Oleh:
ABSTRAK
Hukum merupakan alat atau seperangkat kaidah. Perdata merupakan pengaturan hak, harta benda
dan sesuatu yang berkaitan antara individu dengan badan hukum. Hukum perdata adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam
masyarakat.Berdasarkan fungsinya hukum dibedakan menjadi hukum materill dan hukum formiil
atau hukum acara.Hukum acara merupakan hukum perdata formiil yang pada dasarnya berfungsi
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil mellaui pengadilan apabila terjadi
peanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi suatu sengketa.Hukum acara perdata
juga mengatur bagaimana tata cara memeperoleh hak dan kepastian hukum manakala tidak
terjadi snegketa melalui pengajuan “permohonan” ke pengadilan.Namun demikian,secraa umum
hukumacara perdata mengatur proses penyelesaian perkara perdata mellaui hakim di pengadilan
sampai dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan.
Berdasarkan fungsinya hukum dibedakan menjadi hukum materill dan hukum formiil atau
hukum acara.Hukum acara merupakan hukum perdata formiil yang pada dasarnya berfungsi
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil mellaui pengadilan apabila terjadi
peanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi suatu sengketa.
Sedangkan,Peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan yang dibentuk dengan tujuan
menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum serta untuk melindungi kepentingan
warga masyarakat, masyarakat dan penguasa.
Law is a tool or a set of rules. Civil law is an arrangement of rights, property and something
related between individuals and legal entities. Civil law is the provisions governing the rights
and obligations of a person in society. Based on its function, law is divided into material law and
formal law or procedural law. Procedural law is a formal civil law which basically functions to
defend or enforce material civil law through courts in the event of a violation. to material civil
law or a dispute occurs. Civil procedural law also regulates how to obtain rights and legal
certainty when a dispute does not occur through submission of "applications" to court. However,
in general, civil procedural law regulates the process of settling civil cases through judges in
court up to the execution or implementation of the court decision.
Based on its function, law is divided into material law and formal law or procedural law.
Procedural law is a formal civil law which basically functions to defend or enforce material civil
law through the courts in the event of a violation of material civil law or a dispute occurs.
Meanwhile, the state administrative court is a judicial environment formed with the aim of
guaranteeing the position of citizens in law and to protect the interests of citizens, society and
authorities.
Hukum merupakan alat atau seperangkat kaidah. Perdata merupakan pengaturan hak, harta benda
dan sesuatu yang berkaitan antara individu dengan badan hukum. Hukum perdata adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.Hukum
perdata merupakan rangkaian peraturan hukum yang mengatur mengenai subjek hukum (orang
dan badan hukum),tujuan dari hukum perdata ini adalah untuk mengatur hubungan antara
penduduk atau warga Negara. Menurut Prof Subekti, hukum perdata adalah semua hukum privat
materiil berupa hukum pokok yang mengatur kepentingan individu.Berdasarkan definisi yang
dikemukakan Prof.Subekti tersebut menekankan bahwa hukum perdata adalah suatu tatanan
kaidal materil.Oleh karena itu,dibutuhkan suatu tatanan kaidah formil yang berisi prosedur-
prosedur dalam penegakan hukum materill tersebut.Tatanan kaidah formil yang demikian disebut
sebagai hukum acara.
PEMBAHASAN
Berdasarkan fungsinya hukum dibedakan menjadi hukum materill dan hukum formiil atau
hukum acara.Hukum acara merupakan hukum perdata formiil yang pada dasarnya berfungsi
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil mellaui pengadilan apabila terjadi
peanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi suatu sengketa.Hukum acara perdata
juga mengatur bagaimana tata cara memeperoleh hak dan kepastian hukum manakala tidak
terjadi snegketa melalui pengajuan “permohonan” ke pengadilan.Namun demikian,secraa umum
hukumacara perdata mengatur proses penyelesaian perkara perdata mellaui hakim di pengadilan
sampai dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan.
Berikut ini beberapa definisi hukum acara perdata menurut para ahli :
1) Sudikno Mertokusumo
Hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim (Sudikno Mertokusumo, 1993: 19).
2) Wiryono Prodjodikoro
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak,
semuanya itu untuk melaksanakan peraturan hukum perdata (Wiryono Prodjodikoro, 1972 :12).
3) Abdulkadir Muhammad
Merumuskan hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan
putusan hakim (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 15).
Hukum acara perdata sebagai semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara
bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur
dalam hukum perdata materiil (Retno Wulan S dan Iskandar O, 1983: 1-2.).
B. Sumber Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata Indonesia sampai kini masih tetap berpedoman sebagai pedoman utama
pada hukum acara perdata kolonial. Sumber hukum acara perdata adalah tempat dimana dapat
ditemukannyaketentuan-ketentuan hukum acara perdata. Pengaturannya masih tersebar di dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu :
HIR sering diterjemahkan dengant RID ( Reglemen Indonesia yang Diperbaharui), S. 1848
nomor 16 jo. S.1941 nomor 44, yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura
C) UU tentang Peradilan Umum (UU Nomor 2 / 1986, jo. UU Nomor 8 / 2004, jis. UU Nomor
49 / 2009).
H) Yurisprudensi.
K) Perjanjian Internasional.
L) Doktrin.
M) Adat Kebiasaan.
Asas hukum (Rechts Beginsellen) merupakan salah satu bagian dari kaidah hukum. Asas hukum
bersifat umum dan abstrak, sehingga ia menjadi ruh dan spirit dari suatu perundangundangan.
Pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti kaidah hukumnya, sedangkan kaidah hukum
akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat. 1
Mengutip pendapat dari Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar
yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif
dalam suatu masyarakat 2
Asas hakim bersifat menunggu atau iudex no procedat ex officio ditemukan pada a pasal 10 ayat
(1) UU No. 48 / 2009 dan pasal 142 RBg / pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan
1
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Cet 2, (UII Press, 2007)
2
Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum,BPK, (Jakarta:Gumung Mulia,1975)
bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang
pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya.
Hakim bersifat menunggu memiliki arti bahwa inisiatif pengajuan gugatan berasal dari
penggugat dan hakim hanya menunggu diajukannya tuntuan hak oleh penggugat yang diajukan
oleh pihak yang berkepentingan.
Hakim baru bekerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau perkara
diajukan kepadanya, maka pengadilan / hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap
pasif yang memiliki arti bahwa ruang lingkup pada pokok sengketa yang diajukan untuk
diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh pihak yang berperkara bukan ditentukan oleh
hakim.Dalam hal ini hakim hanyalah membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk
mengatasi segala hambatan dan rintangan sehingga dapat tercapainya peradilan cepat,sederhana
dengan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU No.48/2009).
A. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak yang berkepentingan
B. Menurut pasal 189 RBg/178 HIR hakim wajib untuk menjatuhkan seluruh tuntutan dan
dilarang untuk menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut atau mengabulkan
lebih dari apa yang dituntut
C. Hakim mengejar pada kebenaran formil yaitu kebenaran berdasarkan bukti yang diajukan
didepan persidangan
D. Para pihak bebas untuk mengajukan atau tidak mengajukan perkara dalam peradilan
(melakukan perdamaian)
Asas ini bertujuan untuk memebrikan perlindungan hak asasi manusia di dalam bidang peradilan
sehingga,terjadi pemeriksaan yang bersifat adil dan objektif dan mendapatkan putusan yang
objektif .
Asas Audi Et Alteram Partem tercermin dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48/2009, pasal 145 dan
157 RBg, pasal 121 dan 132 HIR.Pengadilan diharuskan bersikap adil memberikan kesempatan
kepada kedua belah pihak untuk mengemukakan pendapatnya dan mendengarkan keterangan
dari kedua belah pihak tanpa membedakan.
Dalam memutus perkarahakim harus menyertakan alasan sebagai pertanggungjawaban dari hasil
putusannya.
Dalam kewajiban mencantumkan alasan-alasan ditentukan pada 195 RBg, Pasal 184 HIR, pasal
50 dqn 53 UU No. 48/2009, pasal 68 A UU No. 49/2009. Pasal 68 A UU No. 49/2009
menentukan :
A. Dalam memeriksa dan memutusrus bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang
dibuatnya.
B. Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Asas ini tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009, pasal 145 ayat (4), pasal 192, pasal
194 RBg, pasal 121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR. Biaya perkara ini dipakai untuk: biaya
kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain-lain biaya yang
memang diperlukan seprti misalnya biaya pemeriksaan setempat.
Pada pihak yang tidak mampu maka dapat berperakara secara pro deo atau berperkara secara
Cuma-Cuma yang diatur dalam pasal 273 RBg / 237 HIR, yang menentukan : penggugat atau
tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa
biaya.
Asas ini tercantum dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009.Sarwono menekankan pada kata
“”sederhana” dan “cepat”. Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat diterapkan melalui
tidakan teknis-konkrit persidangan maka biaya yang akan dikeluarkan oleh para pihak akan
semakin ringan.
Hakim dituntut sungguh-sungguh mandiri. Hakim mempunyai otonomi yang selalu harus dijaga
agar proses peradilan berjalan menuju sasaran: peradilan yang obyektif, fair, jujur dan tidak
memihak. Hakim tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar pengadilan, seperti pengaruh uang,
pengaruh kekerabatan, pengaruh kekuasaan dan lain sebagainya.
Peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan yang dibentuk dengan tujuan menjamin
kedudukan warga masyarakat dalam hukum.Secara umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau
PERATUN merupakan lingkungan peradilan dibentuk dengan tanda disahkannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 19.
Peradilan tata usaha negara menjadi lembaga hukum di bawah Mahkamah Agung (MA) yang
membantu menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (TUN).
3
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2002, hlm 1.
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
Dua tujuan di atas merupakan keterangan pemerintah di hadapan sidang paripurna DPR-RI
mengenai RUU-PTUN tanggal 29 April 1986. tujuan tersebut kemudian dicantumkan dalam
Penjelasan Umum Angka ke1 UU No.5 Tahun 1986. Dua tujuan tersebut, yang terpenting adalah
kepentingan umum4
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat, seperti yang dikutip S.F. Marbun dalam bukumya Peradilan
Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia adalah untuk mengembangkan dan
memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat secara
fungsional (efektif) dan atau berfungsi secara efisien, sedangkan menurut Sjachran Basah, tujuan
peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik
bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan
masyarakat dengan kepentingan individu. 5
Ada dua tujuan negara merumuskan pembentukan peradilan TUN, yaitu tujuan preventif dan
represif.
1) Tujuan preventif adalah untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dari aparatur
negara atau dalam istilah Undang-undang peradilan TUN adalah Badan atau Pejabat negara.
Pencegahab secara preventif ini untuk menjaga badan atau pejabat TUN untuk tidak melakukan
perbuatan melawan hukum dan merugikan rakyat
2) Sedangkan tujuan represif adalah apabila ada badan atau pejabat TUN yang melawan hukum
dan merugikan rakyat , maka perlu diberikan sanksi. Dimana tujuan tersebut juga sejalan dengan
prinsip negara hukum yang dianut oleh negara Indonesia, dimana melindungi hak asasi manusia
tanpa memandang status warga negaranya.
4
Ibid
5
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia,UII Press, 2003, hlm 21.
Dasar hukum terbentuknya peradilan TUN dan yang menjadi tonggak pelaksanaan Peradilan
TUN telah terdapat dalam konstitusi Undang Undang Dasar 1945 Pasal 24 dan 25 serta di
jabarkan melalui Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
10 ayat (2) (Lembaran Negara tahun 2004 Nomor 8, tambahan lembaran Negara Nomor 4358),
selanjutnya diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana
Lingkungan Peradilan di Indonesia yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri dari empat
lingkungan peradilan,yaitu :
2. PP No. 7 Tahun 1991 tentang Penerapan UU No. 5 Tahun 1986 (LN 1991 No.8) pada tanggal
14 Januari 1991, sehingga PTUN dapat efektif.
3. PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan TUN
4. Keputusan Mentri Keuangan RI No. 1129/KKM.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti
Rugi Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN
5. SEMA No.1 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksaan Ketentuan Peralihan UU No.5 Tahun
1986
6. SEMA No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam Undang-
undang No.5 Tahun 1986 tentang PTUN
Ada dua perbedaan penting yang terdapat pada UU PTUN dengan peradilan umum untuk
perkara perdata, antara lain :6
A. pada Peradilan TUN, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh
kebenaran material dan untuk undangundang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas.
B. Suatu gugatan TUN pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang
disengketakan.
A) Sifat atau karakter Keputusan TUN yang mengandung “Prasumptio iustae causa”, dimana
KTUN selalu dianggap sah selama belum ada putusan pembatalan.
B) Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol di samping
perlindungan terhadap individu.
Asas “self respect” atau “self obidence” dari aparatur pemerintah Hukum acara yang digunakan
pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan
pada Peradilan Umum untuk perkara perdata (Penjelasan Umum angka (5) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), meskipun proses pemeriksaan di
Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan pemeriksaan di
Peradilan Umum untuk perkara perdata. Kekhususan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara
menurut Hadjon1 , terletak pada asas-asas yang melandasinya yaitu:
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap sah/menurut
hukum (rechmatig) sampai ada pembatalannya
6
W. Riawan Tjandra, Op. Cit, hlm 2
Sistem pembuktian mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs) yang terbatas. Menurut
Pasal 107 UU Nomor 51 Tahun 2009 (UU Peradilan TUN hakim dapat menentukan apa yang
harus dibuktikan, beban pembuktian, beserta penilaian pembuktian, tetapi Pasal 100 menentukan
secara limitatif mengenai alat-alat bukti yang digunakan.
Maksudnya adalah untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak dalam sengketa yaitu
Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dan Penggugat (Orang atau Badan Hukum
Perdata). Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan, guna mencari kebenaran materiil.
Keaktifan hakim dapat ditemukan antara lain dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) butir a dan b,
Pasal 80, Pasal 85, Pasal103 ayat (1), Pasal 107 UU Nomor 51 Tahun 2009 (UU Peradilan TUN).
4) Asas keaktifan hakim secara prinsip memberikan kewenangan yang luas kepada hakim Tata
Usaha Negara dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara menyangkut pembagian
beban pembuktian dan penentuan hal-hal yang harus dibuktikan. Konsekuensi dari keberadaan
asas keaktifan hakim adalah dimungkinkannya penerapan asas ultra petita yang pertama kali
dituangkan dalam Putusan MA Nomor : 5K/TUN/1992 tanggal 23 Mei 1991, yaitu tindakan
hakim menyempurnakan atau melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak kepadanya
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara mengikat secara publik, tidak hanya mengikat para pihak
yang bersengketa saja. Hal ini sebagai konsekuensi sifat sengketa tata usaha negara yang
merupakan sengketa hukum publik.
6) Asas Gugatan
Pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat sebagaimana terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4
huruf a.
Adalah asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex
facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.
8) Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bebas
Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18
UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN)
Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara
(tingkat pertama), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (banding), dan puncaknya
(Kasasi) adalah Mahkamah Agung, dimungkinkan pula PK (MA).
Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW,
seperti yang dijelaskan pada pasal 101, yang dibatasi dengan ketentuan Pasal 100.
Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem) dan para pihak mempunyai kedudukan
yang sama.
Sebagaimana pasal 4 UU 14/1970, asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Sederhana dalam hukum acara, cepat dalam waktu dan murah dalam biaya.
Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku
bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri,
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan
suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau
antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana
yang di sebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung dan
tidak langsung dengan sengketanya, sebagaimana penjelasan pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN.
KESIMPULAN
Berdasarkan fungsinya hukum dibedakan menjadi hukum materill dan hukum formiil atau
hukum acara.Hukum acara merupakan hukum perdata formiil yang pada dasarnya berfungsi
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil mellaui pengadilan apabila terjadi
peanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi suatu sengketa.
Sedangkan,Peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan yang dibentuk dengan tujuan
menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum serta untuk melindungi kepentingan
warga masyarakat, masyarakat dan penguasa.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa Putri Dayanti,Asas-Asas Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (Perguruan Tinggi
Universitas Eka Sakti Padang).hal 4-8.
Elidar Sari & Hadi Iskandar – Pengantar HATUN,(Lhokseumawe: BieNa Edukas 2014).Hal 1-3
Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK, (Jakarta: Gumung Mulia,1975), hal. 49.
S. F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press, 2003, hlm.
21.
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, 2002, hlm. 1.