Anda di halaman 1dari 18

RE-REKONVENSI ?

(Rekonvensi atas Rekonvensi)


Oleh : Abdurrahman, S.Ag1

Sebuah Nomenklatur Baru


Pasal 4 ayat (2) UU nomor 14 tahun 1970 (telah diubah, terakhir dengan UU no. 48
tahun 2009), tentang kekuasaan kehakiman, memberikan amanat kepada peradilan yang ada
di Indonesia untuk melaksanakan tugasnya secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam
penjelasan pasal itu sendiri, khusus azas sederhana dan cepat, memiliki arti tidak diperlukan
pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit dan dapat menyebabkan proses sampai bertahun-
tahun bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan.
Dalam prakteknya, semua peradilan yang berada di bawah mahkamah agung telah
menerapkan azas sederhana dan cepat. Baik dalam teknis administrasi maupun pada teknis
pradilan. Baik sebelum ada ketentuan undang-undang tersebut maupun setelahnya. Salah satu
contoh, peradilan telah akrab dengan hukum acara perdata yang bernama rekonvensi, dimana
Pasal 157-158 R.Bg/132a-132b HIR menjadi dasar legalitas-nya.
Rekonvensi merupakan ruang yang ditujukan untuk menyederhanakan dan
mempercepat proses beracara. Seorang tergugat dapat mengajukan gugatan terhadap
penggugat dalam proses perkara yang berjalan, tanpa harus mendaftar sebagai perkara baru.
Pemeriksaan pun disatukan, tidak dipisah dengan perkara yang sedang berjalan dan pada
akhirnya hanya ada satu pembebanan biaya perkara. Rekonvensi bisa dikatakan sebagai upaya
untuk menciptakan one stop prosedural (beberapa prosedur disediakan dalam satu prosedur).
Penyebutan dan pemaknaan istilah rekonvensi di kalangan ahli hukum cukup
beragam. Sebagian menyebut dan mengartikan dengan gugatan balik. Sebagian lainnya
menyebut dengan gugatan balasan dan ada juga yang menyebut dengan gugatan kembali. Tapi
kesemuanya memiliki maksud yang identik, yakni adanya gugatan yang diajukan oleh
tergugat ketika proses perkara yang diajukan penggugat sedang berjalan. M.Yahya Harahap
mengatakan bahwa kenyataan praktek peradilan, praktisi hukum telah menerima istilah

1
Hakim Pengadilan Agama Karang Asem (Bali), dimuat di website badilag tanggal 14 Maret 2016

1
rekonvensi sebagai hal yang hampir baku sehingga cukup alasan untuk mempergunakannya.2
Dengan demikian istilah asli tersebut juga digunakan dalam tulisan ini.
Telah dimaklum, bahwa istilah rekonvensi baru akan muncul tatkala tergugat
mengajukan gugatan balik bersamaan dengan jawaban. Jawaban tergugat dinamai dengan
“jawaban konvensi” dan gugatan baliknya dengan “gugatan rekonvensi”. Namun bila tergugat
tidak mengajukan gugatan balik maka istilah “konvensi” dan “rekonvensi” otomatis tidak
akan muncul.
Pada prakteknya, dengan adanya gugatan rekonvensi, penggugat kerap kali bukan
hanya sibuk mengajukan jawaban rekonvensi tapi juga menggugat kembali gugatan
rekonvensi tersebut, meskipun sebelumnya penggugat sudah mengajukan gugatan konvensi.
Sehingga timbul sebuah nomenklatur baru dalam persidangan dan pada putusan yakni
rekonvensi atas rekonvensi atau “re-rekonvensi”.

Beberapa Contoh Praktek Re-rekonvensi 3


4
1. Putusan Pengadilan Agama (PA) Maros nomor : 241/Pdt.g/2011/PA.Mrs
Kasus posisi perkara ini berawal dari pokok perkara tentang cerai dari seorang isteri.
Dalam persidangan, si suami/tergugat memberikan jawaban sekaligus mengajukan gugatan
rekonvensi harta bersama. Pada etape berikutnya, seharusnya yang muncul adalah hanya
replik konvensi dan jawaban rekonvensi. Namun in casu, dalam jawaban rekonvensi juga
termuat gugatan baru berupa tuntutan mahar (mas kawin), nafkah lampau, nafkah iddah dan
mut’ah.
Dalam putusan, gugatan baru tersebut dipertimbangkan pada komponen “dalam
konvensi”. Diktum putusannya yakni gugatan tidak diterima. Alasannya karena gugatan baru
tersebut dinilai sebagai penambahan gugatan dan dikategorikan sebagai perubahan pokok
perkara. Diktum putusan tersebut kemudian dimasukkan pada komponen “dalam konvensi”,
secara lengkap amar putusannya sebagai berikut:
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian dan
putusan pengadilan, sinar grafika, 2015, hal.469
3
Putusan yang dijadikan contoh adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewis).
Anotasi putusan bertujuan sebagai kajian ilmiah sehingga telah sesuai dengan pasal 5 angka (8) BAB II lampiran
KMA nomor : 215/KMA/SK/XII/2007 tentang petunjuk dan pelaksanaan dan penegakkan pedoman perilaku
hakim (PPH) dan pasal 7 ankga 3 huruf H Peraturan bersama Mahkamah agung RI dan Komisi Yudisial RI
nomor:02/Pb/MA/IX/2012 tentang panduan penegakkan kode etik hakim dan pedoman perilaku hakim
4
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=putusan+pengadilan+agama+maros+nomor+241%
2FPdt.G%2F2011%2FPA.Mrs diakses tanggal 19 Januari 2016

2
Mengadili
Dalam konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap Penggugat;
3. Memerintahkan panitera Pengadilan Agama Maros untuk........ dst;
4. Tidak menerima gugatan Penggugat untuk selainnya. (terkait gugatan baru yang
termuat dalam jawaban rekonvensi/ mahar, nafkah lampau, nafkah iddah dan mut’ah )
Dalam rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menetapkan sebidang tanah .........dst;
3. Menetapkan hak Penggugat dan Tergugat terhadap harta bersama ...dst;
4. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya ... dst;
5. Menyatakan sita jaminan yang ....dst;
6. Tidak menerima gugatan penggugat selainnya.
Dalam konvensi dan Rekonvensi:
Menghukum Penggugat konvensi atau Tergugat rekonvensi untuk membayar...dst;
Putusan tersebut kemudian diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA)
Makasar dengan nomor registrasi :86/Pdt.G/2012/PTA.Mks.5 Terkait dengan gugatan baru
tersebut (mahar, nafkah lampau, nafkah iddah dan mut’ah), dalam putusannya, majelis
banding menyebutnya dengan re-rekonvensi atau rekonvensi atas rekonvensi. Majelis
banding juga memberikan diktum yang sama dengan PA maros yakni gugatan tidak diterima,
dengan alasan tambahan sebagai berikut:
- Gugatan re-rekonvensi tidak dibenarkan kecuali gugatan tersebut merupakan pelengkap
dari gugatan rekonvensi awal seperti gugatan harta bersama namun masih ada harta
bersama yang belum disebutkan penggugat rekonvensi kemudian disempurnakan tergugat
rekonvensi. Adapun tuntutan re-rekonvensi dalam perkara a quo tidak demikian,
melainkan tuntutan yang berdiri sendiri;
- Gugatan re-rekonvensi di-analogi-kan dengan perubahan gugatan awal yakni menambah
gugatan dengan merubah posita dan petitumnya sebagaimana pasal 127 Rv. Menurut
majelis banding, sebaiknya gugatan diajukan tersendiri sebagai gugatan baru.

5
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=Pengadilan+Tinggi+Agama+Makasar+dengan+nom
or+86%2FPdt.G%2F2012%2FPTA.Mks diakses tanggal 19 Januari 2016

3
Kendati memiliki diktum yang sama, PTA Makasar memperbaiki format diktum
putusan PA Maros dengan memindahkan diktum tentang re-rekonvensi dari komponen
konvensi ke komponen rekonvensi. Alasannya karena gugatan re-rekonvensi termuat dalam
jawaban rekonvensi sehingga redaksi kalimatnyanya turut berubah, secara lengkapnya amar
putusan sebagai berikut:
Mengadili
Dalam konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat ....... dst;
3. Memerintahkan panitera Pengadilan Agama Maros untuk ........... dst;
4. (diktum diperbaiki dengan memindahkan pada komponen rekonvensi poin 6)
Dalam rekonvensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menetapkan sebidang tanah ......dst;
3. Menetapkan hak Penggugat dan Tergugat..... dst;
4. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak ....dst;
5. Menyatakan sita jaminan ........dst;
6. Tidak menerima tuntutan Tergugat rekonvensi.
7. Tidak menerima gugatan penggugat selainnya.
Dalam konvensi dan Rekonvensi:
1. Membebankan kepada Penggugat konvensi/ Tergugat rekonvensi untuk ...dst;
2. Membebankan kepada Penggugat konvensi atau Tergugat rekonvensi .... dst;

2. Putusan Pengadilan Agama (PA) Madiun nomor 0844/Pdt.G/2010/PA.Kab.Mn 6


Kasus posisi perkara ini bermula dari gugatan cerai seorang isteri. Dalam
persidangan, selain memberikan jawaban, Tergugat (suami) juga mengajukan rekonvensi
berupa hak asuh anak dan harta bersama (pengembalian biaya pemotongan kayu, tenaga kerja
dan pemborong kayu). Replik dan duplik terjadi antara Penggugat dan Tergugat baik dalam
konvensi maupun rekonvensi. Yang berbeda adalah bahwa saat menyampaikan duplik

6
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=Putusan+Pengadilan+Agama+Madiun+nomor+084
4%2FPdt.G%2F2010%2FPA.Kab.Mn, diakses tanggal 21 Januari 2016

4
rekonvensi, Penggugat konvensi/Tergugat rekonvensi juga mengajukan gugatan baru tentang
harta bersama berupa sepeda motor dan komputer.
Merespon situasi jawab menjawab tersebut, majelis hakim membuat format
pertimbangan hukum bukan hanya terdiri dari komponen “dalam konvensi” dan “dalam
rekonvensi” namun juga “dalam re-rekonvensi”. Gugatan baru tersebut, dipertimbangkan
majelis hakim pada komponen re-rekonvensi.
Pada pertimbangan hukum re-rekonvensi, majelis hakim menilai gugatan
re-rekonvensi (motor dan komputer) terbukti sebagai harta bersama, namun karena ada alat
bukti (TR.1) tentang adanya kesepakatan bersama yang menyatakan jika penggugat dan
tergugat bercerai - masing-masing pihak - tidak saling menuntut. Majelis Hakim kemudian
menyatakan gugatan tersebut tidak dipertimbangkan dan dikesampingkan.
Selanjutnya, format diktum putusan tidak memunculkan komponen “dalam re-
rekonvensi”. Begitu juga bunyi diktum tentang re-rekonvensi tidak ditemukan baik pada
komponen konvensi maupun rekonvensi. Diktum putusan hanya berisi sebagai berikut:
Mengadili
Dalam konvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat (Tergugat asli) terhadap ..... dst;
Dalam Rekonvensi:
1. Menolak gugatan Penggugat rekonpensi seluruhnya;
2. ...... dst;
Dalam konvensi dan rekonvensi:
Membebankan kepada Penggugat konvensi/Tergugat rekonvensi untuk membayar ..... dst;
Putusan tersebut kemudian diajukan banding oleh tergugat ke Pengadilan Tinggi
Agama (PTA) Surabaya dengan nomor 240/Pdt.G/2011/PTA Sby. 7 Majelis banding juga
memiliki format pertimbangan hukum yang sama dengan tingkat pertama yakni adanya
komponen re-rekonvensi. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis banding lebih melihat
kepada formil gugatan tidak kepada materil gugatan. Poin pokok pertimbangannya sebagai
berikut:

7
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=putusan+PTA+surabaya+nomor+240%2FPdt.G%2F
2011%2FPTA.Sby, diakses tanggal 21 Januari 2016

5
a. Ketentuan rekonvensi yang terdapat dalam pasal 132 huruf a dan b HIR merupakan hak
Tergugat.
b. Kalau ada hal-hal yang disampaikan Penggugat sehubungan dengan gugatan balik
(rekonvensi) hanyalah merupakan jawaban/bantahan terhadap gugatan rekonvensi.
c. Bila Penggugat konvensi mengajukan gugatan akibat dari adanya gugatan rekonvensi
berarti Penggugat konvensi telah melakukan penambahan petitum terhadap gugatannya
dan tidak sejalan dengan pasal 127 Rv jo. Pasal 1900 BW, oleh karena itu harus
dikesampingkan;
Format diktum putusannya juga tidak berbeda dengan pengadilan tingkat pertama
dimana komponen re-rekonvensi tidak dimunculkan sehingga tidak ditemukan bunyi diktum
putusan untuk re-rekonvensi.
3. Putusan Pengadilan Agama (PA) Unaaha nomor : 0092/Pdt.g/2013/PA.Una
Kasus posisi perkara ini diambil dari narasi yang ada pada putusan Pengadilan
Tinggi Agama (PTA) Kendari nomor : 0026/Pdt.G/2013/PTA.Kdi.. 8 Pokok perkara awal
yakni tentang cerai yang diajukan seorang suami. Proses di persidangan berlanjut dengan
jawaban si isteri sekaligus termuat gugatan rekonvensi tentang nafkah lampau, nafkah iddah
dan hak asuh anak. Pada tahapan berikutnya pemohon mengajukan replik konvensi, jawaban
rekonvensi dan juga gugatan balik terhadap rekonvensi berupa nafkah batin yakni uang
sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah).
Terhadap gugatan balik rekonvensi tersebut, majelis hakim membuat komponen
re-rekonvensi baik pada bagian pertimbangan hukum maupun pada bagian diktum putusan.
Majelis hakim menyatakan gugatan re-rekonvensi “ditolak”. Diktum tersebut dimasukkan
dalam komponen re-rekonvensi. Lebih detail diktum putusannya sebagai berikut:
Mengadili
Dalam konvensi:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon konvensi sebagian;
2. Memberi ijin kepada Pemohon konvensi untuk menjatuhkan talak ...... dst;
Dalam rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;

8
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=putusan+pengadilan+agama+unaaha+nomor+092
%2FPdt.G%2F2013%2FPA+Una, diakses tanggal 19 Januari 2016. Putusan tingkat pertamanya tidak dapat
ditemukan penulis.

6
2. ........ dst;
Dalam re-rekonvensi:
Menolak gugatan Penggugat re-rekonvensi seluruhnya
Dalam konvensi, rekovensi dan re-rekonvensi:
Menghukum Pemohon konvensi/ Tergugat rekonvensi/Penggugat Rerekonvensi untuk ....dst;

Putusan tersebut telah diajukan banding ke PTA Kendari. Terkait dengan format
putusan, Majelis banding memperbaiki format pertimbangan hukum dan diktum putusan
yakni dengan menghilangkan komponen re-rekonvensi baik pada pertimbangan hukum
maupun pada diktum putusan. Majelis hakim menyatakan dalam pertimbangan hukumnya re-
rekonvensi “dikesampingkan” namun tanpa disebutkan (tidak ada) bunyi diktum
putusannya. Beberapa pokok pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
- Berdasarkan pasal 158 ayat (1) R.Bg undang-undang hanya memberikan kesempatan
kepada Tergugat untuk mengajukan gugatan balik/rekonvensi bersama-sama dengan
jawaban. Dengan demikian semua gugatan Penggugat hanya dapat diajukan pada gugatan
konevensi/gugatan semula, oleh karenanya dalam suatu gugatan Penggugat tidak
dibenarkan mengajukan gugatan (baru) dalam jawaban rekonvensi;
- Gugatan balik yang diajukan Pemohon konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak beralasan
dan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut serta harus dikesampingkan;
Dengan dihilangkannya komponen re-rekonvensi maka tidak ada lagi diktum yang
terkait dengan gugatan re-rekonvensi tersebut. secara lebih lengkap amar putusannya sebagai
berikut:
Mengadili
Dalam konvensi:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon konvensi/Tergugat Rekonvensi sebagian
2. Memberi ijin kepada Pemohon konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk .....dst;
3. Memerintahkan panitera pengadilan agama unaaha untuk mengirimkan...dst;
Dalam rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Termohon konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk sebagian.
2. Menetapkan anak bernama ..... dst;
3. Menghukum Pemohon konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk memberi nafkah
pemeliharaan ....dst;

7
4. Menolak gugatan Termohon rekonvensi/Penggugat rekonvensi selebihnya;
Dalam re-rekonvensi:
Menolak gugatan Penggugat rerekonvensi seluruhnya Dihapus/dikesampingkan/
tidak ada diktum re-rekonvensi
Dalam konvensi dan rekovensi:
- Membebankan kepada Pemohon konvensi/ Tergugat rekonvensi untuk ...dst;
- Membebankan kepada Termohon konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk ... dst;

Beberapa Persoalan dan Jawaban


a. Re-rekonvensi sebagai “estafet rekonvensi”
Salah satu pijakan hukum yang digunakan dalam menyelesaikan praktek
re-rekonvensi yakni pasal 132 huruf a dan b HIR/pasal 157 dan 158 ayat (1) R.Bg.
Rekonvensi dinilai sebagai hak tergugat dan merupakan kesempatan yang diberikan kepada
tergugat bersamaan dengan jawaban. Kalaupun ada hal-hal yang disampaikan penggugat
asal/tergugat rekonvensi sehubungan dengan gugatan rekonvensi hanyalah jawaban/bantahan.
Semua gugatan Penggugat asal hanya dapat diajukan pada gugatan konvensi/asal.
Mencermati pertimbangan tersebut, kontruksi hukum yang digunakan adalah
intrepretasi restriktif (pembatasan penafsiran)9. Makna gugatan rekonvensi yang ada pada
ketentuan pasal tersebut dipersempit. Gugatan rekonvensi di-”pagari” pengertian dan
penerapannya, yakni hanya boleh bagi tergugat asal, tidak bagi penggugat asal. Dalam
rekonvensi, penggugat asal/tergugat rekonvensi hanya memiliki hak untuk menjawab yang
notabene berisi pengakuan, bantahan atau referte (tidak membantah dan tidak mengakui).
Meskipun dalam rekonvensi tersebut, dirinya sebagai “tergugat” namun tidak diberikan hak untuk
menuntut kembali rekonvensi tersebut.
Pertimbangan tersebut pada hakekatnya sejalan dengan pendapat M.Yahya Harahap
yang menyatakan gugatan rekonvensi bersifat eksepsional. Menurutnya, pasal 132 a HIR/157
R.Bg hanya memberi hak kepada tergugat melakukan kumulasi gugatan rekonvensi dengan
gugatan konvensi.10 Undang-undang memberikan hak eksepsional kepada tergugat untuk
mengajukan gugatan rekonvensi. Secara a contrario (sebaliknya), maka dipahami bahwa

9
Lebih lanjut lihat pengertian intrepretasi restriktif dalam penemuan hukum sebuah pengantar, Prof. Dr.
Sudikno Mertokusumo, Liberty Yogyakarta, hal. 63
10
M.Yahya Harahap.SH., Op.cit. hal.471

8
kekhususan tersebut tidak bisa digunakan penggugat konvensi meskipun posisinya juga
sebagai tergugat dalam rekonvensi.
Sifat eksepsional dalam pasal tersebut ditujukan untuk memberikan “efek
pencegahan”. Bila praktek rekonvensi dibolehkan secara terbuka untuk semua pihak, maka
tidak menutup kemungkinan akan membuka peluang munculnya “estafet rekonvensi”
(rekonvensi bersambung) antara penggugat dengan tergugat. Setelah adanya “re-rekonvensi”
maka dimungkinkan berlanjut dengan “re-re-rekonvensi” dan seterusnya. Tentu kesulitan
akan muncul bagi majelis hakim untuk menentukan batas finis “estafet rekonvensi” tersebut.
Pada akhirnya asas peradilan sederhana dan cepat yang diusung oleh lembaga rekonvensi
semakin jauh terwujud. Maka cukuplah tepat jika gugatan rekonvensi adalah hak eksepsional
yang ditujukan bagi tergugat. Pada sisi lain, ketentuan ini pun sejatinya tidak “mengubur” hak
penggugat asal untuk mengajukan gugatan re-rekonvensi tersebut. Penggugat dapat
mengajukan secara tersendiri dalam bentuk perkara baru. Dengan demikian asas keadilan
tetap dipertahankan dan masih mendapatkan tempatnya.
b. Re-rekonvensi sebagai “pseudo rekonvensi”.
Peraturan lainnya yang dijadikan landasan hukum dalam menyelesaikan re-
rekonvensi adalah pasal 127 Rv. Gugatan re-rekonvensi yang termuat dalam jawaban
rekonvensi di-analogi-kan sebagai perubahan gugatan, karena adanya penambahan gugatan
dengan merubah posita dan petitum gugatan asal. Sebagaimana pada contoh, penggugat
konvensi semula hanya menuntut cerai dari suaminya. Namun saat jawaban rekonvensi,
penggugat konvensi/Tergugat rekonvensi menuntut tentang mahar, nafkah iddak, mut’ah atau
harta bersama sehingga tuntutan tersebut dinilai majelis hakim sebagai penambahan gugatan.
Analogi yang digunakan majelis hakim tersebut dikenal sebagai argumentum per
analogiam dalam istilah kontruksi penemuan hukum.11 Metode ini digunakan karena praktek
re-rekonvensi tidak pernah dikenal dalam ketentuan-ketentuan yang menjadi sumber hukum
acara perdata. Kemudian majelis hakim mencari dan menerapkan ketentuan lain yang
mengatur sebuah praktek acara perdata yang mirip atau sejenis dengan re-rekonvensi.
Sementara telah dimaklum bahwa ketentuan tentang perubahan gugatan tidak diatur
dalam hukum acara perdata seperti HIR atau R.Bg. Praktek peradilan kemudian mengadopsi

11
Lihat lebih lanjut pengertian argumentum peranalogiam, Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, S.H, Op.cit, hal.67

9
pasal 127 Rv menjadi rujukan perubahan gugatan. Ketentuan ini pun sangat minimalis, karena
hanya satu pasal tanpa dikuatkan dengan ketentuan lain.
Dalam pasal 127 Rv disebutkan, “Penggugat berhak untuk mengubah atau
mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau
menambah pokok gugatannya”. Ketentuan yang digarisbawahi dari pasal tersebut adalah
frasa tentang perubahan gugatan yang konkritnya adalah penambahan pokok gugatan. Pasal
inilah yang dijadikan “cermin” untuk menyelesaikan gugatan re-rekonvensi. Lalu apa saja
kemiripan antara penambahan gugatan dengan gugatan re-rekonvensi?
Beberapa persamaan penambahan gugatan dengan gugatan re-rekonvensi yang bisa
di-inventarsir diantaranya yakni:
1. Adanya permohonan atau tuntutan pelaksanaan hak yang baru selain yang tercantum
dalam gugatan asal.
2. Permohonan atau tuntutan baru itu diajukan oleh Penggugat asal.
3. Permohonan atau tuntutan baru ditujukan kepada Tergugat asal.
4. Permohonan atau tuntutan baru tersebut masih dalam satu perkara yang berjalan dan
masih di bawah nomor register yang sama.
Atas dasar empat kemiripan tersebut, maka cukup tepat jika gugatan re-rekonvensi
dinilai sebagai penambahan gugatan. Re-rekonvensi juga bisa dikatakan sebagai “pseudo
rekonvensi” atau rekonvensi palsu. Sepintas re-rekonvensi terlihat sebagai gugatan balik yang
diajukan oleh penggugat konvensi namun sejatinya re-rekonvensi adalah penambahan gugatan
dari penggugat konvensi.
c. Re-rekonvensi harta bersama sebagai gugatan pelengkap.
Salah satu catatan yang menarik dari pertimbangan hukum PTA makasar yang perlu
dikritisi (dengan tanpa mengurangi hormat kepada majelis banding) adalah, “bahwa re-
rekonvensi dapat dibenarkan sepanjang gugatan tersebut merupakan pelengkap dari gugatan
rekonvensi awal seperti gugatan harta bersama, namun masih ada harta bersama yang lain
yang belum disebutkan oleh penggugat rekonvensi. Adapun tuntutan re-rekonvensi dalam
perkara a quo tidak demikian, melainkan tuntutan yang berdiri sendiri”. Dengan kata lain,
gugatan re-rekonvensi harta bersama dibenarkan majelis banding dengan alasan sebagai
pelengkap (baca: gugatan pelengkap) dari rekonvensi harta bersama sebelumnya.
Re-rekonvensi harta bersama juga dibenarkan karena dinilai tidak berdiri sendiri atau masih
terkait dengan harta bersama dalam rekonvensi.

10
Dari pertimbangan tersebut, pengertian “gugatan pelengkap”, sepintas memiliki
kemiripan dengan pengertian gugatan tambahan atau gugatan asesor (additional claim) yang
dikenal dalam hukum acara perdata. Seperti pengertian yang dimilki M.Yahya Harahap.
Menurutnya, gugatan asesor adalah gugatan tambahan terhadap gugatan pokok dengan tujuan
untuk melengkapi gugatan pokok. Lebih lanjut, menurutnya, secara teori dan praktek gugatan
asesor dikatakan tidak dapat berdiri sendiri sehingga kebolehan dan keberadaannya hanya
ditambahkan dalam gugatan pokok.12 Dengan kemiripan tersebut, majelis hakim seolah ingin
mengatakan bahwa re-rekonvensi harta bersama merupakan salah satu jenis gugatan asesor,
dengan “dalih” adanya dua “karakter”, yakni sebagai pelengkap gugatan dan tidak berdiri
sendiri.
Bila dilihat lebih dekat dan saksama, dua karakter yang menempel pada gugatan
re-rekonvensi tersebut tidak sepenuhnya mirip dengan dua karakter yang dimiliki gugatan
asesor. Pertama, karakter sebagai pelengkap. Pada gugatan asesor, pengertian sebagai
pelengkap yakni bahwa gugatan tersebut melengkapi gugatan pokok sehingga landasan atau
rujukannya adalah gugatan pokok. Sebagai contoh gugatan sita jaminan/ conservatoir beslag
pasal 227 ayat 1 HIR /pasal 261 ayat 1 R.Bg/pasal 720 Rv). Permintaan sita jaminan
ditujukan untuk melengkapi gugatan pokok seperti perkara harta bersama atau perkara hutang
piutang yang ditimbulkan oleh wanprestasi. Konsekuensi sebagai pelengkap, maka sita
jaminan tidak menuntut obyek baru, tetapi hanya menuntut sebuah tindakan yang masih
terkait dengan obyek pokok perkara. Tindakan tersebut yakni menjaga obyek yang
disengketakan atau obyek yang dijadikan pembayaran hutang tetap utuh agar putusan tidak
hampa kelak jika terjadi eksekusi.
Karakter pelengkap tersebut berbeda dengan re-rekonvensi harta bersama. Pada
re-rekonvensi harta bersama, penggugat konvensi/ tergugat rekonvensi dinilai “melengkapi”
kekurangan harta bersama yang belum disebutkan atau belum dituntut oleh lawan (penggugat
rekonvensi). Landasan re-rekonvensi harta bersama tersebut bukan gugatan pokok, tetapi
gugatan rekonvensi. Dengan pengertian bahwa penggugat konvensi/ tergugat rekonvensi,
secara substansial bukan melengkapi gugatan pokok dirinya tetapi melengkapi gugatan harta
bersama lawan, meskipun jenis harta bersamanya berbeda dengan yang dituntut oleh
penggugat rekonvensi. Hal tersebut semakin diperkuat dengan termuatnya gugatan re-

12
M.Yahya harahaf.SH., Op cit, hal. 67

11
rekonvensi harta bersama dalam komponen rekonvensi bukan pada konvensi. Di sisi lain,
dalam re-rekonvensi harta bersama yang diminta adalah obyek baru yakni jenis harta bersama
yang belum disebutkan dalam rekonvensi.
Kedua, karakter berdiri sendiri. Pada gugatan asesor, pengertian berdiri sendiri
yakni bahwa gugatan tersebut merupakan satu kesatuan dengan pokok gugatan. Dimana
gugatan asesor tidak dapat berdiri sendiri di luar gugatan pokok. Dengan pengertian lain
bahwa gugatan asesor bersifat “bergantung” dengan gugatan pokok, sehingga tidak bisa
diajukan dalam perkara tersendiri (baca: perkara baru). Seperti sita jaminan sebuah obyek
sengketa harta bersama yang tidak mungkin diajukan tersendiri tanpa adanya pokok perkara
harta bersama itu sendiri. Atau seperti gugatan nafkah yang harus ditanggung seorang suami
selama perceraian berlangsung (vide pasal 24 ayat (2) huruf a PP nomor 9 tahun 1975) namun
tidak ada gugatan cerainya.
Berbeda dengan re-rekonvensi harta bersama, harta bersama yang dituntut oleh
penggugat konvensi/ tergugat rekonvensi pada hakikatnya tidak memiliki sifat “bergantung”.
Dengan pengertian bahwa penggugat konvensi/ tergugat rekonvensi dapat mengajukan harta
bersama yang belum disebutkan penggugat rekonvensi pada perkara tersendiri, dengan catatan
bahwa jenis harta bersamanya berbeda dengan yang telah dituntut penggugat rekonvesi, demi
menghindari kaedah hukum nebis in idem atau res judicata.
Dari paparan di atas maka diantara kedua karakter yang disyaratkan oleh gugatan
asesor pada hakikatnya tidak dipenuhi oleh re-rekonvensi harta bersama. Dengan demikian
re-rekonvensi harta bersama masih dikategorikan penambahan gugatan bukan sebagai gugatan
pelengkap atau gugatan asesor. Bila re-rekonvensi harta bersama diterima majelis hakim lalu
diperiksa, maka “estafet rekonvensi” sebagaimana paparan sebelumnya, tidak menutup
kemungkinan akan terjadi.
d. Diktum Putusan Re-rekonvensi.
Selain persoalan-persoalan tersebut di atas, persoalan lain yang juga penting serta
terkait dengan re-rekonvensi yakni diktum putusan serta formatnya. Diktum putusan dalam
sebuah putusan memang sangat penting, karena dinilai sebagai inti dari sebuah putusan.
Prof.Dr.H.Abdul Manan, S.H, S.Ip, M.Hum bahkan menyebut amar atau diktum putusan

12
adalah isi dari putusan itu sendiri.13 Pernyataan tersebut dapat dimaklumi karena diktum
putusan merupakan jawaban majelis hakim dari semua petitum atau tuntutan yang diajukan
oleh Penggugat.
Sebagaimana contoh-contoh putusan di atas, diktum putusan re-rekonvensi
mengalami disparitas baik bunyinya maupun formatnya. Semua ini ditengarai karena status
re-rekonvensi sebagai “praktek tak dikenal” dalam hukum acara perdata, sehingga Buku II
dan Buku Standar Format BAS serta Format Putusan yang dinobatkan sebagai “penyeragam”
tidak memuatnya.14 Pada akhirnya muncul beberapa variabel diktum putusan re-rekonvensi
sesuai dengan “ijtihad” masing-masing majelis hakim, diantaranya yakni:
1. Re-rekonvensi tidak diterima (NO) dan disebutkan diktumnya.
Diktum ini tergambar pada putusan pengadilan agama maros. Diktum putusannya
berbunyi “tidak menerima gugatan penggugat” (baca: NO/niet ontvenkelijke verklaar).
Pertimbangannya, re-rekonvensi dinilai sebagai penambahan gugatan. In casu, format diktum
putusan terbagi menjadi komponen konvensi dan rekonvensi. Bunyi diktum re-rekonvensi
tersebut di masukkan pada komponen konvensi. Langkah ini diasumsikan karena sebelumnya
majelis hakim memberikan pertimbangan hukum re-rekonvensi pada komponen konvensi.
Alasan lainnya, karena re-rekonvensi dinilai sebagai penambahan gugatan yang datangnya
dari pemohon konvensi sehingga logis bila bunyi diktumnya termuat dalam komponen
konvensi.
Bunyi diktum tersebut di “amini” oleh pengadilan tingkat banding (PTA Makasar)
namun dirubah redaksi kalimatnya karena penempatan bunyi diktumnya juga berubah.
Pengadilan banding memindahkan bunyi diktum re-rekonvensi tersebut pada komponen
rekonvensi bukan lagi pada konvensi. Alasannya, karena gugatan re-rekonvensi disampaikan
dan termuat bersamaan dengan jawaban rekonvensi. Sehingga bunyi diktumnya menjadi
“tidak menerima tuntutan tergugat rekonvensi” dan penempatannya dimasukkan pada
komponen rekonvensi.
Bila diamati, penempatan diktum yang digunakan pengadilan tingkat banding juga
terasa “janggal” (dengan tanpa mengurangi hormat kepada majelis banding). Komponen

13
Prof. Dr.H.Abdul Manan, SH., S.Ip.,M.Hum,Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal.295
14
Buku II diberlakukan berdasarkan KMA Nomor:KMA/032/SK/IV/2006 bertanggal 4 April 2006, sedangkan
Buku Standar Format Bas dan Format Putusan diberlakukan sejak tanggal 1 April 2014 yang dapat diakses
melalui website Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

13
diktum rekonvensi yang sejatinya dijadikan ruang khusus untuk jawaban majelis hakim bagi
tuntutan penggugat rekonvensi/tergugat konvensi, namun kali ini juga memuat jawaban
tuntutan lawan yakni tergugat rekonvensi/penggugat konvensi.
Kedua variabel diktum putusan tersebut seperti dilema. Satu sisi, keduanya ingin
“memuaskan” ketentuan pasal 178 ayat 2 HIR/ 189 ayat 2 R.Bg, dimana putusan harus secara
total dan menyeluruh untuk memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang ada, in casu,
tak terkecuali gugatan re-rekonvensi tersebut. Namun pada sisi lain, majelis hakim seolah
berada pada “ruang gelap” format diktum sehingga penempatan diktum terasa janggal.
2. Re-rekonvensi ditolak dan diktum disebutkan dalam komponen re-rekonvensi.
Berbeda dengan putusan sebelumnya, diktum re-rekonvensi yang dikeluarkan
pengadilan agama Unaaha adalah menolak gugatan re-rekonvensi tentang ganti rugi nafkah
batin sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah). Format diktum putusan juga tidak seperti
biasanya, dimana majelis hakim membuat komponen re-rekonvensi berdiri sendiri. Sehingga
bunyi diktum re-rekonvensi tidak lagi “menumpang” pada komponen konvensi atau
komponen rekonvensi.
Diktum dan format re-rekonvensi tersebut diperbaiki oleh PTA Kendari dalam
putusan bandingnya. Majelis banding menyatakan gugatan re-rekonvensi “dikesampingkan”.
Alasannya, bahwa gugatan balik merupakan kesempatan yang hanya diberikan kepada
tergugat, tidak kepada penggugat (vide pasal 158 ayat 1 R.Bg). Pernyataan “dikesampingkan”
dituangkan hanya dalam pertimbangan hukum saja tanpa ada bunyi diktumnya. In casu,
majelis banding juga membongkar format pertimbangan hukum dan format diktumnya
dengan menghilangkan komponen re-rekonvensi.
3. Re-rekonvensi dikesampingkan dan tidak ada bunyi diktum.
Sebagaimana pemaparan sebelumnya, bahwa PTA Kendari tidak memberikan
diktum putusan untuk gugatan re-rekonvensi namun hanya menyatakan “dikesampingkan”
pada bagian pertimbangan hukum. Cara penyelesaian re-rekonvensi ini juga digunakan oleh
PTA Surabaya dengan dasar hukum pasal 132 huruf a dan b HIR dan pasal 127 Rv dengan
penjelasan bahwa re-rekonvensi dinilai sebagai penambahan petitum oleh penggugat konvensi
sehingga re-rekonvensi dikesampingkan.
Pernyataan “dikesampingkan” yang tertuang pada pertimbangan hukum tersebut,
dengan tanpa adanya bunyi diktum putusan, sepintas masih menyisakan persoalan,
diantaranya: Apakah boleh untuk tidak menyebutkan diktum, padahal gugatan telah

14
dipertimbangkan sebelumnya? Dan apakah ada diktum “dikesampingkan”, bila memang harus
disebutkan dalam diktum? In casu majelis hakim juga tidak menuangkan alasan hukum (legal
reasoning) tentang tidak menyebutkan diktum re-rekonvensi tersebut.
Pertanyaan tersebut sekiranya bisa terjawab dengan melihat praktek “pengurangan
petitum” yang ada pada putusan pengadilan tinggi surabaya, sebagaimana dikutip oleh
M.Yahya Harahap. Putusan pada tingkat banding tersebut hanya mengabulkan pembatalan
sita eksekusi atau barang saja. Menurut pertimbangan Mahkamah Agung, pengabulan yang
demikian tidak berarti menyimpang dari petitum. Sifat pengabulan yang tidak mengabulkan
seluruh apa yang diminta dalam petitum adalah berbentuk mengurangi apa yang dituntut
dalam petitum. Hakim atau pengadilan berwenang melakukan tindakan yang demikian, oleh
karena itu, tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. 15
Praktek pengurangan petitum kiranya searah dengan penyelesaian re-rekonvensi
yang dilaksanakan oleh PTA Kendari dan PTA surabaya. Pernyataan “dikesampingkan” yang
tertuang dalam pertimbangan hukum dapat dinilai sebagai bentuk pengurangan petitum, in
casu petitum yang dikurangi adalah petitum re-rekonvensi. Sehingga sangat logis bila tidak
perlu lagi menuangkan bunyi diktum untuk gugatan re-rekonvensi tersebut.
Praktek pengurangan petitum ini harus dipahami berbeda dengan “tidak mengadili
seluruh bagian gugatan” sebagaimana maksud pasal 178 ayat 2 HIR/189 ayat 2 R.Bg. Dalam
pengurangan petitum, majelis hakim tetap memeriksa dan memberikan pertimbangan
mengenai petitum yang bakal dikurangi tersebut dengan didasari peraturan yang terkait, in
casu pasal 132 huruf a dan b HIR dan pasal 127 Rv (tentang rekonvensi). Sedangkan “tidak
mengadili seluruh bagian gugatan”, memiliki pengertian bahwa majelis hakim tidak
memeriksa dan tidak mempertimbangkan sama sekali atau mengabaikan beberapa bagian dari
petitum.
Pengurangan petitum ini bisa menjadi alternatif penyelesaian re-rekonvensi yang
efektif. Terlebih bila diproyeksikan terjadi “estafet gugatan balik” yang panjang antara
penggugat dan tergugat. Dimana bukan hanya terjadi re-konvensi saja namun ada “re-re “
rekonvensi lanjutan. Dengan cara ini, majelis hakim tidak perlu membuat komponen yang
“berlapis” pada sebuah putusan, cukup dengan komponen konvensi dan rekonvensi.
4. Diktum dan format alternatif

15
Putusan MA No.1722/K/Pdt/1983, 19-1-1985, jo. PT Surabaya No.533/1902, 25-10-1982, PN Surabaya
No.128/1979, 18-9-1978., M.yahya Harahap. SH., Op.cit ,hal.66

15
Sebagaimana paparan sebelumnya, gugatan re-rekonvensi disimpulkan sebagai
praktek ilegal karena tidak memiliki landasan hukum. Pasal 132 huruf a dan b HIR/ 158 ayat
(1) R.Bg serta pasal 127 Rv telah “menyegel” gugatan re-rekonvensi pada sisi formal gugatan.
Sehingga materil gugatan tidak “dikutak-katik”. PTA Kendari dan PTA Surabaya menyatakan
gugatan “dikesampingkan” dalam pertimbangan hukumnya sehingga diktum tidak lagi
dibunyikan karena petitum dianggap telah dikurangi. Berbeda dengan PA Maros dan PTA
Makasar yang mempertimbangkan bahwa gugatan tidak diterima atau NO (nietonvankelijke
verklard) maka diktum harus disebutkan sebagai penegas dari pertimbangan hukum yang
telah dipaparkan. Namun sekali lagi persoalan spasial (ruang, tempat) untuk bunyi diktum
re-rekonvensi tersebut masih menjadi persoalan.
Sejatinya, penempatan diktum yang dilakukan oleh PA Maros dan PTA Makasar
tidak bertentangan dengan hukum acara perdata, karena pasal 184 HIR/ 195 R.Bg dan pasal
23 UU No. 14 tahun 1970 (kini UU No. 48 tahun 2009), sebagai ketentuan yang mengatur
tentang formulasi putusan hanya mengatur hal-hal yang prinsip dan pokok. Sehingga
persoalan format dan penempatan diktum disesuaikan dengan keadaan. Hanya saja untuk
menghindari penempatan diktum yang terasa “janggal” kiranya perlu dicarikan alternatifnya.
Sebagai perbandingan, M.Yahya Harahap berpendapat bahwa “terhadap kasus
perkara yang memiliki rangkaian dengan eksepsi, rekonvensi dan intervensi, masih terbuka
berbagai variabel. Tergantung pada gugatan mana yang dikabulkan dan ditolak. Yang
penting, amar putusan yang dijatuhkan mesti meliputi seluruh pokok perkara baik yang
bersifat formil dan substansial”.16 Dengan kata lain, pendapat tersebut menyetujui adanya
pembuatan variabel baru untuk format dan diktum putusan dengan syarat tetap berpegang
pada ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR/ pasal 189 ayat (2) R.Bg dan pasal 50 Rv, dimana
putusan harus secara total dan menyeluruh untuk memeriksa dan mengadili setiap bagian
gugatan yang diajukan baik formil dan materil.
Pendapat tersebut kiranya bisa diterapkan pada gugatan re-rekonvensi. Dimana untuk
mengakomodir diktum re-rekonvensi maka bisa dibuatkan komponen tersendiri (seperti pada
format diktum putusan pengadilan agama Unaaha). Namun dengan catatan bahwa
sebelumnya, pada bagian pertimbangan hukum juga disediakan komponen re-rekonvensi agar
terlihat ada kesinambungan. Komponen re-rekonvensi dibuat bukan sebagai “pembenaran”

16
Ibid. hal.815

16
praktek re-rekonvensi, oleh karenanya diktum yang ada dan yang akan ditempatkan bukan
diktum menolak apalagi mengabulkan. Variabel ini cocok diterapkan jika rangkaian perkara
hanya terhenti pada “re-rekonvensi”. namun bila terjadi “estafet rekonvensi” yang panjang,
kiranya lebih tepat menggunakan cara “pengurangan petitum” untuk menghindari komponen
yang “mengkereta api”. Secara detailnya, alternatif format dan diktum putusan sebagai
berikut:
Dalam konvensi
1. ......
2. dst.
Dalam rekonvensi
1. ......
2. dst.
Dalam re-rekonvensi
Tidak menerima gugatan penggugat (niet ontvankelijk verklaard/ NO)
Dalam konvensi, rekonvensi dan re-rekonvensi
...................
Penutup
Re-rekonvensi adalah suatu praktek yang “beda tapi nyata”, tak dikenal dalam
hukum acara perdata namun hadir dalam persidangan. Disimpulkan, re-rekonvensi hadir
seakan “diundang” oleh rekonvensi. Bagi pihak yang “awam”, adanya rekonvensi dari lawan,
memicu dirinya secara spontan dan tidak sadar untuk juga kembali menggugat. Namun bagi
yang “pintar”, secara sadar menjadikan rekonvensi lawan sebagai pijakan untuk melegalkan
dirinya ikut mengajukan gugat balik, sehingga terkesan terjadi penyalahgunaan hukum acara
perdata. Selanjutnya, jika M.Yahya Harahap menyatakan bahwa dalam enam puluh persen
(60 %) perkara yang diajukan, selalu melekat padanya gugatan rekonvensi, maka tidak
menutup kemungkinan re-rekonvensi juga akan “membenalu” pada rekonvensi itu sendiri dan
akan terus hadir dalam persidangan.
Disadari bahwa sumber hukum rekonvensi (vide: pasal 132 a ayat 1 HIR/ 157 R.Bg)
memiliki sifat “limitatif” yang hakikatnya membatasi praktek rekonvensi. Batasan tersebut
sekali lagi tidak menyentuh persoalan re-rekonvensi (rekonvensi atas rekonvensi). Dalam hal
ini kiranya metode penemuan hukum layak untuk diterapkan dalam hukum acara perdata yang
“konon” dinilai rigid (kaku) guna memecahkan persoalan tersebut. Beberapa argumen yang

17
telah dipaparkan dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah re-rekonvensi. Bila argumen
tersebut kurang maka di sini membuka “lowongan” kritik untuk melengkapinya. Terlebih bila
argumen tersebut salah maka di sini membutuhkan koreksi yang sangat. Wallahu a’lam
bisshawab.

DAFTAR BACAAN
1. Mahkamah Agung, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Umum, Edisi 2014.
2. Direktorat jenderal Badan Peradilan Agama, Standar Format Berita Acara Sidang
(BAS) dan Format Putusan, 2014
3. Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim, 2008
4. M.Yahya Harahap, S.H, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015
5. Prof. Dr.H.Abdul Manan, SH., S.Ip.,M.Hum,Penerapan Hukum Acara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
6. Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, SH, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty
Yogyakarta, 2007.
7. Setaiwan SH., Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Penerbit Alumni,
Bandung, 1992.
8. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait.

18

Anda mungkin juga menyukai