Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

HUKUM PERDATA

Dosen Pengampu :
Iriyanto, ,S.H, M.M., Not.
Disusun oleh :
Rifda Zulfia 17421114

PRODI HUKUM ISLAM


FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2020
A. EKSEPSI

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan
(objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi
gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi
ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang
diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah.
Konsekuensi jika gugatan tersebut tidak sah adalah  gugatan tidak dapat diterima
(inadmissible).Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak
ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).

Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:

1. Eksepsi kompetensi

         a. Tidak berwenang mengadili secara absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan


(Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer),
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).

         b. Tidak berwenang mengadili secara relatif

Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu
lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene
Inlandsch Reglement (“HIR”)

Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan
berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan
menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan
bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif
menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih
dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan
atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan
pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind
Vonnis).
2. Eksepsi syarat formil

          a. Surat kuasa khusus tidak sah

Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat
kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak
mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat
bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).

         b. Error in Persona

Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak


dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka
yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata),
seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan
(persona standi in judicio).

         c. Nebis in Idem

Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama,
dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.

         d. Gugatan Prematur

Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan
adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris
belum meninggal dunia.

         e. Obscuur Libel

Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya
terletak pada:

hukum yang menjadi dasar gugatan,

ketidakjelasan mengenai objek gugatan,  misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau
letak atau batas dari tanah tersebut.

 petitum yang tidak jelas, atau

terdapat kontradiksi antara posita dan petitum


Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi
kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama
sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak
tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian
eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok
perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok
perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi
dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan
bersifat positif berdasarkan pokok perkara.

B. KONVENSI DAN REKOVENSI

Kata Konvensi ini memang jarang digunakan dibandingkan dengan istilah Gugatan,
karena istilah Konvensi baru akan dipakai apabila ada gugatan Rekonvensi yakni gugatan
balik tergugat terhadap penggugat. Yahya Harahap menjelaskan dalam bukunya, kita dapat
menemukan bahwa ketika penggugat asal (P) digugat balik oleh tergugat (T) maka gugatan P
disebut gugatan konvensi dan gugatan balik T disebut gugatan rekonvensi.

Jadi Rekonvensi adalah gugatan kembali dari tergugat terhadap penggugat tanpa harus
mengajukan tuntutan baru, atau gugatan baru akan tetapi cukup dengan mengajukan gugatan
pembalasan bersama-sama dengan jawaban terhadap gugatan lawan. Dengan demikian, maka
gugatan awal atau gugatan asli dari Penggugat dapat pula disebut dengan Konvensi.

Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi


diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).

Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:

Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu
putusan.Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses
pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:

Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib
beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan
rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan
sistematika:

Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan
konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum
gugatan konvensi).

Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan
substansi gugatan konvensi.Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan
dalam konvensi dan dalam rekonvensi.

Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara


kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu
proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah
nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama
pula.

Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah. Pengecualian tata cara


pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam
Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:

Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan. Apabila
antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan
perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:

Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi. Masing-
masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.

Cara proses pemeriksaan:

Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan


putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi. Menyusul penyelesaian
pemeriksaan gugatan rekonvensi. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan
register nomor perkara yang sama. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama. Pemeriksaan
dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda Pada sistem ini,
meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan
rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan
rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding
terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk
pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas)
hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan
diberitahukan.

Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara


konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan
pada penilaian pertimbangan hakim.

Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak
terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan
penanganan yang terpisah.

C. PUTUSAN SELA

Putusan sela adalah suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir
yang berisikan beban pembuktian antara tergugat dan penggugat, fungsinya tidak lain untuk
memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela ini menurut Pasal 185 HIR/I96 RBg adalah:

1. Putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun
harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah melainkan
hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja.
2. Kedua belah pihak dapat meminta, supaya kepadanya diberi salinan yang sah
dari putusan itu dengan ongkos sendiri. Dari ketentuan Pasal 185 HlR/196
RBg tersebut di atas, dapat diketahui
a. Semua putusan sela diucapkan dalam sidang
b. Semua putusan sela merupakan bagian dari berita acara
c. Salinan otentik dapat diberikan dari berita acara yang memuat putusan
sela kepada kedua belah pihak. Putusan sela atau putusan antara
adalah putusan yang diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan
putusan akhir dan fungsinya adalah untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara dalam suatu
persidangan pengadilan negeri sesuai dengan perkara yang telah
ditentukan.

Jenis-jenis Putusan Sela


Dalam teori dan praktik dikenal beberapa jenis putusan yang muncul dari putusan sela, antara
lain sebaga berikut:''

Putusan Preparatoir Salah satu bentuk spesiflkasi yang terkandung dalam putusan sela
ialah putusan preparatoir atau preparator {preparatoir vonnis). Tujuan putusan ini merupakan
persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih
dahulu menerbitkan putusan preparatoir tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan.
Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian.
Dalam praktik, hal ini jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan langsung sesuai dengan
kebijakan dengan memperhitungkan tenggang pemundura persidangan oleh hakim tanp lebih
dahulu ditentukan tahap-tahapnya dalam suatu putusan sela yang disebut putusa preparatoir.
Selanjutnya sesuai dengan sesuai dengan tuntutan peradilan modem, sangat beralasan
mengembangkan putusan preparatoir, dengan jalan menggabungkan prinsip manajemen
dalam sistem peradilan, seperti yang pemah disinggung dibeberapa negara misalnya di
Inggris, telah dimunculkan konsep timetable program.

Anda mungkin juga menyukai