Anda di halaman 1dari 6

JAWABAN

1a.Dalam hal melaksanakan hukum materiil perdata, apabila ada pelanggaran atau guna mempertahankan
berlangsungnya hukum materiil perdata, diperlukan adanya rangkaian peraturan-peraturan hukum lain, di
samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum ini yang dikenal dengan hukum formil atau hukum
acara perdata.

Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan
mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana diatur dalam
hukum perdata materiil (Soetantio, 2002).

Hukum acara perdata menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh seseorang agar perkara yang dihadapinya dapat
diperiksa oleh pengadilan. Selain itu, hukum acara perdata juga menunjukkan bagaimana cara pemeriksaan suatu
perkara dilakukan, bagaimana caranya pengadilan menjatuhkan putusan atas perkara yang diperiksa, dan
bagaimana cara agar putusan pengadilan itu dapat dijalankan sehingga maksud dari orang yang mengajukan
perkaranya ke pengadilan dapat tercapai, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban-kewajiban menurut hukum
perdata yang berlaku bagi orang tersebut (Prodjodikoro, 1975).

Maka dapat dikatakan bahwa Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak, memeriksa, serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini
tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan
untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari
pihak lain yang berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian.

Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk
mempertahankan berlakunya hukum perdata Karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim, hukum acara
perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim
(pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

Kesimpulannya dalam pelaksanaan hukum materiil, khususnya hukum perdata materiil dapat berlangsung secara
diam-diam di antara para pihak yang bersangkutan tanpa bantuan pejabat atau instansi resmi, misalnya kita
membeli seperangkat alat rumah tangga, membeli sebuah mobil, menyewa seperangkat alat pesta, atau
meminjam sejumlah uang dari tetangga. Namun, sering kali terjadi hukum materiil perdata itu dilanggar sehingga
ada pihak yang merasa dirugikan maka dalam hal ini, hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu perlu
dipertahankan atau ditegakkan, dalam hal mempertahankan / menegakannya digunakan lah hukum perdata
formil yang mengatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana
caranya pihak yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang
berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil,
bagaimana cara melaksanakan putusan hakim dan sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang sebagaimana
telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.

1b. Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda terdapat beberapa lembaga peradilan yang dibedakan dalam dua
macam, yaitu peradilan gubernemem dan peradilan-peradilan lain yang berlaku bagi golongan bumiputra / orang
Indonesia asli. Peradilan gubernemen dibedakan menjadi dua lembaga peradilan, yaitu peradilan bagi golongan
Eropa dan yang dipersamakan serta peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputra. Untuk peradilan yang
berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan, sudah tersedia hukum acara perdata reglement op de
burgerlijk rechtsvordering (BRv). Namun, untuk lembaga peradilan bagi golongan bumiputra belum ada. Adapun
Peraturan hukum acara perdata yang dipergunakan saat itu hanyalah beberapa pasal yang terdapat dalam Stb.
1819-20. Dalam praktik selanjutnya, Stb. 1819-20 ini mengalami perubahan yang tidak begitu berarti. Sementara
itu, di beberapa kota besar di Jawa, pengadilan gubernemen yang memeriksa perkara perdata bagi golongan
bumiputra menggunakan peraturan acara perdata yang berlaku bagi pengadilan yang diperuntukkan golongan
Eropa, tanpa berdasarkan perintah undang-undang. Setelah diperjuangkan keberadaannya, lahirlah HIR dan RBg
yang berlaku bagi lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan bumiputra.

Maka untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut :


1) Peradilan gubernemen terdiri atas berikut ini:
a) Peradilan yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan yang dipersamakan Raad van justitie dan residentiegerecht
sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari, hukum acara perdata yang dipergunakan adalah
Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (BRv).
b) Peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputra dan yang dipersamakan.
Landraad yang dalam perkara-perkara kecil dibantu oleh pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik sebagai
pengadilan tingkat pertama (hakim sehari-hari).
Hukum acara perdata yang dipergunakan sebagai berikut:
(1) Untuk Jawa dan Madura: Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
(2) Untuk luar Jawa dan Madura: Rechts Reglement voor de Buitengewesten / RBg (reglemen tanah seberang).

2) Peradilan-peradilan lainnya yang berlaku bagi golongan bumiputra, seperti peradilan adat, peradilan swapraja,
dan peradilan agama Islam, mempergunakan hukum acara yang diatur pada reglemen yang mengatur masing-
masing lembaga peradilan tersebut.

Sehingga pada zaman Belanda tersebut terdapat 3 macam reglemen hukum acara untuk pemeriksaan perkara di
muka pengadilan gubernemen pada tingkat pertama yaitu :
a) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRv) untuk golongan Eropa yang berperkara di muka raad van
justitie dan residentie gerecht.
b) Inlandsch Reglement (IR) untuk golongan bumiputra dan timur asing di Jawa dan Madura yang berperkara di
muka landraad, reglemen kemudian setelah beberapa kali mengalami perubahan dan penambahan disebut Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
c) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk golongan bumiputra dan timur asing di daerah luar Jawa
dan Madura, yang berperkara di muka landraad.

Pasca kemerdekaan Indonesia


Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Darurat 1951-1, acara pada pengadilan negeri dilakukan dengan
mengindahkan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan
negeri. Adapun yang dimaksud dengan ”peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan
berlaku” adalah tidak lain daripada HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat 1951-1, ditentukan bahwa HIR seberapa mungkin harus
diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Untuk perkara perdata tidak disinggung-singgung. Ini
berarti bahwa untuk perkara perdata HIR dan RBg bukanlah sebagai pedoman saja, melainkan sebagai peraturan
hukum acara perdata yang harus diikuti dan diindahkan. Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk
pengadilan negeri, yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura; isinya sama saja
sehingga secara material sudah ada keseragaman untuk peraturan hukum acara perdata bagi semua pengadilan
negeri di seluruh Indonesia. Karena itu, asas unifikasi yang dikehendaki oleh Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang
Darurat 1951-1 dalam bidang hukum acara pidana dan acara perdata sudah tercapai. Kemudian, peraturan hukum
acara perdata yang ada tersebut diperkaya dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Sumber Materi :
- BMP Hukum Acara Perdata
- http://repository.ut.ac.id/4120/1/HKUM4405-M1.pdf

1. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang
mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hlm. 811):

a. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123
ayat (1) HIR;
b. Gugatan yang tidak memiliki dasar hukum;
c. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
d. Gugatan mengandung cacat osbcuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau rela
Maka dalam hal tersebut kita fokus kepada Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis
consortium menurut Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan mengklasifikasikan error in persona sebagai berikut:

Diskualifikasi in Person, yang terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat
(diskualifikasi) karena penggugat dalam kondisi berikut:

1.Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan

Gugatan diajukan oleh pihak yang tidak memiliki hak, tidak punya syarat atau tidak berhak. Misal, orang yang tidak ikut
dalam perjanjian namun bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian.

2.Tidak cakap melakukan tindakan hukum

Pihak yang masih di bawah umur atau di bawah perwalian tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu,
mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali.

Berdasarkan Pasal 330 BW bahwa Orang yang telah mencapai umur genap 21 tahun atau telah menikah
sebelum mencapai usia itu dianggap sudah dewasa. Karena kedewasaan dikaitkan dengan kecakapan
melakukan tindakan hukum. Pasal 330 BW dipilih karena pasal tersebut yang mengatur tentang usia dewasa
atau kedewasaan, berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak {handelings-bekwaamheid) - dan secara
tidak langsung juga berkaitan dengan masalah kewenangan bertindak (recht bevoegdheid). kemudian pada
Undang-undang Perkawinan, yang menetapkan bahwa seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tua
atau perwalian sampai si anak berumur 18 tahun Pasal 47 dan Pasal 50 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Berdasarkan logika dan prinsip hukum, adalah tidak logis kalau Undang-undang Perkawinan
menetapkan usia dewasa lain daripada 18 tahun.

Pada Pasal 1331 BW - dapat dituntut pembatalannya. Ketentuan Pasal 1331 BW bermaksud untuk melindungi
si belum dewasa dari kemungkinan menderita kerugian sebagai akibat dari tindakannya sendiri maka
perjanjian yang ditutup oleh si belum dewasa tidak batal demi hukum, tetapi hanya bisa dituntut
pembatalannya oleh pihak si tidak cakap.

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, sebagaimana
disebutkan pada Pasal 1331 BW mereka tidak menjadi cakap bertindak dan tetap tidak cakap untuk bertindak,
kecuali mereka yang telah menikah (Pasal 330 BW jo Pasal 47 dan Pasal 50 UndangUndang Perkawinan).

Sehingga dalam hal ini mengingat Mona masih berusia 15 tahun / masih dibawah umur apabila Mona bertindak sebagai
penggugat maka terjadi cacat formil dalam hal gugatan error in persona karena tidak cakap untuk melakukan tindakan
hukum. Untuk dalam proses gugatannya Mona memerlukan orang tua / wali sebagai pendamping dalam hal pengajuan
gugatan perdata tersebut. Pada umumnya, wali itu adalah orang tua dari anak, kecuali jika orang tuanya sudah tidak ada,
maka diwakili oleh keluarga lain yang terdekat (yang telah berusia 21 tahun).

Dasar hukumnya Pasal 330 BW jo Pasal 47 dan Pasal 50 UndangUndang Perkawinan dan Pasal 1331 BW.

2. Golangan manusia yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri disebut: personae miserabile,
yaitu sebagai berikut:

1. Manusia yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin (minderjarigheid);
2. Manusia dewasa yang berada dibawah pengampuan (kuratele);
3. Istri yang tunduk pada BW.

Maka dalam hal ini Mona masih berusia 15 tahun sehingga termasuk dalam golongan minderjarigheid / belum
mencapai usia 21 tahun dan belum kawin. Dimana seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum
kawin, belum diizinkan untuk melakukan perbuatan hukum senidiri.

Sumber Materi
BMP Hukum Acara Perdata
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13958/Putusan-NO-Niet-Ontvankelijke-Verklaard-
Berbagai-Macam-Cacat-Formil-yang-Melekat-pada-Gugatan.html
http://www.msplawfirm.co.id/documents/2013/12/makalah-tuada-perdata-batasan-umur-rakernas-2011.pdf/
https://www.ardiarmandanu.com/2020/04/manusia-sebagai-subjek-hukum.html#:~:text=Golangan%20manusia%20yang
%20tidak%20cakap,2.

Jawaban soal 3
1. Berdasarkan kasus tersebut hakim telah melakukan putusan verstek dimna Putusan verstek merupakan putusan
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya tergugat dan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut. Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa sebagai akibat
ketidakhadiran tergugat atas alasan yang tidak sah. Dalam acara verstek tergugat dianggap ingkar menghadiri
persidangan tanpa alasan yang sah dan tergugat dianggap mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil
gugatan penggugat. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan dalam hal tergugat atau para tergugat tidak hadir pada
hari sidang pertama.

Sebagaimana dijelaskan di atas, atas ketidakhadiran tergugat, majelis hakim akan memberikan putusan verstek. Tergugat
yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan (verzet)
terhadap putusan itu. Jika putusan itu diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) dapat diterima
dalam 14 hari sesudah pemberitahuan. Namun apabila tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan)
terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap

Berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44) hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.

Jadi putusan verstek ini adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga
mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Putusan verstek hanya dapat
dijatuhkan dalam hal tergugat atau para tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama

2. Dalam kasus tersebut Badu sebagai tergugat masih memiliki jalan untuk mendapatkan pengadilan dengan cara melakukan upaya
hukum biasa yaitu perlawanan terhadap putusan verstek. Tergugat yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak menerima
putusan itu, dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu. Jika putusan itu diberitahukan kepada
Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) dapat diterima dalam 14 hari sesudah pemberitahuan.

Jika putusan tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) masih diterima setelah hari ke-8
sesudah peneguran, atau sampai hari ke-14 sesudah surat perintah penyitaan. (Pasal 129 (1) dan (2) HIR/ 153 (1) dan (2)
RBG). Namun apabila tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka
putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Upaya Hukum Biasa: Perlawanan/verzet


Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di
dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan
putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Syarat verzet adalah (Pasal 129 ayat (1) HIR):
1. Keluarnya putusan verstek
2. Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh
lebih dari 8 hari; dan
3. Verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan
gugatannya.

Jawaban No.4
Menurut saya Minah tidak bisa melakukan perubahan atas isi dari gugatan/tuntutan tersebut.

1.Perubahan gugatan diperkenankan apabila diajukan sebelum tergugat


mengajukan jawaban dan apabila sudah ada jawaban tergugat, maka perubahan
tersebut harus dengan persetujuan tergugat. Pengaturan perubahan gugatan
tersebut diatur dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang
menyatakan bahwa:
“Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat
perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.”

Selain itu, terkait dengan perubahan gugatan, dapat merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No.
209K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 dalam Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung
yang disusun oleh M. Ali Boediarto, S.H., hal. 25, yang mana menyebutkan:

Perubahan surat gugatan diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan asas hukum acara
perdata yaitu sepanjang tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari kejadian materiil yang
diuraikan dalam surat gugatan penggugat tersebut.

Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Agung No. 454K/Sip/1970, tanggal 11 Maret


1971 dalam Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung yang disusun oleh M. Ali
Boediarto, S.H., hal. 26, menyebutkan:

Perubahan surat gugatan perdata yang isinya tidak melampaui batas-batas materi pokok
gugatan dan tidak akan merugikan tergugat dalam pembelaan atas gugatan penggugat tersebut,
maka hakim boleh mengabulkan perubahan tersebut.

Terkait perubahan gugatan, Yahya Harahap dalam buku yang sama (hal. 94) menyebutkan mengenai
batas waktu pengajuan perubahan gugatan:
1. Sampai saat perkara diputus
Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan,
penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Berarti,
selama persidangan berlangsung, penggugat berhak melakukan dan mengajukan perubahan
gugatan.

2. Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama


Penggarisan batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari sidang pertama,
ditegaskan dalam buku pedoman yang diterbitkan Mahkamah Agung (Pedoman Pelaksana Tugas
dan Administrasi Pengadilan, hal. 123). Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan
para pihak harus hadir.

Ditinjau dari segi hukum, perubahan gugatan bermaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan
gugatan. Oleh karena itu, dianggap tidak realistis membatasinya hanya pada sidang hari pertama.
Terkadang perbaikan atau perubahan itu, baru disadari setelah tergugat menyampaikan jawaban.
Oleh karena itu, pedoman batas waktu yang digariskan MA itu, dianggap terlampau restriktif.
Sangat menghambat hal penggugat melakukan perubahan gugatan.

3. Sampai pada tahap Replik-Duplik


Barangkali batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak dan memadai
menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung.
Praktik peradilan cenderung menerapkannya, misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung No.
546 K/Sip/1970.

Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan


azas-azas hukum secara perdata, tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian
materiil. Penggugat memiliki hak untuk mengajukan perubahan gugatan, namun
hanya yang bersifat mengurangi atau tidak menambah dasar daripada tuntutan
dan peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan
berupa penambahan dasar atau peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal
tersebut akan sangat merugikan kepentingan tergugat. Perubahan gugatan
diperbolehkan selama tidak merubah materi gugatan, melainkan hanya segi
formal dari gugatan (misalnya: perubahan atau penambahan alamat penggugat,
nama dari penggugat atau tergugat). Maka dalam kasus ini saya berpendapat
bahwa Minah tidak dapat mengubah isi gugatannya karena hal ini sangat
merugikan Udin selaku tergugat.
Bahwa perlu diingat, bahwa hak-hak tergugat harus diperhatikan dan tidak boleh
diabaikan. Perubahan gugatan yang dilakukan setelah adanya jawaban tergugat
maka harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tergugat, hakim tidak
boleh mengabaikan tergugat. Jika tergugat tidak menyetujuinya maka hakim
harus menolaknya. Hal itu sebagaimana dimaksud dalam yurisprudensi Putusan
MA No. 447 K/Sip/1976 tertanggal 20 Oktober 1976 menyatakan: “Permohonan
untuk mengadakan penambahan dalam gugatan pada saat pihak berperkara
lawan telah menyampaikan jawabannya, tidak dapat dikabulkan apabila pihak
berperkara lainnya tidak menyetujuinya” (Chaidir Ali SH., Yurisprudensi Hukum
Acara Perdata, pada halaman 195).

Sumber Materi :
- BMP Hukum Acara Perdata
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-mengubah-gugatan-jika-salah-
nama-tergugat-lt571248c744be6
- https://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/perubahan-gugatan/
- https://pdb-lawfirm.id/pengaturan-perubahan-gugatan-dalam-hukum-acara-
perdata/

Anda mungkin juga menyukai