yang diberi kuasa biasanya orang lebih menguasai hukum. Surat Kuasa
sendiri dalam BW diatur pada Pasal 1792 KUHPdt. Surat kuasa dapat diberikan
secara percuma, hal ini sesuai apa yang terdapat dalaam Pasal 1794 KUHPdt.
7) Dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya sidang dibuka untuk umum kecuali
untuk perkara perceraian yang tertutup, meskipun begitu putusannnya harus
diucapkan pada sidang yang terbuka.
8) Dalam Hukum Acara Perdata Hakim dalam menyelesaikan sengketa dan
memutuskan suatu perkara perdata harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang. Hukum Acara Perdata tidak mengenal adanya
keyakinan hakim sebagai pertimbangan hakim dalam memutus suatu sengketa.

5. Kekuasaan Kehakiman/Kewenangan Pengadilan Di Indonesia


Berdasarkan Pasal 10 UU no. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pengadilan di Indonesia ada 2 , yaitu:
a. Mahkamah Agung, yang terdiri atas :
 Pengadilan Negeri, yaitu yang memutus baik Sengketa Pidana maupun perdata. Yang
tingkatannya terdiri atas Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
 Pengadilan Agama(UU No. 7 Tahun 1989 Juncto UU No. 3 Tahun 2006), yaitu
memutus sengketa perdata Islam. Yang tingkatannya terdiri atas Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung.
 Pengadilan Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986 Juncto UU No. 9 Tahun 2004),
yaitu memutus sengketa di Bidang Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara.
Tingkatannya terdiri atas Pengadilan TUN, Pengadilan Tinggi TUN, Mahkamah
Agung.
 Pengadilan Militer(UU No. 31 Tahun 1999), yaitu memutus sengketa pidana yang
dilakukan oleh oknum militer. Tingkatannya terdiri atas Pengadilan Militer,
Pengadilan Tinggi Militer dan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Konstitusi
Mengenai Kewenangan Pengadilan dikenal ada 2 istilah, yaitu:
1) Kewenangan Absolut (Peradilan apa?), yaitu kewenangan suatu Badan Peradilan dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara yang secara mutlak tidak dapat di periksa oleh
Badan Peradilan yang lain. Contoh: Suatu perkara perdata perceraian dalam perkawinan
Islam bukan merupakan wewenang dari Peradilan Negri melainkan merupakan
wewenang dari Peradilan Agama.
2) Kewenangan Relatif (Pengadilan yang mana?), yaitu kewenangan suatu pengadilan dalam
memeriksa dan memeutus suatu perkara yang tidak dapat diperiksa dan diputus oleh
pengadilan lain yang sederajat.

D. Latihan/Tugas
1. Jelaskan pengertian Hukum Acara Perdata !
2. Apa yang dimaksud dengan tuntutan hak dan sebutkan dua macam tuntutan hak ?
3. Apa yang dimaksud ”voluntaire jurisdictie” dan “contentieuse jurisdictie”?
4. Sebutkan asas-asas hukum acara perdata !
5. Mengapa putusan harus disertai alasan-alasan ?
6. Apa yang dimaksud dengan asas “audi et alterampartem” dan “Ultra petita partium” ?
7. Apa yang dimaksud kewenangan absolut dan kewenangan relatif ?
DAFTAR PUSTAKA

Halim, Ridwan, 2005, Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghallia Indonesia, Bogor
Mertokusumo Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Muhammad Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni Bandung.
Prinst, Darwan, 2002, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Sutantio, Retnowulan, dan Oeripkartawinata, Iskandar, 1997, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju Bandung.
Soesilo R, 1995, RIB/HIR dengan penjelasan, Politeia Bogor.
Subekti, 1969, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta
Syahrani, Riduan, 2000, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung

Anda mungkin juga menyukai