Anda di halaman 1dari 20

PENGERTIAN

HUKUM ACARA
PERDATA
Hukum Perdata materiil adalah
Adalah suatu kumpulan peraturan perundang-undangan yang
mengatur hubungan hukum tentang hak dan kewajiban keperdataan
antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Hukum perdata formil
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan
sanksi hukuman apabila terjadi pelangaran terhadap hak-hak
keperdataan seseorang sesuai dengan hukum perdata materiil yang
menyebabkan kerugian bagi pihak lain.
Hukum Acara Perdata adalah “kumpulan aturan-aturan hukum
yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim”.
Jika kita membaca berbagai literarur-literatur Hukum Acara Perdata,
kita akan menemui berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini
yang muncul dari pendapat para Ahli yang berbeda rumusan antara
satu dengan lainnya, yang secara prinsip mempunyai tujuan yang
sama.
Pengertian Hukum Acara Perdata adalah kumpulan atau himpunan
peraturan hukum yang mengatur tentang tata acara pelaksanaan
hukum perdata atau penerapan peraturan-peraturan hukum perdata
dalam prakteknya.
Menurut fungsinya, hukum dibedakan menjadi hukum materiil dan
hukum formil atau hukum acara. Hukum acara perdata adalah hukum
perdata formil, yang pada dasarnya berfungsi mempertahankan atau
menegakkan hukum perdata materiil melalui pengadilan apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi sengketa.
Bahkan hukum acara perdata juga mengatur bagaimana tata cara
memperolah hak dan kepastian hukum manakala tidak terjadi sengketa
melalui pengajuan “permohonan” ke pengadilan
Namun demikian, secara umum hukum acara perdata mengatur

proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim di

pengadilan penyusunan gugatan, pengajuan gugatan,

pemeriksaan gugatan, putusan pengadilan sampai dengan

eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan.


Beberapa definisi hukum acara perdata menurut para ahli :
1. Sudikno Mertokusumo mendifinisikan hukum acara perdata
sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan
hakim (Sudikno Mertokusumo, 1993: 19).
2. Menurut Wiryono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, semuanya itu untuk melaksanakan
peraturan hukum perdata (Wiryono Prodjodikoro, 1972 :12).
1. Abdulkadir Muhammad merumuskan hukum acara perdata
sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan
gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim (Abdulkadir
Muhammad, 2000 : 15).
2. Retno Wulan S dan Iskandar O memberi pengertian hukum acara
perdata sebagai semua kaidah hukum yang menentukan dan
mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil (Retno Wulan S dan Iskandar O, 1983: 1-2.).
Sehingga, secara garis besar tahapan-tahapan peradilan perdata
meliputi:
1. Pengajuan gugatan;
2. Pemeriksaan gugatan;
3. Pembuktian;
4. Putusan;
5. Upaya upaya hukum terhadap putusan ;
6. Eksekusi.
Hukum perdata materiil yang hendak ditegakkan atau
dipertahankan dengan hukum perdata ialah peraturan-peraturan
hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, seperti BW, WvK (Wetboek van Koophandel),
Undang-undang Perkawinan dan sebagainya dan peraturan
hukum yang tidak tertulis yaitu hukum adat atau kebiasaan
yang hidup dalam masyarakat. Norma/kaedah hukum perdata
tersebut harus ditegakkan.
Apabila ada pihak yang dirugikan, misalnya Pasal 666
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Tetangga mempunyai hak
untuk menuntut agar pohon dan pagar hidup yang ditanam dalam
jarak yang lebih dekat daripada jaràk tersebut di atas dimusnahkan.
Orang yang di atas pekarangannya menjulur dalam pohon
tetangganya, maka ia menuntut agar tetangganya menolaknya
setelah ada teguran pertama dan asalkan ia sendin tidak menginjak
pekarangan si tetangga”.
Contoh di Pasal 667 yang menyebutkan bahwa “ Pemilik
sebidang tanah atau pekarangan yang terletak di antara tanah-
tanah orang lain sedemikian rupa sehingga ia tidak mempunyai
jalan keluar sampai ke jalan umum atau perairan umum, berhak
menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya,
supaya diberi jalan keluar untuknya guna kepentingan tanah
atau pekarangannya dengan kewajiban untuk membayar ganti
rugi, seimbang dengan kerugian yang diakibatkannya”.
Yang dimaksud dengan hukum perdata materiil adalah suatu
kumpulan dari pada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang hak dan kewajiban keperdataan antara para pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya.
Contoh hukum perdata materiil :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
HIR, (Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia Baru
(Staatblad 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Staatblad 1941
No. 44). Berlaku untuk Jawa dan Madura).
Rbg, : Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk
Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227) berlaku untuk daerah luar
Jawa dan Madura.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Hak Cipta, Hak Merek, Hak
Paten,
Perseroan Terbatas (PT),
Undang-Undang tentang Kepailitan dan lain sebagainya.
Hukum perdata formil atau hukum acara perdata umumnya
merupakan suatu peraturan pelaksanaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku di dalam masyarakat atau yang
biasa disebut dengan hukum positif. Apabila ada salah satu pihak
atau beberapa pihak di dalam hubungan bermasyarakat antara
pihak yang satu dengan pihak yang lain dilanggar haknya, maka
yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukuman
atas pelanggaran yang telah dilakukannya dan telah merugikan
pihak lain.
Ciri Tuntutan Hak Dalam
Persidangan Perdata
Landasan hukum Tuntutan Hak yang tidak mengandung unsur
sengketa atau peradilan tidak sesungguhnya (Voluntaire
Jurisdictie), sesuai ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 Ayat
(1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970, sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999. Meskipun
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut telah diganti dengan
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dan sekarang sudah diubah
dengan UU No.48 Tahun 2009, apa yang digariskan dalam Pasal 2
dan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dianggab
masih relevan sebagai landasan gugatan Voluntaire, seperti
dijelaskan dibawah ini;
a. Pada prinsipnya: penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
(judicial power) melalui badan-badan peradilan bidang
perdata, tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara (dalam pengertian sengketa
untuk diputus) yang ditujukan kepadanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, secara prinsip fungsi dan
kewenangan pengadilan di bidang perdata adalah untuk memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang bercorak sengketa antara
dua pihak atau lebih. Oleh karena itu, yurisdiksi Pengadilan di
bidang perdata adalah yurisdiksi contentiosa atau contentiuse
rechtstaat yang berarti peradilan sanggah-menyanggah antara pihak
penggugat dengan pihak tergugat.
Jadi dalam sistem peradilan contentiosa ini, ada pihak penggugat
dan ada pihak lain yang ditarik dalam perkara tersebut sebagai
pihak tergugat. Sistem yurisdiksi contentiosa inilah yang disebut
peradilan biasa (ordinary court) atau judicature, yaitu ada
penggugat dan tergugat serta diantara mereka ada kasus yang
disengketakan.
b. Secara eksepsional (exceptional). Penjelasan Pasal 2 Ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1970, memberi kewenangan atau yurisdiksi
voluntair kepada Pengadilan.
Hal itu, ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 3139K/Pdt
/1984, dikatakan bahwa sesuai ketentuan Pasal 2 UU No. 14
Tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan
memutus perkara yang bersifat sengketa atau jurisdiction,
disamping itu, pengadilan juga berwenang memeriksa perkara
yang lingkupnya tidak mengandung sengketa (voluntair
jurisdiction) yang lazim disebut perkara permohonan, namun
kewenangan tersebut terbatas pada hal-hal yang tegas
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Ciri Tuntutan Hak yang tidak mengandung unsur sengketa
( Voluntaire Jurisdictie ), sebagai berikut;
1. Mengadili perkara yang tidak mengandung unsur konflik atau
sengketa, melainkan tuntutan hak berupa permohonan;
2. Hanya terdapat satu pihak, tanpa lawan;
3. Produk pengadilan berupa penetapan (Beschikking) atau putusan
yang bersifat menerangkan, menetapkan (declaratoir);
4. Penetapan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pada diri
pemohon sendiri dan pihak ketiga;
5. Penetapan tidak memerlukan pertimbangan atau alasan;
6. Aturan BW buku ke IV tidak berlaku;
7. Sebagai contohnya, penetapan wali hakim, ahli waris,
permohonan kewarganegaraan, pengangkatan anak, penetapan
pengampuan dan lainya.

Anda mungkin juga menyukai