F. Kegunaan Hukum
1. Kegunaan Hukum sebagai Ketertiban Umum
Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib umum memiliki artian suatu
keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan,
supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Istilah lain yang digunakan untuk
mendefinisikan ketertiban umum sering dibahas dengan menggunakan istilah yang berbeda-
beda, ada yang menyebutnya “keadaan damai”, ada juga yang menyebutnya “kepastian
hukum”. Apapun istilah yang digunakan untuk itu, ketertiban umum itu tidak mungkin bisa
terimplementasikan jatuh dari langit (tanpa partisipasi dari masyarakat). Hal ini tentunya
memerlukan sesuatu yang mampu memberikan pengaruh bahwa keadaan masyarakat secara
umum adalah tertib, dan bukan sebaliknya. “...tata tertib hukum sebenarnya merupakan
kepentingan objektif dan sebenarnya dari semua pihak dalam masyarakat”. Hal ini, dapat
diartikan apabila dibiarkan keadaan umum masyarakat itu bisa saja menjadi tidak tertib.
Sebagai contoh, Dalam majalah Newsweek edisi tanggal 25 September 1995
diberitakan bahwa di Nairobi, ibukota Kenya, berkembang kebiasaan dimana pencuri-pencuri
jalanan yang tertangkap basah, dianiaya dengan segala cara sampai mati oleh kelompok-
kelompok penduduk yang bertindak main hakim sendiri. Dilaporkan bahwa perkembangan
itu terjadi karena tidak berfungsinya kepolisian, korupsi di kalangan peradilan, serta
merebaknya tindak kekerasan di kalangan politik Kenya.
Melalui kasus tersebut dapat dibuktikan (dan kemungkinan besar juga dalam banyak
kasus lain yang tidak terlaporkan) bahwa prioritas bagi rakyat adalah ketertiban umum.
Keadilan tampaknya secara empiris merupakan persoalan nomor dua setelah ketertiban.
Akibatnya, tindakan untuk menghukum pengganggu ketertiban umum bisa saja dilakukan
dengan cara yang tidak harus adil. Rakyat Nairobi tampaknya tidak memikirkan bahwa
pembunuhan seperti yang mereka lakukan sebenarnya merupakan kejahatan yang jauh lebih
serius bila dibandingkan dengan pencurian yang dilakukan oleh maling-maling jalanan itu.
Fakta sosialnya adalah tindakan-tindakan pencuri jalanan itu tidak teratasi oleh aparat
keamanan Nairobi, sehingga logik yang kemudian berkembang di kalangan
masyarakat adalah: kejahatan yang lebih berat dari pencurian-pencurian kecil
tentunya akan lebih tidak teratasi lagi oleh aparat keamanan.
Logik hukum rimba itu bila dibiarkan berlanjut akan membawa konsekuensi
disintegrasi sosial yang bermuara dalam anarki. Sementara melalui hukum notabene
manusia hendak menghindarkan diri dan anarki, “Fungsi hukum yang paling dasar
adalah mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka.
Jadi, hukum merupakan sarana pemecahan konflik yang rasional, karena tidak
berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan alamiah belaka, melainkan menurut kriteria
objektif yang berlaku umum”. Tampaknya, Dennis Lloyd berpikir dalam kerangka
yang sama, manakala dia menyimpulkan bahwa keadilan adalah sedikit lebih dari
ketertiban yang rasional: “... justice is a little more than the idea of rational order
and coherence and therefore operates as a principle of procedure rather than of
substance” Atau dengan kata lain, keadilan memang bukan saja belum tercapai
dengan adanya ketertiban, karena keadilan memang lebih dari sekadar ketertiban,
melainkan juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang
substansi.
Secara konseptual, ketertiban umum sebenarnya bisa dipahami sebagai
manifestasi dari suatu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan kolektif, yaitu
suatu tatanan dimana manusia merasa aman secara kolektif. Kebebasan eksistensial
yang individual itu hanya bisa ada, jika ditempatkan dalam pembatasan ko-
eksistensial yang kolektif. Ketertiban umum pada akhirnya merupakan manifestasi
yang rasional dari penempatan kebebasan eksistensial yang individual dalam
pembatasan ko-eksistensial yang kolektif. Daripada menggunakan kebebasan
semata-mata untuk terus-menerus melakukan ofensif guna mempertahankan diri
secara individual, adalah lebih rasional untuk mengalihkan sebagian dari kebebasan
eksistensial itu menjadi pembatasan ko-eksistensial guna memperoleh keamanan
kolektif. Usaha untuk menyelenggarakan pergaulan hidup yang mampu mewujudkan
keamanan kolektif itu rupanya memang mempunyai sejarah yang panjang, sarat
dengan maju mundur proses konsensus maupun konflik yang tidak tuntas.
Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup
secara damai. Karena hukum menurut substansinya adalah sesuatu yang berlaku umum
dan tidak secara sebagian atau bersifat diskriminatif, tertib hukum menjadi tertib yang
berlaku umum. Hukum dapat mempertahankan perdamaian atau tertib hukum hanya jika
dia berhasil menjaga keseimbangan antar kepentingan manusia yang tidak selalu tidak
bertentangan satu sama lain. Artinya, tertib hukum itu hanya bisa ditegakkan, jika dia
mendatangkan keadilan bagi mereka yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu,
karena hukum melindungi kepentingan dan cita-cita dasar manusia yang sama seperti
keamanan jiwa, kebebasan untuk mengurus diri sendiri, bentuk-bentuk hak milik tertentu
(yang sangat berbeda satu sama lain), struktur-struktur kerja sama dan tukar-menukar
yang adil, dan seterusnya. Jika tidak, pada tingkat situasi yang ekstrem manusia akan
berusaha untuk memperoleh keadilan bagi dirinya sendiri dengan cara apa saja, yang
kalau perlu dengan mengorbankan ketertiban umum itu. Karena itu, kesimpulan
Apeldoorn, tujuan hukum adalah “tata-tertib masyarakat yang damai dan adil” Itulah
sebabnya, mengapa pembahasan tentang ketertiban umum sebagai tujuan dari hukum
harus dilakukan sebagai usaha kembar untuk juga membahas masalah keadilan.
Prinsipnya adalah suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum,
tetapi ketertiban umum belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum. Tertib
hukum menjadi tertib hukum hanya karena dia mengandung keadilan dalam kadar
tertentu, sehingga didukung oleh masyarakat sebagai subjek hukum umum. Tetapi,
ketertiban umum tidak niscaya mengandung keadilan, karena bisa saja ketertiban
umum itu dipaksakan oleh suatu kekuatan (misalnya: pemerintah yang otoriter) yang
lebih berkepentingan terhadap suatu keadaan yang tunduk kepadanya, daripada
memberikan keadilan kepada masyarakat. Karena itu, jika kita meneruskan alur
pemikiran Apeldoorn, keadilan niscaya juga mengimplikasikan tertib hukum.
Konsekuensi yang lebih jauh adalah jika ketertiban umum harus merupakan tertib
hukum, ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil.
Jadi, keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga
tidak berlebihan jika kita tegaskan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya
adalah untuk menegakkan keadilan. Berbagai tahapan dari ketertiban itu bisa kita
petakan sebagai berikut:
Hans Kelsen memberikan gambaran mengenai keadilan dalam bukunya yang berjudul
Das Problem der Gerechtigeit (Masalah Keadilan). Menurutnya, keadilan merupakan
norma moral dalam hubungan antar manusia. Berdasarkan hubungan antar manusia
tersebut, suatu perbuatan manusia terhadap manusia lain memperoleh ‘nilai keadilan’.
Artinya, perbuatan seseorang dianggap tidak adil apabila ada norma yang menyatakan
bahwa perbuatan seseorang tersebut merupakan perbuatan yang tidak adil. Dalam
kehidupan manusia, norma tentang keadilan tersebut sering ditetapkan sebagai hukum
positif yang semata-mata bersumber dari akal budi manusia. Hal ini tidak tepat karena
dalam keadaan tersebut dapat terjadi risiko norma keadilan bertentangan dengan hukum
positif. Sehingga atas dasar tersebut nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum.
Kelsen melihat bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat subjektif. Dia
berpendapat bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah keadilan adalah sesuatu
yang bermakna hadirnya sebuah kondisi sosial dimana setiap orang mendapatkan
kepuasan dan kebahagiaan secara umum. Keadilan adalah sesuatu hal yang memiliki
makna yang sangat identik dengan kebahagiaan umum. Menurut kelsen, hukum
adalah sesuatu yang berbeda dengan keadilan. Kesalahan besar yang dilakukan oleh
pemikir-pemikir hukum alam adalah memaksakan keadilan termasuk dalam cita-cita
hukum. Padahal ketika keadilan adalah sebuah kondisi dimana setiap orang dapat
merasakan kebahagiaan secara umum, hal ini tentu saja akan menjadikan keadilan
tidak lebih dari sebuah isu sosial saja dihadapan hukum. Karakter hukum yang
hanya berbicara tentang benar atau salah, dihukum atau tidak dihukum, melanggar
atau tidak melanggar inilah yang membuat kebahagiaan sosial secara umum akan
mustahil diwujudkan melalui hukum.
Kelsen melihat hukum adalah teknik sosial untuk membuat sebuah regulasi
kehidupan bersama dalam sebuah sistem masyarakat. Jadi masalah hukum menurut
kelsen bukan pada persoalan apakah hukum itu berujung pada penerapan keadilan
atau tidak. Masalah hukum adalah murni masalah tentang sebuah teknik sosial.
Validitas dan efektifitas hukum dalam pandangan kelsen adalah dua hal utama ketika
kita berbicara tentang hukum sebagai sebuah norma. Validitas yang dimaksudkan
adalah apakah sebuah peraturan mengandung sebuah norma hukum atau tidak.
Norma hukum yang dimaksudkan disini adalah sebuah norma yang mengatur
tentang tingkah laku setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan efektivitas hukum adalah ketika setiap orang bertindak sesuai
dengan norma hukum yang diterapkan.
Karena itu penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum akan lebih
ditentukan oleh sikap yang kita ambil terhadap hubungan antara hukum dan
keadilan. Dengan kata lain, untuk dapat sampai pada penilaian mengenai adil atau
tidak adilnya hukum, posisi hukum itu sendiri yang harus dijelaskan lebih dulu.
Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran hukum alam di satu pihak dan
ajaran positivisme hukum di lain pihak, Kelsen tiba pada konsekuensi berikut:
Norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum alam yang
idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan Idealisme Platon, idealisme
dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang
satu adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain
lagi adalah norma keadilan yang bersumber pada akal budi manusia. Itulah sebabnya
mengapa ajaran hukum alam itu bersifat dualistik. Ajaran positivisme hukum
sebaliknya bersifat monistik, karena ajaran itu hanya mengakui satu macam
keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum positif yang ditetapkan oleh manusia.
Persoalan tentang adil dan tidak adil hanya dapat muncul sebagai akibat dari
rangkaian aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang ko-eksistensial.
Karena itu, aspek hubungan antar manusia yang sarat dengan masalah keadilan
membuatnya selalu peka untuk suatu tinjauan yang bersifat sosiologis.
• Aspek-Aspek
Keadilan
1. Partinensi Keadilan
Di era modern, Reinhold Zippelius (1928-) yang guru besar dalam filsafat
hukum dan hukum tata negara di Universitas Erlangen, Jerman, mengadakan
pembedaan aspek keadilan yang lebih jauh yang mencakup lima pertinensi :
• Rasa keadilan
Usaha untuk melaksanakan hukum guna menegakkan keadilan, termasuk
antara lain meletakkannya dalam pertinensi yang relevan, pada akhirnya tidak dapat
dilepaskan dari persepsi sang subjek hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan
yang berlaku umum tetapi pada akhirnya dapat dirasakan secara subjektif. Dikatakan
demikian, karena setiap pribadi memiliki hati nurani yang berperan sebagai instansi
moral dan yang mampu memandang sesuatu sebagai benar atau tidak benar.
Sebagai contoh, ketika seorang hakim meyakinkan seorang kreditur bahwa
keputusannya untuk membebaskan seorang debitur yang dinyatakannya tidak
mampu (atau sebenarnya tidak mau) membayar utangnya, dari segala tuntutan
hukum, sebagai suatu bentuk keadilan. Sang kreditur telah bersedia mengikatkan
diri dalam perjanjian kredit, justru karena percaya kepada rasa keadilannya yang
timbal-balik dengan sang debitur, atas dasar mana keduanya paling sedikit berasumsi
bahwa setiap pinjaman pada suatu ketika tertentu harus dilunasi.
Dari ilustrasi contoh diatas, diperlukan Kesamaan asumsi yang menjamin
tegaknya a well-ordered society. Karena “a shared conception of justice” niscaya
memajukan “a well-ordered society”, tetapi sebaliknya “a well-ordered society”
tidak niscaya memajukan “a shared conception of justice, misalnya karena
ketertiban itu dipaksakan oleh suatu diktatur. Setiap masyarakat yang normal
memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata terhadap bentuk-bentuk
perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Akan menjadi sulit ketika
seorang warga masyarakat yang normal menganggap suatu perbuatan adalah
pencurian, selagi pada saat yang sama tetangganya menganggap itu bukan
pencurian. Persoalannya adalah dalam masyarakat-masyarakat yang sedang
kacau, rasa keadilan itu
mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu
(misalnya: korupsi) dianggap wajar oleh yang lain, dan sebaliknya.
Zippelius menggunakan pendekatan sosio-biologi untuk menerangkan
adanya instansi moral dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana
diperlihatkan melalui contoh-contoh seperti: kasih ibu, pantangan insest, penolakan
terhadap kebiasaan perilaku yang menyesatkan, rasa hormat kepada orang yang
lebih tua, dan sebagainya. Kelsen mengabstraksikannya sebagai dua arti dan
perasaan keadilan:
● Pertama, sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan tidak
menghendaki perlakuan yang tidak adil.
● Kedua, sikap batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima perlakuan
adil atau menolak perlakuan yang tidak adil.
G. Tujuan Hukum
Tujuan ditetapkannya hukum bagi suatu negara adalah untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan, mencegah tindakan yang sewenang-wenang, melindungi hak
asasi manusia, serta menciptakan suasana yang tertib, tenteram aman, dan damai.
Dengan adanya suasana aman dan tenteram serta tertib di kalangan umat manusia,
maka segala kepentingan manusia dapat dilindungi oleh hukum, dari tindakan yang
merugikan, mengingat kepentingan manusia sering kali saling berbenturan. Untuk itulah
negara mempunyai tugas menjaga tata tertib masyarakat dan berkewajiban melindungi
segenap bangsa dan seluruh tanah air Indonesia. Negara juga mempunyai wewenang
menegakkan hukum dan memberi sanksi hukum kepada yang melanggarnya.