Anda di halaman 1dari 3

Nama : Siti Widya Shinta R.

Nim : 2102036049 HES B4

UAS SISTEM PERADILAN

1. Bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara cerai bagi perkawinan
yang dilakukan menurut agama islam yang diakui sah oleh hukum negara Indonesia. Salah satu
ciri utama bahwa perkawinan dilakukan secara agama islam dan sah secara hukum negara
Indonesia adalah adanya Buku Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA).
Sehingga semua perkawinan warga negara indonesia yang mempunyai Buku Nikah, maka saat
akan melakukan perceraian harus diajukan di Pengadilan Agama setempat. Bahwa gugatan
cerai di Pengadilan Agama tersebut dapat diajukan baik oleh Suami kepada Isterinya maupun
oleh Isteri kepada Suaminya. Gugatan yang diajukan Suami kepada Isterinya disebut dengan
Permohonan Cerai Talak, dimana nantinya suami menjadi Pemohon dan Isteri menjadi
Termohon. Sedangkan terhadap gugatan cerai yang diajukan oleh Isteri kepada Suaminya
disebut Gugatan Perceraian, dimana isteri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat. Jika
isteri hendak mengajukan gugatan cerai kepada suaminya, maka Pengadilan agama yang
berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya adalah Pengadilan Agama dimana Isteri
tersebut berdomisili hukum. Domisili hukum dapat dibuktikan dengan adanya Kartu Tanda
Penduduk (KTP), artinya jika isteri berdomisili hukum di Kabupaten Magelang dan Suami
bertempat tinggal di Jakarta, maka Pengadilan Agama yang berwenang adalah Pengadilan
Agama tempat domisili hukum isteri yaitu Pengadilan Agama setempat.
2. Di pengadilan Negri, Berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili perkara dengan dasar
gugatan perbuatan melanggar hukum, Yahya Harahap berpendapat bahwa asas umum dalam
peradilan adalah gugatan perdata berkenaan dengan adanya perbuatan melanggar hukum
adalah yurisdiksi absolut peradilan negeri. Kewenangan ini merupakan kewenangan mutlak
yang menyangkut pembagian kekuasaan antarbadan peradilan (attributie van rechtsmacht)
sehingga tidak dapat dicampuri oleh badan peradilan lainnya. Dengan demikian, Pengadilan
Negeri menjadi satu- satunya pengadilan yang dapat mengadili perkara tersebut. Namun,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan peluang terhadap penyimpangan atas
asas umum tersebut. Berbeda dengan kompetensi Peradilan Umum sebagamana yang diatur
dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan penegasan terhadap asas personifikasi
islam dalam Peradilan Agama melalui Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya, Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama masing-masing memiliki kompetensi untuk mengadili
perbuatan melanggar hukum. Hal ini dikarenakan baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan
Agama memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan gugatan kontentiosa. Oleh karena itu, untuk
mengetahui ruang lingkup yurisdiksi lingkungan peradilan umum, maka harus diketahui
terlebih dahulu natuurrechtsmacht lingkungan peradilan Agama
3. Tipikor adalah singkatan dari Tindak Pidana Korupsi. Jadi Pengadilan Tipikor adalah
Pengadilan yang menangani Tindak Pidana Korupsi, payung hukumnya adalah UU 46 tahun
2009 tentang Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satu-satunya
yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya
dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu
kota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana
dan prasarana. Namun untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada setiap ibukota provinsi. Ketentuan tentang
bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum, dalam Pasal 2 UU 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Hal ini mengingat ketentuan Pasal 24A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menghendaki pembentukan pengadilan khusus diatur dengan Undang-
Undang. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Korupsi
dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU
ini. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur penegasan pembagian tugas dan
wewenang antara ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; mengenai
komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan baik pada tingkat pertama,
banding maupun kasasi; jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi
pada setiap tingkatan pemeriksaan; alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk
alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan : Pengadilan Tipikor adalah satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Kewenangan Pengadilan Tipikor
adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi; tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau tindak
pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga
negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.
4. Untuk sengketa hasil pemilihan umum, pengajuan permohonan sengketa biasanya dilakukan
di lembaga atau pengadilan yang memiliki yurisdiksi khusus dalam penyelesaian perselisihan
pemilihan. Namun, lembaga atau pengadilan yang relevan dapat bervariasi tergantung pada
sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.Berikut beberapa contoh lembaga atau
pengadilan yang mungkin menjadi tempat pengajuan sengketa hasil pemilihan umum: 1)
Mahkamah Konstitusi: Di beberapa negara, terdapat Mahkamah Konstitusi atau lembaga
serupa yang memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa pemilihan umum. Mahkamah
Konstitusi bertugas menafsirkan undang-undang konstitusi dan memastikan bahwa proses
pemilihan umum dilakukan secara adil dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Mereka memiliki kewenangan untuk menerima dan memeriksa permohonan sengketa
pemilihan serta mengeluarkan keputusan yang mengikat terkait hasil pemilihan. 2) Komisi
Pemilihan: Di beberapa negara, Komisi Pemilihan atau lembaga serupa yang bertanggung
jawab mengawasi pemilihan umum juga dapat memiliki wewenang untuk menangani sengketa
pemilihan. Mereka dapat memiliki panel atau mekanisme khusus untuk menyelesaikan
sengketa yang muncul setelah pemilihan. Keputusan Komisi Pemilihan biasanya dapat
diajukan banding ke pengadilan yang memiliki yurisdiksi lebih tinggi. 3) Pengadilan
Administratif: Beberapa negara memiliki pengadilan administratif yang memiliki wewenang
dalam menangani sengketa administratif, termasuk sengketa hasil pemilihan umum.
Pengadilan administratif ini berfokus pada penilaian hukum dan keputusan yang diambil oleh
lembaga pemerintahan atau badan penyelenggara pemilihan. Mereka dapat memeriksa
tindakan atau keputusan yang diduga melanggar hukum dan dapat membatalkan, mengubah,
atau mengoreksi hasil pemilihan. Penting untuk dicatat bahwa setiap negara memiliki sistem
hukum dan lembaga yang berbeda-beda. Oleh karena itu, individu atau partai yang ingin
mengajukan sengketa hasil pemilihan umum harus mengacu pada hukum dan peraturan yang
berlaku di negara mereka dan berkonsultasi dengan ahli hukum atau otoritas yang berwenang
untuk mengetahui lembaga atau pengadilan mana yang memiliki kewenangan dalam
menangani sengketa hasil pemilihan tersebut.
5. Sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip hukum nasional dan juga
mencerminkan pengaruh dari sistem hukum Belanda yang merupakan negara penjajah
sebelumnya. Sistem peradilan Indonesia terdiri dari tiga tingkat yaitu pengadilan tingkat
pertama, banding, dan kasasi. Indonesia memiliki berbagai jenis pengadilan, termasuk
Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah
Konstitusi. Setiap pengadilan memiliki yurisdiksi yang berbeda dalam mengadili perkara-
perkara yang sesuai dengan bidang hukumnya. Meskipun sistem peradilan di Indonesia terus
mengalami perkembangan dan reformasi, ada beberapa isu yang masih menjadi tantangan
dalam mencapai keadilan bagi masyarakat. Beberapa isu yang sering disorot meliputi
lambatnya proses peradilan, biaya yang tinggi, korupsi di kalangan aparat penegak hukum,
akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin atau terpinggirkan, serta penegakan hukum
yang konsisten di seluruh wilayah. Upaya terus dilakukan untuk memperbaiki sistem peradilan,
seperti peningkatan efisiensi, pelatihan bagi hakim dan aparat penegak hukum, pengembangan
teknologi dalam administrasi peradilan, dan peningkatan akses terhadap keadilan. Reformasi
hukum juga dilakukan untuk memperbaiki ketidakadilan dan menjamin perlindungan hak asasi
manusia. Namun, penting untuk dicatat bahwa penilaian apakah sistem peradilan di Indonesia
sudah memenuhi asas keadilan bagi masyarakat pada umumnya adalah subyektif dan dapat
berbeda-beda tergantung pada perspektif individu atau kelompok tertentu.

Anda mungkin juga menyukai