F. Kegunaan Hukum
1. Kegunaan Hukum sebagai Ketertiban Umum
Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib umum memiliki artian suatu
keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan,
supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Istilah lain yang digunakan untuk
mendefinisikan ketertiban umum sering dibahas dengan menggunakan istilah yang berbeda-
beda, ada yang menyebutnya “keadaan damai”, ada juga yang menyebutnya “kepastian
hukum”. Apapun istilah yang digunakan untuk itu, ketertiban umum itu tidak mungkin bisa
terimplementasikan jatuh dari langit (tanpa partisipasi dari masyarakat). Hal ini tentunya
memerlukan sesuatu yang mampu memberikan pengaruh bahwa keadaan masyarakat secara
umum adalah tertib, dan bukan sebaliknya. “...tata tertib hukum sebenarnya merupakan
kepentingan objektif dan sebenarnya dari semua pihak dalam masyarakat”. Hal ini, dapat
diartikan apabila dibiarkan keadaan umum masyarakat itu bisa saja menjadi tidak tertib.
Sebagai contoh, Dalam majalah Newsweek edisi tanggal 25 September 1995
diberitakan bahwa di Nairobi, ibukota Kenya, berkembang kebiasaan dimana pencuri-pencuri
jalanan yang tertangkap basah, dianiaya dengan segala cara sampai mati oleh kelompok-
kelompok penduduk yang bertindak main hakim sendiri. Dilaporkan bahwa perkembangan
itu terjadi karena tidak berfungsinya kepolisian, korupsi di kalangan peradilan, serta
merebaknya tindak kekerasan di kalangan politik Kenya.
Melalui kasus tersebut dapat dibuktikan (dan kemungkinan besar juga dalam banyak
kasus lain yang tidak terlaporkan) bahwa prioritas bagi rakyat adalah ketertiban umum.
Keadilan tampaknya secara empiris merupakan persoalan nomor dua setelah ketertiban.
Akibatnya, tindakan untuk menghukum pengganggu ketertiban umum bisa saja dilakukan
dengan cara yang tidak harus adil. Rakyat Nairobi tampaknya tidak memikirkan bahwa
pembunuhan seperti yang mereka lakukan sebenarnya merupakan kejahatan yang jauh lebih
serius bila dibandingkan dengan pencurian yang dilakukan oleh maling-maling jalanan itu.
Fakta sosialnya adalah tindakan-tindakan pencuri jalanan itu tidak teratasi oleh aparat
keamanan Nairobi, sehingga logik yang kemudian berkembang di kalangan masyarakat
adalah: kejahatan yang lebih berat dari pencurian-pencurian kecil tentunya akan lebih tidak
teratasi lagi oleh aparat keamanan.
Logik hukum rimba itu bila dibiarkan berlanjut akan membawa konsekuensi
disintegrasi sosial yang bermuara dalam anarki. Sementara melalui hukum notabene manusia
hendak menghindarkan diri dan anarki, “Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah
bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka. Jadi, hukum merupakan
sarana pemecahan konflik yang rasional, karena tidak berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan
alamiah belaka, melainkan menurut kriteria objektif yang berlaku umum”. Tampaknya,
Dennis Lloyd berpikir dalam kerangka yang sama, manakala dia menyimpulkan bahwa
keadilan adalah sedikit lebih dari ketertiban yang rasional: “... justice is a little more than the
idea of rational order and coherence and therefore operates as a principle of procedure
rather than of substance” Atau dengan kata lain, keadilan memang bukan saja belum tercapai
dengan adanya ketertiban, karena keadilan memang lebih dari sekadar ketertiban, melainkan
juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang substansi.
Secara konseptual, ketertiban umum sebenarnya bisa dipahami sebagai manifestasi
dari suatu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan kolektif, yaitu suatu tatanan dimana
manusia merasa aman secara kolektif. Kebebasan eksistensial yang individual itu hanya bisa
ada, jika ditempatkan dalam pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Ketertiban umum
pada akhirnya merupakan manifestasi yang rasional dari penempatan kebebasan eksistensial
yang individual dalam pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Daripada menggunakan
kebebasan semata-mata untuk terus-menerus melakukan ofensif guna mempertahankan diri
secara individual, adalah lebih rasional untuk mengalihkan sebagian dari kebebasan
eksistensial itu menjadi pembatasan ko-eksistensial guna memperoleh keamanan kolektif.
Usaha untuk menyelenggarakan pergaulan hidup yang mampu mewujudkan keamanan
kolektif itu rupanya memang mempunyai sejarah yang panjang, sarat dengan maju mundur
proses konsensus maupun konflik yang tidak tuntas.
Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara
damai. Karena hukum menurut substansinya adalah sesuatu yang berlaku umum dan tidak secara
sebagian atau bersifat diskriminatif, tertib hukum menjadi tertib yang berlaku umum. Hukum
dapat mempertahankan perdamaian atau tertib hukum hanya jika dia berhasil menjaga
keseimbangan antar kepentingan manusia yang tidak selalu tidak bertentangan satu sama lain.
Artinya, tertib hukum itu hanya bisa ditegakkan, jika dia mendatangkan keadilan bagi mereka
yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu, karena hukum melindungi kepentingan dan cita-
cita dasar manusia yang sama seperti keamanan jiwa, kebebasan untuk mengurus diri sendiri,
bentuk-bentuk hak milik tertentu (yang sangat berbeda satu sama lain), struktur-struktur kerja
sama dan tukar-menukar yang adil, dan seterusnya. Jika tidak, pada tingkat situasi yang ekstrem
manusia akan berusaha untuk memperoleh keadilan bagi dirinya sendiri dengan cara apa saja,
yang kalau perlu dengan mengorbankan ketertiban umum itu. Karena itu, kesimpulan Apeldoorn,
tujuan hukum adalah “tata-tertib masyarakat yang damai dan adil” Itulah sebabnya, mengapa
pembahasan tentang ketertiban umum sebagai tujuan dari hukum harus dilakukan sebagai usaha
kembar untuk juga membahas masalah keadilan.
Prinsipnya adalah suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi
ketertiban umum belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum. Tertib hukum menjadi
tertib hukum hanya karena dia mengandung keadilan dalam kadar tertentu, sehingga
didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum umum. Tetapi, ketertiban umum tidak
niscaya mengandung keadilan, karena bisa saja ketertiban umum itu dipaksakan oleh suatu
kekuatan (misalnya: pemerintah yang otoriter) yang lebih berkepentingan terhadap suatu
keadaan yang tunduk kepadanya, daripada memberikan keadilan kepada masyarakat. Karena
itu, jika kita meneruskan alur pemikiran Apeldoorn, keadilan niscaya juga mengimplikasikan
tertib hukum. Konsekuensi yang lebih jauh adalah jika ketertiban umum harus merupakan
tertib hukum, ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Jadi,
keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak
berlebihan jika kita tegaskan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk
menegakkan keadilan. Berbagai tahapan dari ketertiban itu bisa kita petakan sebagai berikut:
Hans Kelsen memberikan gambaran mengenai keadilan dalam bukunya yang berjudul Das
Problem der Gerechtigeit (Masalah Keadilan). Menurutnya, keadilan merupakan norma moral
dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan hubungan antar manusia tersebut, suatu perbuatan
manusia terhadap manusia lain memperoleh ‘nilai keadilan’. Artinya, perbuatan seseorang
dianggap tidak adil apabila ada norma yang menyatakan bahwa perbuatan seseorang tersebut
merupakan perbuatan yang tidak adil. Dalam kehidupan manusia, norma tentang keadilan tersebut
sering ditetapkan sebagai hukum positif yang semata-mata bersumber dari akal budi manusia. Hal
ini tidak tepat karena dalam keadaan tersebut dapat terjadi risiko norma keadilan bertentangan
dengan hukum positif. Sehingga atas dasar tersebut nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum.
Kelsen melihat bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat subjektif. Dia berpendapat
bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah keadilan adalah sesuatu yang bermakna
hadirnya sebuah kondisi sosial dimana setiap orang mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan
secara umum. Keadilan adalah sesuatu hal yang memiliki makna yang sangat identik dengan
kebahagiaan umum. Menurut kelsen, hukum adalah sesuatu yang berbeda dengan keadilan.
Kesalahan besar yang dilakukan oleh pemikir-pemikir hukum alam adalah memaksakan
keadilan termasuk dalam cita-cita hukum. Padahal ketika keadilan adalah sebuah kondisi
dimana setiap orang dapat merasakan kebahagiaan secara umum, hal ini tentu saja akan
menjadikan keadilan tidak lebih dari sebuah isu sosial saja dihadapan hukum. Karakter
hukum yang hanya berbicara tentang benar atau salah, dihukum atau tidak dihukum,
melanggar atau tidak melanggar inilah yang membuat kebahagiaan sosial secara umum akan
mustahil diwujudkan melalui hukum.
Kelsen melihat hukum adalah teknik sosial untuk membuat sebuah regulasi kehidupan
bersama dalam sebuah sistem masyarakat. Jadi masalah hukum menurut kelsen bukan pada
persoalan apakah hukum itu berujung pada penerapan keadilan atau tidak. Masalah hukum
adalah murni masalah tentang sebuah teknik sosial. Validitas dan efektifitas hukum dalam
pandangan kelsen adalah dua hal utama ketika kita berbicara tentang hukum sebagai sebuah
norma. Validitas yang dimaksudkan adalah apakah sebuah peraturan mengandung sebuah
norma hukum atau tidak. Norma hukum yang dimaksudkan disini adalah sebuah norma yang
mengatur tentang tingkah laku setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan efektivitas hukum adalah ketika setiap orang bertindak sesuai dengan norma
hukum yang diterapkan.
Karena itu penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum akan lebih ditentukan oleh
sikap yang kita ambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Dengan kata lain,
untuk dapat sampai pada penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum, posisi hukum itu
sendiri yang harus dijelaskan lebih dulu. Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran
hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme hukum di lain pihak, Kelsen tiba pada
konsekuensi berikut: Norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum
alam yang idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan Idealisme Platon, idealisme
dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu
adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah
norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Itulah sebabnya mengapa ajaran
hukum alam itu bersifat dualistik. Ajaran positivisme hukum sebaliknya bersifat monistik,
karena ajaran itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum
positif yang ditetapkan oleh manusia.
Persoalan tentang adil dan tidak adil hanya dapat muncul sebagai akibat dari rangkaian
aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang ko-eksistensial. Karena itu, aspek
hubungan antar manusia yang sarat dengan masalah keadilan membuatnya selalu peka untuk
suatu tinjauan yang bersifat sosiologis.
Berbeda dengan Magnis-Suseno, Rawls merumuskan keadilan sosial sebagai "the way in
which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine
the division of advantages from social cooperation.” Dengan major social institutions itu
dimaksudkan nya "the political constitution and the principal economic and social
arrangements". Menurut Rawls ketidakadilan sosial itu lebih merupakan akibat dari proses
legislasi parlementer yang gagal melaksanakan distribusi dari berbagai sumber daya,
ketimbang konsekuensi dari struktur politik-sosial-ekonomi yang tidak kondusif. Dengan
demikian Rawls cenderung untuk memahami keadilan sosial sebagai keadilan distributif.
Konsekuensinya adalah, keadilan bukan hanya ditegakkan jika semua manfaat
didistribusikan secara merata, tetapi juga jika distribusi yang tidak merata itu berdampak
memberi manfaat yang sama bagi semua orang. Karena itu, ketidakadilan untuk Rawls juga
menjadi soal yang sederhana "Injustice, then, is simply inequalities that are not to the benefit
of all.” Artinya, jika ketidakadilan itu dialami oleh semua orang, keadaan seperti itu
menghasilkan keadilan juga. Itulah konsekuensi final dari konsep iustitia distributiva sebagai
salah satu paham keadilan seperti yang sudah lebih dulu diajukan oleh Thomas Aquinas.
• Aspek-Aspek Keadilan
1. Partinensi Keadilan
Pertinensi keadilan adalah keterkaitan antara keadilan individual dan keadilan sosial.
Thomas Aquinas memberikan gagasan mengenai keadilan ke dalam 4 kontekstual yaitu :
Di era modern, Reinhold Zippelius (1928-) yang guru besar dalam filsafat hukum dan
hukum tata negara di Universitas Erlangen, Jerman, mengadakan pembedaan aspek keadilan
yang lebih jauh yang mencakup lima pertinensi :
3. Strafgerechtigkeit, yaitu keadilan pidana, yang terutama ditentukan oleh dasar serta
tujuan dari pengenaan hukuman pidana. Pertim bangan itu tunduk pada asas nulla
poena sine lege praevia.”
Keadilan hukum acara (Verfahrensgerechtigkeit, keadilan dalam proses hukum). Keadilan hukum
acara ditentukan terutama oleh dua syarat: kesempatan yang sama bagi semua pihak yang
berperkara untuk menegaskan posisinya, serta hakim yang tidak berat sebelah. Zippelius
menganggap keadilan hukum acara sebagai kemajuan besar terhadap hukum acara dari Zaman
Pertengahan, ketika hakim adalah jaksa sekaligus. Keadilan hukum acara zaman baru
dilambangkan oleh suatu peribahasa Jerman yang berbunyi: Jika tiada penggugat, maka tiada juga
hakim.
• Rasa keadilan
Usaha untuk melaksanakan hukum guna menegakkan keadilan, termasuk antara lain
meletakkannya dalam pertinensi yang relevan, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari
persepsi sang subjek hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan yang berlaku umum
tetapi pada akhirnya dapat dirasakan secara subjektif. Dikatakan demikian, karena setiap
pribadi memiliki hati nurani yang berperan sebagai instansi moral dan yang mampu
memandang sesuatu sebagai benar atau tidak benar.
Sebagai contoh, ketika seorang hakim meyakinkan seorang kreditur bahwa
keputusannya untuk membebaskan seorang debitur yang dinyatakannya tidak mampu (atau
sebenarnya tidak mau) membayar utangnya, dari segala tuntutan hukum, sebagai suatu
bentuk keadilan. Sang kreditur telah bersedia mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, justru
karena percaya kepada rasa keadilannya yang timbal-balik dengan sang debitur, atas dasar
mana keduanya paling sedikit berasumsi bahwa setiap pinjaman pada suatu ketika tertentu
harus dilunasi.
Dari ilustrasi contoh diatas, diperlukan Kesamaan asumsi yang menjamin tegaknya a
well-ordered society. Karena “a shared conception of justice” niscaya memajukan “a well-
ordered society”, tetapi sebaliknya “a well-ordered society” tidak niscaya memajukan “a
shared conception of justice, misalnya karena ketertiban itu dipaksakan oleh suatu diktatur.
Setiap masyarakat yang normal memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata
terhadap bentuk-bentuk perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Akan menjadi
sulit ketika seorang warga masyarakat yang normal menganggap suatu perbuatan adalah
pencurian, selagi pada saat yang sama tetangganya menganggap itu bukan pencurian.
Persoalannya adalah dalam masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu
mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu (misalnya:
korupsi) dianggap wajar oleh yang lain, dan sebaliknya.
Zippelius menggunakan pendekatan sosio-biologi untuk menerangkan adanya instansi
moral dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana diperlihatkan melalui
contoh-contoh seperti: kasih ibu, pantangan insest, penolakan terhadap kebiasaan perilaku
yang menyesatkan, rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya. Kelsen
mengabstraksikannya sebagai dua arti dan perasaan keadilan:
● Pertama, sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan tidak menghendaki
perlakuan yang tidak adil.
● Kedua, sikap batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima perlakuan adil atau
menolak perlakuan yang tidak adil.
Di samping itu, Kelsen berpandangan bahwa instansi moral itu juga bertumpu pada
pengalaman empiris, manakala manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari kita memang
tidak pernah dapat bebas dari keputusan untuk menyetujui dan menerima perilaku orang lain
yang benar, pantas, masuk akal, atau bisa juga sebaliknya: tidak menyetujui dan menolak
perilaku yang tidak benar, tidak pantas, tidak masuk akal. Ada kalanya instansi moral itu
bangkit justru ketika orang mengalami keadaan yang negatif. Zippelius mengungkapkannya
dengan mengutip Riezler yang mengatakan bahwa “ketidakadilan adalah motivator dari rasa
adil yang paling kuat”.
Meskipun demikian, rasa keadilan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang mutlak
dan akan senantiasa bersifat relatif. Artinya, rasa keadilan itu punya keterkaitan spatial dan
temporal, sehingga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pribadi dari sang subjek hukum
yang pasti hadir dalam konteks yang spatial dan temporal. Akibatnya, sebagai pribadi
manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dalam suatu kerangka tata nilai, baik tata
nilai yang diperolehnya sejak lahir (acquired), maupun tata nilai yang diperolehnya karena
belajar (achieved).
Rasa keadilan yang relatif seperti itu sulit untuk dapat diterapkan dan diberlakukan
secara umum, karena setiap orang memiliki perasaan subjektif yang membedakan perbuatan
yang adil dari yang tidak adil. Sedangkan, dalam hubungan antarmanusia diperlukan suatu
tatanan objektif yang diterima secara umum, agar rasa keadilan perseorangan itu tidak pecah
sebagai diskrepansi dalam rasa keadilan antar perseorangan, atau lebih parah lagi,
persilangan dalam rasa keadilan antar perseorangan. Karena itu, paling minimal diperlukan
suatu kesepakatan mengenai rambu-rambu rasa keadilan supaya lalu lintas antar rasa
keadilan itu tidak saling bertumbukan.
Zippelius berdasarkan konsensus tersebut, mengamati warga dari suatu masyarakat
yang sama dapat sepakat untuk menerapkan asas perlakuan yang sama bagi setiap orang yang
terlibat dalam suatu kasus yang (hipotetis adalah) sama dengan memberlakukan norma-
norma yang sama. Asas tersebut mirip dengan prinsip “Treat like cases alike and different
cases differently” (Perlakukan kasus yang sama dengan cara yang sama dan kasus yang
berbeda secara berbeda). Tetapi, justru Hart mengamati keterbatasan dari rasa keadilan itu,
karena dalam kenyataan tidaklah ada dua kasus yang persis sama satu dengan yang lainnya.
Sedangkan, Rawls berpendapat bahwa “Treating similar cases similarly is not a sufficient
guarantee of substantive justice” (memperlakukan kasus serupa dengan cara yang sama
bukanlah jaminan yang cukup untuk keadilan substantif). Itulah sebabnya dalam kerangka
masyarakat, rasa keadilan perseorangan yang bersifat subjektif harus dikembangkan
sedemikian rupa sehingga menjadi rasa keadilan yang dapat dirasakan secara umum. Dengan
perkataan lain, agar dapat diterima sebagai rasa keadilan yang umum, rasa keadilan
perseorangan yang subjektif harus diimpersonalisasikan.
Dalam kerangka normatif seperti itulah Zippelius menilai praktek hukum di Inggris
sebagai suatu model yang memperlihatkan, betapa kebiasaan untuk menetapkan keadilan
berdasarkan case law yang diletakkan dalam rangkaian praktek reasoning from case to case
(menalar dari kasus ke kasus) melahirkan prinsip “ex aequo et bono” yang sebenarnya sudah
dikenal oleh orang Romawi.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengamatan yang dilakukan oleh Zippelius
dicerminkan oleh hakim yang dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan
juga membakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dicerminkan dalam keputusan
keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim yang mengacu kepada
pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan cara demikian dapat dipahami
oleh masyarakat, yang pada giliran berikutnya berpeluang untuk ikut menghayati (sharing)
rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim itu dalam keputusannya. Rasa keadilan yang
diketengahkan hakim lalu dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan oleh masyarakat
Sebenarnya, rasa keadilan yang merata itulah yang menjadi soko guru dari konsep the rule of
law, Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan yang menganga di antara rasa keadilan yang
hidup dalam diri hakim di satu sisi dan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat di sisi
lain, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat kepada hakim berkurang. Dan
karena dalam masyarakat berlaku kepercayaan umum bahwa hakim adalah lambang dan
benteng dari hukum yang harus (dan ingin) dihormati demi kepentingan mereka sendiri,
timbul juga risiko bahwa masyarakat akan mengabaikan hukum.
Reaksi masyarakat ketika tidak sejalan dengan keputusan Pengadilan mengenai suatu
perkara sebenarnya merupakan fenomena yang mencemaskan, karena dengan begitu tercipta
situasi di mana “rakyat berhadapan dengan pengadilan”. Jika para hakim tidak mawas diri
dan memajukan pengetahuan kehakimannya, logika ini bisa berlanjut dan pada gilirannya
bisa tercipta situasi di mana rakyat merasa perlu “mengadili pengadilan yang tidak adil”.
Kemungkinan lain yang tidak kalah mencemaskannya adalah berkembangnya kebiasaan
untuk main hakim sendiri yang pada akhirnya akan bermuara dalam anarki. Padahal, salah
satu misi utama dari politik melalui pelaksanaan hukum adalah justru menghindarkan
timbulnya anarki. Karena itu kejelasan dalam hubungan antara hukum dan politik menjadi
kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Rasa keadilan pada prinsipnya adalah kesadaran akan nilai buah dari keselarasan dan
keseimbangan diantara semua pihak untuk menikmati kesempatan berperan atau fasilitas
yang menjadi haknya. Rasa keadilan pada umumnya muncul dari sanubari kita apabila justru
dirasa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Ketika keadilan itu terlaksana dan semua
pihak telah menerima hak atas peluang berperan dan fasilitas yang ada biasanya rasa
kedamaian dan kebahagiaan lah yang dirasakan.
G. Tujuan Hukum
Tujuan ditetapkannya hukum bagi suatu negara adalah untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, mencegah tindakan yang sewenang-wenang, melindungi hak asasi manusia, serta
menciptakan suasana yang tertib, tenteram aman, dan damai.
Dengan adanya suasana aman dan tenteram serta tertib di kalangan umat manusia, maka
segala kepentingan manusia dapat dilindungi oleh hukum, dari tindakan yang merugikan,
mengingat kepentingan manusia sering kali saling berbenturan. Untuk itulah negara mempunyai
tugas menjaga tata tertib masyarakat dan berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh
tanah air Indonesia. Negara juga mempunyai wewenang menegakkan hukum dan memberi sanksi
hukum kepada yang melanggarnya.