Anda di halaman 1dari 28

PEMERIKSAAN PERKARA

PERDATA
Tata Cara Pemanggilan Dan Proses Yang Mendahuluinya
Perlu diingat bahwa pemanggilan dan pemberitahuan merupakan tahap awal
proses pemeriksaan persidangan pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Terkait dengan itu, agar
proses pemeriksaan perkara dapat berjalan sesuai tata cara yang ditentukan,
maka sangat bergantung pada validitas atau sah tidaknya pemanggilan dan
pemeritahuan yang dilakukan oleh juru sita Pengadilan.
Dalam hukum acara perdata, penyampaian panggilan secara resmi
(official) dan patut (properly) kepada para pihak yang terlibat dalam suatu
perkara perdata di pengadilan agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal
yang diminta dan diperintahkan pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal
388 Juncto Pasal 390 Ayat (1) HIR , yang melaksanakan fungsi pemanggilan
di pengadilan adalah juru sita. Jadi hanya pemanggilan yang dilakukan oleh
juru sita pengadilan dapat dianggap sah dan resmi, karena sesuai dengan
ketentuan Pasal 121 Ayat (1) HIR, atas perintah Ketua Majelis Hakim yang
tertuang dalam penetapan hari sidang atau pemberitahuan.
Pengertian panggilan dalam hukum acara perdata, sesuai dengan ketentuan
Pasal 388 HIR, yang meliputi makna dan cakupannya yang lebih luas, yaitu;
1. Panggilan sidang pertama terhadap penggugat dan tergugat;
2. Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah
satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan
yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
3. Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu
pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat
mengahdirkan saksi yang penting ke persidangan
Disamping itu, panggilan dalam arti luas, meliputi tindakan hukum
pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain;
1) Pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung;
2) Pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding;
3) Pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding;
4) Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon
kasasi;
Berkaitan dengan tata tertib beracara, sebagaimana yang ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 118 Ayat (1) Juncto Pasal 121 Ayat (4) HIR,
pemanggilan merupakan tindak lanjut dari beberapa tahapan proses
yang mendahuluinya, yaitu;
(1) Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri
Penyampaian guggatan oleh penggugat kepada Pengadilan Negeri
merupakan tahapan awal dari proses beracara di pengadilan. Karena sesuai
dengan ketentuan Pasal 118 Ayat (1) HIR, menjelaskan bahwa gugatan
perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri sesuai kompetensi
relatif, dalam bentuk surat gugatan tertulis (in writting) yang ditandatangani
oleh penggugat atau kuasanya dan di alamatkan kepada Pengadilan Negeri
(2) Pembayaran Biaya Perkara
Pengaturan mengenai biaya perkara, ditegaskan dalam ketentuan Pasal 121
Ayat (4) HIR, dapat dijelaskan bahwa pembayaran biaya perkara merupakan
syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat memaksa atas
pendaftaran perkara dalam buktu registrasi. Akibat dari penerapan ketentuan
ini, bahwa selama penggugat belum melaksanakan pembayaran secara lunas
semua biaya perkara yang ditetapkan oleh Panitera Pengadilan Negeri
tersebut, maka belum timbul kewajiban hukum (legal obligation) bagi
Pengadilan Negeri untuk memasukkan gugatan aquo dalam buku registrasi
perkara.
Biaya perkara yang harus dibayar penggugat merupakan panjar biaya
perkara atau biaya sementara agar gugatan dapat diproses dalam
persidangan. Mengenai pengaturan biaya perkara di pengadilan, telah
ditegaskan dalam Pasal 182 Ayat (1) HIR, biaya ini dapat ditambah sesuai
dengan kebutuhan terhadap proses pemeriksaan perkara. Misalnya, atas
permintaan salah satu pihak atau keduanya maka Majelis Hakim secara
jabatan (ex officio) yang dimiliki, dapat dilakukan pemeriksaan setempat
atau pemeriksaan perkara di lokasi objek sengketa untuk memastikan ada
tidaknya objek serta letak objek yang disengketakan.
Biaya sementara ini, tidak ada hubungannya dengan biaya akhir yang
meliputi biaya yang timbul dalam semua tingkat pengadilan. Sesuai
ketentuan Pasal 181 Ayat (1) HIR, pada dasarnya, biaya akhir akan
dibebankan kepada pihak yang dinyatakan kalah. Jika penggugat
dinyatakan kalah maka biaya panjar tersebut akan diperhitungkan atau
dikompensasikan menjadi biaya yang dipikulnya. Akan tetapi apabila
biaya panjar itu kurang maka dia harus menambahnya dan jika lebih
maka sisahnya akan dikembalikan.
Terkait dengan patokan penentuan panjar biaya, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 121 Ayat (1) HIR, dasar patokan biaya ditentukan atau
ditaksir menurut keadaan, dengan komponennya meliputi:
a) Biaya kantor kepaniteraan dan biaya meterai;
b) Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa dan biaya
sumpah;
c) Biaya pemeriksaan setempat;
d) Biaya juru sita melakukan panggilan dan pemberitahuan;
e) Biaya eksekusi;
Dalam hukum acara perdata, pembebanan biaya perkara terhadap penggugat
telah ditegaskan dalam Pasal 182 Ayat (1) HIR, namun jika dimungkinkan
seorang penggugat atau tergugat yang bersengketa di pengadilan dapat
diberikan izin beracara tanpa dikenakan biaya (prodeo) atau beracara secara
prodeo (free of charge) dengan alasan:
a) tidak ada biaya karena miskin dan susah (kemanusiaan)
b) menjamin keadilan umum (general justice) kepada masyarakat
c) memberikan hak dan kesempatan (opportunity) kepada yang tidak
mampu untuk membela hak dan kepentingannya di muka sidang
pengadilan secara cuma-cuma. Pengaturan mengenai pengajuan izin
beracara di pengadilan secara cuma-cuma free of charge, bagi yang
tidak mampu, dapat dijelaskan dalam ketentuan Pasal 238 Ayat (1) HIR,
antara lain;
(a) diajukan pada saat penyampaian gugata permintaaan dapat langsung
diajukan dalam surat gugatan atau melalui surat terpisah;
(b) permintaan itu, dapat juga diajukan secara lisan, jika gugatan diajukan
secara lisan;
Syarat permintaan izin, sesuai ketentuan Pasal 238 Ayat (3) HIR, dengan
syarat: permintaan surat keterangan tidak mampu dari kepolisian
setempat, syarat dimaksud tidak relevan untuk saat sekarang, dan diganti
dengan keterangan tidak mampu dari pemerintah setempat (keterangan
Kepala Desa /Lurah diketahui Camat), yang menjelaskan bahwa
berdasarkan pemeriksaan atau penelitian, pemohon benar-benar tidak
mampu. Surat tersebut disampaikan pada saat sidang pertama dimulai.
Atas surat keterangan itu, oleh hakim diproses dan diputuskan terlebih
dahulu apakah permohonan dikabulkan atau ditolak.
Prosedur Mediasi di Pengadilan
Prosedur mediasi di pengadilan yang telah dipraktekan selama ini dalam
hukum acara perdata di Indonesia, secara umum diatur secara tegas dalam
ketentuan Pasal 130 HIR Juncto Pasal 154 RBg. Mahkamah Agung RI,
sebagai lembaga tertinggi dalam sistem peradilan di Indonesia, menyadari
kelemahan penerapan aturan mediasi, yang dilandasi beberapan pendapat,
baik berdasarkan faktor kurangnya kemampuan, kecakapan dan dedikasi
hakim dalam merespon pola penyelesaian perkara secara mediasi (non
litigasi), maupun adanya pendapat karena dominasi motivasi dan peran
advokat atau kuasa hukum yang lebih menginginkan proses penyelesaian
perkara secara litigasi.
Merespon kondisi faktual tersebut di atas dan mendorong agar ketentuan
prosedur mediasi sebagaimana yang digariskan dalam HIR dan RBg itu, berjalan
secara maksimal, maka Mahkamah Agung RI, terpanggil untuk memberdayakan
seluruh perangkat peradilan melalui mekanisme integrasi mediasi dalam sistem
peradilan di Indonesia. Sebagai upaya untuk mengefektifkan kedua ketentuan
tersebut serta memodifikasi ke arah yang lebih bersifat memaksa (compulsory),
maka Mahkamah Agung (MA-RI) menerbitkan SEMA No 1 Tahun 2002, yang
berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga
Damai, tertanggal, 30 Januari 2002, untuk memberdayakan pengadilan tinggkat
pertama dalam hal menekan volume perkara.
Menyadari masih ada kekurangan dalam implementasinya, maka terhadap
SEMA itu, kemudian disempurnakan dengan PERMA No 2 Tahun 2003,
yang berjudul Prosedur Mediasi di Pengadian, tertanggal, 11 September
2003. Terhadap PERMA itu, juga masih dianggap belum sempurna, maka
diganti dengan perubahannya melalui PERMA No 1 2008. Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Penerbitan PERMA No 1 Tahun 2008, dilandasi dorongan atas keberhasilan
negara-negara lain dalam penerapan prosedur mediasi di Pengadilan seperti
di Singapura, Jepang dan Amerika Serikat
I. Eksepsi:
Ruang lingkup eksepsi cukup kompleks sehingga membutuhkan
pembahasan dan analisis yang tajam dan luas. Sedangkan bantahan terhadap
pokok perkara yang disampaikan dalam jawaban dan replik serta duplik
sedikit lebih sederhana serta tidak memerlukan uraian yang panjang. Terkait
dengan eksepsi, jawaban dan replik serta duplik, maka akan diuraikan
secara berurutan berikut ini.
1. Pengertian dan Tujuan
Kata Eksepsi berasal dari asal kata bahasa Belanda (exceptie), bahasa
Inggris (exception), yang berarti pengecualian, namun di dalam konteks
hukum acara dimaknai sebagai “ Bantahan” atau Tangkisan” (objection),
juga diartikan sebagai pembelaan, yang diajukan tergugat terhadap materi
pokok gugatan penggugat. Akan tetapi bantahan atau tangkisan ini diajukan
dalam bentuk eksepsi, yang terkait hal-hal berikut:
1) Ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas
gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau
pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang
karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible);
2) Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak
ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara.
Bantahan atau tangkisan terhadap materi pokok perkara diajukan sebagai
bagian tersendiri mengikuti eksepsi;
Tujuan pengajuan eksepsi, yaitu agar pengadilan mengakhiri proses
pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara.
Pengakhiran yang diminta melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan
menjatuhkan putusan yang bersifat negatif, yang menyatakan gugatan tidak
dapat diterima. Terhadap putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri
tanpa menyinggung penyelesaian pokok perkara.
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (absolute competency) diatur
dalam ketentuan Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv. Ketentuan yang
ditegaskan dalam kedua Pasal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat Diajukan Tergugat Setiap Saat,
Mengenai pengajuan eksepsi ini, dapat diajukan oleh tergugat pada
setiap saat, selama proses pemeriksaan perkara tingkat pertama di
Pengadilan Negeri sedang berlangsung . Pengajuan eksepsi itu, juga
diajukan tergugat sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum
putusan dijatuhkan. Jadi jenis eksepsi ini, dapat diajukan setiap kapan
saja sebelum putusan dijatuhkan dan tidak dibatasi waktu serta terbuka
selama proses pemeriksaan berlangsung samapai putusan dijatuhkan .
2) Secara jabatan (ex- officio) Hakim Harus Menyatakan Tidak Berwenang

Berdasarkan ketentuan Pasal 132 Rv, dijelaskan bahwa;

“Dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka

ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya,

karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.”


1) Dapat Diajukan pada Tingkat Banding dan Kasasi
Mengenai yurisdiksi absolut ini, pada dasarnya merupakan persoalan yang
berkaitan dengan ketertiban umum (publik order). Jadi tidak boleh dilanggar
oleh siapapun. Pelanggaran terhadap hal ini maka putusan dianggap batal
demi hukum. Oleh karena itu, terkait dengan eksepsi ini, tergugat dapat
mengajukan pada tingkat banding maupun kasasi yang dituangkan dalam
bentuk memori banding maupun kasasi, dengan dasar alasan bahwa telah
terjadi penyalagunaan wewenang atau kesalahan pemeriksaan yang
melampaui wewenang. Walaupun diajukan dalam bentuk memori, hakim
tingkat banding dan kasasi wajib memeriksa dan memutus secara ex-officio,
sesuai ketentuan Pasal 134 HIR
Secara hukum, pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat dibenarkan, baik
pengajuan dalam bentuk lisan (oral) maupun pengajuan dalam bentuk
tertulis (in writing). Pengaturan pengajuan eksepsi terkait kewenangan
relatif dalam bentuk lisan (oral), diatur dalam ketentuan Pasal 133 HIR.
Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap
melanggar tata tertib beracara dan tindakan itu, dikualifikasikan sebagai
suatu bentuk tindakan penyalagunaan wewenang (abuse of authority ).
Saat Pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif
Berdasarkan ketentuan Pasal 125 Ayat (2) dan Pasal 133 HIR, yang
mengatur mengenai pengajuan eksepsi kewenangan relatif ini, harus
disampaikan pada saat sidang pertama, bersamaan pada saat pengajuan
jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Jika pada saat sidang
pertama, pihak tergugat belum menyampaikan jawaban maka kesempatan
itu, tidak menjadi gugur. Hak tergugat untuk mengajukan jawaban terkait
kewenangan relatif ini masih terbuka.
Bantahan Tergugat Terhadap Pokok Perkara (Jawaban)
Ketentuan yang mengatur tentang Jawaban tergugat ini, diatur dalam
Pasal 121 Ayat (2) HIR. Jawaban berisi bantahan. Bantahan terhadap
pokok perkara (materiel verweer) yaitu tangkisan atau tanggapan yang
disampaikan tergugat terhadap pokok perkara atau jawaban tergugat
mengenai pokok perkara atau disebut juga bantahan langsung yang
terkait pokok perkara. Esensi bantahan ini, berisi alasan dan penegasan
yang sengaja dibuat oleh tergugat dan kemudian dikemukakan baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan yang dituangkan dalam jawaban.
I. Tanggapan Penggugat atas Jawaban Tergugat (Replik)
Setelah tergugat mengajukan jawaban, tahapan pemeriksaan perkara di
Pengadilan Negeri selanjutnya adalah replik yaitu tanggapan penggugat atas
jawaban tergugat. Pelaksanaan replik ini, sesuai penerapan asaz audi
alteram partem dalam hukum acara perdata, penggugat juga diberikan hak
dan kesempatan yang sama untuk memberikan tanggapannya atas jawaban
yang telah diajukan oleh tergugat. Dalam sistem Common Law disebut
dengan istilah counter plea atau reply sebagai defence terhadap
counterclaim
I. Tanggapan Tergugat atas Jawaban Penggugat (Duplik)
Setelah penggugat mengajukan replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya
adalah duplik, yaitu tanggapan yang diajukan oleh tergugat atas replik yang
telah disampaikan oleh penggugat. Secara teknis, duplik dapat dianggap
sebagai jawaban kedua. Dalam sistem Common Law disebut dengan istilah
rejoinder yang berati jawaban balik dari tergugat terhadap replik penggugat

Anda mungkin juga menyukai