Anda di halaman 1dari 23

A.

Sistem Hukum di Indonesia


1. Pengertian Hukum
Menurut Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk
mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Dengan demikian hukum itu merupakan aturan,
tata tertib, dan kaidah hidup. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada kesepakatan yang pasti
tentang rumusan arti hukum. Untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena
hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin mencakup
keseluruhan segi dan bentuk hukum.
2. Karakteristik Hukum
Karakteristik dari hukum adalah adanya perintah dan larangan; perintah atau larangan
tersebut harus dipatuhi oleh semua orang. Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh
masyarakat karena hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa
seseorang untuk menaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang
yang tidak menaatinya akan diberikan sanksi yang tegas.
3. Penggolongan Hukum
Hukum mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Mengingat aspek kehidupan
manusia sangat luas, sudah barang tentu ruang lingkup atau cakupan hukum pun begitu luas.
4. Tujuan Hukum
Tujuan ditetapkannya hukum bagi suatu negara adalah untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan, mencegah tindakan yang sewenang-wenang, melindungi hak asasi manusia,
serta menciptakan suasana yang tertib, tenteram aman, dan damai.
5. Tata Hukum Indonesia
Tata hukum Indonesia merupakan keseluruhan peraturan hukum yang diciptakan oleh
negara dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berpedoman pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan tata hukum tersebut dapat
dipaksakan oleh alat-alat negara yang diberi kekuasaan. Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh
masyarakat hukum Indonesia. Oleh karena itu, tata hukum Indonesia baru ada ketika negara
Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

B. Sistem Peradilan di Indonesia


1. Pengertian Lembaga Peradilan
Proses peradilan dilaksanakan di sebuah tempat yang dinamakan pengadilan. Dengan
demikian, terdapat perbedaan antara konsep peradilan dengan pengadilan. Peradilan menunjuk
pada proses mengadili perkara sesuai dengan kategori perkara yang diselesaikan. Adapun,
pengadilan menunjuk pada tempat untuk mengadili perkara atau tempat untuk melaksanakan
proses peradilan guna menegakkan hukum.
Pengadilan secara umum mempunyai tugas untuk mengadili perkara menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang. Pengadilan wajib memeriksa dan mengadili setiap perkara peradilan yang masuk.
2. Dasar Hukum Lembaga Peradilan
Peraturan perundang-undangan menjadi pedoman bagi lembaga-lembaga peradilan
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman secara bebas tanpa ada intervensi/ campur tangan dari siapa pun.
3. Klasifikasi Lembaga Peradilan
Dalam pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
4. Perangkat Lembaga Peradilan
a. Pengadilan Umum
Berdasarkan undang-undang, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
1) Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri mempunyai daerah hukum yang meliputi wilayah kabupaten
atau kota dan berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
2) Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Perangkat
Pengadilan Tinggi terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
b. Peradilan Agama
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan kehakiman pada peradilan
agama berpuncak pada Mahkamah Agung.
c. Peradilan Militer
Dalam peradilan militer dikenal adanya oditurat yaitu badan di lingkungan TNI
yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan
berdasarkan pelimpahan dari Panglima TNI. Oditurat terdiri atas oditurat militer, oditurat
militer tinggi, oditurat jenderal, dan oditurat militer pertempuran.
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan tata usaha negara dilaksanakan oleh
pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara.
e. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang
diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh DPR, presiden, dan Mahkamah Agung dan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan organisasinya terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) anggota
hakim konstitusi.
Masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk satu kali masa jabatan. Ketua dan Wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara.
5. Tingkatan Lembaga Peradilan
Adapun tingkatan lembaga peradilan adalah sebagai berikut.
a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
Pengadilan tingkat pertama dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Pengadilan
tingkat pertama mempunyai kekuasaan hukum yang meliputi satu wilayah kabupaten/kota.
b. Pengadilan Tingkat Kedua
Pengadilan tingkat kedua disebut juga pengadilan tinggi yang dibentuk dengan
undang-undang. Daerah hukum pengadilan tinggi pada dasarnya meliputi satu provinsi.
c. Kasasi oleh Mahkamah Agung
Dalam hal kasasi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung adalah membatalkan
atau menyatakan tidak sah putusan hakim pengadilan tinggi karena putusan itu salah atau
tidak sesuai dengan undang-undang.
6. Peran Lembaga Peradilan
a. Lingkungan Peradilan Umum
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Pengadilan negeri berperan
dalam proses pemeriksaan, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di
tingkat pertama.
b. Lingkungan Peradilan Agama
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilakukan oleh pengadilan
agama. Berdasarkan pasal 49 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006, pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, dan ekonomi syariah.
c. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara berperan dalam proses penyelesaian sengketa tata
usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
d. Lingkungan Peradilan Militer
Peradilan militer berperan dalam menyelenggarakan proses peradilan dalam
lapangan hukum pidana, khususnya bagi pihak-pihak.
e. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4 (empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945.

C. Sejarah Perubahan Sistem hukum di Indonesia


Setelah mengalami penjajahan oleh negara Belanda, Indonesia saat itu masih ikut
menggunakan sistem hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut yakni sistem hukum Eropa
kontinental. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia,
terjadi perubahan dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Awal sistem hukum yang
diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum eropa kontinental saja, setelah itu sistem hukum yang
berlaku di Indonesia mengalami perpaduan antara sistem Eropa kontinental dan sistem hukum
anglo saxon.
Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih mengedepankan hukum tertulis, peraturan perundang-
undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-selain menjamin adanya kepastian
hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat
mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada
undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan
sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan
adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang
berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga
peradilan dengan sistem yurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa
keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia saat ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang
dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem
yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga
mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan
pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya
menampik pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.

D. Perkembangan Sistem Hukum Indonesia berdasarkan pemikiran Filsuf Hukum


Perkembangan sistem Hukum Indonesia makin tampak ketika adanya sumbangan dari
pemikiran para filsuf pemikir hukum. Perkembangan itu salah satunya adalah dari madzhab
positivis. Dalam arti ini, positivisme sama tuanya dengan filsafat.
Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar dalam
proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan lembaga
legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam
menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan
pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam
sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.
Lahirnya pemikiran mazhab positivis mempunyai landasan tersendiri sehingga pandangan ini
memiliki ciri khas tersendiri, namun sayangnya pejabat negara yang diberi tugas untuk
membentuk dan melaksanakan hukum kurang memperhatikan landasan pemikiran mazhab hukum
positivis, akibatnya keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat dan tidak jarang
selalu melahirkan konflik baik vertikal maupun horizontal.
Positivisme menekankan setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu
kebenaran, hendaknya menjadikan realitas. Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam
bidang hukum, positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut oleh para
pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah eksis secara objektif sebagai
norma-norma yang positif.
Di Indonesia, penerapan prinsip ini melahirkan masalah karena hukum selalu menjadi kendala
dalam pembangunan bahkan hukum itu bersifat statis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan
setiap keadaan yang berubah. Banyak kalangan mengatakan dengan jelas bahwa hukum itu
bersifat statis dan kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru karena mengabaikan
aspek lain dalam pembentukan hukum.
Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran positivisme.
Menurut Kelsen , norma hukum yang sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang
dilakukan oleh setiap individu/kelompok dalam masyarakat . Standar penilaian dimaksud adalah
hubungan antara perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran
untuk menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus
diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek moral dan
keadilan.
Hukum dan keadilan seperti dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil, dan keadilan
hukum berarti kepastian hukum. Jadi suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar
diterapkan pada semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap tidak adil
jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak diterapkan pada kasus lain yang sama.
Substansi keadilan hukum dalam pandangan positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa
memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian).
Doktrin positivisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia,
terutama pada bidang pidana menyangkut penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan
hukum.

E. Menampilkan Sikap yang Sesuai dengan Hukum


Setiap anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, baik kepentingan yang sama
maupun berbeda. Tidak jarang di masyarakat perbedaan kepentingan sering menimbulkan
pertentangan yang menyebabkan timbulnya suasana yang tidak tertib dan tidak teratur. Dengan
demikian untuk mencegah timbulnya ketidaktertiban dan ketidakteraturan dalam masyarakat
diperlukan sikap positif untuk menaati setiap norma atau hukum yang berlaku di masyarakat:
1. Perilaku yang Sesuai dengan Hukum
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita tidak akan dapat
mengabaikan semua aturan atau hukum yang berlaku. Sebagai makhluk sosial yang selalu
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, kita senantiasa akan membentuk suatu komunitas
bersama guna menciptakan lingkungan yang aman, tertib, dan damai. Untuk menuju hal
tersebut, diperlukan suatu kebersamaan dalam hidup dengan menaati peraturan atau hukum
yang tertulis maupun tidak tertulis.
Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam
diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang
berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara secara
langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya. Kepatuhan hukum
mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran:
a. memahami dan menggunakan peraturan perundangan yang berlaku;
b. mempertahankan tertib hukum yang ada; dan
c. menegakkan kepastian hukum.
Adapun ciri-ciri seseorang yang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku dapat
dilihat dari perilaku yang diperbuatnya seperti:
a. disenangi oleh masyarakat pada umumnya;
b. tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain;
c. tidak menyinggung perasaan orang lain;
d. menciptakan keselarasan;
e. mencerminkan sikap sadar hukum; dan
f. mencerminkan kepatuhan terhadap hukum.
2. Perilaku yang Bertentangan dengan Hukum Beserta Sanksinya
a. Macam-macam Perilaku yang Bertentangan dengan Hukum
Perilaku yang bertentangan dengan hukum timbul sebagai akibat dari rendahnya
kesadaran hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal yaitu:
1) pelanggaran hukum oleh si pelanggar sudah dianggap sebagai kebiasaan bahkan
kebutuhan; dan
2) hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan.
b. Macam-macam Sanksi
Sanksi terhadap pelanggaran itu amat banyak ragamnya, misalnya sanksi hukum,
sanksi sosial, dan sanksi psikologis. Sifat dan jenis sanksi dari setiap norma atau hukum
berbeda satu sama lain. Akan tetapi, dari segi tujuannya sama yaitu untuk mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat.
Sanksi norma hukum adalah tegas dan nyata. Hal tersebut mengandung pengertian
sebagai berikut.
1) Tegas berarti adanya aturan yang telah dibuat secara material. Misalnya, dalam hukum
pidana mengenai sanksi diatur dalam pasal 10 KUHP. Dalam pasal tersebut ditegaskan
bahwa sanksi pidana berbentuk hukuman yang mencakup:
a) Hukuman Pokok, yang terdiri atas:
(1) hukuman mati.
(2) hukuman penjara yang terdiri dari hukuman seumur hidup dan hukuman
sementara waktu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1
tahun).
b) Hukuman Tambahan, yang terdiri:
(1) pencabutan hak-hak tertentu.
(2) perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
(3) pengumuman keputusan hakim.
2) Nyata berarti adanya aturan yang secara material telah ditetapkan kadar hukuman
berdasarkan perbuatan yang dilanggarnya. Contoh: pasal 338 KUHP, menyebutkan
“barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan,
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Jika sanksi hukum diberikan oleh negara, melalui lembaga-lembaga peradilan,
sanksi sosial diberikan oleh masyarakat. Misalnya dengan menghembuskan desas-desus,
cemoohan, dikucilkan dari pergaulan, bahkan yang paling berat diusir dari lingkungan
masyarakat setempat.
Jika sanksi hukum maupun sanksi sosial tidak juga mampu mencegah orang
melakukan perbuatan melanggar aturan, ada satu jenis sanksi lain, yakni sanksi psikologis.
Sanksi psikologis dirasakan dalam batin kita sendiri. Jika seseorang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan, tentu saja di dalam batinnya ia akan merasa bersalah.
Selama hidupnya ia akan dibayang-bayangi oleh kesalahannya itu. Hal ini akan sangat
membebani jiwa dan pikiran kita. Sanksi inilah yang merupakan gerbang terakhir yang
dapat mencegah seseorang melakukan pelanggaran terhadap aturan.

F. Kegunaan Hukum
1. Kegunaan Hukum sebagai Ketertiban Umum
Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib umum memiliki artian suatu
keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan,
supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Istilah lain yang digunakan untuk
mendefinisikan ketertiban umum sering dibahas dengan menggunakan istilah yang berbeda-
beda, ada yang menyebutnya “keadaan damai”, ada juga yang menyebutnya “kepastian
hukum”. Apapun istilah yang digunakan untuk itu, ketertiban umum itu tidak mungkin bisa
terimplementasikan jatuh dari langit (tanpa partisipasi dari masyarakat). Hal ini tentunya
memerlukan sesuatu yang mampu memberikan pengaruh bahwa keadaan masyarakat secara
umum adalah tertib, dan bukan sebaliknya. “...tata tertib hukum sebenarnya merupakan
kepentingan objektif dan sebenarnya dari semua pihak dalam masyarakat”. Hal ini, dapat
diartikan apabila dibiarkan keadaan umum masyarakat itu bisa saja menjadi tidak tertib.
Sebagai contoh, Dalam majalah Newsweek edisi tanggal 25 September 1995
diberitakan bahwa di Nairobi, ibukota Kenya, berkembang kebiasaan dimana pencuri-pencuri
jalanan yang tertangkap basah, dianiaya dengan segala cara sampai mati oleh kelompok-
kelompok penduduk yang bertindak main hakim sendiri. Dilaporkan bahwa perkembangan
itu terjadi karena tidak berfungsinya kepolisian, korupsi di kalangan peradilan, serta
merebaknya tindak kekerasan di kalangan politik Kenya.
Melalui kasus tersebut dapat dibuktikan (dan kemungkinan besar juga dalam banyak
kasus lain yang tidak terlaporkan) bahwa prioritas bagi rakyat adalah ketertiban umum.
Keadilan tampaknya secara empiris merupakan persoalan nomor dua setelah ketertiban.
Akibatnya, tindakan untuk menghukum pengganggu ketertiban umum bisa saja dilakukan
dengan cara yang tidak harus adil. Rakyat Nairobi tampaknya tidak memikirkan bahwa
pembunuhan seperti yang mereka lakukan sebenarnya merupakan kejahatan yang jauh lebih
serius bila dibandingkan dengan pencurian yang dilakukan oleh maling-maling jalanan itu.
Fakta sosialnya adalah tindakan-tindakan pencuri jalanan itu tidak teratasi oleh aparat
keamanan Nairobi, sehingga logik yang kemudian berkembang di kalangan masyarakat
adalah: kejahatan yang lebih berat dari pencurian-pencurian kecil tentunya akan lebih tidak
teratasi lagi oleh aparat keamanan.
Logik hukum rimba itu bila dibiarkan berlanjut akan membawa konsekuensi
disintegrasi sosial yang bermuara dalam anarki. Sementara melalui hukum notabene manusia
hendak menghindarkan diri dan anarki, “Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah
bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka. Jadi, hukum merupakan
sarana pemecahan konflik yang rasional, karena tidak berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan
alamiah belaka, melainkan menurut kriteria objektif yang berlaku umum”. Tampaknya,
Dennis Lloyd berpikir dalam kerangka yang sama, manakala dia menyimpulkan bahwa
keadilan adalah sedikit lebih dari ketertiban yang rasional: “... justice is a little more than the
idea of rational order and coherence and therefore operates as a principle of procedure
rather than of substance” Atau dengan kata lain, keadilan memang bukan saja belum tercapai
dengan adanya ketertiban, karena keadilan memang lebih dari sekadar ketertiban, melainkan
juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang substansi.
Secara konseptual, ketertiban umum sebenarnya bisa dipahami sebagai manifestasi
dari suatu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan kolektif, yaitu suatu tatanan dimana
manusia merasa aman secara kolektif. Kebebasan eksistensial yang individual itu hanya bisa
ada, jika ditempatkan dalam pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Ketertiban umum
pada akhirnya merupakan manifestasi yang rasional dari penempatan kebebasan eksistensial
yang individual dalam pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Daripada menggunakan
kebebasan semata-mata untuk terus-menerus melakukan ofensif guna mempertahankan diri
secara individual, adalah lebih rasional untuk mengalihkan sebagian dari kebebasan
eksistensial itu menjadi pembatasan ko-eksistensial guna memperoleh keamanan kolektif.
Usaha untuk menyelenggarakan pergaulan hidup yang mampu mewujudkan keamanan
kolektif itu rupanya memang mempunyai sejarah yang panjang, sarat dengan maju mundur
proses konsensus maupun konflik yang tidak tuntas.
Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara
damai. Karena hukum menurut substansinya adalah sesuatu yang berlaku umum dan tidak secara
sebagian atau bersifat diskriminatif, tertib hukum menjadi tertib yang berlaku umum. Hukum
dapat mempertahankan perdamaian atau tertib hukum hanya jika dia berhasil menjaga
keseimbangan antar kepentingan manusia yang tidak selalu tidak bertentangan satu sama lain.
Artinya, tertib hukum itu hanya bisa ditegakkan, jika dia mendatangkan keadilan bagi mereka
yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu, karena hukum melindungi kepentingan dan cita-
cita dasar manusia yang sama seperti keamanan jiwa, kebebasan untuk mengurus diri sendiri,
bentuk-bentuk hak milik tertentu (yang sangat berbeda satu sama lain), struktur-struktur kerja
sama dan tukar-menukar yang adil, dan seterusnya. Jika tidak, pada tingkat situasi yang ekstrem
manusia akan berusaha untuk memperoleh keadilan bagi dirinya sendiri dengan cara apa saja,
yang kalau perlu dengan mengorbankan ketertiban umum itu. Karena itu, kesimpulan Apeldoorn,
tujuan hukum adalah “tata-tertib masyarakat yang damai dan adil” Itulah sebabnya, mengapa
pembahasan tentang ketertiban umum sebagai tujuan dari hukum harus dilakukan sebagai usaha
kembar untuk juga membahas masalah keadilan.
Prinsipnya adalah suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi
ketertiban umum belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum. Tertib hukum menjadi
tertib hukum hanya karena dia mengandung keadilan dalam kadar tertentu, sehingga
didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum umum. Tetapi, ketertiban umum tidak
niscaya mengandung keadilan, karena bisa saja ketertiban umum itu dipaksakan oleh suatu
kekuatan (misalnya: pemerintah yang otoriter) yang lebih berkepentingan terhadap suatu
keadaan yang tunduk kepadanya, daripada memberikan keadilan kepada masyarakat. Karena
itu, jika kita meneruskan alur pemikiran Apeldoorn, keadilan niscaya juga mengimplikasikan
tertib hukum. Konsekuensi yang lebih jauh adalah jika ketertiban umum harus merupakan
tertib hukum, ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Jadi,
keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak
berlebihan jika kita tegaskan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk
menegakkan keadilan. Berbagai tahapan dari ketertiban itu bisa kita petakan sebagai berikut:

Kejadian yang memperlihatkan bahwa pembiasaan toleransi terhadap ketidakadilan


dan pelecehan yang berlarut-larut terhadap hasrat untuk menegakkan keadilan pada akhirnya
bermuara dalam suatu anomali sosial. Dalam anomali sosial itu ketertiban umum menjadi
“barang mewah” yang mahal dan langka untuk diperoleh. Jika situasi seperti itu terjadi,
usaha untuk membangun suatu masyarakat yang tertib yang beradab dan adil kemungkinan
besar harus dimulai seperti dari titik nol lagi serta menjalani peta yang digambarkan di atas,
hampir dari yang paling bawah.
2. Fungsi Hukum sebagai Keadilan
Keadilan merupakan sebuah pokok permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Hukum
ada sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan pokok permasalahan keadilan tersebut.
Sehingga hukum merupakan alat untuk menciptakan atau mencapai keadilan. Hukum dan
keadilan merupakan dua hal yang berbeda. Meskipun demikian, hukum dan keadilan saling
memiliki keterikatan.

Hans Kelsen memberikan gambaran mengenai keadilan dalam bukunya yang berjudul Das
Problem der Gerechtigeit (Masalah Keadilan). Menurutnya, keadilan merupakan norma moral
dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan hubungan antar manusia tersebut, suatu perbuatan
manusia terhadap manusia lain memperoleh ‘nilai keadilan’. Artinya, perbuatan seseorang
dianggap tidak adil apabila ada norma yang menyatakan bahwa perbuatan seseorang tersebut
merupakan perbuatan yang tidak adil. Dalam kehidupan manusia, norma tentang keadilan tersebut
sering ditetapkan sebagai hukum positif yang semata-mata bersumber dari akal budi manusia. Hal
ini tidak tepat karena dalam keadaan tersebut dapat terjadi risiko norma keadilan bertentangan
dengan hukum positif. Sehingga atas dasar tersebut nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum.

Kelsen melihat bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat subjektif. Dia berpendapat
bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah keadilan adalah sesuatu yang bermakna
hadirnya sebuah kondisi sosial dimana setiap orang mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan
secara umum. Keadilan adalah sesuatu hal yang memiliki makna yang sangat identik dengan
kebahagiaan umum. Menurut kelsen, hukum adalah sesuatu yang berbeda dengan keadilan.
Kesalahan besar yang dilakukan oleh pemikir-pemikir hukum alam adalah memaksakan
keadilan termasuk dalam cita-cita hukum. Padahal ketika keadilan adalah sebuah kondisi
dimana setiap orang dapat merasakan kebahagiaan secara umum, hal ini tentu saja akan
menjadikan keadilan tidak lebih dari sebuah isu sosial saja dihadapan hukum. Karakter
hukum yang hanya berbicara tentang benar atau salah, dihukum atau tidak dihukum,
melanggar atau tidak melanggar inilah yang membuat kebahagiaan sosial secara umum akan
mustahil diwujudkan melalui hukum.

Kelsen melihat hukum adalah teknik sosial untuk membuat sebuah regulasi kehidupan
bersama dalam sebuah sistem masyarakat. Jadi masalah hukum menurut kelsen bukan pada
persoalan apakah hukum itu berujung pada penerapan keadilan atau tidak. Masalah hukum
adalah murni masalah tentang sebuah teknik sosial. Validitas dan efektifitas hukum dalam
pandangan kelsen adalah dua hal utama ketika kita berbicara tentang hukum sebagai sebuah
norma. Validitas yang dimaksudkan adalah apakah sebuah peraturan mengandung sebuah
norma hukum atau tidak. Norma hukum yang dimaksudkan disini adalah sebuah norma yang
mengatur tentang tingkah laku setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan efektivitas hukum adalah ketika setiap orang bertindak sesuai dengan norma
hukum yang diterapkan.

Karena itu penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum akan lebih ditentukan oleh
sikap yang kita ambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Dengan kata lain,
untuk dapat sampai pada penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum, posisi hukum itu
sendiri yang harus dijelaskan lebih dulu. Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran
hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme hukum di lain pihak, Kelsen tiba pada
konsekuensi berikut: Norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum
alam yang idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan Idealisme Platon, idealisme
dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu
adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah
norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Itulah sebabnya mengapa ajaran
hukum alam itu bersifat dualistik. Ajaran positivisme hukum sebaliknya bersifat monistik,
karena ajaran itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum
positif yang ditetapkan oleh manusia.

• Keadilan Individu dan Keadilan Sosial

Persoalan tentang adil dan tidak adil hanya dapat muncul sebagai akibat dari rangkaian
aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang ko-eksistensial. Karena itu, aspek
hubungan antar manusia yang sarat dengan masalah keadilan membuatnya selalu peka untuk
suatu tinjauan yang bersifat sosiologis.

Magnis-Suseno menggunakan istilah keadilan sosial dan membedakannya dari istilah


keadilan individual. Ada dua contoh yang diberikannya. Masalah keadilan individual terjadi
jika seorang pengajar memberikan angka yang lebih baik untuk suatu prestasi yang sama
kepada seorang mahasiswa tertentu dibanding kepada mahasiswa yang lain semata-mata
karena favoritisme. Dalam kasus tersebut yang terjadi adalah ketidakadilan yang lahir dari
pertimbangan subjektif belaka. Jadi, yang relevan di sini adalah keadilan atau ketidakadilan
yang subjektif, dan bukan keadilan atau ketidakadilan yang individual. Karena ada keadilan
atau ketidakadilan yang subjektif, maka ada juga keadilan atau Fungsi Hukum ketidakadilan
yang objektif.
Magnis-Suseno memperlihatkan masalah keadilan sosial dalam kasus, di mana seorang
pengusaha karena rasa keadilannya mau memberikan gaji yang memenuhi syarat hidup
minimum kepada buruhnya, tetapi tidak mampu melakukannya, karena struktur politik
sosial-ekonomi tidak memungkinkannya. Ketidakadilan sosial itu disebutnya ketidakadilan
struktural, karena ketidakadilan itu tidak terjadi karena lahir dari kebebasan individual,
melainkan karena paksaan struktural masyarakat yang merupakan kenyataan objektif.
Artinya, masalah keadilan sosial adalah masalah keadilan struktural (dan masalah struktural
adalah masalah objektif).

Berbeda dengan Magnis-Suseno, Rawls merumuskan keadilan sosial sebagai "the way in
which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine
the division of advantages from social cooperation.” Dengan major social institutions itu
dimaksudkan nya "the political constitution and the principal economic and social
arrangements". Menurut Rawls ketidakadilan sosial itu lebih merupakan akibat dari proses
legislasi parlementer yang gagal melaksanakan distribusi dari berbagai sumber daya,
ketimbang konsekuensi dari struktur politik-sosial-ekonomi yang tidak kondusif. Dengan
demikian Rawls cenderung untuk memahami keadilan sosial sebagai keadilan distributif.
Konsekuensinya adalah, keadilan bukan hanya ditegakkan jika semua manfaat
didistribusikan secara merata, tetapi juga jika distribusi yang tidak merata itu berdampak
memberi manfaat yang sama bagi semua orang. Karena itu, ketidakadilan untuk Rawls juga
menjadi soal yang sederhana "Injustice, then, is simply inequalities that are not to the benefit
of all.” Artinya, jika ketidakadilan itu dialami oleh semua orang, keadaan seperti itu
menghasilkan keadilan juga. Itulah konsekuensi final dari konsep iustitia distributiva sebagai
salah satu paham keadilan seperti yang sudah lebih dulu diajukan oleh Thomas Aquinas.

Argumentasi dari Magnis-Suseno bagi penanggung jawab atas situasi ketidakadilan


struktural sangat jelas: karena paksaan yang timbul dari struktur politik-sosial-ekonomi
mengatasi kebebasan individu untuk membuat keputusan yang secara etis bisa
dipertanggungjawabkan, tanggung jawab itu dicabut dari si individu dan beralih kepada
pemerintah. Hal ini karena pemerintah memang ditugaskan untuk membangun suatu struktur
politik-sosial-ekonomi yang sedemikian rupa, sehingga tidak menghasilkan ketidakadilan
struktural (ketidakadilan objektif). Dalam kasus yang diajukan oleh Hart yang lalu
dirumuskan oleh Rawls, tanggung jawab itu sudah menjadi lebih jelas lagi, dan tidak sekadar
terletak pada negara, melainkan pada rakyat sendiri sebagaimana mereka (seharusnya)
diwakili dalam parlemen. Sebaliknya, penanggung jawab bagi penyebab 'ketidakadilan
individual' Kembali kepada individu yang menyebabkannya, karena individu membuat
keputusan yang kemudian melahirkan keadilan individual atau ketidakadilan individual
(yang lebih tepat disebut sebagai keadilan subjektif atau ketidakadilan subjektif) berdasarkan
kebebasan dan akalnya sendiri, individu yang bersangkutan juga memikul tanggung jawab
etis itu sendiri. Jadi korelat bagi persoalan ketidakadilan struktural sebagai ketidakadilan
objektif (atau yang umumnya disebut ketidakadilan sosial) itu adalah ketidak adilan subjektif
(dan bukannya ketidakadilan individual). Pada akhirnya, baik keadilan sosial sebagai
keadilan struktural yang objektif di satu sisi dan keadilan individual' sebagai keadilan
subjektif di sisi yang lain, sama-sama memiliki esensi etik.

Berdasarkan rumusan-rumusan keadilan di atas, masalah yang sering timbul apabila


menyangkut mengenai hukum adalah bahwa pada umumnya hukum positif yang ada belum
mampu mengakomodasi keadilan struktural atau keadilan objektif (keadilan sosial). Di
negara-negara yang otoriter, hukum yang berlaku di negara tersebut seringnya hanya bersifat
legal saja namun tidak legitimate. Artinya hukum tersebut dibuat sesuai dengan prosedur atau
legislasi yang berlaku, namun tidak mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

• Aspek-Aspek Keadilan

1. Partinensi Keadilan

Pertinensi keadilan adalah keterkaitan antara keadilan individual dan keadilan sosial.
Thomas Aquinas memberikan gagasan mengenai keadilan ke dalam 4 kontekstual yaitu :

a) Keadilan distributif (iustitia distributiva) diterangkannya


sebagai keadilan yang berkenaan dengan pembagian jabatan,
pembayaran pajak, dan sebagainya.

b) Keadilan legal (iustitia legalis) adalah yang menyangkut


pelaksanaan hukum umum.

c) Keadilan tukar-menukar (iustitia commutativa) adalah yang


berkenaan dengan transaksi seperti jual-beli, dan yang
diletakkannya diametral dengan

d) Keadilan balas dendam (iustitia vindicativa), yang (di masa itu)


berlaku dalam hukum pidana.

Di era modern, Reinhold Zippelius (1928-) yang guru besar dalam filsafat hukum dan
hukum tata negara di Universitas Erlangen, Jerman, mengadakan pembedaan aspek keadilan
yang lebih jauh yang mencakup lima pertinensi :

1. Iustitia commutativa (Verkehrsgerechtigkeit, keadilan timbal balik) yang menurutnya


terjadi apabila warga masyarakat melakukan transaksi kontraktual, dihadapkannya
pada ausgleichende Gerechtigkeit, yaitu keadilan yang terjadi pada suatu pemulihan
dari keadaan cidera hak, misalnya manakala dilakukan tindakan ganti rugi kepada
penderita yang mengalami perlakuan yang telah merugikannya.

2. Iustitia distributiva (austeilende Gerechtigkeit, keadilan dalam pembagian)


dinyatakannya sebagai berlaku dalam hukum perdata, terutama di bidang hukum
kebendaan maupun hukum keluarga. Jika ada orang yang memecahkan jambang
bunga di toko, dia akan harus mengganti harganya, tidak peduli apakah dia hartawan
atau orang gembel. Keadilan distributif juga sangat menonjol dalam bidang hukum
waris. Perlu dikemukakan bahwa untuk Hart yang bertradisi Inggris, iustitia
distributiva itu relevan justru dalam kerangka keadilan sosial, karena langsung
bertautan dengan 'public good atau 'common good", yang oleh Lloyd didefinisikan
sebagai "the greatest happiness of the greatest number.

3. Strafgerechtigkeit, yaitu keadilan pidana, yang terutama ditentukan oleh dasar serta
tujuan dari pengenaan hukuman pidana. Pertim bangan itu tunduk pada asas nulla
poena sine lege praevia.”

Keadilan hukum acara (Verfahrensgerechtigkeit, keadilan dalam proses hukum). Keadilan hukum
acara ditentukan terutama oleh dua syarat: kesempatan yang sama bagi semua pihak yang
berperkara untuk menegaskan posisinya, serta hakim yang tidak berat sebelah. Zippelius
menganggap keadilan hukum acara sebagai kemajuan besar terhadap hukum acara dari Zaman
Pertengahan, ketika hakim adalah jaksa sekaligus. Keadilan hukum acara zaman baru
dilambangkan oleh suatu peribahasa Jerman yang berbunyi: Jika tiada penggugat, maka tiada juga
hakim.

1. Keadilan konstitusional (Verfassungsgerechtigkeit). Keadilan konstitusional


mengemuka dalam hal penentuan syarat-syarat untuk pemangkuan jabatan
kenegaraan. Dalam praktek kenegaraan yang modern, penentuan syarat-syarat itu
dilakukan secara demokratis, terutama melalui pemilihan umum."

• Rasa keadilan
Usaha untuk melaksanakan hukum guna menegakkan keadilan, termasuk antara lain
meletakkannya dalam pertinensi yang relevan, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari
persepsi sang subjek hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan yang berlaku umum
tetapi pada akhirnya dapat dirasakan secara subjektif. Dikatakan demikian, karena setiap
pribadi memiliki hati nurani yang berperan sebagai instansi moral dan yang mampu
memandang sesuatu sebagai benar atau tidak benar.
Sebagai contoh, ketika seorang hakim meyakinkan seorang kreditur bahwa
keputusannya untuk membebaskan seorang debitur yang dinyatakannya tidak mampu (atau
sebenarnya tidak mau) membayar utangnya, dari segala tuntutan hukum, sebagai suatu
bentuk keadilan. Sang kreditur telah bersedia mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, justru
karena percaya kepada rasa keadilannya yang timbal-balik dengan sang debitur, atas dasar
mana keduanya paling sedikit berasumsi bahwa setiap pinjaman pada suatu ketika tertentu
harus dilunasi.
Dari ilustrasi contoh diatas, diperlukan Kesamaan asumsi yang menjamin tegaknya a
well-ordered society. Karena “a shared conception of justice” niscaya memajukan “a well-
ordered society”, tetapi sebaliknya “a well-ordered society” tidak niscaya memajukan “a
shared conception of justice, misalnya karena ketertiban itu dipaksakan oleh suatu diktatur.
Setiap masyarakat yang normal memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata
terhadap bentuk-bentuk perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Akan menjadi
sulit ketika seorang warga masyarakat yang normal menganggap suatu perbuatan adalah
pencurian, selagi pada saat yang sama tetangganya menganggap itu bukan pencurian.
Persoalannya adalah dalam masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu
mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu (misalnya:
korupsi) dianggap wajar oleh yang lain, dan sebaliknya.
Zippelius menggunakan pendekatan sosio-biologi untuk menerangkan adanya instansi
moral dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana diperlihatkan melalui
contoh-contoh seperti: kasih ibu, pantangan insest, penolakan terhadap kebiasaan perilaku
yang menyesatkan, rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya. Kelsen
mengabstraksikannya sebagai dua arti dan perasaan keadilan:

● Pertama, sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan tidak menghendaki
perlakuan yang tidak adil.
● Kedua, sikap batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima perlakuan adil atau
menolak perlakuan yang tidak adil.

Di samping itu, Kelsen berpandangan bahwa instansi moral itu juga bertumpu pada
pengalaman empiris, manakala manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari kita memang
tidak pernah dapat bebas dari keputusan untuk menyetujui dan menerima perilaku orang lain
yang benar, pantas, masuk akal, atau bisa juga sebaliknya: tidak menyetujui dan menolak
perilaku yang tidak benar, tidak pantas, tidak masuk akal. Ada kalanya instansi moral itu
bangkit justru ketika orang mengalami keadaan yang negatif. Zippelius mengungkapkannya
dengan mengutip Riezler yang mengatakan bahwa “ketidakadilan adalah motivator dari rasa
adil yang paling kuat”.
Meskipun demikian, rasa keadilan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang mutlak
dan akan senantiasa bersifat relatif. Artinya, rasa keadilan itu punya keterkaitan spatial dan
temporal, sehingga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pribadi dari sang subjek hukum
yang pasti hadir dalam konteks yang spatial dan temporal. Akibatnya, sebagai pribadi
manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dalam suatu kerangka tata nilai, baik tata
nilai yang diperolehnya sejak lahir (acquired), maupun tata nilai yang diperolehnya karena
belajar (achieved).
Rasa keadilan yang relatif seperti itu sulit untuk dapat diterapkan dan diberlakukan
secara umum, karena setiap orang memiliki perasaan subjektif yang membedakan perbuatan
yang adil dari yang tidak adil. Sedangkan, dalam hubungan antarmanusia diperlukan suatu
tatanan objektif yang diterima secara umum, agar rasa keadilan perseorangan itu tidak pecah
sebagai diskrepansi dalam rasa keadilan antar perseorangan, atau lebih parah lagi,
persilangan dalam rasa keadilan antar perseorangan. Karena itu, paling minimal diperlukan
suatu kesepakatan mengenai rambu-rambu rasa keadilan supaya lalu lintas antar rasa
keadilan itu tidak saling bertumbukan.
Zippelius berdasarkan konsensus tersebut, mengamati warga dari suatu masyarakat
yang sama dapat sepakat untuk menerapkan asas perlakuan yang sama bagi setiap orang yang
terlibat dalam suatu kasus yang (hipotetis adalah) sama dengan memberlakukan norma-
norma yang sama. Asas tersebut mirip dengan prinsip “Treat like cases alike and different
cases differently” (Perlakukan kasus yang sama dengan cara yang sama dan kasus yang
berbeda secara berbeda). Tetapi, justru Hart mengamati keterbatasan dari rasa keadilan itu,
karena dalam kenyataan tidaklah ada dua kasus yang persis sama satu dengan yang lainnya.
Sedangkan, Rawls berpendapat bahwa “Treating similar cases similarly is not a sufficient
guarantee of substantive justice” (memperlakukan kasus serupa dengan cara yang sama
bukanlah jaminan yang cukup untuk keadilan substantif). Itulah sebabnya dalam kerangka
masyarakat, rasa keadilan perseorangan yang bersifat subjektif harus dikembangkan
sedemikian rupa sehingga menjadi rasa keadilan yang dapat dirasakan secara umum. Dengan
perkataan lain, agar dapat diterima sebagai rasa keadilan yang umum, rasa keadilan
perseorangan yang subjektif harus diimpersonalisasikan.
Dalam kerangka normatif seperti itulah Zippelius menilai praktek hukum di Inggris
sebagai suatu model yang memperlihatkan, betapa kebiasaan untuk menetapkan keadilan
berdasarkan case law yang diletakkan dalam rangkaian praktek reasoning from case to case
(menalar dari kasus ke kasus) melahirkan prinsip “ex aequo et bono” yang sebenarnya sudah
dikenal oleh orang Romawi.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengamatan yang dilakukan oleh Zippelius
dicerminkan oleh hakim yang dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan
juga membakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dicerminkan dalam keputusan
keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim yang mengacu kepada
pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan cara demikian dapat dipahami
oleh masyarakat, yang pada giliran berikutnya berpeluang untuk ikut menghayati (sharing)
rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim itu dalam keputusannya. Rasa keadilan yang
diketengahkan hakim lalu dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan oleh masyarakat
Sebenarnya, rasa keadilan yang merata itulah yang menjadi soko guru dari konsep the rule of
law, Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan yang menganga di antara rasa keadilan yang
hidup dalam diri hakim di satu sisi dan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat di sisi
lain, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat kepada hakim berkurang. Dan
karena dalam masyarakat berlaku kepercayaan umum bahwa hakim adalah lambang dan
benteng dari hukum yang harus (dan ingin) dihormati demi kepentingan mereka sendiri,
timbul juga risiko bahwa masyarakat akan mengabaikan hukum.
Reaksi masyarakat ketika tidak sejalan dengan keputusan Pengadilan mengenai suatu
perkara sebenarnya merupakan fenomena yang mencemaskan, karena dengan begitu tercipta
situasi di mana “rakyat berhadapan dengan pengadilan”. Jika para hakim tidak mawas diri
dan memajukan pengetahuan kehakimannya, logika ini bisa berlanjut dan pada gilirannya
bisa tercipta situasi di mana rakyat merasa perlu “mengadili pengadilan yang tidak adil”.
Kemungkinan lain yang tidak kalah mencemaskannya adalah berkembangnya kebiasaan
untuk main hakim sendiri yang pada akhirnya akan bermuara dalam anarki. Padahal, salah
satu misi utama dari politik melalui pelaksanaan hukum adalah justru menghindarkan
timbulnya anarki. Karena itu kejelasan dalam hubungan antara hukum dan politik menjadi
kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Rasa keadilan pada prinsipnya adalah kesadaran akan nilai buah dari keselarasan dan
keseimbangan diantara semua pihak untuk menikmati kesempatan berperan atau fasilitas
yang menjadi haknya. Rasa keadilan pada umumnya muncul dari sanubari kita apabila justru
dirasa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Ketika keadilan itu terlaksana dan semua
pihak telah menerima hak atas peluang berperan dan fasilitas yang ada biasanya rasa
kedamaian dan kebahagiaan lah yang dirasakan.

G. Tujuan Hukum
Tujuan ditetapkannya hukum bagi suatu negara adalah untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, mencegah tindakan yang sewenang-wenang, melindungi hak asasi manusia, serta
menciptakan suasana yang tertib, tenteram aman, dan damai.
Dengan adanya suasana aman dan tenteram serta tertib di kalangan umat manusia, maka
segala kepentingan manusia dapat dilindungi oleh hukum, dari tindakan yang merugikan,
mengingat kepentingan manusia sering kali saling berbenturan. Untuk itulah negara mempunyai
tugas menjaga tata tertib masyarakat dan berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh
tanah air Indonesia. Negara juga mempunyai wewenang menegakkan hukum dan memberi sanksi
hukum kepada yang melanggarnya.

Anda mungkin juga menyukai